Pengkultusan Tradisi dan Pertengkaran Amar-Ma'ruf Nahi Munkar di Ruang Publik
Prio Hotman, MA
Sejak awal mula diisukan, gerakan-gerakan pemikir muslim progressif, yang mana Jaringan Islam Liberal termasuk di dalamnya, telah berjuang setengah mati untuk mengajak umat muslim khususnya di Indonesia agar merombak (dekonstruksi) kembali warisan tradisi mereka dari masa lampau. Perombakan ini dilakukan semata-mata bukan karena mereka tidak lagi menghargai tradisi atau tidak mau memberikan tempat bagi tradisi di alam kontemporer, tapi justru karena mereka amat menghargai tradisi dan tidak menghendaki ia menghilang begitu saja bak debu yang berterbangan. Untuk bisa survive di alam kontemporer, tentu saja, tradisi mesti melakukan banyak penyesuaian-penyesuaian. Penyesuaian tersebut mesti dilakukan dengan melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) yang berani, melampaui tulisan-tulisan dan kharisma yang dikultuskan. Meminjam istilah Luthfi Assaukanie, proyek rejuvenasi atau peremajaan Islam (tradisi Islam) mesti dijalankan melalui pembaruan (reformation) dan bukan melalui pengulangan (restatement). Dengan kata lain, merujuk tradisi seharusnya dijadikan jalan untuk penelaahan, dan bukan hanya sebatas mengkutip pendapat-pendapat dari masa lampau saja.
Namun begitu, seruan kelompok muslim progressif untuk memperbarui tradisi Islam rupa-rupanya tidak mendapat respon positif dari khalayak. Ironisnya, yang ada niat tulus ini malah seringkali disimpangsiurkan menjadi fitnah-fitnah keji yang tak terperikan. Saya melihat desakan perkembangan sosial dan politik kontemporer agar umat beragama melakukan penyesuaian terhadap doktrin dan tradisi masa lalu pada akhirnya memicu terbentuknya kepribadian ganda (split personality) pada diri mereka. Di satu sisi mereka tidak berdaya untuk melepaskan diri dari belenggu dan jeratan tradisi. Di sisi yang lain, ada hasrat dan kebutuhan yang kuat untuk mempertahankan agama agar tetap sejalan dan compatible dengan perkembangan terkini umat manusia. Meskipun pertentangan demikian ini sudah lama dan sering kita simak dalam perdebatan wacana keislaman (khususnya wilayah fiqih), namun saya tidak pernah menyaksikan pertentangan yang kelihatan begitu nyata seperti pertengkaran ulama-ulama kita terkait amar ma'ruf nahi munkar yang kita saksikan belum lama ini ketika kontroversi kedatangan aktifis gender Irshad Manji dan Lady Gaga marak ditayangkan di berbagai media masa.
Pertama-tama, saya ingin menyinggung soal amar ma'ruf nahi munkar terlebih dahulu. Sekalipun bukan bagian dari rukun iman dan rukun Islam, bagi umat muslim, doktrin amar ma'ruf nahi munkar dipandang sebagai jantung yang memompa ruh kehidupan bagi komunitas masyarakat muslim. Tanpa amar ma'ruf nahi munkar, umat muslim sebagai suatu komunitas masyarakat akan lenyap eksistensinya. Demikian, karena ada satu doktrin yang diambil baik dari kitab suci al Qur'an maupun hadist nabi yang menyatakan secara umum bahwa Islam bukanlah agama individualis. Maksudnya, kesalehan individu dalam Islam tidak akan bernilai seandainya belum diterjemahkan menjadi kesalehan sosial. Untuk itu, dalam tradisi amar ma'ruf nahi munkar, umat muslim disuruh ambil bagian untuk mensalehkan sekaligus mereduksi kemaksiatan dari ruang publik. Mereka percaya dampak kesalehan dan kemaksiatan di ruang publik akan berimbas bukan hanya pada pelakunya saja, tapi juga pada mereka yang berada di sekitarnya. Dengan penilaian yang sedemikian penting itu, maka sangat wajar jika dalam literatur-litaratur fikih tradisional para ulama tidak lupa meletakkan satu bahasan tersendiri dalam bagian interaksi sosial (mu'amalah) terkait amar ma'ruf nahi munkar ini. Hanya saja, seperti halnya kesulitan dalam soal lain yang dihadapi umat muslim ketika menghadapi benturan antara ketentuan hukum agama dan perkembangan kontemporer, mereka juga menghadapi kesulitan serupa dalam soal implementasi amar ma'ruf nahi munkar ketika lebih dari separuh bangunan doktrin ini berbenturan dengan realitas sosial dan politik kontemporer yang lebih egalitarian, terbuka dan demokratis.
Karena seruan kelompok muslim progressif untuk merejuvenasi hukum-hukum tradisional diabaikan dan disia-siakan, maka konsensus dan rumusan yang baik untuk mengimplementasikan amar ma'ruf nahi munkar tanpa harus mencederai semangat atau sejalan dengan perkembangan sosial dan politik kontemporer menjadi belum terwujudkan. Hasilnya langsung dapat ditebak: pertengkaran ulama di ruang publik. Menariknya, berbeda dengan masa lalu di mana polemik para ulama hanya menghiasi lembaran-lembaran akademisi dan sangat terbatas aksesnya, saat ini pertengkaran tersebut justru dipertontonkan di ruang publik dan dapat diakses rekamannya oleh masyarakat awam dari berbagai media masa. Respon-respon dan komentarpun bertebaran di mana-mana, menjurus kepada propaganda yang kurang sehat dan tidak mendidik.
Dalam salah satu versi 'pertengkaran' terkait amar ma'ruf nahi munkar yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta belum lama ini, imam besar Masjid Istiqlal KH. Mustofa Ali Yaqub menohok lawannya, yaitu Habib Salim Al Jufri dari kubu FPI, dengan menyodorkan argumentasi amar ma'ruf nahi munkar yang menurutnya lebih bersahabat. Dengan mengutip tiga literatur kitab kuning, yakni Ihya 'Ulum al Din karangan al Ghazali, Siyasah Syar'iyyah karangan Ibn Taimiah, dan Usul al Da'wah tulisan Abdul Karim Zaida, Kiai Yaqub bersikukuh bahwa amar ma'ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan dengan memunculkan kemunkaran baru. Jelasnya, amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukan dengan jalan kekerasan sebetulnya juga kemunkaran baru yang menurut beliau tidak sejalan dengan semangat amar ma'ruf nahi munkar yang benar. Di kubu lawan, Habib Al Jufri yang jamak dikenal dengan Habib Selon mencoba menangkis serangan Kiai Yaqub dengan berargumen bahwa kendatipun keterangan itu benar, namun perlu diperhatikan juga bahwa amar ma'ruf nahi munkar mewajibkan institusi hisbah. Sayangnya, sang Habib tidak cukup cerdas untuk membeberkan bahwa argumennya itu juga dimuat dalam ketiga kitab yang sama.
Saya hanya heran, entah apakah pak Kiai tidak tahu atau sengaja tidak menghiraukan bahwa ketiga ulama di atas dengan tegas menyatakan dalam tulisannya itu bahwa dalam urusan amar ma'ruf nahi munkar, negara harus intervensi dalam wujud institusi hisbah (hisbah adalah institusi resmi yang dibentuk oleh kekhalifahan pada masa dinasti Islam dan diberi wewenang untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar dengan menugaskan sejumlah pekerja sipil yang disebut muhtasib. Tugas muhtasib adalah sebagai polisi moral – yang saat ini ada kemiripan dengan para aktifis ormas Islam garis keras – dan bertanggung jawab mengawasi serta mengkriminalkan setiap tindak tanduk warga negara yang bertentangan dengan ajaran agama). Namun begitu saya ingin tetap berhusnuzhan terhadap beliau. Dalam posisi ini, saya sependapat dengan Habib Selon dan memohon dengan kerendahan hati saya kepada Kiai Mustafa Yaqub agar berkenan kembali menelaah masalah hisbah ini dalam tiga literatur tersebut (Ihya 'Ulum al Din Juz 2 hlm. 308; al Siyasah al Syar'iyyah, hlm. 168; dan Usul al Da'wah hlm. 174).
Al Ghazali dalam Ihya bahkan menempatkan hisbah sebagai rukun pertama dalam amar ma'ruf nahi munkar. Selain itu, sebagaimana Ibn Taimiyah yang terang-terangan menyebut amar ma'ruf nahi munkar tidak bisa ditegakkan tanpa unsur militerisme (al quwwah) dan intervensi negara (imârah), Abdul Karim Zaidan juga mengkategorikan pendirian institusi hisbah sebagai suatu kemutlakan bagi pemerintah (hlm. 175). Meskipun saya sependapat dengan kiai Mustafa Yaqub dalam hal amar ma'ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan dengan menggunakan cara-cara anarkis dan menimbulkan kemunkaran baru, tapi kita juga mesti mempertanyakan konsistensi beliau terkait pendapat ulama-ulama yang dikutipnya tersebut. Seperti telah saya singgung di atas, saya amat menyayangkan bahwa kebanyakan ulama kita saat ini merujuk literatur-literatur tradisi hanya sebatas kutipan saja, dan bukan untuk di telaah. Akibatnya langsung dapat diterka: di satu sisi kubu pro hisbah yang diwakili Habib Selon bingung karena akan sangat beresiko (tidak mungkin?) memaksa negara untuk turut campur dalam masalah amar ma'ruf munkar dan membangun institusi hisbah untuk era kita sekarang ini. Di sisi lain kubu moderat yang diwakili Kiai Mustofa Yaqub juga bingung karena rujukan mereka terhadap tradisi tidak konsisten dan tidak lagi relevan.
Inilah gambaran fenomena yang ingin saya suguhkan kepada pembaca terkait pertengkaran ulama kita di ruang publik dalam hal amar ma'ruf nahi mungkar. Dua kubu yang bertengkar sama-sama bingungnya. Jika kita menelusuri lebih jauh respon-respon masyarakat terkait pertengkaran ini di media masa, terutama media online, kita akan menemukan betapa kubu pro hisbah – begitu saya mengistilahkannya – menyindir keras kubu moderat sebagai 'ulama su' penjilat' (sebutan ironik dari masa klasik islam yang ditujukan untuk kelompok ulama oportunis yang mendekati pemerintah dengan jalan yang tidak terpuji dan tidak komitmen dengan ajaran agama). Dalam beberapa segi, saya menilai kritik kubu pro hisbah ini ada benarnya. Kita belum lupa bagaimana Kiai Mustofa Yaqub dan rekan-rekan ulamanya dari MUI beramai-ramai mengkroyok umat muslim penganut 'mazhab Ahmadiah' dan mendesak pemerintah agar mereka dibubarkan dengan dalil yang sama: amar ma'ruf nahi munkar. Terkait isu yang tersebut terakhir ini, kita tidak bisa lagi menempatkan Kiai Mustofa Yaqub dalam kubu moderat dari sudut manapun seperti halnya dalam isu Lady Gaga dan Irshad Manji.
Kembali lagi ke persoalan pembaruan Islam yang saya singgung di awal tulisan ini, mungkin ada harapan kebingungan seperti digambarkan di atas tidak akan terjadi seandainya sedari dulu para ulama kita mau sedikit saja menaruh hati dan mendengarkan seruan kelompok muslim progressif untuk merombak dan merumuskan ulang warisan tradisi kita yang kaya ini. Kita semua tentunya sependapat bahwa bentuk penghargaan yang baik kepada para pendahulu kita adalah bukan dengan cara 'memuseumkan' karya-karya mereka seolah sebagai barang antik yang tidak boleh disentuh. Betapapun, keberanian untuk menelaah, mengkritik, mengkaji dan meramu ulang warisan dan peninggalan mereka justru lebih berharga dan lebih memuliakan mereka.
