Senin, 06 Juni 2011

Reportase Diskusi Bulanan Sila Pertama dan Sila Terakhir Pancasila Bermasalah

Oleh : Prio Hotman

Setelah kurang lebih off dua bulan, diskusi rutin bulanan Jaringan Islam Liberal (JIL) kembali hadir, kamis (25 Mei 2011). Diskusi bulanan kali pertama JIL semenjak mendapat ancaman bom beberapa waktu lalu ini mengambil tema “Indonesia dan Doktrin Pancasila”, dengan menghadirkan dua orang pembicara: Luthfi Assyaukanie (JIL) dan Yudi Latif (Reform Institute). Secara khusus, tema diskusi kali ini terkait dengan buku terbaru Yudi Latif berjudul Negara Paripurna.

Luthfi Assyaukanie mengawali diskusi dengan bercerita tentang kegiatan peluncuran buku Negara Paripurna beberapa waktu lalu yang sempat ia hadiri. Ia takjub dengan meriahnya ucapan selamat yang diberikan orang atas peluncuran buku ini. “Ucapan selamat untuk buku Yudi Latif ini melebihi ucapan selamat untuk sebuah pernikahan,” katanya.

Apresiasi besar terhadap buku ini, bagi Luthfi, tidak lepas dari konteks mutakhir keindonesiaan yang mem-flashback memori kita ke masa lalu, di mana ancaman terhadap pancasila dan kebebasan beragama kembali terjadi. Buku Negara Paripurna karya Yudi Latif ini tepat sekali hadir dalam kondisi demikian, dan karenanya wajar jika banyak apresiasi ditujukan kepadanya. Luthfi mengutip ucapan politikus kenamaan PDIP, Taufik Kiemas, yang juga sempat hadir dalam peluncuran buku saat itu: “Inilah buku yang bisa menjadi rujukan kita di tengah kondisi di mana ancaman terhadap pancasila dan kebebasan beragama terulang lagi,” katanya.

Banyaknya pujian atas buku Negara Paripurna, mendorong Luthfi untuk ikut memberikan komentar dan juga kritik atas buku tersebut. Dari judulnya saja, kata Luthfi, penulis buku ini seolah ingin memposisikan diri sebagai Plato dengan negara idam-idamannya, Repubik; atau Al-Farabi dengan al-Madinah al-Fadlilah-nya. Bagi Luthfi, semua konsep negara ideal, seperti dicita-citakan baik oleh Plato, Al- Farabi, dan sekarang oleh Yudi Latif dengan Negara Paripurna-nya itu, merupakan konsep yang utopis, dalam artian tidak realistis, mengawang-awang dan karenanya menjadi sulit untuk diterapkan.

Luthfi juga mengkritik buku ini yang menurutnya terlalu kental nuansa filsafat politiknya. Ia menyarankan, seandainya ditambahkan sedikit saja sentuhan political sciencies, buku ini akan lebih istimewa. Bukan hanya berbicara tentang teori demokrasi misalnya, tapi bagaimana caranya demokrasi itu bisa diterapkan di Indonesia. Namun demikian, Luthfi mengakui ada yang baru dari buku Negara Paripurna Yudi Latif ini. Luthfi terkesan dengan metode penyajian buku ini yang menurutnya mirip dengan tafsir-tafsir klasik, seperti tafsir Al-Thabari misalnya, yang membahas poin-poin secara berurutan. Seperti halnya tafsir-tafsir itu, buku Yudi Latif juga menyajikan bahasan sila-sila dalam pancasila secara berurutan ditambah dengan prolog dan penutup. Pada setiap bahasan sila, dijelaskan alasan posisi urutan sila tersebut, latar belakang kenapa suatu sila itu muncul dan juga wording-nya. Bandingkan dengan tafsir-tafsir klasik yang membahas ayat-ayat secara berurutan dengan menjelaskan munasabah, asbabunnuzul dan mufradat-nya.


Ada banyak buku di dunia ini yang membicarakan masalah Pancasila dalam pelbagai bahasa, dari mulai Indonesia, Inggris dan sebagainya. Jika kita merujuk kepada perpustakaan kongres di Amerika Serikat saja misalnya, kita akan menemukan buku-buku bertema pancasila tidak kurang dari 600-an judul buku, dan buku karya Yudi Latif ini salah satu dari sekian banyak buku tersebut. Banyaknya buku bertema Pancasila menurut Luthfi, merupakan salah satu indikasi bahwa bahasan tentang tema tersebut begitu penting. Hal demikian dapat dipahami, mengingat Pancasila sebagai sebuah ideologi tunggal negara, dihadapkan oleh banyak ideologi lain yang menjadi saingannya. Di sini, kita dihadapkan oleh persaingan ideologi.

Jika merujuk kepada sejarah konsolidasi Pancasila misalnya, menurut teori Deliar Noer yang mengkategorikan kelompok-kelompok perumus Pancasila menjadi muslim- nasionalis dan nasionalis-sekuler, persaingan ketat antar ideologi ketika itu begitu sengit terjadi. Perdebatan ideologi yang paling sengit ketika itu terjadi antara kelompok Islam dan nasionalis sekuler. Konflik dengan ideologi sosialisme-komunisme juga ada, tapi tidak begitu berarti. Pancasila lahir justru dari persaingan antara dua kelompok tersebut, yang belakangan melahirkan kompromi dalam bentuknya yang sekarang kita kenal. Uniknya, pancasila sebagai kompromi tidak memberikan kepuasan antara kedua kelompok, baik kelompok islamis maupun nasionalis sekuler. Sebaliknya, kedua kelompok itu justru merasa dikecewakan. Ini menjelaskan mengapa hingga kini rongrongan-rongrongan terhadap pancasila terus berdatangan terutama dari kelompok islamis. Terkait ini Luthfi menegaskan, kalaupun ada yang harus kecewa dan dirugikan, justru kelompok nasionalis sekuler-lah yang semestinya merasakan itu, mengingat terlalu besar pengorbanan mereka untuk sampai pada kompromi tersebut.

Dari kritik atas buku Yudi Latif, Luthfi berangkat lebih jauh kepada kritik pancasila sebagai ideologi negara. Luthfi merasa bahwa ada yang salah dengan konstitusi negara kita, khususnya dalam rumusan Pancasila. Sebelum melontarkan kritik, Luthfi dengan santun juga mengingatkan, mungkin kritiknya ini akan dibilang simplifikasi atau mungkin juga “kurang ajar”. Namun begitu, ia berpendapat bahwa sebagai kritik akademis, hal itu wajar belaka. Luthfi memandang dari lima rumusan pancasila, ada dua sila yang bermasalah, yaitu sila pertama (tentang ketuhanan) dan terakhir (tentang keadilan). Tiga sila lebihnya, baginya relatif tidak bermasalah, karena “konsep-negara-modern” bisa menerima itu. Berbeda dengan tiga sila itu, sila pertama yang merupakan representasi landasan ideologi politik, dan sila kelima yang merepresentasikan landasan ideologi ekonomi, bagi Luthfi cenderung rancu dan kacau.

Menjelaskan argumennya atas kritik sila pertama, Luthfi mengatakan, landasan filosofis sangat penting untuk etika bernegara dan bermasyarakat, dan karenanya rumusan yang rasional menjadi sangat penting untuk sebuah konstitusi. Luthfi memberikan contoh betapa buruknya retorika kelompok Islam dalam sejarah ketika mendebatkan sila pertama ini. Kelompok Islam yang ketika itu kalah berargumentasi secara filosofis dengan kelompok nasionalis-sekuler, menunjukkan perilaku yang cenderung tidak objektif (kasus Kasman Singodimejo yang memukul meja karena emosional). Suasana ketika itu bisa dilukiskan betapa kuatnya tekanan kelompok Islam atas sila pertama ini. Ini dibuktikan setidaknya oleh dua hal. Pertama, pemindahan urutan sila dari terakhir menjadi pertama. Kedua, perubahan redaksi rumusan sila ketuhanan, dari ketuhanan yang berkebudayaan seperti dirumuskan Soekarno, menjadi ketuhanan yang maha esa seperti kita kenal sekarang.

Luthfi menyangsikan apakah rumusan sila ketuhanan tersebut akan mampu melewati sejarah, mengingat dalam perjalanannya rumusan demikian itu menyisakan banyak sekali persoalan. Keraguan Luthfi bukannya tanpa alasan. Ia melihat sila pertama ini sangat bias monoteisme. Dengan ideologi yang bias monoteis tersebut, Luthfi menyangsikan apakah Budha dan Hindu misalnya, bisa diterima “secara ikhlas” di negeri ini. Belum lagi fenomena ateisme dan agnostisisme yang belakangan fenomenanya muncul kepermukaan (terkait niat asosiasi kelompok ateisme indonesia yang berniat menyusun buku bertajuk: Apakah Ateisme Dapat Hidup di Indonesia?). Dengan konstitusi yang bias monoteis itu, Luthfi menyangsikan apakah ateisme itu punya prospek legal di Indonesia. Dengan tafsir yang berbeda, seperti pemahaman Buya Syafi’i Ma’arif misalnya, sila pertama memang bisa membuka ruang untuk ateisme. Pertanyaannya: apakah penafsiran seperti itu bisa diterima dikhalayak luas? Jika itu tetap dipertahankan, maka kemungkinannya kita harus bertarung memperebutkan makna dan itu berarti akan sangat melelahkan.


Luthfi juga mengingatkan bahayanya asosiasi agama yang berlebihan terhadap negara, karena bisa melahirkan beberapa masalah. Pertama, konsekuensi penyatuan ideologi agama dan negara dalam kehidupan sosial-politik-keagamaan kita. Lihat misalnya kasus-kasus institusionalisasi agama oleh negara, seperti MUI, Departemen Agama, dan sebagainya. Dengan asosiasi berlebih kepada agama ini, negara juga menjadi terbebani secara moral untuk melindungi institusi-institusi agama tersebut.

Ketika agama dikooptasi oleh negara, maka implikasinya adalah lahirnya diskriminasi mayoritas terhadap minoritas. Luthfi mencontohkan bagiamana sulitnya ia berdebat di Mahkamah Konstitusi ketika membela kelompok minoritas Ahmadiah misalnya. Dalam hal ini, baik Luthfi dan pihak MK sama-sama setuju bahwa negara berkewajiban melindungi agama. Bedanya pembelaan Luthfi mengarah kepada perlindungan agama kepada kelompok minoritas, sedangkan penafsiran MK mengarah kepada perlindungan mayoritas agama dari kesesatan paham minoritas. “Ini sangat aneh”, katanya. Masalah berikutnya, muncul dari pertanyaan tentang hubungan agama-negara: apakah Indonesia ingin menjadi negara modern yang rasional, ataukah menjadi agama negara?

Kalau sila pertama disebut sebagai bias monoteis, sila kelima dikritik Luthfi karena ia bias sosialis. Bagi Luthfi, sila kelima ini jadi bermasalah karena berkaitan dengan kebebasan ekonomi. Memposisikan diri sebagai seorang libertarian, Luthfi mengkritik istilah keadilan sosial yang baginya sangat rancu dan “sarat makna”. Keadilan, demikian Luthfi menguraikan, adalah terminologi yang datang dari filsafat dan agama. Karena itu, istilah keadilan menempati kedudukan yang sangat penting dalam ideologi negara. Tapi penisbatan keadilan dengan sosial, adalah retoris. Keadilan itu sendiri berhubungan dengan individu sebagai bentuk paripurna apa yang disebut sebagai minoritas. Ketika berbicara minoritas, berarti kita berbicara individu per individu. Keadilan yang sebenarnya seharusnya membuka kebebasan berusaha (ekonomi) yang seluas-luasnya kepada masing-masing individu. Demikian, karena kebebasan berusaha individu berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi setiap bangsa.
Luthfi mencontohkan bagaimana negara-negara yang kebebasan berusaha atau economic freedom-nya tinggi biasanya menjadi negara yang makmur sejahtera. Sedangkan istilah keadilan sosial yang lebih menekankan aspek distribusi, dipandang bias sosialis. Secara logis, demikian Luthfi, adalah keliru ketika berbicara tentang distribusi kekayaan sementara kekayaan itu sendiri belum ada. Yang benar adalah bagaimana kekayaan itu diciptakan terlebih dulu melalui kebebasan ekonomi, baru kemudian kita bicara tentang distribusinya. Walaupun konsep ini tidak disetujui oleh umumnya negara-negara liberal, tapi cara demikian itu relatif berhasil dijalankan oleh negara-negara penganut sistem welfare-state. Bagi Luthfi, ukuran kebebasan ekonomi itu sederhana: yaitu apakah setiap individu itu bebas untuk bekerja, berusaha, memindahkan barang kemana saja ia suka; apakah ijin melakukan usaha itu mudah dan cepat, atau cenderung birokratis dan berbelit-belit?

Inilah kritik Luthfi terhadap sila ketuhanan dan sila keadilan. Bagi Luthfi, kalau sila ketuhanan yang melahirkan negara pancasila –sebagai sintesa antara negara sekuler dan negara agama– merupakan cerminan politik bangsa, maka sila keadilan yang melahirkan ekonomi pancasila –sebagai sintesa antara negara liberal dan sosialis– adalah cerminan kebijakan ekonomi negara kita. Kedua sintesa tersebut dalam pandangan Luthfi menyisakan sejumlah masalah. Dan karena ia bermasalah, maka konstitusi-konstitusi dan segenap Undang-Undang yang lahir dari dasar tersebut juga tidak lepas dari masalah-masalah. Dengan kondisi yang bermasalah itu, Luthfi menyebut Indonesia sebagai “negara-yang-bukan-bukan”: politiknya bukan-bukan dan ekonominya juga bukan-bukan.

Secara Khusus Luthfi mengkritik Yudi Latif dengan mengatakan tidak menemukan argumen kritis pada bukunya Negara Paripurna tersebut. Sebaliknya, buku Negara Paripurna malah melestarikan konsep “negara-yang-bukan-bukan” itu. Ketika menguraikan sila pertama misalnya, Yudi dengan tegas memujinya dengan menyebutnya sebagai pencapaian yang sangat progresif. Dan karena itu, Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negara sekular. Sedangkan terkait sila kelima, Luthfi mengkritik buku ini karena menurutnya, Yudi terlalu beromantisasi dengan para founding fathers negara ini. Sambil menegaskan kekagumannya pada pendiri bangsa ini, diakhir uraiannya, Luthfi mengajukan dua solusi atas masalah ini. Pertama, dengan melakukan amandemen atas kedua sila yang bermasalah itu. Baginya, amandemen bukan suatu yang asing buat negara kita. Sepanjang sejarah, kita sudah berulang kali melakukan amandemen. Kedua, dengan memperebutkan makna atau tafsir dari kedua sila bermasalah itu. Luthfi mengingatkan, cara kedua ini sangat melelahkan, karena ia membutuhkan proses yang panjang dan menuntut kedewasaan bernegara dan beragama.

Yudi Latip yang malam itu agak datang terlambat, memberikan uraian dan tanggapan balik atas presentasi Luthfi. Ia mengutarakan keprihatinannya atas kondisi mutakhir perdebatan soal kenegaraan di negeri ini yang menurutnya tidak menunjukkan kecerdasan. Jika kita menarik memori ke belakang, terutama ketika sidang BPUPKI diselenggarakan, perdebatan seputar kenegaraan ketika itu begitu marak dan cerdas. Yudi sangat terkesan bagaimana tokoh-tokoh kemerdekaan ketika itu mengikutsertakan semua perwakilan yang merepresentasikan kelompok-kelompok dan golongan di Indonesia—sesuatu yang bahkan tidak pernah ada dalam sejarah negara-negara Eropa dan Amerika sekalipun. Berbeda dengan Indonesia, Amerika baru belakangan saja memberikan hak pilih pada wanita, dan mengakui hak-hak kelompok di luar Anglo-Saxon. Dari sini, Yudi merasa perlu diagendakan kembali menghadirkan ulang perdebatan masa lalu itu.

Masuk ke dalam pembahasan ideologi Pancasila, Yudi melihat jarak antara perumusan konstitusi dengan pancasila tidak berselang lama. Keduanya bagi Yudi merupakan satu kesatuan paket. Tidak ada satu sila pun dalam pancasila yang tidak memiliki penjabarannya dalam konstitusi. Hubungan antara Pancasila dan konstitusi oleh Yudi dianalogikan sebagai hubungan antara al-Qur’an dan Hadis dalam rumusan legislasi Islam.

Terkait hubungan ini, setidaknya ada tiga poin yang sempat menjadi sasaran kritik Yudi. Pertama, Yudi menyesali ketiadaan ketentuan pembatasan masa jabatan presiden dalam UUD ‘45. Menurut Yudi, kesalahan ini terjadi karena pada waktu itu rumusan yang dibuat merujuk pada konstitusi presidensil Amerika yang belum memiliki batasan periode jabatan presiden. Kedua, sakralisasi atas UUD ’45 yang menghalangi amandemen atas UUD ‘45. Menurut Yudi, ini adalah tindakan yang konyol. Sakralisasi ini bisa dilawan dengan mengenali ide pokok UUD ‘45 dari teknikalnya. Ini penting, karena dengan begitu kita akan tahu aspek mana-mana dari pokok UUD ‘45 yang tetap dari teknikalnya yang bisa diamandemen. Ketiga, Yudi mengkritik kategorisasi ilmiah yang sering digunakan ilmuwan untuk mengenali kelompok nasionalis dari kelompok Islam. Menurut Yudi, kategori ini cenderung menyesatkan, karena kategori-kategori itu tidak selalu homogen. Yudi mencontohkan bagaimana Agus Salim dari kelompok Islam misalnya, dalam beberapa hal cenderung sekuler. Atau Husein Djayadiningrat dari kelompok sekuler, yang sempat mengusulkan kata bismillah untuk pembukaan UUD ‘45. Disamping itu, kelima sila yang dikenal itu, substansinya dirumuskan secara kompak oleh kedua belah pihak. Jadi, kata Yudi, jangan dikira bahwa sebagian sila merupakan usulan kelompok sekuler dan sebagian lainnya adalah usulan kelompok Islam.

Di akhir uraiannya, Yudi berharap agar buku Negara Paripurna yang disusunnya itu bisa menjadi titik tolak perdebatan dan membuka kembali wacana-wacana cerdas yang telah dilupakan oleh bangsa Indonesia. Sejauh ini, Yudi melihat setidaknya ada tiga pola warga Indonesia memandang Pancasila. Pertama, mereka yang menilai Pancasila adalah sakti. Kedua, mereka yang memandang Pancasila secara sinis. Bagi kelompok ini, Pancasila tidak lebih dari “sampah”, karena tidak mampu lagi menjawab tantangan era global. Ketiga, kelompok tengah, yaitu mereka yang tidak men-sakti-kan Pancasila, tidak juga melihatnya sebagai “sampah”. Menurut kelompok yang terakhir ini, Pancasila perlu diberi isi, dalam artian sentuhan-sentuhan tafsir kontekstual terhadapnya.


Selesai presentasi dua narasumber, diskusi diteruskan sesi tanya jawab dengan peserta. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan dan dikomentari singkat oleh nara sumber. Bebarapa komentar penting misalnya pertanyaan pertama, mengenai perbandingan konstitusi di Indonesia dan Singapura. Luthfi mengomentari, baginya, indeks kebebasan ekonomi di Singapura lumayan bagus, namun sangat buruk dari segi kebebasan politik, berbanding terbalik dengan Indonesia. Pertanyaan kedua, mengenai gagasan amandemen pancasila yang dikhawatirkan justru akan membuka luka lama perdebatan sengit antara kelompok nasionalis dan Islam atau malah memberi kesempatan kepada kelompok ekstrimis Islam untuk mensyari’atkan negara. Atas pertanyaan, Luthfi mengatakan, ia juga memiliki kekhawatiran yang sama. Namun demikian Luthfi mengingatkan tentang watak kontekstual perumusan konstitusi UU. Ia mengandaikan para pendiri bangsa ketika itu mengerti perkembangan teknologi seperti sekarang ini, tentu rumusan pancasila akan berubah.

Pertanyaan ketiga, berupa sanggahan atas kritik Luthfi atas sila ke satu dan ke lima. Mengutip pandangan Nurcholish Madjid, tentang monoteisme yang benar tentu tidak menjadi ancaman, bahkan membuka ruang untuk ateisme. Terkait sila kelima, kenapa tidak menjadikannya sebagai jalan ketiga (third way) seperti diteorikan Giddens. Komentar Luthfi atas sanggahan ini, setiap generasi itu punya pandangan dan wawasan yang berbeda. Generasi cak Nur, begitu Luthfi, tidak mengetahui wawasan kekinian generasi berikutnya. Sedangkan tentang jalan ketiga, Luthfi mengiyakan bahwa sila kelima bisa menempati posisi itu. Masalahnya, sampai saat ini kita melihat kenyataan bahwa ia tidak mampu membawa kepada kondisi perekonomian yang lebih baik.

Sementara Yudi Latif lebih mengomentari tanggapan-tanggapan peserta secara garis besar. Setidaknya ada empat poin penjelasan penting dari Yudi. Pertama, Yudi mengingatkan bahwa ideologi Pancasila tidak muncul dari ruang vakum, dan karena itu ia menjadi sarat nilai. Kita tahu, bahwa sepanjang sejarah negeri ini, politik dan ekonominya tidak pernah sepi dari campur tangan asing. Kedua, Yudi mengkritik praktik kapitalisasi purba yang hingga kini masih sering digunakan. Kapitalisasi purba dilukiskan Yudi sebagai kapitalisasi yang mengumpulkan kekayaan dengan menghisap sumber daya negara lain. Dalam kasus indonesia misalnya, contoh bagus kapitalisasi purba ini adalah VOC. Ketiga, Yudi menggambarkan para pendiri bangsa ini sebagai orang-orang yang tidak begitu mengerti filsafat, tapi faham firasat. Ungkapan ini bukan sebagai ejekan, justru malah pujian. Dengan firasatnya itu, maka langkah-langkah yang ditempuh oleh para pendiri bangsa ini selamat dari ekstremisme, dalam artian mengambil jalan yang aman walaupun cenderung kompromistis. Contoh yang paling baik adalah tentang hak individu, walaupun hak individu diakui tapi dalam konstitusi negara kita ia tetap memiliki fungsi sosial.

Yudi juga memuji firasat ini sebagai sebuah kearifan yang luar biasa yang dimiliki oleh para pendiri bangsa. Keempat, terkait dengan anggapan utopisme terhadap buku Negara Paripurna. Yudi menjelaskan bahwa keparipurnaan yang ia maksudkan adalah paripurna dari sisi-sisi keutamaannya. Yudi mengakui bahwa ketika menulis buku ini, ia memposisikan diri sebagai ideolog, dan bukan ahli sains politik. Dengan kesempurnaan dari sisi-sisi keutamaannya itu, ideologi Pancasila diharapkan bisa menjadi alat bercermin oleh siapa saja dan kapan saja, yang bisa memperlihatkan sisi-sisi kelebihan dan kelemahan setiap generasi bangsa ini. Terakhir, Yudi juga mengingatkan, seandainya ideal-ideal di dalamnya itu bisa didekati dalam level praktis, maka tujuan negara paripurna bukan tidak mungkin akan dicapai. []

http://islamlib.com/id/artikel/sila-pertama-dan-sila-terakhir-pancasila-bermasalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar