Senin, 16 Januari 2012

Islam Tidak Menyuruh Bermazhab Secara Kaffah

Prio Hotman

"…ketahuilah, dalam Islam, pada prinsipnya segala sesuatu yang menyulitkan harus dihindari. Sebab, semua hal yang menyulitkan itu pasti membebani dan membelenggu kita. Karena itulah, ketentuan hukum Islam harus dibuat semudah mungkin. Sebab, pada hakekatnya Nabi kita diutus untuk membawa ketentuan yang murah, mudah, dan toleran"
Demikian komentar Fakhruddin al Razi dalam tafsirnya ketika mengomentari ayat 157 QS al A'raf (lihat Tafsir al Kabir, ayat 157). Islam diturunkan kepada kita, kata al Razi, dengan ketentuan hukum yang lebih mudah ketimbang syariat umat-umat terdahulu. Agar beragama mejadi tertib, ketentuan hukum memang perlu dibuat, tetapi ketentuan hukum yang rigid dan tertutup, tidak bisa merepresentasikan tujuan beragama secara utuh, dan karena itu mesti ditinjau ulang. Dalam era globalisasi sekarang ini di mana kelompok-kelompok mazhab dalam Islam dipaksa untuk bertemu dan berdialog, memaksa umat untuk bermazhab secara kaffah dinilai sebagai tindakan arbitrer dan bertentangan dengan semangat pembebasan. Bermazhab secara kaffah adalah penyebab "taghlîl" dalam berislam.
Term taghlîl di turunkan dari QS al A'raf 157 seperti disebut di atas (wa yadla'u 'anhum israhum wa al aghlal…). Taghlîl dalam tinjauan gramatikal arab adalah isim mashdar dari kata kerja ghallala-yughallilu, maknanya mengekang atau membelenggu (to trammel). Agama selain bisa membebaskan, juga bisa menjadi belenggu yang membuat penganutnya tidak bebas, sulit berkreatifitas dan berekspresi. Taghlîl adalah suatu sikap menyekat atau mengucilkan agama dalam satu sudut perspektif atau penafsiran tertentu . Dalam penyekatan ini, seorang menjadi terbelenggu dan tidak bebas.Taghlîl dalam beragama bisa terjadi jika agama dipahami secara rigid dan ekslusive, bukan hanya dalam tataran lintas agama, tapi juga lintas mazhab dalam agama itu sendiri. Ketika taghlîl terjadi, penyekatan identitas dan intoleransi beragama akan dianggap lumrah. Dalam dosis yang terlampau tinggi, taghlîl dalam perkembangan berikutnya bisa meningkat menjadi kekerasan beragama (religious violence) seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini.
Sejarah menunjukkan kepada kita, betapa taghlîl telah menimbulkan banyak ekses-ekses negative bagi kebebasan beragama dan peradaban. Kisah tentang persaingan dua mazhab, syafi'I dan hanafi, sebagaimana dituturkan oleh Sulayman Asyqar (Asyqar, 1982: 172) dalam buku Tarikh al Fiqh al Islamy (sejarah yurisprudensi Islam) berikut adalah contoh yang sangat baik melukiskan ini.
Konon, ada seorang raja/sultan yang baru masuk Islam dan kemudian hendak menentukan mazhab apa yang mau dia anut. Untuk menarik raja ini masuk ke dalam mazhabnya, seorang ulama bernama al Marzawi dari mazhab Syafi'I menggunakan cara licik dengan cara mendemonstrasikan dua shalat menurut masing-masing mazhab di depan sang raja, tentunya dengan tidak proporsional. Pertama-tama dia mendemonstrasikan shalat dengan seapik-apiknya menurut mazhab syafi'i , kemudian ia lanjut mendemonstrasikan shalat dengan menunjukkan kekurangan-kekurangan seperti terdapat mazhab hanafi. Walaupun memang kenyataannya seperti itu, dengan cara demikian ini tentulah sipelaku tidak memiliki etika atau I'tikad baik dalam memandang mazhab orang lain. Sebaliknya, orang-orang mazhab hanafi menganggap penganut syafi'I sebagai non muslim karena membolehkan berkata " aku beriman insha Allah". Lebih parah lagi, mereka dilarang menikah dengan orang yang berada di luar mazhab.
Bagi orang-orang hanafi, urusan akidah adalah masalah yang fundamental. Ia harus didasarkan pada kepastian. Kata-kata Insha Allah dalam pengakuan iman, berarti mencederai prinsip akidah Islam. Soal sesat menyesatkan demikian, mirip kita temui, sebagai contoh, pada kasus Ahmadiah sekarang ini. Bandingkan misalnya dengan mereka yang menyesatkan kelompok Ahmadiah dengan alasan urusan kenabian adalah masalah keimanan yang fundamental dan final. Meyakini nabi lagi setelah nabi Muhammad SAW berarti merusak keimanan seseorang dan karenanya ia telah keluar dari Islam.
Fenomena taghlîl bukan hanya terjadi masa lalu, dalam era kontemporer di mana demokrasi telah dijadikan ukuran sebuah bangsa yang beradab, taghlîl justru berkembang bukan hanya sebatas intoleransi beragama, lebih dari itu bermetamorphosa menjadi kekerasan (violence). Anehnya, sikap demikian ini justru ditumbuh-suburkan oleh mereka yang berada di lembaga-lembaga pemerintah, sebut saja seperti MUI, kementrian yang terlibat dalam pengesahan SKB tiga menteri, dan pemerintah daerah yang memasukkan perda-perda syariah di wilayah masing-masing. Ditambah lagi dengan ceramah-ceramah provokatif murahan yang kita bisa jumpai pada setiap even keagamaan, budaya taghlîl memperdalam jurang pemisah baik, antar maupun intern umat beragama. Kekerasan-kerasan bermotif keagamaan yang terjadi dalam satu dekade kebelakang bisa dirujuk sebagai manifestasi dari budaya taghlîl yang melanda negeri kita.
Entah sedari kapan mulanya, tiba-tiba budaya taghlîl telah berurat berakar di negeri ini. Di level akar rumput, budaya taghlîl disuburkan oleh para pemuka agama yang konservatif dengan meng-indoktrinasi umat agar beragama secara homogen. Yang lebih menyedihkan, sekolah sebagai sarana publik juga dijadikan jalan untuk menyuburkan budaya taghlîl ini. Kita bisa menemukan ini dalam pola pengajaran agama di sekolah-sekolah yang amat bias mazhab. Dengan kondisi demikian, maka amat wajar jika problem fanatisme dan kekerasan selalu menjadi momok bagi kehidupan keberagamaan di negeri ini.
Budaya taghlîl hanya bisa dilawan dengan budaya samhah yang secara diksi diterjemahkan sebagai budaya toleran dan terbuka (inklusif). Istilah ini diderivasi dari hadist nabi " innî bu'itstu bi al hanîfiyyah al samhah"/aku diutus dengan membawa risalah yang lapang dan toleran. Karena mengandaikan keterbukaan dan kelapangan, budaya samhah tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan melibatkan apa yang dalam istilah fiqih disebut "talfîq". Istilah yang begitu popular dan kontroversial dalam kajian yurisprudensi Islam ini, secara sederhana bisa dimaknai sebagai praktik keberagamaan dalam Islam yang menggabungkan beberapa pendapat ulama mazhab dalam satu masalah hukum tertentu.
Pandangan konvensional menilai talfiq dengan kacamata negatif. Mereka menjustifikasi amalan yang dilakukan dengan mencampuradukkan pendapat-pendapat mazhab yang berbeda sebagai tidak absah. Ini bisa dipahami, sebab mereka adalah orang-orang yang memuja keteraturan dan keseragaman (homogeneity). Mereka khawatir, jikalau talfiq diperbolehkan, maka orang akan menjadi gemampang atau semena-mena dalam menjalankan ketentuan agama (al inhilâl min al takâlif al syar'iyyah).
Persoalannya, kenapa logikanya tidak dibalik menjadi: bukankah umat justru jadi lebih peduli kepada kewajiban-kewajiban agama bila ketentuannya dipermudah? Bukankah kemudahan adalah prinsip dasar risalah Islam? Jika yang jadi persoalan adalah masalah tanggung jawab, bukankah akan lebih baik jika umat dicerdaskan melalui sosialisasi pendapat mazhab yang bermacam-macam itu? dan bukannya malah menyekat-nyekat mazhab sambil memagari umat dari informasi di luar mazhab yang dianutnya. Lihatlah para sahabat dan tabi'in yang tidak terepotkan dengan segala pernak-pernik fikih dan larangan talfiq ini. Begitu bebas mereka menjalani agama, dan di sisi lain mereka menjadi pribadi-pribadi yang bertanggung jawab dan berwawasan luas, tidak picik tetapi toleran.
Adalah sikap yang amat paradoks, seperti kita saksikan belakangan ini, di mana para ulama menyuruh umat untuk bertoleransi dan menjaga ukhuah Islam, sementara di sisi lain mereka tetap mengecam prilaku talfiq sambil menebarkan budaya taghlîl di mana-mana. Seharusnya mazhab Islam yang bermacam-macam itu justru diperkenalkan kepada umat sebagai alternatif dan bukti kelapangan ajaran Islam seperti disabdakan oleh sang Nabi.
Dengan menerima talfiq sebagai jalan menuju budaya samhah, kehidupan intern keberagamaan yang plural di negeri ini bisa dipererat. Penerimaan talfiq ini bisa diperluas lagi untuk konteks kehidupan antar umat beragama, bukan hanya antar mazhab dalam Islam (talfiq al mazâhib), tapi juga antar agama (talfîq al syarâ'I). Tentu tidak perlu dikatakan lagi bahwa masalah ibadah ritual tidak termasuk di sini, karena hal tersebut tidak berguna sama sekali. Dengan talfiq antar syari'at ini, umat beragama dididik untuk rendah hati, mengakui bahwa seberapapun ia meyakini kebenaran agamanya, tetap saja memerlukan dialog dengan agama lain. Dengan begitu, umat beragama tidak akan dengan mudah mengklaim agamanyalah yang paling benar sambil menyalahkan agama lain.
Kini, pilihan ada di depan kita. Terserah kita mau yang mana, tentu dengan resiko masing-masing. Mulai membuka diri dan menerima talfiq demi masa depan umat beragama yang berbudaya samhah, dan mengambil resiko ke"tidak-kaffah"an bermazhab. Ataukah lebih tetap bersikukuh pada prinsip "bermazhab secara kaffah" tapi dengan mengorbankan kematangan dan kedewasaan umat dalam beragama dan tenggelam dalam budaya taghlîl.
Wallahu a'lam bi al sawwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar