Senin, 30 Januari 2012

Mengukur Demokratisasi Agama di Negeri Ini: Kasus Penodaan Agama

Oleh : Prio Hotman*

Akselerasi informasi lewat media internet di negeri kita, ternyata bukan hanya berpengaruh secara positif pada perkembangan kognitif dan wawasan masyarakat, tapi juga secara negatif pada kecenderungan emosionalnya. Alexander (30), seorang pegawai negeri sipil dikeroyok massa ketika terbongkar identitasnya sebagai salah satu pengelola akun facebook atheis minang. Akun facebook ini dituding telah meresahkan warga karena postingan-postingannya yang bernuansa melecehkan agama. Masyarakat yang tersulut emosinya, ramai-ramai menghakimi Alex. Bukan hanya itu, Alex yang merupakan korban kekerasan dalam peristiwa tersebut, malahan ditahan dan terancam hukuman pidana lima tahun penjara. Ia dituntut karena melakukan penodaan agama.
Kasus ini rupanya bukan yang pertama. Februari awal tahun lalu, kasus persidangan Antonius, seorang terdakwa penodaan agama Islam dan Katolik melalui pamvlet, juga berujung kepada kekerasan. Kedua kasus Alex dan Antonius memiliki kesamaan dalam hal kebebasan berekspresi yang tidak mendapat restu dari masyarakat yang notabene overreligious. Iman umat beragama yang merasa terluka karena simbol-simbol agamanya disinggung, menjadi pembenaran terhadap tindak kekerasan.
Kasus-kasus tersebut mengingatkan kita pada pandangan seorang futurolog Alvin Toffler, bahwa percepatan gelombang informasi yang seharusnya menjadi instrument demokratisasi di suatu wilayah, justru dapat menjadi ancaman bagi demokratisasi itu sendiri seandainya tidak disertai oleh kedewasaan pola berpikir yang dianut oleh masyarakat tersebut. Adalah suatu sikap yang sangat naïve dalam beragama, ketika ketidaksetujuan terhadap suatu pandangan diekspresikan lewat tindak kekerasan. Kedewasaan pola berpikir dalam sebuah masyarakat demokratis yang beradab, termasuk kedewasaan dalam beragama, mengharuskan ketidakssetujuan diutarakan melalui adu argument (debat), dan bukan melalui kekerasan.
Dengan kata lain, kedua contoh kasus tersebut menegaskan kepada kita bahwa fondasi untuk menyokong iklim demokratisasi agama, dan kebebasan berekspresi di negara ini belum cukup kuat. Hal ini dikondisikan terutama oleh tiga aspek.
Pertama, lemahnya budaya ilmiah masyarakat dan menguatnya pengaruh dogma.
Dalam budaya masyarakat maju dan beradab, pola pikir dan bertindak masyarakatnya ditentukan oleh kriteria-kriteria keilmuan, diantaranya adalah rasionalitas dan argument. Sementara dalam masyarakat tradisional, yang memegang peranan adalah dogma yang notabene bersandar pada emosional. Karena itu, dogma semata-mata tidak boleh dijadikan sebagai pedoman pola hubungan sosial suatu masyarakat. Kritik terhadap simbol-simbol agama, tidak bisa disamakan dengan, misalnya, pencemaran nama baik, karena jelas-jelas yang bersangkutan masih hidup dan eksis. Sedangkan simbol-simbol agama hanya hadir dan eksis pada tataran emosional komunitas yang mengimaninya, dan karena itu kritik terhadap simbol agama tidak semestinya dipandang sebagai suatu tindak kriminal.
Ketika budaya ilmiah dalam suatu masyarakat melemah, mereka tidak bisa berpikir jernih dan rasional. Kritik terhadap simbol-simbol agama tidak bisa dibedakan lagi dari pencemaran nama baik. Karena emosi telah menggantikan rasional, maka kekerasan menjadi lebih didahulukan ketimbang adu argumentasi.
Kedua, kebijakan atau sistem perundang-undangan yang rancu.
Dalam konstitusi perundang-undangan kita, UUD 45, pasal 28E tentang hak asasi ditegaskan bahwa setiap orang bebas meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya. Ini berarti konstitusi negara kita menjamin semua jenis kepercayaan, termasuk kepercayaan untuk tidak percaya pada agama, dan menjamin setiap warga negara untuk mengekspresikan pandangannya itu tanpa diskriminasi. Namun di sisi lain, konstitusi kita juga mengesahkan adanya UU penodaan agama yang bernuansa diskriminatif. Oleh bebarapa ahli dan aktivis HAM, pada tahun 2010 lalu UU ini pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diujikan kembali, dan ternyata ditolak.
Dengan ditolaknya uji materil UU PNPS ini, negara dinilai telah memelihara api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat memicu beraneka macam konflik. Mereka yang menjadi korban diskriminatif, dengan adanya undang-undang ini harus menerima dua macam kekerasan, kekerasan sosial dan kekerasan hukum sekaligus.
Ketiga, mandulnya dakwah agama-agama.
Agama-agama sesuai dengan misi dakwahnya, secara ideal seharusnya mampu memberi pencerahan spiritual dan sosial kepada masyarakat. Agama-agama dihadirkan untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan seluas-luasnya kepada umat manusia. Mereka juga membenarkan tidak direstuinya penggunaan kekerasan untuk menyebarkan nilai kebaikan itu. Adalah suatu anomali, ketika disatu sisi agama-agama mengkampanyekan perdamaian, tapi di sisi lain mereka menghukumi orang yang tidak percaya dengan kekerasan.
Ini menandakan bahwa dakwah agama-agama telah kehilangan elan vitalnya dalam masyarakat. Dakwah agama-agama yang sehat, seharusnya mampu menjawab dan membantah setiap kritik dan gugatan atas doktrinnya secara tenang dan rasional, bukan dengan emosional dan kekerasan. Kasus kekerasan yang terjadi seperti diungkap di awal tulisan ini, menunjukkan bahwa dakwah agama-agama telah mengalami kemandulan.
Para pengamat, seperti Samuel Huntington, pernah menyangsikan bahwa iklim demokrasi dapat diciptakan dalam masyarakat muslim. Kemajuan politik Indonesia belakangan ini, sebagai representasi negara berpenduduk muslim dalam berdemokrasi, telah memberikan secercah harapan. Kondisi ini seharusnya dapat diperkuat oleh pemerintah melalui pembangunan iklim ilmiah di masyarakat dan peninjauan ulang perangkat hukum yang diskriminatif. Para pemuka agama dalam hal ini berperan dalam mensosialisasikan budaya dialog dan argumentasi sambil mendukung kebebasan berkeyakinan, berfikir dan berekspresi.
* penulis adalah pengajar di Univeritas Islam As Syafi'iyyah Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar