Kamis, 23 Mei 2013

Pengkultusan Tradisi dan Pertengkaran Amar-Ma'ruf Nahi Munkar di Ruang Publik

Prio Hotman, MA

Sejak awal mula diisukan, gerakan-gerakan pemikir muslim progressif, yang mana Jaringan Islam Liberal termasuk di dalamnya, telah berjuang setengah mati untuk mengajak umat muslim khususnya di Indonesia agar merombak (dekonstruksi) kembali warisan tradisi mereka dari masa lampau. Perombakan ini dilakukan semata-mata bukan karena mereka tidak lagi menghargai tradisi atau tidak mau memberikan tempat bagi tradisi di alam kontemporer, tapi justru karena mereka amat menghargai tradisi dan tidak menghendaki ia menghilang begitu saja bak debu yang berterbangan. Untuk bisa survive di alam kontemporer, tentu saja, tradisi mesti melakukan banyak penyesuaian-penyesuaian. Penyesuaian tersebut mesti dilakukan dengan melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) yang berani, melampaui tulisan-tulisan dan kharisma yang dikultuskan. Meminjam istilah Luthfi Assaukanie, proyek rejuvenasi atau peremajaan Islam (tradisi Islam) mesti dijalankan melalui pembaruan (reformation) dan bukan melalui pengulangan (restatement). Dengan kata lain, merujuk tradisi seharusnya dijadikan jalan untuk penelaahan, dan bukan hanya sebatas mengkutip pendapat-pendapat dari masa lampau saja. Namun begitu, seruan kelompok muslim progressif untuk memperbarui tradisi Islam rupa-rupanya tidak mendapat respon positif dari khalayak. Ironisnya, yang ada niat tulus ini malah seringkali disimpangsiurkan menjadi fitnah-fitnah keji yang tak terperikan. Saya melihat desakan perkembangan sosial dan politik kontemporer agar umat beragama melakukan penyesuaian terhadap doktrin dan tradisi masa lalu pada akhirnya memicu terbentuknya kepribadian ganda (split personality) pada diri mereka. Di satu sisi mereka tidak berdaya untuk melepaskan diri dari belenggu dan jeratan tradisi. Di sisi yang lain, ada hasrat dan kebutuhan yang kuat untuk mempertahankan agama agar tetap sejalan dan compatible dengan perkembangan terkini umat manusia. Meskipun pertentangan demikian ini sudah lama dan sering kita simak dalam perdebatan wacana keislaman (khususnya wilayah fiqih), namun saya tidak pernah menyaksikan pertentangan yang kelihatan begitu nyata seperti pertengkaran ulama-ulama kita terkait amar ma'ruf nahi munkar yang kita saksikan belum lama ini ketika kontroversi kedatangan aktifis gender Irshad Manji dan Lady Gaga marak ditayangkan di berbagai media masa. Pertama-tama, saya ingin menyinggung soal amar ma'ruf nahi munkar terlebih dahulu. Sekalipun bukan bagian dari rukun iman dan rukun Islam, bagi umat muslim, doktrin amar ma'ruf nahi munkar dipandang sebagai jantung yang memompa ruh kehidupan bagi komunitas masyarakat muslim. Tanpa amar ma'ruf nahi munkar, umat muslim sebagai suatu komunitas masyarakat akan lenyap eksistensinya. Demikian, karena ada satu doktrin yang diambil baik dari kitab suci al Qur'an maupun hadist nabi yang menyatakan secara umum bahwa Islam bukanlah agama individualis. Maksudnya, kesalehan individu dalam Islam tidak akan bernilai seandainya belum diterjemahkan menjadi kesalehan sosial. Untuk itu, dalam tradisi amar ma'ruf nahi munkar, umat muslim disuruh ambil bagian untuk mensalehkan sekaligus mereduksi kemaksiatan dari ruang publik. Mereka percaya dampak kesalehan dan kemaksiatan di ruang publik akan berimbas bukan hanya pada pelakunya saja, tapi juga pada mereka yang berada di sekitarnya. Dengan penilaian yang sedemikian penting itu, maka sangat wajar jika dalam literatur-litaratur fikih tradisional para ulama tidak lupa meletakkan satu bahasan tersendiri dalam bagian interaksi sosial (mu'amalah) terkait amar ma'ruf nahi munkar ini. Hanya saja, seperti halnya kesulitan dalam soal lain yang dihadapi umat muslim ketika menghadapi benturan antara ketentuan hukum agama dan perkembangan kontemporer, mereka juga menghadapi kesulitan serupa dalam soal implementasi amar ma'ruf nahi munkar ketika lebih dari separuh bangunan doktrin ini berbenturan dengan realitas sosial dan politik kontemporer yang lebih egalitarian, terbuka dan demokratis. Karena seruan kelompok muslim progressif untuk merejuvenasi hukum-hukum tradisional diabaikan dan disia-siakan, maka konsensus dan rumusan yang baik untuk mengimplementasikan amar ma'ruf nahi munkar tanpa harus mencederai semangat atau sejalan dengan perkembangan sosial dan politik kontemporer menjadi belum terwujudkan. Hasilnya langsung dapat ditebak: pertengkaran ulama di ruang publik. Menariknya, berbeda dengan masa lalu di mana polemik para ulama hanya menghiasi lembaran-lembaran akademisi dan sangat terbatas aksesnya, saat ini pertengkaran tersebut justru dipertontonkan di ruang publik dan dapat diakses rekamannya oleh masyarakat awam dari berbagai media masa. Respon-respon dan komentarpun bertebaran di mana-mana, menjurus kepada propaganda yang kurang sehat dan tidak mendidik. Dalam salah satu versi 'pertengkaran' terkait amar ma'ruf nahi munkar yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta belum lama ini, imam besar Masjid Istiqlal KH. Mustofa Ali Yaqub menohok lawannya, yaitu Habib Salim Al Jufri dari kubu FPI, dengan menyodorkan argumentasi amar ma'ruf nahi munkar yang menurutnya lebih bersahabat. Dengan mengutip tiga literatur kitab kuning, yakni Ihya 'Ulum al Din karangan al Ghazali, Siyasah Syar'iyyah karangan Ibn Taimiah, dan Usul al Da'wah tulisan Abdul Karim Zaida, Kiai Yaqub bersikukuh bahwa amar ma'ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan dengan memunculkan kemunkaran baru. Jelasnya, amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukan dengan jalan kekerasan sebetulnya juga kemunkaran baru yang menurut beliau tidak sejalan dengan semangat amar ma'ruf nahi munkar yang benar. Di kubu lawan, Habib Al Jufri yang jamak dikenal dengan Habib Selon mencoba menangkis serangan Kiai Yaqub dengan berargumen bahwa kendatipun keterangan itu benar, namun perlu diperhatikan juga bahwa amar ma'ruf nahi munkar mewajibkan institusi hisbah. Sayangnya, sang Habib tidak cukup cerdas untuk membeberkan bahwa argumennya itu juga dimuat dalam ketiga kitab yang sama. Saya hanya heran, entah apakah pak Kiai tidak tahu atau sengaja tidak menghiraukan bahwa ketiga ulama di atas dengan tegas menyatakan dalam tulisannya itu bahwa dalam urusan amar ma'ruf nahi munkar, negara harus intervensi dalam wujud institusi hisbah (hisbah adalah institusi resmi yang dibentuk oleh kekhalifahan pada masa dinasti Islam dan diberi wewenang untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar dengan menugaskan sejumlah pekerja sipil yang disebut muhtasib. Tugas muhtasib adalah sebagai polisi moral – yang saat ini ada kemiripan dengan para aktifis ormas Islam garis keras – dan bertanggung jawab mengawasi serta mengkriminalkan setiap tindak tanduk warga negara yang bertentangan dengan ajaran agama). Namun begitu saya ingin tetap berhusnuzhan terhadap beliau. Dalam posisi ini, saya sependapat dengan Habib Selon dan memohon dengan kerendahan hati saya kepada Kiai Mustafa Yaqub agar berkenan kembali menelaah masalah hisbah ini dalam tiga literatur tersebut (Ihya 'Ulum al Din Juz 2 hlm. 308; al Siyasah al Syar'iyyah, hlm. 168; dan Usul al Da'wah hlm. 174). Al Ghazali dalam Ihya bahkan menempatkan hisbah sebagai rukun pertama dalam amar ma'ruf nahi munkar. Selain itu, sebagaimana Ibn Taimiyah yang terang-terangan menyebut amar ma'ruf nahi munkar tidak bisa ditegakkan tanpa unsur militerisme (al quwwah) dan intervensi negara (imârah), Abdul Karim Zaidan juga mengkategorikan pendirian institusi hisbah sebagai suatu kemutlakan bagi pemerintah (hlm. 175). Meskipun saya sependapat dengan kiai Mustafa Yaqub dalam hal amar ma'ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan dengan menggunakan cara-cara anarkis dan menimbulkan kemunkaran baru, tapi kita juga mesti mempertanyakan konsistensi beliau terkait pendapat ulama-ulama yang dikutipnya tersebut. Seperti telah saya singgung di atas, saya amat menyayangkan bahwa kebanyakan ulama kita saat ini merujuk literatur-literatur tradisi hanya sebatas kutipan saja, dan bukan untuk di telaah. Akibatnya langsung dapat diterka: di satu sisi kubu pro hisbah yang diwakili Habib Selon bingung karena akan sangat beresiko (tidak mungkin?) memaksa negara untuk turut campur dalam masalah amar ma'ruf munkar dan membangun institusi hisbah untuk era kita sekarang ini. Di sisi lain kubu moderat yang diwakili Kiai Mustofa Yaqub juga bingung karena rujukan mereka terhadap tradisi tidak konsisten dan tidak lagi relevan. Inilah gambaran fenomena yang ingin saya suguhkan kepada pembaca terkait pertengkaran ulama kita di ruang publik dalam hal amar ma'ruf nahi mungkar. Dua kubu yang bertengkar sama-sama bingungnya. Jika kita menelusuri lebih jauh respon-respon masyarakat terkait pertengkaran ini di media masa, terutama media online, kita akan menemukan betapa kubu pro hisbah – begitu saya mengistilahkannya – menyindir keras kubu moderat sebagai 'ulama su' penjilat' (sebutan ironik dari masa klasik islam yang ditujukan untuk kelompok ulama oportunis yang mendekati pemerintah dengan jalan yang tidak terpuji dan tidak komitmen dengan ajaran agama). Dalam beberapa segi, saya menilai kritik kubu pro hisbah ini ada benarnya. Kita belum lupa bagaimana Kiai Mustofa Yaqub dan rekan-rekan ulamanya dari MUI beramai-ramai mengkroyok umat muslim penganut 'mazhab Ahmadiah' dan mendesak pemerintah agar mereka dibubarkan dengan dalil yang sama: amar ma'ruf nahi munkar. Terkait isu yang tersebut terakhir ini, kita tidak bisa lagi menempatkan Kiai Mustofa Yaqub dalam kubu moderat dari sudut manapun seperti halnya dalam isu Lady Gaga dan Irshad Manji. Kembali lagi ke persoalan pembaruan Islam yang saya singgung di awal tulisan ini, mungkin ada harapan kebingungan seperti digambarkan di atas tidak akan terjadi seandainya sedari dulu para ulama kita mau sedikit saja menaruh hati dan mendengarkan seruan kelompok muslim progressif untuk merombak dan merumuskan ulang warisan tradisi kita yang kaya ini. Kita semua tentunya sependapat bahwa bentuk penghargaan yang baik kepada para pendahulu kita adalah bukan dengan cara 'memuseumkan' karya-karya mereka seolah sebagai barang antik yang tidak boleh disentuh. Betapapun, keberanian untuk menelaah, mengkritik, mengkaji dan meramu ulang warisan dan peninggalan mereka justru