Jumat, 22 Januari 2010

Pendidikan Dalam Perspektif al Qur'an
(studi Tafsir Maudlu'i)
Oleh : Prio Hotman, MA.



A. Istilah Pendidikan Dalam al Qur'an.
Dalam bahasa al Qur'an, istilah pendidikan diisyaratkan melalui kata rabb -tarbiyyah yang biasa diterjemahkan dengan pendidikan dan 'allama -ta'lim yang diterjemahkan dengan pengajaran. Kata rabb dan derivasinya disebut dalam al Qur'an sebanyak 169 kali dan dikaitkan dengan pelbagai obyek. Pengkaitan kata rabb dengan 'alam ditemukan dalam 30 tempat. Kata rabb dalam al Qur'an, juga dikaitkan dengan musa dan harun, 'arsy, samawat, al ardl, masyriq wa maghrib, al falq, al nas, al bait, al abb, dan dlamir mukhatab mudzakar .
Menurut pakar tafsir al Asfihany, rabb yang memiliki asal kata tarbiyyah memiliki makna mengembangkan sesuatu setahap demi setahap sehingga mencapai kesempurnaan . Kata rabb menurut al Asfihany merupakan istilah pengganti subyek bagi Allah, dengan demikian rabb tidak digunakan kecuali hanya dalam arti Allah yang menanggung kemaslahatan makhluk . Menurut pakar bahasa Ibn Manzur, kata rabb memiliki beberapa arti seperti raja (al mâlik), yang empunya (al sâhib), pemimpin (al sayyîd), pengatur (al mudabbir), yang mengurus (al murabby), wali (al qayyîm), dan pemberi (al mun'îm) . Adapun arti rabb dalam do'a ini " allahumma rabba hâdzihi al da'wat al tammah..", memiliki arti penyempurna (al mutammim) . Menurut Ibn Manzur, ada tiga karakter yang terkandung dalam kata rabb, yaitu pemilik (al mâlik), majikan yang dita'ati (al sayyîd al mutha') dan pembenah (al muslih). Dengan demikian, tidak disebut rabb (tuhan) kecuali yang mampu menguasai, dita'ati dan melakukan pembenahan terhadap mahluk-Nya .
Dalam potongan hadits terdapat kalimat " laka ni'mat tarubbuha", menurut Ibn Manzur kata rabb tersebut tepat jika dimaknai sebagai " tahfazuhâ (menjaganya)" atau " turâ'ihâ (memeliharanya)". Sedangkan kata rabbaya-tarbiyyatan bermakna proses pengubahan orientasi kelemahan seseorang (tahwîl al tad'îf) dengan metode terbaik dan membimbingnya sehingga yang bersangkutan mampu meninggalkan sifat kekanak-kanakannya (tufûliatuhu) baik ia anak kandung atau bukan .
Pakar tafsir al Biqa'i dalam Nazm al Durar-nya ketika menjelaskan QS Ali 'Imran/3: 79 menyebutkan bahwa kata rabbaniyun berarti orang-orang yang berusaha mengikuti karakteristik Tuhan dalam hal kesempurnaan pengetahuan-Nya dan ketepatan perbuatan-Nya . Seorang rabbany kata al Biqa'i juga merupakan orang yang mantap dari segi keyakinan agamanya dan patuh dari segi ketaatannya kepada aturan Allah . Penafsiran ini sejalan dengan hadits yang menyuruh untuk meniru sifat-sifat Allah (takhallaqû bi akhlâq Allah). al Biqa'i juga menjelaskan bahwa peniruan sifat-sifat Allah oleh orang beriman dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada sang pencipta. Hal demikian hanya dapat dilakukan ketika orang mempelajari kitab Allah, memahaminya, mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain .
Istilah rabb al 'Alamin menurut pakar tafsir kenamaan Wahbah Zuhayli bermakna pihak yang memelihara dan merawat seluruh alam semesta setelah ia membuatnya menjadi wujud . Menurut al Sya'rawi, istilah tersebut menunjuk kepada arti pemeliharaan dengan kewelas asihan (rahmat) dan menjauhi sikap-sikap kekerasan (qaswah) . Dengan karakteristik rububiyyah tersebut, Allah memberikan nikmat kepada seluruh mahkluknya tanpa terkecuali, baik yang mukmin maupun yang kafir, yang menyembah Allah maupun yang menyembah berhala. Kata al Sya'rawy, nikmat tersebut pada hakekatnya tidak terkait dengan hak makhluk untuk memperolehnya, melainkan lahir dari kewelasasihan Allah sebagai rabb .
Menurut ahli tafsir kontemporer al maraghi, tarbiyyah Allah kepada manusia meliputi dua hal. Pertama, orientasi immanent (tarbiyyah khalqiyyah), yang pertama ini meliputi perkembangan fisik manusia hingga mampu berfungsi secara optimal dan perkembangan psikologis dan intelektual manusia. Kedua, orientasi transenden (tarbiyyah dîniyyah tahdzîbiyyah), tarbiyyah ini berwujud petunjuk agama yang di wahyukan-Nya kepada para Rasul dengan tujuan menyempurnakan potensi akal dan kesucian jiwa manusia . Sedangkan arti tarbiyyah Allah terhadap alam bermakna pemeliharaan dan pengaturan-Nya yang berkesinambungan dari mulai diciptakan hingga akhir riwayatnya melalui ilham yang menuju kepada kebaikan alam semesta .
Selain istilah rabb dan derivasinya, isyarat pendidikan dalam al Qur'an juga diwakili oleh istilah 'a-la-ma dengan dobel huruf tengah (tad'if 'ain/'allama) dan bentukannya ditemukan tidak kurang dari empat puluh tempat . Menurut al Asfihany, dalam istilah ta'lim dari 'allama terkandung dua karakteristik khusus yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas. Arti kualitas dalam ta'lim maksudnya pengajaran memuat unsur proses pengulang-ulangan materi dengan maksud meneguhkan pemahaman . Sedangkan arti kuantitas berarti pengajaran memuat unsur penambahan materi yang dimaksudkan menambah pengetahuan . Sampai di sini, arti ini bersinggungan dengan pengertian tarbiyyah yang juga bermakna tumbuh dan bertambah (al namâ wa al ziyâdah) . Menurut al Asfihany, baik pengulangan maupun penambahan ditujukan agar membentuk efek dalam diri peserta didik .
Ibn Manzur menambahkan bahwa ta'lim berarti memberi petunjuk kepada kebaikan dan kebenaran (al ilhâm ila al shawâb wa al khair), dalam kalimat ghulaymun mu'allam berarti anak kecil yang diberi petunjuk kepada kebenaran dan kebaikan . Pengajaran Allah kepada Adam akan nama-nama (ta'lim al asmâ'), menurut al Maraghi merupakan simbol dari proses konkritisasi makna-makna rasional yang abstrak (al ibrâz al ma'âni al ma'qûlât) menjadi julukan benda-benda sensatif (al suar al mahsusât) yang dapat dipahami . Sedangkan arti Allah mengajarkan manusia dengan qalam (QS al 'Alaq/96: 4) menurut maha guru tafsir al Razi berarti Allah memberi pelbagai ilmu dengan perantaraan lisan (al qalam: lisan). Demikian kata al Razi, karena qalam (pena) adalah pengganti dari lisan ketika ia tidak bisa digunakan karena alasan tertentu, tapi tidak sebaliknya . Mengikuti tafsiran ini, berarti pengajaran itu dimulai dengan lisan dan bukan tulisan. Pendapat ini, lanjut al Razi, diperkuat oleh ayat berikutnya yang menyebutkan bahwa Allah mengajar manusia apa-apa yang belum dimengerti . Ketika manusia lahir ia belum mengerti apa-apa, lantas Allah mengajarkan manusia pelbagai pengetahuan dengan perantaraan pendengaran (al sam'), lisan (al afidah), dan penglihatan (al abshâr) . Dalam al Qur'an, pengajaran dengan qalam diperkuat dengan pengetahuan wahyu yang telah lebih dahulu diajarkan kepada Rasul-Nya baik yang berupa hukum Tuhan (syari'at), hingga kepada pengetahuan yang belum terpikirkan oleh nalar manusia seperti pengetahuan tentang kondisi dan karakter umat manusia, perpolitikan negara hingga persoalan eskatologi . Dalam perspektif sirah nabi, memang pengetahuan demikian ini diperoleh orang Arab bersamaan dengan penyampaian risalah Islam sebelumnya belum mereka kenal .
Berpijak atas penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat ditarik beberapa keterangan berikut. Pertama, pendidikan merupakan profesi yang sangat mulia, demikian karena ia adalah usaha manusia dalam meniru watak Allah sebagai pendidik alam semesta (rabb al 'Alamin). Kedua, sebagai usaha meniru watak Allah, orientasi pendidikan pada dasarnya berpijak pada dua hal, yakni memelihara (al hifz) dan menjaga (al ra'y). ketiga, dari kedua orientasi tersebut maka lahir banyak bidang pekerjaan yang menjadi corncern seorang yang disebut pendidik. Dari mulai, memimpin, mangatur, mengurus, mewakili, memberi, menyempurnakan, hingga melakukan pembenahan-pembenahan. Keempat, untuk melaksanakan pelbagai profesi tersebut, seorang yang disebut pendidik akan diberi sejumlah hak dan kewajiban. Hak pendidik di antaranya berhak untuk dipatuhi, berhak memberikan perintah, dan berhak untuk mendapatkan penghormatan. Sedangkan kewajiban pendidik adalah menjalankan profesinya dengan metode rahmat dan sebisa mungkin menjuhi kekerasan (qaswah). Di samping memberi pengetahuan, pendidik juga diwajibkan untuk belajar dan mengisi jiwanya dengan pengetahuan, selain juga diwajibkan untuk mengamalkan dari pengetahuan yang dimiliki agar menjadi teladan bagi murid didiknya. Kelima, materi pendidikan menurut al Qur'an adalah segenap aspek yang terkait dengan potensi manusia, baik yang immanent maupun transenden. Keenam, proses transfering ilmu (manajemen pengajaran) menurut al Qur'an harus dilakukan dengan metode yang mudah dicerna dan tidak menyulitkan peserta didik. Dari segi sasaran, pencapaian pendidikan menurut al Qur'an ditekankan baik dari segi kualitas dan kuantitas. Proses pengajaran juga harus diutamakan dengan komunikasi aktif (lisan) sebelum komunikasi pasif (kitabah).

B. Urgensi Pendidikan Menurut al Qur'an.
Dalam penjelasan al Qur'an pendidikan primordial manusia terjadi ketika manusia masih menempati surga. Sekenarionya, ketika Allah berkeinginan untuk menjadikan pemimpin di bumi, Ia mengajarkan manusia kemampuan intelektual untuk dapat memahami karakteristik dan sifat-sifat benda. Menurut al Razi kemampuan ini dalam al Qur'an disebut dengan al Asma' . Melalui kemampuan ini, kemudian manusia diunggulkan atas seluruh mahluk Allah sehingga diberi kepercayaan untuk mewakili-Nya di muka bumi . Dengan demikian, pendidikan promordial itu sangat erat kaitannya dengan tugas berat manusia sebagai pemimpin di bumi. Maka dapat dipahami persoalan pelimpahan tugas tersebut kepada manusia, bukan kepada malaikat yang menurut al Qur'an senantiasa bertasbih dan mensucikan Allah. Padahal di sisi lain manusia memiliki banyak sekali kelemahan, di antaranya ia senang berbuat onar di bumi, mahluk yang suka bertikai hingga tega menumpahkan darah, aniaya dan zalim .
Untuk menempati posisi pemimpin, tidak dibutuhkan orang saleh seperti malaikat yang terus menerus mensucikan dan bertasbih kepada Allah. lebih dari itu, dalam teori kepemimpinan, dibutuhkan orang yang kuat . Imam Ahmad pernah ditanya mengenai dua orang yang akan diangkat menjadi pemimpin dalam perang, yang satu kuat namun suka bermaksiat, sedangkan yang satu saleh tapi lemah. Kata Imam Ahmad yang patut jadi pemimpin adalah orang yang kuat dan bermaksiat. Alasannya kekuatannya itu berguna bagi orang, sedangkan maksiatnya akan merugikan dirinya sendiri. Berbeda dengan orang saleh yang lemah, karena kesalehannya hanya untuk diri sendiri, sebaliknya kelemahannya itu malah menjadi beban bagi orang lain .
Kekuatan yang dijadikan pertimbangan dalam konteks kepemimpinan manusia di bumi adalah kemampuan intelektual yang diajarkan Allah semenjak primordialnya. Sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia itu justru menjadi faktor dalam mengukur keberhasilan manusia dalam memimpin bumi ini. Artinya, kekuatan intelektual manusia itulah yang menjadikan ia berbeda dari seluruh mahkluk Allah . Menurut al Maraghi, manusia dengan segenap kekuatan intelektualitas dan kemaksiatannya memiliki potensi untuk mengubah fisik dunia, baik ke arah yang positif maupun yang negatif .
Atas dasar pandangan tersebut, maka diperoleh pemahaman bahwa ada keterkaitan erat antara pendidikan dengan konteks kepemimpinan. Semakin luas konteks kepemimpinan tersebut, maka semakin erat pula hubungan antara keduanya. Adam sebagai simbol manusia primordial, memiliki tanggung jawab yang luas atas kepemimpinan dunia. Karenanya, oleh Allah diberikan pengajaran yang komprehensif atas pengenalan hukum-hukum alam seperti dalam firman-Nya " wa 'allama Adama al asma kullaha.." (QS al Baqarah/2: 31). Dalam al Qur'an, Daud juga disebut sebagai yang memiliki tanggung jawab serupa. Seperti halnya Adam, Daud juga diberi pengajaran sebagai pemimpin . Namun demikian, karena konteks kepemimpinannya terbatas pada Bani Israil di Palestina, maka pengajarannya terbatas hanya pada ilham untuk membuat baju besi yang dianggap sangat bermanfaat saat itu . Inilah makna firman Allah
وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ
"….dan Allah memberinya kepemimpinan dan kenabian, dan mengajarkannya apa yang ia kehendaki (mengilhamkan membuat baju besi)…" QS al Baqarah/2: 251.

Para Rasul sebagai agen yang menyampaikan wahyu Allah, menurut syeikh 'Ali Mahfuz, pada dasarnya bahkan memiliki dua wilayah kepemimpinan. Pertama, para Rasul adalah pemimpin dari segi keilmuan, kedua, pemimpin dari segi politik . Baik kepemimpinan keilmuan maupun politik, bagi 'Ali Mahfuz, dimaksudkan untuk mensokong risalah Allah kepada manusia. Untuk tugas kepemimpinan tersebut, para Rasul juga diberi pengajaran. Pengajaran Allah kepada para Rasul menurut al Qur'an yaitu dengan al kitab dan al hikmah .
Stratafikasi kepemimpinan manusia, dengan demikian menjadi penentu bagi tingkat kebutuhan seseorang kepada pendidikan. Dalam hadits nabi, disebut bahwa tanggung jawab seseorang itu memiliki keterkaitan dengan konteks sosial kepemimpinan. Sabda Rasul
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"…setiap kamu adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Pemimpin Negara bertanggung jawab atas rakyatnya. Suami bertanggung jawab atas keluarganya. Istri bertanggung jawab dalam persoalan rumah tangga. Karyawan bertanggung jawab atas harta pengusahanya…" HR. Bukhari .

Pakar pendidikan Islam Khalid al Hazimy ketika menganalisa hadits tersebut menjelaskan. Bahwa dalam hadits tersebut terimplisit pesan pentingnya pendidikan dalam tiga apek, yakni individu (fardiyyah), keluarga (usrah), dan sosial (mujtama') . Lebih jauh al Hazimy menjelaskan point penting pendidikan dalam aspek individu seperti membangun ketaatan individu kepada Allah, memunculkan ketentaraman jiwa individu (amn nafsy li al fard), hingga kecintaan individu untuk bersosialisasi (hubb al mujtama') .
Menurut al Hazimy, keterangan al Qur'an mengenai tujuan penciptaan manusia untuk mengabdi hanya kepada Allah (QS al Zariyat/ : 56), berimplikasi kepada keharusan pendidikan. Hanya dengan pendidikan, kata al Hazimy, orang bisa mengerti pelbagai ilmu untuk mengenal-Nya dan cara untuk mentaati-Nya . Pendidikan juga diperlukan untuk melahirkan ketenangan dalam jiwa manusia. Dengan pendidikan, kegelisahan jiwa manusia yang terpendam akan terjawab. Ini membuatnya akan lebih konsisten untuk menerima dan menjalani hidup. Al Hazimy dengan mengutip QS al Baqarah/2: 261 memberikan contoh, bahwa banyak perbedaan antara kenyataan yang terlihat dengan hakekat yang sebenarnya . Inilah salah satu perlunya pendidikan, yang pangkalnya merupakan pendidikan Rasul terhadap umat manusia. Sebagai individu, manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, karena itu ia terdorong untuk menjalin hubungan sosial. Di sisi lain, hubungan sosial antara individu mengharuskan seseorang untuk bergaul dengan budi pekerti yang luhur, toleran dan saling memahami satu sama lain. Keadaan tersebut tidak akan tercipta tanpa melalui proses pendidikan .
Seperti halnya pentingnya pendidikan bagi individu, pendidikan juga memiliki pengaruh dalam kehidupan keluarga. Al Hazimy, dengan mengutip QS al Tahrim/ : 6, menjelaskan bahwa perintah agama untuk membina keluarga hanya dapat dilakukan dengan pendidikan . Pakar tafsir Ibn Katsir dengan mengutip imam 'Ali menjelaskan bahwa arti dari firman Allah " wa ahlîkum nâran…" dalam ayat tersebut berarti didiklah mereka (addibûhum) dan ajarkan mereka ('allimûhum) . Pendidikan terhadap keluarga, lanjut al Hazimy, merupakan implementasi dari keyakinan seorang muslim terhadap agamanya yang menuntut tanggung jawab terhadap hak-hak keluarga . Dari segi prefentif, pendidikan dalam kehidupan keluarga juga diperlukan dalam rangka menandingi masuknya informasi yang dapat merusak keyakinan Islam . Sedangkan dari segi hubungan antara anak dan orang tua, pendidikan kepada keluarga juga dapat melahirkan sikap dan perilaku anak yang membanggakan orang tua .
Dalam skala yang lebih luas, pendidikan juga memiliki peran penting dalam tingkat sosial kemasyarakatan. Menurut al Hazimy, pendidikan dalam tingkat ini memiliki peran penting dari tiga segi yang saling terkait. Tiga hal yang dimaksud adalah ketentraman sosial yang akan melahirkan integritas sosial , dengan integritas sosial maka akan lahir pertumbuhan sosial dan ekonomi yang signifikan .