Kendala kita satu-satunya adalah terbelenggu oleh kharismatik mereka yang begitu kuat sehingga seolah-olah tidak seorangpun boleh mengkritik atau 'mengutak-atik' karya-karya mereka jika mereka tidak memiliki kapasitas yang setara atau sebanding dengan para ulama klasik tersebut. Pertanyaannya adalah: jika tidak ada satupun muslim di muka bumi ini yang memiliki kapasitas yang sebanding dengan ulama-ulama klasik – karena yang dipentingkan saat ini adalah spesialisasi bidang tertentu, apakah lantas berarti pembaruan Islam tidak boleh dilaksanakan? Kebingungan dalam penerapan amar ma'ruf nahi munkar di alam kontemporer hanyalah salah satu akibat saja dari penolakan ajakan pembaruan Islam. Saya berani bertaruh, kebingungan-kebingungan itu akan meluas keberbagai sendi-sendi lainnya dalam kehidupan beragama di masa depan seandainya kita tetap mengabaikan atau mengacuhkan seruan untuk lebih berani melakukan pembaruan dalam Islam.
Wallahu A'lam bi al Sawwab
Kamis, 23 Mei 2013
TERBENTUKNYA DAULAH ABBASIYAH (Anomali-Anomali di Balik Peradaban Islam yang Agung)
A.Geneologi Dinasti Abbasiyah: Garis Keturunan
dan Biografi
Daulah Abbasiyah
merupakan kerajaan Islam berikutnya setelah runtuhnya daulah Banu Ummayah. Nama
daulah Abbasiyah diambil dari nama leluhur Abu al ‘Abbas al Saffah, pendiri
kerajaan ini, yaitu ‘Abbas, paman dari Nabi Muhammad dari jalur yang sama yaitu
Bani Hasyim. Berbeda dengan daulah banu ummayah, daulah ‘abbasiyah dengan
demikian memiliki garis kekeluargaan yang lebih dekat. Faktor inilah yang pada
masa itu digunakan oleh para tokoh pendiri kerajaan Islam ini sebagai
propaganda politik menurunkan kepercayaan publik kepada raja-raja bani
ummayyah.
Seperti telah
disinggung sekilas di atas, dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al ‘Abbas
Abdullah Ibn Muhammad Ibn ‘Ali Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Abbas Ibn ‘Abdul Muththalib
Ibn Hasyim. Ia dilahirkan pada tahun 108 H (688 M) di Hamimah di dekat kota
Balqa (sekitar Jordan) pada masa pemerintahan Bani Umayyah dari ibu bernama Rithoh
al Haritsah dan ayah bernama Muhammad Ibn ‘Ali. meninggal di kota al Jidari
pada bulan Dzul Hijjah tahun 136 H (716 M)[1].
Ia memerintah dinasti Abbasiyah selama kurang lebih 4 tahun, yakni dari 750-754
M.
Nama “ As Saffa
“ atau “ al-Saffa” keduanya merujuk pada orang yang sama. Julukan ini
pada mulanya bermakna positif, yakni julukan keagamaan yang bermakna “sang juru
selamat” (messianic religious tittle) yang diambil dari literature
hadits mengenai al mahdi. Dari sudut pandang ini, julukan “As Saffa” atau
“al-Saffa” bermakna “yang murah hati dan dermawan” (The Generous)
yang merupakan derivasi dari “yasfa” yang artinya “melimpahkan anugrah”
(to pour out). Namun belakangan, julukan ini menjadi berkonotasi
negatif, yakni “ orang yang suka menumpahkan darah” (The Blood Seeder)[2].
Dalam sejarah, memang al Saffah dikenal sebagai seorang khalifah yang tidak
segan-segan menggunakan kekerasan untuk mewujudkan kebijakan politiknya[3].
Al Saffa merupakan
pemuka dari suku Banu Hasyim dari Arab. Kaitan langsungnya kepada keluarga Nabi
Muhammad nantinya menjadi dasar klaim bagi Al Saffa untuk mewujudkan ambisinya
menaiki tahta kekhalifahan. Ironisnya, dalam sejarah paman nabi Abbas sendiri
tidak pernah masuk Islam atau jika menerima Islam, itu pun hanya setengah hati.
Meskipun Abu al ‘Abbas
al Saffah merupakan founding father dinasti Abbasiyah, namun saudaranyalah,
yaitu Abu Ja’far, yang menjadi tokoh pembangun (developer figure) dari
kerajaan ini. Menurut sejarawan Philip K. Hitti, seluruh khalifah dari dinasti
Abbasiyah yang berjumlah 35 orang itu berasal dari garis keturunannya[4].
Nama lengkap dari penerus al Saffah ini adalah Abu al Ja’far Abdullah Ibn ‘Ali
Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Abbas. Ia dilahirkan dari seorang wanita barbar (suku dari
Afrika) bernama Salamah pada tahun 95 H (703 M). Seperti juga al Saffah, Abu Ja’far juga
merupakan keturunan dari Abbas, paman termuda dari Nabi Muhammad. Jika
saudaranya Abu al ‘Abbas mendapat julukan “al Saffah”, maka Abu Ja’far dikenal
sebagai “al Manshur” yang berarti “orang yang ditolong”. Ia memerintah selama
kurang lebih 21 tahun, yakni dari 754 hingga 775 M[5].
Karena dinasti Abbasiyah menjadi besar dibawah pemerintahannya, maka para
sejarawan menyebut Abu Ja’far al Manshur sebagai pendiri asli kekhalifahan
Abbasiyah (the real founder of the Abbasid Chaliphate)[6].
Khalifah Abu Ja’far al
Manshur meninggal pada tahun 775 M dalam perjalanannya ke kota Mekkah untuk
menunaikan haji. Ia kemudian dikuburkan pada suatu tempat yang tidak jelas
sepanjang perjalanan tersebut bersama ratusan kuburan lain yang digali untuk
menyembunyikan mayatnya dari keluarga bani Umayah. Ia kemudian digantikan oleh
anaknya al Mahdi. Sama seperti saudaranya, Abu al ‘Abbas al Saffah, al Manshur
juga memiliki karakter yang keras dan licik. Konon, bahkan ia tidak segan-segan
membunuh sekutunya sendiri yang telah membawa keluarganya pada kekuasaan dengan
asumsi agar tidak menjadi sandungan di kemudian hari. Oleh karena itulah,
ketika ia meninggal, jasadnya disembunyikan dari orang-orang yang dendam kepada
dirinya[7].
Khalifah al Mahdi
memerintah selama 10 tahun, yakni hingga tahun 785, sebelum kemudian
dilanjutkan oleh pemerintahan singkat anak pertamanya, al Hadi, yang
berlangsung tidak lebih dari satu tahun. Anak al Mahdi lainnya, yakni Harun al
Rasyid kemudian menjadi khalifah yang terkenal sepanjang sejarah Daulah
Abbasiah.
Nama lengkap khalifah
Harun al Rasyid adalah Abu Ja’far Ibn Mahdi Muhammad Ibn Mansur Abdullah Ibn
Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abdullah Ibn ‘Abbas. Ia merupakan adik dari khalifah al
Hadi dari ibu yang sama, yakni seorang budak barbar dari Yaman bernama al
Khayzuran. Ia dilahirkan di kota Ray 17 Maret 763 M[8].
Julukan “al Rasyid” yang bermakna “yang
diberi petunjuk” (eng: Aaron the Upright), “yang adil” (Aaron the
just), “yang mendapat bimbimbangan” (the Rightly Guided) disematkan
kepadanya karena ia dikenal dengan kecerdasan, kesalihan dan kezuhudannya.
Menurut informasi al Suyuthy, konon, khalifah Harun al Rasyid melanggengkan
shalat seratus raka’at dalam sehari. Ia tidak pernah meninggalkannya kecuali ada
alasan serius. Ia juga dikenal sangat dermawan karena rajin bersedekah dari
hartanya sendiri (bukan harta kerajaan) sehari sebanyak seribu dirham. Ia juga
dikenal sebagai orang yang memiliki ketertarikan kepada ilmu dan mewajibkan
keluarganya untuk mendalami ilmu. Atas dasar kegemarannya pada ilmu inilah ia
membangun perpustakaan besar yang amat terkenal dalam sejarah, baitul hikmah. Di
masa pemerintahan Harun al Rasyid inilah kekhalifahan Abbasiyah menjadi pusat
peradaban internasional.
Pada tahun 808 M,
khalifah Harun al Rasyid pergi ke Transoxania untuk menenangkan pemborntakan
Ibn Layts. Ia kemudian menderita sakit dan kemudian meninggal dunia. Ia
dimakamkan di dekat istana Hamid Ibn Qahtabi, gubernur Khurasan. Lokasi ini
kemudia dikenal dengan nama “masyhad” yang berarti tempat orang yang mati
syahid.
Khalifah-khalifah
berikutnya keturunan Harun al Rasyid ternyata tidak sebaik ayah dan leluhurnya.
Mereka kebanyakan lebih suka berhura-hura dari pada membangun dinasti. Tiga
anak Harun al Rasyid mungkin masih bisa dihitung sebagai khalifah yang tertarik
pada ilmu pengetahuan. Khalifah al Amin, memerintah dari 809 -813 M, lahir pada
tahun 787 M dari istri khalifah Harun Zubaida. Ia meninggal karena dibunuh pada
tahun 813 M. Khalifah al Amin digantikan oleh adiknya, al Ma’mun. Khalifah al
Ma’mun dilahirkan dari ibu yang berbeda dengan khalifah al Amin, yaitu Marajil,
pada 15 september 786 M. Ia memerintah cukup lama, yakni kurang lebih 23 tahun
hingga ia meninggal di usia 46 tahun pada 9 Agustus 833 M. Ia meninggal di
Tarsus akibat minuman sari buah kurma yang diminum bersama rombongannya. Ia
kemudian digantikan oleh saudara tirinya, al Mu’tashim. Khalifah al Mu’tashim
dijuluki dengan al-Mu’tashim billah (orang yang berpegang teguh kepada Allah)
karena ia dikenal sebagai orang yang murah hati (an example of magnanimity).
Ia lahir pada 794 M dari seorang ibu budak beretnis Turki. Ia memerintah selama
kurang lebih 9 tahun, yakni dari tahun 833 M hingga 842 M hingga pada akhirnya
ia meninggal pada 5 Januari 842. Menurut al Thabari, khalifah Mu’tashim
meninggal akibat sakit yang ia derita akibat dari kelalaian tabib barunya.
Tabib lamanya meninggal lebih dulu dan tabib barunya tidak mengikuti perawatan
yang sama dengan tabib yang lama. Ia kemudian diganikan oleh anaknya, khalifah
al Watsiq.
Khalifah al Watsiq lahir pada tahun 816 M dari
seorang ibu gundik beretnis Romawi bernama Qaratis. Ia memerintah sangat
singkat yakni tidak lebih dari lima tahun (842-847). Ia meninggal pada 10
Agustus 847 M akibat flu berat yang dideritanya. Selama hidupnya, al Watsiq
dikenal sebagai penyair yang hebat dan pecinta sejati. Ia memang tidak seagamis
para pendahulunya dan dikenal senang berhura-hura. Adapun yang mengejutkan,
khalifah yang satu ini memiliki karakter yang berbeda dengan para pendahulunya.
Penelitian kontroversial sejarawan Mesir Faraj Fouda menyebut bahwa khalifah
yang satu ini memiliki tabi’at homoseksual, dan senang mengencani banyak
laki-laki[9].
Khalifah al Watshiq
digantikan oleh saudara tirinya, khalifah al Mutawakkil. Khalifah al Mutawakkil
dilahirkan dari ibu seorang Persia bernama Shuja’. Menurut Harun Nasution[10],
al Mutawakkil merupakan khalifah besar terakhir dari dinasti Abbasiyah.
Khalifah-khalifah berikutnya kurang memiliki pengaruh dan bahkan sudah sangat
lemah. Ia dilahirkan pada bulan Maret 822 M dan meninggal pada 11 Desember 861
M. Ia memerintah dinasti Abbasiah dari kota Samarra yang didirikan oleh saudara
tirinya khalifah al Watsiq guna menghindari pengaruh dari tentara turki. Ia
memerintah selama 14 tahun hingga akhir hayatnya. Berbeda dengan
khalifah-khalifah sebelumnya yang lebih dekat kepada ajaran Mu’tazilah,
khalifah al Mutawakkil lebih memilih aliran As’ariyah dan oleh karenanya ia
menghentikan tradisi kejam “mihnah” yang dilakukan oleh para pendahulunya;
yakni eksekusi untuk mereka yang memiliki mazhab yang berbeda dengan mazhab
yang dianut oleh pemerintah dan kebanyakan orang[11].
Khalifah Abbasiyah yang paling terakhir adalah
al Musta’sim yang memerintah selama enam belas tahun, yakni dari 1242-1258 M.
Ia lahir pada tahun 1213 M dan meninggal akibat kelaparan setelah tentara
Hulagu Khan, pasukan Mongol, menyerang dan meluluhlantahkan Baghdad. Khalifah
dipenjarakan di gudang bersama hartanya dan tidak diberi makan dan minum hingga
akhirnya ia meninggal.
B.
Proses Suksesi Kekuasaan Dari Bani Umayyah Ke Bani Abbasiyah: Siasat Politik,
Tragedi, dan Korupsi Penafsiran Agama
Sebagaiamana laiknya
suksesi politik di belahan dunia manapun dan kapanpun, perpindahan kekuasaan
dari dinasti Ummayah ke Bani Abbasiyah juga tidak terlepas dari intrik-intrik
dan siasat politik. Dalam prosesnya ia bukan hanya menggunakan kecerdasan dan
intrik saja, tapi juga melibatkan doktrin agama dan, bahkan, pertumpahan darah
sesama muslim. Pertikaian untuk menuju suksesi politik ini pada akhirnya
menimbulkan tragedi-tragedi sejarah dan sedikit banyak menyisakan pengaruh
dalam perkembangan pemikiran keagamaan hingga yang kita terima dan praktikan
hingga saat ini.
Dinasti Ummayah yang
sudah bobrok, kehilangan kepercayaan di mata umat muslim, dan saling serang
dari dalam satu sama lain, menjadi sasaran empuk bagi musuh-musuh dan kelompok
pemberontak yang memang sedari lama menghendaki dinasti ini hancur. Di antara
kelompok penentang itu adalah Syi’ah yang sedari awal memang sudah mengecap
dinasti ini sebagai “perebut kekuasan” ketika Mu’awiyah dan Amr Ibn ‘Ash
berbuat curang ketika tahkim dilakukan. Kelompok yang satu ini memang berjanji
untuk tidak memaafkan kesalahan Bani Umayyah yang telah berbuat zhalim kepada Ali
dan Husein. Penentangan kaum Syiah yang semakin aktif dilirik oleh keluarga
Abbas yang juga bergerak aktif.
Keluarga Abbas dengan
kecerdikannya mulai mencari dukungan dan bergabung dengan kaum Syiah. Karena
dianggap sama-sama keluarga Nabi Muhammad (ahlul bait), kaum Syiah setuju
bergabung dan keduanya dengan memanfaatkan kekecawaan publik dan menunjukkan
diri sebagai pahlawan Islam sejati tampil memimpin gerakan anti Ummayah. Mereka
mendirikan markas propaganda di sebuah desa kecil namun strategis dekat laut mati
bernamah al Mumaymah. Singkat kata, proganda berhasil disebarkan dan dukungan
berhasil dikumpulkan. Sejengkal demi sejengkal, pasukan Abbasiyah dan sekutunya
berhasil merebut kekuasaan Bani Ummayah hingga Ibu kota Damaskus jatuh pada 26
April 750[12].
Setelah berhasil
mengambil alih kekuasaan dari Banu Ummayah, dengan ditandai oleh pembaiatan
masal kepada Abu al ‘Abbas di Masjid pada tanggal 30 Oktober 749 M, Keluarga
Abbas melakukan tindakan-tindakan prevensi yang dimaksudkan untuk menetralisir
kekuatan sisa dari Banu Umayyah. Tindakan pertama yang dilakukan adalah dengan
mengejar khalifah Umayyah terakhir yang kabur dan menghabisinya dalam pelarian.
Kepalanya dipenggal dan disatukan dengan simbol khalifah untuk diserahkan
kepada Abu al ‘Abbas. Keluarga dinasti Umayyah yang tersisa dan orang-orang
yang punya hubungan dengan keluarga istana dihabisi semuanya. Sejarawan Philip.
K. Hitti dengan mengutip banyak sumber menggambarkan bagaimana proses eksekusi
ini berlangsung.
“….pada 25 Juni
750, ia mengundang 80 orang di antara mereka ke sebuah undangan makan di Abu
Futhrus, sebuah kuil kuno di sungai ‘Awja’ dekat Jaffa, kemudian menghabisi
mereka ketika jamuan sedang berlangsung. Setelah menutupi jasad-jasad yang
sudah meninggal dan sekarat, ia dan para komandannya melanjutkan jamuan makan
itu, sambil diiringi rintihan manusia yang sedang meregang nyawa…..”
Sisa-sisa keluarga
lainnya yang melarikan diri juga dikejar. Khalifah Abu al ‘Abbas menyebar
mata-mata dan agen untuk mengetahui keberadaan keluarga dan kerabat Bani
Umayyah yang tersisa dengan maksud menghabisinya agar kelak mereka tidak bisa
lagi melakukan balas dendam[13].
Karena kekejaman inilah, maka khalifah Abu al ‘Abbas dijuluki ‘Al Saffah’ si
penumpah darah. Orang-orang Syiah yang tadinya membantunya menaiki tahta singgasana
juga dibantai habis hingga tidak kuasa membrontak.
Dalam mencari dukungan,
keluarga Abbas bukan hanya mengandalkan orang Arab saja, tapi juga orang
mawali, yakni orang-orang Persia non Arab yang asalnya budak kemudian
dibebaskan dan telah masuk Islam. Berbeda dengan dinasti Umayyah, dinasti
Abbasiah mengambil kebijakan yang kontras. Jika seluruh pegawai dan pejabat
dinasti Umayyah berasal dari orang Arab, maka dinasti Abbasiyah lebih terkesan
internasional. Orang Khurasan, dan kemudian orang Turki, dijadikan pengawal
istana. Para pejabaat diambil dari beragam suku bangsa dan negara. Singkat
kata, aristokrasi Arab murni telah tergantikan dengan hirarki pejabat yang
diambil dari beragam bangsa. Karena unsur internasional ini, maka dinasti Abbasiyah menyebut diri mereka
sebagai daulah; ‘daulah ‘Abbasiyah’.
Selain menggunakan
kekuatan fisik dan kekerasan, taktik dan pencarian dukungan dari luar, proses
berdirinya dinasti Abbasiyah juga disokong oleh pemanfaatan doktrin agama yang
ditujukan untuk menggiring opini dan ketaatan publik untuk tujuan politik
semata. Menurut sejarawan Philip. K. Hitti, para khalifah ‘Abbasiyah sebagian
besarnya – untuk tidak menyebut seluruhnya –
bukanlah tipe orang-orang yang taat beragama, tidak jauh berbeda dengan
para khalifah Ummayah yang sekuler. Sebaliknya, agaknya mereka tahu betul
bagaimana memanfaatkan religiusitas umat untuk mendulang dukungan dan
kepatuhan.
Pertama-tama, mereka
bangkit menentang tatanan yang ada dan memoles image mereka sebagai pembela
agama yang menawarkan gagasan teokrasi, dan janji untuk kembali kepada tatanan
ortodoksi – propaganda kembali kepada al Qur’an dan Sunnah Nabi. Dengan
memanfaatkan para ulama dan pakar hukum yang bisa diajak bekerjasama, mereka
sedari awal telah menyebar doktrin bahwa kekuasaan selamanya harus dipegang
oleh orang Abbasiyah hingga akhirnya diserahkan kepada ‘Isa sang juru selamat
di hari akhir nanti. Setelah doktrin ini berhasil disosialisasikan dan diterima
oleh kebanyakan masyarakat awam, kemudian dibangun doktrin teologi baru bahwa
jika kekhalifahan ini runtuh maka seluruh dunia akan kacau dan kiamat akan
dating.
Untuk melegitimasi
kekuasaan mereka, melalui bantuan para ulama fikih, para khalifah Abbasiyah
membangun tafsiran ayat-ayat waris setelah disesuaikan dengan kepentingan
mereka dari satu sisi, dan pada kehendak dan pilihan Allah dari sisi yang lain.
Jika Dinasti Ummayyah membuat konsep qada’ dan qadar sebagai doktrin legitimasi
kekuasaannya, maka dinasti Abbasiyah membuka pintu jabariyyah yang memandang
bahwa adanya al mahkum (rakyat yang dikuasai/diperintah) dan al hakim (raja
yang berkuasa/memerintah) merupakan kepastian karena udah ditakdirkan oleh
Allah sejak jaman azali. Doktrin ini diperkuat dengan propaganda lainnya yakni
bahwa khalifah merupakan “zhillullah fi al arld” (bayang-bayang Allah di muka
bumi) yang tidak boleh ditentang dan dilawan.
Para ulama fikih
membantu para penguasa dan turut menyebarkan faham bahwa para khalifah
‘Abbasiyah berbuat, memberi atau menghalangi sesuatu atas kehendak Allah dengan
memandang bahwa dirinya adalah pengganti nabi an tergolong ahl al bayt
(keluarga nabi) yang Allah berkehendak menghilangkan kotoran dari mereka dan
mensucikan mereka, sebagaimana tertulis dalam al Qur’an. Bukan hanya kepada
Bani Ummayyah, kepada rival mereka dari Banu Thalib (kaum syiah) yang tadinya
merupakan sekutunya, Abbasiyah juga menggunakan dalil-dalil agama untuk
mendapatkan kekuatan politik. Mereka dengan meminta bantuan dari para ahli
tafsir dan ilmu fikih menantang orang-orang Syiah dengan mengatakan bahwa dalam
kitab suci al Qur’an, Allah menjadikan paman lebih baik dari pada anak
perempuan, karena paman bisa menjadi ‘Ashabah dan wali dalam urusan keluarga[14].
Ringkasnya, daulah ‘Abbasiyah yang monumental
itu tidak berdiri secara sederhana. Sama seperti dinasti-dinasti lain di luar
Islam pada masanya, dinasti ‘Abbasiyah juga dibangun di atas tumpahan darah
manusia, kelicikan, dan mengalihfungsikan agama sebagai alat untuk mendulang
dukungan dan kepatuhan masyarakat awam. Selain itu, sebagaimana normalnya
banyak sistem kekuasaan yang telah berdiri kuat dan stabil, daulah ‘Abbasiyah
juga tidak terhindar dari gaya hidup permissive dan hedonis. Namun demikian,
tidak berarti semua kekuarangan tersebut menutup mata kita dari kelebihan dan
prestasi yang berhasil di cetak oleh para pemimpin dinasti tersebut seperti
yang akan kita bicarakan sebentar lagi.
C. Prestasi dan Keunggulan Daulah
‘Abbasiyah: Antara Kerja Keras, Kemewahan dan Hedonisme
Rekaman sejarah menjadi saksi bagaimana masa
keemasan Islam yang sering dielu-elukan orang itu merupakan hasil kerja keras
masyarakat yang hidup di bawah kekuasan para khalifah ‘Abbasiyah. Harun
Nasution[15]
menyebut Baghdad, ibu kota pemerintahan dinasti tersebut, sebagai pusat
peradaban dunia pada masanya. Mungkin tidak terlalu berlebihan rasanya jika
kita menyetarakan Baghdad dengan Hollywood, Paris, atau London pada masa
sekarang[16].
Kota Baghdad pada masa itu bukanlah seperti kota Madinah atau Mekkah di Jazirah
Arab pada masa Nabi Muhammad sebagai kota yang dihuni oleh kumpulan orang-orang
beriman. Sama seperti kota-kota tersebut pada masa sekarang, potret kota
Baghdad pada masa itu adalah kota maju yang dihuni oleh mayarakat yang suka
bekerja keras dan berkreasi di satu sisi, namun sebagai kompensasinya mereka
condong kepada hidup yang sekuler, mewah, dan bahkan hedonis. Begitu pula
gambaran kota-kota besar di wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah pada masa itu.
Jadi, tidak benar anggapan orang yang menyangka bahwa masa keemasan Islam
diperoleh sebagai anugerah dari Allah kepada orang-orang yang bertakwa dan
patuh pada ajaran agama.
Pertama,
dari segi pembangunan, Baghdad didirikan oleh khalifah kedua Ja’far al Manshur[17].
Ia melihat Baghdad sebagai lokasi yang strategis untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas
negara seperti militer, ekonomi dan cuacanya. Namun belakangan, kota ini
berkembang pesat dan menjadi pusat peradaban dunia. Khalifah Ja’far menyebut
kota ini sebagai “Madinat al Salam” (the city of peace) yang
merujuk pada gambaran surga pada QS VI: 127, dan QS X: 26[18].
Di dalamnya ditemukan bangunan-bangunan
megah dan jalan-jalan lebar untuk transportasi. Di setiap sudut kota dibangun
tempat perbelanjaan dan pemandian umum (hamam) dengan setiap kamar mandi
terdapat saluaran air dingin dan air panas. Fenomena kemegahan ini juga dapat
disaksikan dikota-kota besar selain Baghdad pada masa itu seperti Kufah dan
Basrah, Khurasan, Ray dan Thus. Untuk menyokong kemajuan ilmiah, khalifah
membangun lembaga-lembaga penelitian dan perpustakaan-perpustakaan besar yang
diisi oleh ribuan buku yang diterjemahkan dari berbagai macam bahasa[19].
Kedua,
dari gaya hidup, melimpahnya kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi mendorong
lahirnya gaya hidup baru dikalangan mayarakat Abbasiyah, dari model berbusana,
kendaraan, makan minum hingga pelampiasan hasrat seksual. Para wanita
bermewah-mewah dengan mengenakan ikat kepala dari permata dan kaum pria
memenuhi lemari pakaian dengan bahan dari sutera[20].
Barang-barang rumah tangga dipenuhi dengan gerabah yang disepuh dengan emas dan
perak. Sejarawan Philip.K.Hitti[21]
dengan mengutip berbagai sumber berbahasa Arab melukiskan bagaimana pesta dan
perkumpulan-perkumpulan yang menyajikan arak lazim ditemukan saat itu. Mungkin
tidak berlebihan jika kita membandingkan dengan apa yang kita kenal dengan
“gaya hidup Barat” saat ini, ternyata ia sudah lebih dulu dipraktikan oleh
orang-orang Islam pada masa daulah Abbasiah. Sama seperti halnya kehidupan di
Barat pada masa sekarang, ajaran agama tetaplah dihormati, namun keinginan
untuk menikmati kehidupan memang tidak bisa dibendung.
Melimpahnya budak
akibat kemenangan perang dan perluasan wilayah kekuasaan memicu gaya hidup
seksual yang juga bermewah-mewah. Fenomena hadiah-menghadiahi budak menjadi
tradisi yang dianggap wajar pada masa itu. Adapun yang mengejutkan, di samping
memiliki empat istri, para pejabat dan orang terpandang pada masa daulah
‘Abbasiyah memiliki ratusan bahkan ribuan selir perempuan yang disebut “jawari”.
Kala itu juga dibangun lembaga “harem”, yaitu kaputren yang dihuni oleh budak
laki-laki muda berkulit putih tampan yang dikebiri. Mereka disebut “ghilman”
yang berarti “pria tak berjanggut”. Tugas mereka adalah memberi kesenangan
seksual pada tuan-tuan mereka. Konon, para penyair terkenal seperti Abu Nuwas
dengan tidak malu-malu mengungkapkan syair-syair cinta yang digubah atas
suruhan para tuan tersebut dan ditujukan kepada “sang kekasih” para ghilmannya[22].
Ketiga, dari segi kemajuan ekonomi dan
intelektual, masyarakat daulah ‘Abbasiyah memang dikenal sebagai masyarakat
professional, kreatif dan pekerja keras. Sama seperti masyarakat di
negara-negara maju modern pada saat ini, konon, mereka tidak mau berhenti
beristirahat jika satu pekerjaan yang ada ditangan mereka belum terselesaikan.
Mereka baru mau beristirahan ketika di tengah-tengah peralihan dari selesai
satu pekerjaan dan beralih kepekerjaan berikutnya. Mungkin kerja keras dan
ketekunan inilah yang membawa mereka untuk menuntut kesenangan hidup yang lebih
sebagai kompensasi kerja keras yang telah mereka lakukan[23].
Ekspor dan impor
mengalir deras bak air sungai pegunungan di musim hujan. Kerjasama perdagangan
dan industri dijalin dengan berbagai negara di timur seperti India dan timur
jauh (Cina, asia pasifik) dan Barat (Romawi). Kemajuan ekonomi juga ditunjang
oleh suksesnya perkembangan dalam bidang agraris. Para arsitek yang kreatif di
masa itu berhasil merancang suatu sistem pengairan yang menyebabkan panen
melimpah ruah. Di samping itu, dalam bidang pendidikan dan intelektual, lahir
banyak para pemikir, ahli, dan ilmuwan yang kemudian menjadi ikon pengetahuan
sepanjang masa, bukan hanya di dunia Islam, tapi juga di dunia Barat.
Para khalifah
memanfaatkan banyak ahli, dan merekrut bukan hanya orang Islam, tapi juga
orang-orang non muslim untuk menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa
Arab. Dalam bidang kedokteran, para khalifah memberi kemudahan rakyatnya untuk
membangun apotek, sekolah-sekolah farmasi, dan menyokong buku-buku tentang
pengobatan, dan pendirian laboratorium. Keilmuan dalam bidang filsafat, teologi
dan hukum Islam juga berkembang pesat pada masa ini. Hanya saja, tidak seperti
pengetahuan eksak, perkembangan jenis keilmuan yang terakhir disebut ini juga
menggiring kepada lahirnya sekte-sekte yang berujung pada disintegrasi dan
belakangan menjadi salah satu faktor runtuhnya daulah ‘Abbasiyah yang luar
biasa itu[24].
D. Kesimpulan
Seperti telah diuraikan
di atas, dapat dilihat betapa kejayaan peradaban Islam pada puncaknya itu
tidaklah sesuci dan sesalih yang disangka banyak orang. Mengutip Faraj Fouda[25],
sejarah pada hakikatnya adalah das sein (yang senyatanya) dari das solen (yang
diidealkan). Kejayaan sebuah peradaban tidaklah cukup dengan kesalihan dalam
arti sempit saja, lebih dari itu, kerja keras, inovasi dan kreatifitas menjadi
suatu yang mutlak diadakan. Apa yang terjadi di Barat sekarang ini, ada
kemiripan dengan yang proses berdirinya daulah Abbasiah. Unsur-unsur yang
terdapat di dalam peradaban Barat, secara umum dapat kita temukan pula dalam
peradaban masa daulah Abbasiah seperti masyarakat professional, kreatifitas,
kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Menurut pakar peradaban Marshal Hodgson[26],
unsur-unsur tersebutlah yang menentukan suatu peradaban maju atau tidaknya.
Meskipun harus diakui
bahwa eksekusi terhadap keyakinan yang berbeda (mihnah) pernah diberlakukan
dalam sejarah Islam, namun ia tidak lebih dari siasat politik untuk mematahkan
lawan-lawan dan menjaga integrasi daulah. Sebagai buktinya, ribuan keyakinan
dan sekte-sekte dari yang moderat hingga yang ekstrim tetap bisa hidup di masa
daulah ‘Abbasiyah[27].
Ini ada kemiripan dengan apa yang kita temukan pada masyarakat Barat. Di dunia
Barat sekarang ini kita bisa menyaksikan betapa sekte-sekte dan aliran agama
hidup dengan aman dan berkembang di dalamnya; hal yang tidak mungkin ditemukan
pada masyarakat muslim saat ini. Anomali-anomali yang ditemukan pada masa
daulah Abbasiyah, di mana peradaban Islam mencapai kejayaannya, merupakan suatu
harga yang harus dibayar dari prestasi dan keberhasilan yang diperoleh.
Wallahu A’lam Bissawab
[1] Abu al Fadl Abd al Rahman
Ibn Abu Bakar al Suyuthy, Tarikh al Khulafa, (Mauqi al Warraq), h. 101.
Sumber lain mengatakan ia lahir pada tahun 721 M dan meninggal pada 9 Juni 754
M.
[2] Robin Doak, The Great
Empire of The Past: The Empire of Islamic World, (New York: Fact on File,
2005), h. 39
[3] Pada pidato pengukuhannya,
Abu al Abbas menyebut nama “al Saffah” untuk menjuluki dirinya. Katanya “…..wa
qod zidtukum fi a’thoyathikum miata dirhamin fasta’iddu fa ana al saffah…”.
Lihat Ibn Jarir al Thabari, Tarikh al Thabari, (Mauqi’ al Ya’sub), Juz 6, h.
82.
[4] Philip K. HItti, History
of The Arabs, penerjemah Cecep
Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2010), h. 360.
[5] Lihat al Suyuthi, op.cit,
h. 106.
[6] Dimitri Gutas, Greek Thought,
Arabic Culure: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and early
Abbasaid Society, (UK: Routlege, 2012), h. 29
[7] Harun Nasution, Islam
di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2005), Cet. Kedua, h.
65.
[8] Juan E. Campo, Encyclopedia
of Islam, (New York: Fact on File, 2009), h. 293. Para sejarawan berbeda
pendapat tentang tanggal pasti dilahirkannya khalifah al Rasyid. Dari berbagai
sumber diketahui bahwa ia lahir antara tahun 763 hingga 766 M. Lihat al
Suyuthy, Op.cit, h. 116.
[9] Baca Faraj Fouda, al
Haqiqah al Ghaibah, (Kairo: Dar al Fikr, 1988), Cet. Ketiga, h. 127.
[10] Baca Harun Nasution, Op.Cit,
h. 64
[11] Mengenai Mihnah, silahkan
baca Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Kelima, h. 63
[12] Hammady Sahily, Suqutu al Daulah al
Umawiyyah wa Qiyamu al Daulah al ‘Abbasiyah, (Beirut: Dar al Ghorb al
Islamy 1995), Cet. Pertama, h. 149
[13] Robin Doak, Great
Empire of The Past: Empire of The Islamic World, (New York: Facts on File,
2005), h. 40
[14] Maksudnya warisan dinasti
Banu Abbasiyah yang diperoleh dari leluhur mereka Abbas, yakni paman nabi,
lebih legitimate dibandingkan dari warisan yang seharusnya didapat dari kaum
Syiah keturunan ‘Ali dan Fatimah. Jadi, menurut penafsiran fikih versi Banu Abbas,
meskipun orang Syi’ah mendapat legitimasi dari anak nabi, tapi Fatimah
perempuan. Dan sebagai perempuan, Fatimah tidak lebih legitimate daripada
‘Abbas paman nabi. Silahkan baca, Muhammad Shahrour, Nahw al Ushul al
Jadidah li al Fiqh al Islamy: Fiqh al Mar’ah, (Damaskus: al Ahaly, 2000),
Cet. Kedelapan, h. 172
[15] Lihat Harun Nasution, Islam
ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Op.Cit, h. 64
[16] Baca juga, Sayyed Hosein
Nasr, Islam Religion History and Civilization, (New York: Harper Collin,
2003), h. 121
[17] Sayyed Hosein Nasr, Op.Cit,
p. 120
[18] Lihat A.A Duri, Baghdad,
dalam C. Edmund Bosworth,ed., Historic Cities of the Islamic World, (Leiden: Brill Publishing, 2007), h. 45
[19] Nabilah Hasan Muhammad, Tarikh
al Daulah al ‘Abbasiyah, (Alexandria: Dar al Ma’rifah al Jama’iyyah, 1993),
h. 224
[20] Ibid
[21] Philip K. Hitti, Op.Cit,
h. 421
[22] Baca Philip K. Hitti, Op.Cit, h. 426.
Faraj Fouda, Op.Cit, h. 109
[23] Nabilah Hasan Muhammad, Op.Cit,
h. 293
[24] Robin Doak, Op.Cit,
h. 42
[25] Faraj Fouda, Op.Cit,
h. 13
[26] Lihat Marshal
G.S.Hodgson, The Venture of Islam: Classical Age, (Chicago: The
University of Chicago Press, 1974), h. 357
[27] Catatan mengenai sejarah
sekte-sekte dan aliran kepercayaan yang eksis pada masa daulah Abbasiyah bisa
dirujuk di buku al Milal wa al Nihal. Silahkan rujuk Muhammad Ibn Abd al Karim
Ibn Ahmad al Syahrastany, al Milal wa al Nihal, (Mauqi’ al Warraq, al
Maktabah al Syamilah)
Langganan:
Postingan (Atom)