lebih berharga dan lebih memuliakan mereka. Kendala kita satu-satunya adalah terbelenggu oleh kharismatik mereka yang begitu kuat sehingga seolah-olah tidak seorangpun boleh mengkritik atau 'mengutak-atik' karya-karya mereka jika mereka tidak memiliki kapasitas yang setara atau sebanding dengan para ulama klasik tersebut. Pertanyaannya adalah: jika tidak ada satupun muslim di muka bumi ini yang memiliki kapasitas yang sebanding dengan ulama-ulama klasik – karena yang dipentingkan saat ini adalah spesialisasi bidang tertentu, apakah lantas berarti pembaruan Islam tidak boleh dilaksanakan? Kebingungan dalam penerapan amar ma'ruf nahi munkar di alam kontemporer hanyalah salah satu akibat saja dari penolakan ajakan pembaruan Islam. Saya berani bertaruh, kebingungan-kebingungan itu akan meluas keberbagai sendi-sendi lainnya dalam kehidupan beragama di masa depan seandainya kita tetap mengabaikan atau mengacuhkan seruan untuk lebih berani melakukan pembaruan dalam Islam. Wallahu A'lam bi al Sawwab

TERBENTUKNYA DAULAH ABBASIYAH (Anomali-Anomali di Balik Peradaban Islam yang Agung)


A.Geneologi Dinasti Abbasiyah: Garis Keturunan dan Biografi
Daulah Abbasiyah merupakan kerajaan Islam berikutnya setelah runtuhnya daulah Banu Ummayah. Nama daulah Abbasiyah diambil dari nama leluhur Abu al ‘Abbas al Saffah, pendiri kerajaan ini, yaitu ‘Abbas, paman dari Nabi Muhammad dari jalur yang sama yaitu Bani Hasyim. Berbeda dengan daulah banu ummayah, daulah ‘abbasiyah dengan demikian memiliki garis kekeluargaan yang lebih dekat. Faktor inilah yang pada masa itu digunakan oleh para tokoh pendiri kerajaan Islam ini sebagai propaganda politik menurunkan kepercayaan publik kepada raja-raja bani ummayyah.
Seperti telah disinggung sekilas di atas, dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al ‘Abbas Abdullah Ibn Muhammad Ibn ‘Ali Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Abbas Ibn ‘Abdul Muththalib Ibn Hasyim. Ia dilahirkan pada tahun 108 H (688 M) di Hamimah di dekat kota Balqa (sekitar Jordan) pada masa pemerintahan Bani Umayyah dari ibu bernama Rithoh al Haritsah dan ayah bernama Muhammad Ibn ‘Ali. meninggal di kota al Jidari pada bulan Dzul Hijjah tahun 136 H (716 M)[1]. Ia memerintah dinasti Abbasiyah selama kurang lebih 4 tahun, yakni dari 750-754 M.
Nama “ As Saffa “ atau “ al-Saffa” keduanya merujuk pada orang yang sama. Julukan ini pada mulanya bermakna positif, yakni julukan keagamaan yang bermakna “sang juru selamat” (messianic religious tittle) yang diambil dari literature hadits mengenai al mahdi. Dari sudut pandang ini, julukan “As Saffa” atau “al-Saffa” bermakna “yang murah hati dan dermawan” (The Generous) yang merupakan derivasi dari “yasfa” yang artinya “melimpahkan anugrah” (to pour out). Namun belakangan, julukan ini menjadi berkonotasi negatif, yakni “ orang yang suka menumpahkan darah” (The Blood Seeder)[2]. Dalam sejarah, memang al Saffah dikenal sebagai seorang khalifah yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mewujudkan kebijakan politiknya[3].
Al Saffa merupakan pemuka dari suku Banu Hasyim dari Arab. Kaitan langsungnya kepada keluarga Nabi Muhammad nantinya menjadi dasar klaim bagi Al Saffa untuk mewujudkan ambisinya menaiki tahta kekhalifahan. Ironisnya, dalam sejarah paman nabi Abbas sendiri tidak pernah masuk Islam atau jika menerima Islam, itu pun hanya setengah hati.
Meskipun Abu al ‘Abbas al Saffah merupakan founding father dinasti Abbasiyah, namun saudaranyalah, yaitu Abu Ja’far, yang menjadi tokoh pembangun (developer figure) dari kerajaan ini. Menurut sejarawan Philip K. Hitti, seluruh khalifah dari dinasti Abbasiyah yang berjumlah 35 orang itu berasal dari garis keturunannya[4]. Nama lengkap dari penerus al Saffah ini adalah Abu al Ja’far Abdullah Ibn ‘Ali Ibn ‘Abdullah Ibn ‘Abbas. Ia dilahirkan dari seorang wanita barbar (suku dari Afrika) bernama Salamah pada tahun 95 H (703 M).  Seperti juga al Saffah, Abu Ja’far juga merupakan keturunan dari Abbas, paman termuda dari Nabi Muhammad. Jika saudaranya Abu al ‘Abbas mendapat julukan “al Saffah”, maka Abu Ja’far dikenal sebagai “al Manshur” yang berarti “orang yang ditolong”. Ia memerintah selama kurang lebih 21 tahun, yakni dari 754 hingga 775 M[5]. Karena dinasti Abbasiyah menjadi besar dibawah pemerintahannya, maka para sejarawan menyebut Abu Ja’far al Manshur sebagai pendiri asli kekhalifahan Abbasiyah (the real founder of the Abbasid Chaliphate)[6].
Khalifah Abu Ja’far al Manshur meninggal pada tahun 775 M dalam perjalanannya ke kota Mekkah untuk menunaikan haji. Ia kemudian dikuburkan pada suatu tempat yang tidak jelas sepanjang perjalanan tersebut bersama ratusan kuburan lain yang digali untuk menyembunyikan mayatnya dari keluarga bani Umayah. Ia kemudian digantikan oleh anaknya al Mahdi. Sama seperti saudaranya, Abu al ‘Abbas al Saffah, al Manshur juga memiliki karakter yang keras dan licik. Konon, bahkan ia tidak segan-segan membunuh sekutunya sendiri yang telah membawa keluarganya pada kekuasaan dengan asumsi agar tidak menjadi sandungan di kemudian hari. Oleh karena itulah, ketika ia meninggal, jasadnya disembunyikan dari orang-orang yang dendam kepada dirinya[7].
Khalifah al Mahdi memerintah selama 10 tahun, yakni hingga tahun 785, sebelum kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan singkat anak pertamanya, al Hadi, yang berlangsung tidak lebih dari satu tahun. Anak al Mahdi lainnya, yakni Harun al Rasyid kemudian menjadi khalifah yang terkenal sepanjang sejarah Daulah Abbasiah.
Nama lengkap khalifah Harun al Rasyid adalah Abu Ja’far Ibn Mahdi Muhammad Ibn Mansur Abdullah Ibn Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abdullah Ibn ‘Abbas. Ia merupakan adik dari khalifah al Hadi dari ibu yang sama, yakni seorang budak barbar dari Yaman bernama al Khayzuran. Ia dilahirkan di kota Ray 17 Maret 763 M[8].  Julukan “al Rasyid” yang bermakna “yang diberi petunjuk” (eng: Aaron the Upright), “yang adil” (Aaron the just), “yang mendapat bimbimbangan” (the Rightly Guided) disematkan kepadanya karena ia dikenal dengan kecerdasan, kesalihan dan kezuhudannya. Menurut informasi al Suyuthy, konon, khalifah Harun al Rasyid melanggengkan shalat seratus raka’at dalam sehari. Ia tidak pernah meninggalkannya kecuali ada alasan serius. Ia juga dikenal sangat dermawan karena rajin bersedekah dari hartanya sendiri (bukan harta kerajaan) sehari sebanyak seribu dirham. Ia juga dikenal sebagai orang yang memiliki ketertarikan kepada ilmu dan mewajibkan keluarganya untuk mendalami ilmu. Atas dasar kegemarannya pada ilmu inilah ia membangun perpustakaan besar yang amat terkenal dalam sejarah, baitul hikmah. Di masa pemerintahan Harun al Rasyid inilah kekhalifahan Abbasiyah menjadi pusat peradaban internasional.
Pada tahun 808 M, khalifah Harun al Rasyid pergi ke Transoxania untuk menenangkan pemborntakan Ibn Layts. Ia kemudian menderita sakit dan kemudian meninggal dunia. Ia dimakamkan di dekat istana Hamid Ibn Qahtabi, gubernur Khurasan. Lokasi ini kemudia dikenal dengan nama “masyhad” yang berarti tempat orang yang mati syahid.
Khalifah-khalifah berikutnya keturunan Harun al Rasyid ternyata tidak sebaik ayah dan leluhurnya. Mereka kebanyakan lebih suka berhura-hura dari pada membangun dinasti. Tiga anak Harun al Rasyid mungkin masih bisa dihitung sebagai khalifah yang tertarik pada ilmu pengetahuan. Khalifah al Amin, memerintah dari 809 -813 M, lahir pada tahun 787 M dari istri khalifah Harun Zubaida. Ia meninggal karena dibunuh pada tahun 813 M. Khalifah al Amin digantikan oleh adiknya, al Ma’mun. Khalifah al Ma’mun dilahirkan dari ibu yang berbeda dengan khalifah al Amin, yaitu Marajil, pada 15 september 786 M. Ia memerintah cukup lama, yakni kurang lebih 23 tahun hingga ia meninggal di usia 46 tahun pada 9 Agustus 833 M. Ia meninggal di Tarsus akibat minuman sari buah kurma yang diminum bersama rombongannya. Ia kemudian digantikan oleh saudara tirinya, al Mu’tashim. Khalifah al Mu’tashim dijuluki dengan al-Mu’tashim billah (orang yang berpegang teguh kepada Allah) karena ia dikenal sebagai orang yang murah hati (an example of magnanimity). Ia lahir pada 794 M dari seorang ibu budak beretnis Turki. Ia memerintah selama kurang lebih 9 tahun, yakni dari tahun 833 M hingga 842 M hingga pada akhirnya ia meninggal pada 5 Januari 842. Menurut al Thabari, khalifah Mu’tashim meninggal akibat sakit yang ia derita akibat dari kelalaian tabib barunya. Tabib lamanya meninggal lebih dulu dan tabib barunya tidak mengikuti perawatan yang sama dengan tabib yang lama. Ia kemudian diganikan oleh anaknya, khalifah al Watsiq.
 Khalifah al Watsiq lahir pada tahun 816 M dari seorang ibu gundik beretnis Romawi bernama Qaratis. Ia memerintah sangat singkat yakni tidak lebih dari lima tahun (842-847). Ia meninggal pada 10 Agustus 847 M akibat flu berat yang dideritanya. Selama hidupnya, al Watsiq dikenal sebagai penyair yang hebat dan pecinta sejati. Ia memang tidak seagamis para pendahulunya dan dikenal senang berhura-hura. Adapun yang mengejutkan, khalifah yang satu ini memiliki karakter yang berbeda dengan para pendahulunya. Penelitian kontroversial sejarawan Mesir Faraj Fouda menyebut bahwa khalifah yang satu ini memiliki tabi’at homoseksual, dan senang mengencani banyak laki-laki[9].
Khalifah al Watshiq digantikan oleh saudara tirinya, khalifah al Mutawakkil. Khalifah al Mutawakkil dilahirkan dari ibu seorang Persia bernama Shuja’. Menurut Harun Nasution[10], al Mutawakkil merupakan khalifah besar terakhir dari dinasti Abbasiyah. Khalifah-khalifah berikutnya kurang memiliki pengaruh dan bahkan sudah sangat lemah. Ia dilahirkan pada bulan Maret 822 M dan meninggal pada 11 Desember 861 M. Ia memerintah dinasti Abbasiah dari kota Samarra yang didirikan oleh saudara tirinya khalifah al Watsiq guna menghindari pengaruh dari tentara turki. Ia memerintah selama 14 tahun hingga akhir hayatnya. Berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya yang lebih dekat kepada ajaran Mu’tazilah, khalifah al Mutawakkil lebih memilih aliran As’ariyah dan oleh karenanya ia menghentikan tradisi kejam “mihnah” yang dilakukan oleh para pendahulunya; yakni eksekusi untuk mereka yang memiliki mazhab yang berbeda dengan mazhab yang dianut oleh pemerintah dan kebanyakan orang[11].
 Khalifah Abbasiyah yang paling terakhir adalah al Musta’sim yang memerintah selama enam belas tahun, yakni dari 1242-1258 M. Ia lahir pada tahun 1213 M dan meninggal akibat kelaparan setelah tentara Hulagu Khan, pasukan Mongol, menyerang dan meluluhlantahkan Baghdad. Khalifah dipenjarakan di gudang bersama hartanya dan tidak diberi makan dan minum hingga akhirnya ia meninggal.





B. Proses Suksesi Kekuasaan Dari Bani Umayyah Ke Bani Abbasiyah: Siasat Politik, Tragedi, dan Korupsi Penafsiran Agama

Sebagaiamana laiknya suksesi politik di belahan dunia manapun dan kapanpun, perpindahan kekuasaan dari dinasti Ummayah ke Bani Abbasiyah juga tidak terlepas dari intrik-intrik dan siasat politik. Dalam prosesnya ia bukan hanya menggunakan kecerdasan dan intrik saja, tapi juga melibatkan doktrin agama dan, bahkan, pertumpahan darah sesama muslim. Pertikaian untuk menuju suksesi politik ini pada akhirnya menimbulkan tragedi-tragedi sejarah dan sedikit banyak menyisakan pengaruh dalam perkembangan pemikiran keagamaan hingga yang kita terima dan praktikan hingga saat ini.
Dinasti Ummayah yang sudah bobrok, kehilangan kepercayaan di mata umat muslim, dan saling serang dari dalam satu sama lain, menjadi sasaran empuk bagi musuh-musuh dan kelompok pemberontak yang memang sedari lama menghendaki dinasti ini hancur. Di antara kelompok penentang itu adalah Syi’ah yang sedari awal memang sudah mengecap dinasti ini sebagai “perebut kekuasan” ketika Mu’awiyah dan Amr Ibn ‘Ash berbuat curang ketika tahkim dilakukan. Kelompok yang satu ini memang berjanji untuk tidak memaafkan kesalahan Bani Umayyah yang telah berbuat zhalim kepada Ali dan Husein. Penentangan kaum Syiah yang semakin aktif dilirik oleh keluarga Abbas yang juga bergerak aktif.
Keluarga Abbas dengan kecerdikannya mulai mencari dukungan dan bergabung dengan kaum Syiah. Karena dianggap sama-sama keluarga Nabi Muhammad (ahlul bait), kaum Syiah setuju bergabung dan keduanya dengan memanfaatkan kekecawaan publik dan menunjukkan diri sebagai pahlawan Islam sejati tampil memimpin gerakan anti Ummayah. Mereka mendirikan markas propaganda di sebuah desa kecil namun strategis dekat laut mati bernamah al Mumaymah. Singkat kata, proganda berhasil disebarkan dan dukungan berhasil dikumpulkan. Sejengkal demi sejengkal, pasukan Abbasiyah dan sekutunya berhasil merebut kekuasaan Bani Ummayah hingga Ibu kota Damaskus jatuh pada 26 April 750[12].
Setelah berhasil mengambil alih kekuasaan dari Banu Ummayah, dengan ditandai oleh pembaiatan masal kepada Abu al ‘Abbas di Masjid pada tanggal 30 Oktober 749 M, Keluarga Abbas melakukan tindakan-tindakan prevensi yang dimaksudkan untuk menetralisir kekuatan sisa dari Banu Umayyah. Tindakan pertama yang dilakukan adalah dengan mengejar khalifah Umayyah terakhir yang kabur dan menghabisinya dalam pelarian. Kepalanya dipenggal dan disatukan dengan simbol khalifah untuk diserahkan kepada Abu al ‘Abbas. Keluarga dinasti Umayyah yang tersisa dan orang-orang yang punya hubungan dengan keluarga istana dihabisi semuanya. Sejarawan Philip. K. Hitti dengan mengutip banyak sumber menggambarkan bagaimana proses eksekusi ini berlangsung.
“….pada 25 Juni 750, ia mengundang 80 orang di antara mereka ke sebuah undangan makan di Abu Futhrus, sebuah kuil kuno di sungai ‘Awja’ dekat Jaffa, kemudian menghabisi mereka ketika jamuan sedang berlangsung. Setelah menutupi jasad-jasad yang sudah meninggal dan sekarat, ia dan para komandannya melanjutkan jamuan makan itu, sambil diiringi rintihan manusia yang sedang meregang nyawa…..”


Sisa-sisa keluarga lainnya yang melarikan diri juga dikejar. Khalifah Abu al ‘Abbas menyebar mata-mata dan agen untuk mengetahui keberadaan keluarga dan kerabat Bani Umayyah yang tersisa dengan maksud menghabisinya agar kelak mereka tidak bisa lagi melakukan balas dendam[13]. Karena kekejaman inilah, maka khalifah Abu al ‘Abbas dijuluki ‘Al Saffah’ si penumpah darah. Orang-orang Syiah yang tadinya membantunya menaiki tahta singgasana juga dibantai habis hingga tidak kuasa membrontak.
Dalam mencari dukungan, keluarga Abbas bukan hanya mengandalkan orang Arab saja, tapi juga orang mawali, yakni orang-orang Persia non Arab yang asalnya budak kemudian dibebaskan dan telah masuk Islam. Berbeda dengan dinasti Umayyah, dinasti Abbasiah mengambil kebijakan yang kontras. Jika seluruh pegawai dan pejabat dinasti Umayyah berasal dari orang Arab, maka dinasti Abbasiyah lebih terkesan internasional. Orang Khurasan, dan kemudian orang Turki, dijadikan pengawal istana. Para pejabaat diambil dari beragam suku bangsa dan negara. Singkat kata, aristokrasi Arab murni telah tergantikan dengan hirarki pejabat yang diambil dari beragam bangsa. Karena unsur internasional ini,  maka dinasti Abbasiyah menyebut diri mereka sebagai daulah; ‘daulah ‘Abbasiyah’.
Selain menggunakan kekuatan fisik dan kekerasan, taktik dan pencarian dukungan dari luar, proses berdirinya dinasti Abbasiyah juga disokong oleh pemanfaatan doktrin agama yang ditujukan untuk menggiring opini dan ketaatan publik untuk tujuan politik semata. Menurut sejarawan Philip. K. Hitti, para khalifah ‘Abbasiyah sebagian besarnya – untuk tidak menyebut seluruhnya –  bukanlah tipe orang-orang yang taat beragama, tidak jauh berbeda dengan para khalifah Ummayah yang sekuler. Sebaliknya, agaknya mereka tahu betul bagaimana memanfaatkan religiusitas umat untuk mendulang dukungan dan kepatuhan.
Pertama-tama, mereka bangkit menentang tatanan yang ada dan memoles image mereka sebagai pembela agama yang menawarkan gagasan teokrasi, dan janji untuk kembali kepada tatanan ortodoksi – propaganda kembali kepada al Qur’an dan Sunnah Nabi. Dengan memanfaatkan para ulama dan pakar hukum yang bisa diajak bekerjasama, mereka sedari awal telah menyebar doktrin bahwa kekuasaan selamanya harus dipegang oleh orang Abbasiyah hingga akhirnya diserahkan kepada ‘Isa sang juru selamat di hari akhir nanti. Setelah doktrin ini berhasil disosialisasikan dan diterima oleh kebanyakan masyarakat awam, kemudian dibangun doktrin teologi baru bahwa jika kekhalifahan ini runtuh maka seluruh dunia akan kacau dan kiamat akan dating.
Untuk melegitimasi kekuasaan mereka, melalui bantuan para ulama fikih, para khalifah Abbasiyah membangun tafsiran ayat-ayat waris setelah disesuaikan dengan kepentingan mereka dari satu sisi, dan pada kehendak dan pilihan Allah dari sisi yang lain. Jika Dinasti Ummayyah membuat konsep qada’ dan qadar sebagai doktrin legitimasi kekuasaannya, maka dinasti Abbasiyah membuka pintu jabariyyah yang memandang bahwa adanya al mahkum (rakyat yang dikuasai/diperintah) dan al hakim (raja yang berkuasa/memerintah) merupakan kepastian karena udah ditakdirkan oleh Allah sejak jaman azali. Doktrin ini diperkuat dengan propaganda lainnya yakni bahwa khalifah merupakan “zhillullah fi al arld” (bayang-bayang Allah di muka bumi) yang tidak boleh ditentang dan dilawan.
Para ulama fikih membantu para penguasa dan turut menyebarkan faham bahwa para khalifah ‘Abbasiyah berbuat, memberi atau menghalangi sesuatu atas kehendak Allah dengan memandang bahwa dirinya adalah pengganti nabi an tergolong ahl al bayt (keluarga nabi) yang Allah berkehendak menghilangkan kotoran dari mereka dan mensucikan mereka, sebagaimana tertulis dalam al Qur’an. Bukan hanya kepada Bani Ummayyah, kepada rival mereka dari Banu Thalib (kaum syiah) yang tadinya merupakan sekutunya, Abbasiyah juga menggunakan dalil-dalil agama untuk mendapatkan kekuatan politik. Mereka dengan meminta bantuan dari para ahli tafsir dan ilmu fikih menantang orang-orang Syiah dengan mengatakan bahwa dalam kitab suci al Qur’an, Allah menjadikan paman lebih baik dari pada anak perempuan, karena paman bisa menjadi ‘Ashabah dan wali dalam urusan keluarga[14].  
 Ringkasnya, daulah ‘Abbasiyah yang monumental itu tidak berdiri secara sederhana. Sama seperti dinasti-dinasti lain di luar Islam pada masanya, dinasti ‘Abbasiyah juga dibangun di atas tumpahan darah manusia, kelicikan, dan mengalihfungsikan agama sebagai alat untuk mendulang dukungan dan kepatuhan masyarakat awam. Selain itu, sebagaimana normalnya banyak sistem kekuasaan yang telah berdiri kuat dan stabil, daulah ‘Abbasiyah juga tidak terhindar dari gaya hidup permissive dan hedonis. Namun demikian, tidak berarti semua kekuarangan tersebut menutup mata kita dari kelebihan dan prestasi yang berhasil di cetak oleh para pemimpin dinasti tersebut seperti yang akan kita bicarakan sebentar lagi.


C. Prestasi dan Keunggulan Daulah ‘Abbasiyah: Antara Kerja Keras, Kemewahan dan Hedonisme
 Rekaman sejarah menjadi saksi bagaimana masa keemasan Islam yang sering dielu-elukan orang itu merupakan hasil kerja keras masyarakat yang hidup di bawah kekuasan para khalifah ‘Abbasiyah. Harun Nasution[15] menyebut Baghdad, ibu kota pemerintahan dinasti tersebut, sebagai pusat peradaban dunia pada masanya. Mungkin tidak terlalu berlebihan rasanya jika kita menyetarakan Baghdad dengan Hollywood, Paris, atau London pada masa sekarang[16]. Kota Baghdad pada masa itu bukanlah seperti kota Madinah atau Mekkah di Jazirah Arab pada masa Nabi Muhammad sebagai kota yang dihuni oleh kumpulan orang-orang beriman. Sama seperti kota-kota tersebut pada masa sekarang, potret kota Baghdad pada masa itu adalah kota maju yang dihuni oleh mayarakat yang suka bekerja keras dan berkreasi di satu sisi, namun sebagai kompensasinya mereka condong kepada hidup yang sekuler, mewah, dan bahkan hedonis. Begitu pula gambaran kota-kota besar di wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah pada masa itu. Jadi, tidak benar anggapan orang yang menyangka bahwa masa keemasan Islam diperoleh sebagai anugerah dari Allah kepada orang-orang yang bertakwa dan patuh pada ajaran agama.
Pertama, dari segi pembangunan, Baghdad didirikan oleh khalifah kedua Ja’far al Manshur[17]. Ia melihat Baghdad sebagai lokasi yang strategis untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas negara seperti militer, ekonomi dan cuacanya. Namun belakangan, kota ini berkembang pesat dan menjadi pusat peradaban dunia. Khalifah Ja’far menyebut kota ini sebagai “Madinat al Salam” (the city of peace) yang merujuk pada gambaran surga pada QS VI: 127, dan QS X: 26[18].  Di dalamnya ditemukan bangunan-bangunan megah dan jalan-jalan lebar untuk transportasi. Di setiap sudut kota dibangun tempat perbelanjaan dan pemandian umum (hamam) dengan setiap kamar mandi terdapat saluaran air dingin dan air panas. Fenomena kemegahan ini juga dapat disaksikan dikota-kota besar selain Baghdad pada masa itu seperti Kufah dan Basrah, Khurasan, Ray dan Thus. Untuk menyokong kemajuan ilmiah, khalifah membangun lembaga-lembaga penelitian dan perpustakaan-perpustakaan besar yang diisi oleh ribuan buku yang diterjemahkan dari berbagai macam bahasa[19].
Kedua, dari gaya hidup, melimpahnya kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi mendorong lahirnya gaya hidup baru dikalangan mayarakat Abbasiyah, dari model berbusana, kendaraan, makan minum hingga pelampiasan hasrat seksual. Para wanita bermewah-mewah dengan mengenakan ikat kepala dari permata dan kaum pria memenuhi lemari pakaian dengan bahan dari sutera[20]. Barang-barang rumah tangga dipenuhi dengan gerabah yang disepuh dengan emas dan perak. Sejarawan Philip.K.Hitti[21] dengan mengutip berbagai sumber berbahasa Arab melukiskan bagaimana pesta dan perkumpulan-perkumpulan yang menyajikan arak lazim ditemukan saat itu. Mungkin tidak berlebihan jika kita membandingkan dengan apa yang kita kenal dengan “gaya hidup Barat” saat ini, ternyata ia sudah lebih dulu dipraktikan oleh orang-orang Islam pada masa daulah Abbasiah. Sama seperti halnya kehidupan di Barat pada masa sekarang, ajaran agama tetaplah dihormati, namun keinginan untuk menikmati kehidupan memang tidak bisa dibendung.  
Melimpahnya budak akibat kemenangan perang dan perluasan wilayah kekuasaan memicu gaya hidup seksual yang juga bermewah-mewah. Fenomena hadiah-menghadiahi budak menjadi tradisi yang dianggap wajar pada masa itu. Adapun yang mengejutkan, di samping memiliki empat istri, para pejabat dan orang terpandang pada masa daulah ‘Abbasiyah memiliki ratusan bahkan ribuan selir perempuan yang disebut “jawari”. Kala itu juga dibangun lembaga “harem”, yaitu kaputren yang dihuni oleh budak laki-laki muda berkulit putih tampan yang dikebiri. Mereka disebut “ghilman” yang berarti “pria tak berjanggut”. Tugas mereka adalah memberi kesenangan seksual pada tuan-tuan mereka. Konon, para penyair terkenal seperti Abu Nuwas dengan tidak malu-malu mengungkapkan syair-syair cinta yang digubah atas suruhan para tuan tersebut dan ditujukan kepada “sang kekasih” para ghilmannya[22].
  Ketiga, dari segi kemajuan ekonomi dan intelektual, masyarakat daulah ‘Abbasiyah memang dikenal sebagai masyarakat professional, kreatif dan pekerja keras. Sama seperti masyarakat di negara-negara maju modern pada saat ini, konon, mereka tidak mau berhenti beristirahat jika satu pekerjaan yang ada ditangan mereka belum terselesaikan. Mereka baru mau beristirahan ketika di tengah-tengah peralihan dari selesai satu pekerjaan dan beralih kepekerjaan berikutnya. Mungkin kerja keras dan ketekunan inilah yang membawa mereka untuk menuntut kesenangan hidup yang lebih sebagai kompensasi kerja keras yang telah mereka lakukan[23].
Ekspor dan impor mengalir deras bak air sungai pegunungan di musim hujan. Kerjasama perdagangan dan industri dijalin dengan berbagai negara di timur seperti India dan timur jauh (Cina, asia pasifik) dan Barat (Romawi). Kemajuan ekonomi juga ditunjang oleh suksesnya perkembangan dalam bidang agraris. Para arsitek yang kreatif di masa itu berhasil merancang suatu sistem pengairan yang menyebabkan panen melimpah ruah. Di samping itu, dalam bidang pendidikan dan intelektual, lahir banyak para pemikir, ahli, dan ilmuwan yang kemudian menjadi ikon pengetahuan sepanjang masa, bukan hanya di dunia Islam, tapi juga di dunia Barat.
Para khalifah memanfaatkan banyak ahli, dan merekrut bukan hanya orang Islam, tapi juga orang-orang non muslim untuk menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Dalam bidang kedokteran, para khalifah memberi kemudahan rakyatnya untuk membangun apotek, sekolah-sekolah farmasi, dan menyokong buku-buku tentang pengobatan, dan pendirian laboratorium. Keilmuan dalam bidang filsafat, teologi dan hukum Islam juga berkembang pesat pada masa ini. Hanya saja, tidak seperti pengetahuan eksak, perkembangan jenis keilmuan yang terakhir disebut ini juga menggiring kepada lahirnya sekte-sekte yang berujung pada disintegrasi dan belakangan menjadi salah satu faktor runtuhnya daulah ‘Abbasiyah yang luar biasa itu[24].
D. Kesimpulan

Seperti telah diuraikan di atas, dapat dilihat betapa kejayaan peradaban Islam pada puncaknya itu tidaklah sesuci dan sesalih yang disangka banyak orang. Mengutip Faraj Fouda[25], sejarah pada hakikatnya adalah das sein (yang senyatanya) dari das solen (yang diidealkan). Kejayaan sebuah peradaban tidaklah cukup dengan kesalihan dalam arti sempit saja, lebih dari itu, kerja keras, inovasi dan kreatifitas menjadi suatu yang mutlak diadakan. Apa yang terjadi di Barat sekarang ini, ada kemiripan dengan yang proses berdirinya daulah Abbasiah. Unsur-unsur yang terdapat di dalam peradaban Barat, secara umum dapat kita temukan pula dalam peradaban masa daulah Abbasiah seperti masyarakat professional, kreatifitas, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Menurut pakar peradaban Marshal Hodgson[26], unsur-unsur tersebutlah yang menentukan suatu peradaban maju atau tidaknya.
Meskipun harus diakui bahwa eksekusi terhadap keyakinan yang berbeda (mihnah) pernah diberlakukan dalam sejarah Islam, namun ia tidak lebih dari siasat politik untuk mematahkan lawan-lawan dan menjaga integrasi daulah. Sebagai buktinya, ribuan keyakinan dan sekte-sekte dari yang moderat hingga yang ekstrim tetap bisa hidup di masa daulah ‘Abbasiyah[27]. Ini ada kemiripan dengan apa yang kita temukan pada masyarakat Barat. Di dunia Barat sekarang ini kita bisa menyaksikan betapa sekte-sekte dan aliran agama hidup dengan aman dan berkembang di dalamnya; hal yang tidak mungkin ditemukan pada masyarakat muslim saat ini. Anomali-anomali yang ditemukan pada masa daulah Abbasiyah, di mana peradaban Islam mencapai kejayaannya, merupakan suatu harga yang harus dibayar dari prestasi dan keberhasilan yang diperoleh.

Wallahu A’lam Bissawab


[1] Abu al Fadl Abd al Rahman Ibn Abu Bakar al Suyuthy, Tarikh al Khulafa, (Mauqi al Warraq), h. 101. Sumber lain mengatakan ia lahir pada tahun 721 M dan meninggal pada 9 Juni 754 M.
[2] Robin Doak, The Great Empire of The Past: The Empire of Islamic World, (New York: Fact on File, 2005), h. 39
[3] Pada pidato pengukuhannya, Abu al Abbas menyebut nama “al Saffah” untuk menjuluki dirinya. Katanya “…..wa qod zidtukum fi a’thoyathikum miata dirhamin fasta’iddu fa ana al saffah…”. Lihat Ibn Jarir al Thabari, Tarikh al Thabari, (Mauqi’ al Ya’sub), Juz 6, h. 82. 
[4] Philip K. HItti, History of The Arabs,  penerjemah Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2010), h. 360.
[5] Lihat al Suyuthi, op.cit, h. 106.
[6] Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culure: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and early Abbasaid Society, (UK: Routlege, 2012), h. 29
[7] Harun Nasution, Islam di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2005), Cet. Kedua, h. 65.
[8] Juan E. Campo, Encyclopedia of Islam, (New York: Fact on File, 2009), h. 293. Para sejarawan berbeda pendapat tentang tanggal pasti dilahirkannya khalifah al Rasyid. Dari berbagai sumber diketahui bahwa ia lahir antara tahun 763 hingga 766 M. Lihat al Suyuthy, Op.cit, h. 116. 
[9] Baca Faraj Fouda, al Haqiqah al Ghaibah, (Kairo: Dar al Fikr, 1988), Cet. Ketiga, h. 127. 
[10] Baca Harun Nasution, Op.Cit, h. 64
[11] Mengenai Mihnah, silahkan baca Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Kelima, h. 63
[12]  Hammady Sahily, Suqutu al Daulah al Umawiyyah wa Qiyamu al Daulah al ‘Abbasiyah, (Beirut: Dar al Ghorb al Islamy 1995), Cet. Pertama, h. 149
[13] Robin Doak, Great Empire of The Past: Empire of The Islamic World, (New York: Facts on File, 2005), h. 40
[14] Maksudnya warisan dinasti Banu Abbasiyah yang diperoleh dari leluhur mereka Abbas, yakni paman nabi, lebih legitimate dibandingkan dari warisan yang seharusnya didapat dari kaum Syiah keturunan ‘Ali dan Fatimah. Jadi, menurut penafsiran fikih versi Banu Abbas, meskipun orang Syi’ah mendapat legitimasi dari anak nabi, tapi Fatimah perempuan. Dan sebagai perempuan, Fatimah tidak lebih legitimate daripada ‘Abbas paman nabi. Silahkan baca, Muhammad Shahrour, Nahw al Ushul al Jadidah li al Fiqh al Islamy: Fiqh al Mar’ah, (Damaskus: al Ahaly, 2000), Cet. Kedelapan, h. 172
[15] Lihat Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Op.Cit, h. 64
[16] Baca juga, Sayyed Hosein Nasr, Islam Religion History and Civilization, (New York: Harper Collin, 2003), h. 121
[17] Sayyed Hosein Nasr, Op.Cit, p. 120
[18] Lihat A.A Duri, Baghdad, dalam C. Edmund Bosworth,ed., Historic Cities of the Islamic World,  (Leiden: Brill Publishing, 2007), h. 45
[19] Nabilah Hasan Muhammad, Tarikh al Daulah al ‘Abbasiyah, (Alexandria: Dar al Ma’rifah al Jama’iyyah, 1993), h. 224
[20] Ibid
[21] Philip K. Hitti, Op.Cit, h. 421
[22]  Baca Philip K. Hitti, Op.Cit, h. 426. Faraj Fouda, Op.Cit, h. 109
[23] Nabilah Hasan Muhammad, Op.Cit, h. 293
[24] Robin Doak, Op.Cit, h. 42
[25] Faraj Fouda, Op.Cit, h. 13
[26] Lihat Marshal G.S.Hodgson, The Venture of Islam: Classical Age, (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), h. 357
[27] Catatan mengenai sejarah sekte-sekte dan aliran kepercayaan yang eksis pada masa daulah Abbasiyah bisa dirujuk di buku al Milal wa al Nihal. Silahkan rujuk Muhammad Ibn Abd al Karim Ibn Ahmad al Syahrastany, al Milal wa al Nihal, (Mauqi’ al Warraq, al Maktabah al Syamilah)