Senin, 16 Januari 2012

Homoseksualitas Dalam Sejarah : Mencari Preseden, Melampaui Misteri Para Ulama Bujang

Pencarian preseden, merupakan salah satu faktor utama yang membawa umat muslim kepada tradisi. Didorong hasrat untuk menjadi orisinil, mereka kerap bersusah-susah membongkar dalil-dalil turats dan atau sejarah yang dinilai bisa menjadi justifikasi sikap atau pandangan mereka. Beberapa di antaranya ada yang berhasil, tapi tak jarang pula dari mereka yang gagal.
Advokasi terhadap hak-hak dan pengakuan eksistensi kaum homoseksual, sejauh ini dinilai sebagai yang gagal mencari presedennya dalam sejarah Islam. Yang ada, bahkan argumentasi sejarah digunakan oleh mereka, para homophobik, sebagai dalil untuk menyisihkan kaum homoseksual dengan anggapan bahwa perbuatan mereka adalah penyimpangan. Kisah Luth dan hadist-hadist yang berisi provokasi untuk mengintimidasi mereka adalah contohnya.
Saat ini, dimana hasil riset pengetahuan sudah sedemikian maju, ditemukan fakta – fakta yang juga masih dipertentangkan – yang mengungkap unsur kealamiahan dalam formasi genetik seorang homoseksual sedari janin. Jika sepakat, fakta ini tentu merelatifkan pandangan paten yang selama ini menjadi pedoman banyak orang bahwa perilaku homoseksual adalah pilihan (constructed), dan bukannya "anugerah" (given)
Jika benar perilaku homoseksual adalah anugerah tuhan, dan bukannya konstruksi budaya atau tingkah laku yang menyimpang, maka preseden historis menjadi sangat penting keberadaannya. Ini diperlukan dalam rangka membuktikan bahwa homoseksualitas adalah fenomena alamiah yang niscaya dalam setiap fase sejarah kemanusiaan, betapapun diabaikannya. Perbedaannya, hanya kalau pada waktu itu belum ada alat untuk mengadvokasi kaum homoseksual, sehingga kemungkinannya hanya dua. Pertama, mereka harus menolak " takdir " mereka sendiri sekalipun dengan begitu mereka mengabaikan nurani mereka dan berlagak selaiknya pria sejati, betapapun dipaksakannya. Atau kedua, mendapat perlakuan keji dari masyarakat dan ancaman kekerasan tafsir teologis yang diskriminatif.
Sementara saat ini, kita telah diperkenalkan apa itu HAM, dan didukung pula oleh bukti empiris penelitian ilmiah. Dengan begitu, sekalipun penentangan keras terus berdatangan dari para homophobianist, kita, para aktivis HAM, tetap memiliki argumentasi yang kuat untuk mengadvokasi kaum homoseksual. Di pihak lain, berkah HAM dan penelitian ilmiah ini pada akhirnya memberikan alternatif ketiga bagi mereka: menjadi diri sendiri dan menuntut persamaan hak dan mencari dukungan.
Rekam jejak sejarah Islam, memberi petunjuk kepada kita bahwa eksistensi homoseksualitas, adalah fakta yang terang benderang, betapapun mau dipungkiri. Melalui tulisan seorang kritikus sejarah, Faraj Fouda, misalnya, bertajuk kebenaran yang hilang (al haqiqah al ghaibah), suka tidak suka mata kita dibuka dan dipaksa mengakui fakta ini. Kita dapat menunjuk nama khalifah al Walid Ibn Yazid dari Bani Umayyah, atau al Watsiq dan al Amin – putra Harun al Rasyid yang terkenal itu – dari Kekhalifahan Abbasiyah sebagai contohnya.

Mereka adalah orang-orang yang berani secara terang-terangan menunjukkan identitas seksual mereka di tengah masyarakat dan penafsiran teologis yang keras terhadap kaum homoseksual. Kemungkinan karena kekuasaan yang mereka miliki. Artinya, bukan tidak mungkin di luar sana, selain mereka, masih ada lagi kaum gay yang malu-malu, atau bahkan berusaha lari dari " takdir " mereka sebagai homosekual. Hanya karena mereka tidak memiliki kekuasaan, atau alat untuk mengadvokasi mereka, sehingga mereka takut mendapat sangsi kekejaman sosial dan penafsiran diskrminatif teologis.
Pada akhirnya, keterangan di atas menolak anggapan bahwa homoseksualitas lahir sebagai efek negatif budaya Barat modern yang permisif. Ini juga sekaligus mempertanyakan ulang kabar burung yang beredar bahwa katanya, Aids merupakan penyakit kutukan yang identik atau kerap dinisbatkan kepada kaum gay. Karena, faktanya homoseksualitas sudah hadir jauh-jauh hari sebelum orang mengenal apa itu Aids.
Mungkin, di antara kelompok homophobik, ada yang menyanggah " contoh-contoh di atas adalah tokoh-tokoh zindiq yang sudah terbiasa berbuat maksiat. Dengan begitu, tidak sah dijadikan sebagai preseden. Mereka juga tidak kurang bejatnya dengan para kafir Barat modern itu". Saya ingin beralih membicarakan perihal para ulama yang tidak menikah. Sebut saja seperti Mahaguru tafsir kenamaan Ibn Jarir al Thabari, pengarang al Kasysyaf, Zamakhsyari, tokoh rujukan kaum modernis, Ibn Taimiah, atau penyair dan Sufi wanita terkenal, Rabi'ah al Adawiyyah dan masih banyak lagi.
Opini kebanyakan umat muslim, ketika dihadapkan pada fakta demikian, biasanya akan berkata bahwa mereka adalah orang-orang yang terlalu sibuk bergelut dalam dunia keilmuan dan agama, dan bahwa hidup mereka dibaktikan untuk umat, sehingga membuat mereka tidak sempat menikah atau hidup berumah tangga. Bagi saya, opini ini bisa saja kelihatan wajar, sebagaimana ia juga bisa menjadi mengherankan, janggal.
Di sini saya ingin menyoroti kejanggalan alasan itu. Dari sudut pandang ini, mereka adalah orang-orang yang seharusnya tidak asing dengan dalil-dalil fadhail al nikah (keutamaan nikah). Tidakkah lantas kita mempertanyakan apa yang membuat para ulama itu memilih untuk tidak menikah? Tidakkah seharusnya kesibukkan meriset ilmu-ilmu agama bisa beriringan dengan membina kehidupan berumah tangga? Apalagi ini telah dibuktikan oleh banyak ulama yang berhasil, dan toh, mereka adalah orang-orang yang tidak perlu diragukan lagi kearifannya untuk urusan yang satu ini. Kita juga layak bertanya: tidakkah mereka mencontoh kehidupan Rasulullah yang mewariskan hikmah melalui keturunannya? Dan tidakkah mereka pernah mendengar Rasulullah bersabda " menikahlah, karena aku berbangga-bangga dengan banyaknya umat dari kamu"?
Tidak wajar rasanya, jika hanya karena menggeluti keilmuan, lantas mereka meninggalkan apa yang telah dicontohkan sang Rasul. Tidakkah ada alasan lain yang melampaui itu?
Belum tersedianya bukti yang kuat, membuat saya belum berani untuk menyimpulkan bahwa mereka memiliki orientasi seksual " berbeda", homosekual. Namun begitu, kejanggalan dan misteri tersebut di atas, menurut saya pantas untuk dijadikan gerbang untuk menyingkap biografi mereka secara lebih polos dan jujur.
Rasanya sangat mungkin, para ulama itu berusaha menutupi identitas homoseksualitas mereka karena adanya tekanan-tekanan baik sosial maupun penafsiran teologis yang tidak ramah terhadap kaum homoseksual pada waktu itu. Padahal, memaksakan diri untuk hidup berumah tangga, mereka tidak sanggup. Bisa saja mereka memperhitungkan bahwa dengan orientasi seksual mereka yang " berbeda" itu, tidak akan sampai pada esensi pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah. Dugaan inilah yang menyebabkan mereka beralibi, dan memilih hidup sendiri tanpa pernikahan, sekalipun hambarnya. Padahal seandainya mereka "normal", tentu akan sangat banyak orang yang bersedia menjadi partner hidup mereka. Sayangnya, pada waktu itu belum ada gerakan advokasi terhadap kaum homoseksual, apalagi konsepsi HAM dan penemuan ilmiah.
Pada akhirnya, sekalipun baru dugaan, bukan berarti ia tanpa alasan. Pendiskriminasian terhadap kaum homoseksual acapkali membuat mereka menjadi hipokrit, berpura-pura menjadi seorang straigh, dan pada akhirya merugikan bukan hanya diri mereka sendiri, tapi juga partner hidup mereka. Contoh dalam hal ini adalah banyak sekali. Sekarang, setelah semua tragedi kemanusiaan ini, masihkah kita harus mendiskriminasi mereka yang telah dikodratkan Tuhan untuk menjadi "gender ketiga" dalam lingkup kehidupan seksual.
Wallahu A'lam bi al sawwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar