Senin, 06 Juni 2011

Pseudo Toleransi: Metode Dakwah al-Qardlawi dan Masa Depan Pluralisme

Oleh : Prio Hotman, MA

“…..jika dikatakan bahwa arti pluralisme agama (al-ta’addudiyyah al-diniyyah) adalah semua agama itu benar (haq), dan pendapat ini menurut kami tidak benar, maka pluralisme agama yang sesungguhnya adalah menegaskan bahwa sesungguhnya agamaku adalah yang benar, dan agama orang lain adalah salah (bathil). Meski demikian, mereka berhak untuk hidup dan kita boleh bergaul dengan mereka demi kebaikan. Dan hak kita juga untuk berdamai dengan mereka yang mengajak berdamai, dan berperang dengan mereka yang mengajak berperang. Dan karena kami meyakini bahwa agama orang lain salah, maka menjadi hak kami untuk berdakwah, mengajak mereka untuk masuk agama kami…”.

Kutipan di atas adalah pernyataan ulama sohor Syeikh Yusuf al-Qardlawi, sebagaimana dilansir dalam sebuah situs Islam online (lihat http://www.alwihdah.com/news/news/2010-04-26-741.htm). Sosok Yusuf al-Qardlawi, dikenal sebagai ulama yang kontroversial, bukan hanya bagi kelompok konservatif, tapi juga oleh kelompok liberal. Dari pandangan konservatif, al-Qardlawi dijuluki sebagai ahli fikih yang ingkar sunnah. Dan dari sudut kelompok liberal, al- Qardlawi tidak lebih dari seorang konservatif yang “pura-pura” modern. Menurut Luthfi Assaukanie (2007: 180), pemikiran al-Qardlawi ini di Indonesia direpresentasikan oleh ulama-ulama yang mengaku moderat, tapi pada saat yang sama merangkul pandangan-pandangan konservatif, semisal ulama-ulama yang berada di jajaran MUI. Ulama-ulama di MUI dan yang sepandangan dengan mereka memang mendakwahkan toleransi antar umat beragama, tenggang rasa, dan menghormati kebhinekaan. Tapi pada saat bersamaan mereka juga mengharamkan pluralisme dan menyesatkan Ahmadiyah.

Belakangan ketika fenomena kekerasan beragama marak terjadi, KH. Hasyim Muzadi, mantan ketua umum PBNU, dalam beberapa kesempatan dialog di televisi swasta, mengeluarkan statemen yang agak rancu. Menurutnya, deradikalisasi terorisme hanya bisa diatasi dengan pluralisme sosial, bukan pluralisme teologis. Tampak sekali di sini bahwa pandangan Hasyim Muzadi tidak lebih baik dari pernyataan ulama-ulama MUI yang menerima pluralitas tapi mengharamkan pluralisme.

Jika ditelisik lebih jauh, toleransi yang didakwahkan oleh al-Qardlawi, Hasyim Muzadi dan ulama-ulama MUI, sebetulnya tidak lebih dari respon terhadap desakan fakta sosiologis kondisi umat yang dipandang makin radikal. Karena sifatnya desakan, maka toleransi demikian terkesan kompromistis. Ada satu dogma yang ingin dipertahankan dalam kerangka toleransi versi al-Qardlawi dkk. yang demikian, yakni dogma tentang monopoli klaim kebenaran (truth claim). Saya ingin menyebut toleransi ala mereka itu sebagai “pseudo tolerance” atau “toleransi seolah-olah”. Toleransi yang demikian adalah konsep toleransi yang setengah-setengah, penuh kompromi dan tidak didasari oleh niat yang utuh. Di satu sisi, mereka dipaksa untuk mengakui dan bergaul dengan realitas yang tidak tunggal, tapi di sisi yang lain mereka enggan untuk membuang pandangan-pandangan eksklusif dalam keberagamaannya.

Karena itu, model toleransi demikian ini hanya sebatas kulit saja dan tidak memiliki akar yang kuat sebagai landasan pergaulan masyarakat global yang multikultural. Sebab di bawah sadar, ia masih menyisakan potensi kekerasan dalam wujud klaim-klaim kebenaran beragama. Dalam paradigma pseudo toleransi ini, pokok soal tentang kebenaran tunggal iman menjadi tema sentral dan absolut. Orang yang menganut model toleransi demikian, biasanya masih bernafsu atau mengincar umat beragama lain untuk dikonversi ke dalam agamanya.

Para penganut pseudo toleransi sangat sulit melepaskan diri dari sikap eksklusivisme beragama. Mereka pada umumnya mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Agama lain, menurut mereka, jikapun itu pernah diwahyukan Allah kepada para nabi-Nya, tapi belakangan keabsahannya sudah terwakilkan (baca: di-mansukh, diabrogasi) oleh agama Islam. Karena itu, siapa yang masih menganut agama di luar Islam setelah mendengar kebenaran dakwah Islam, maka keyakinannya itu tertolak dan ia tidak akan selamat di akhirat. Mereka sebetulnya mengakui bahwa sebagian dari keputusan Allah (sunnatullah) terhadap manusia adalah menjadikannya tidak satu agama. Mereka juga mengakui bahwa setiap usaha kepada homogenisasi agama adalah usaha yang sia-sia. Namun begitu, mereka juga bersikeras bahwa Islam telah menghapus kebenaran agama-agama sebelumnya berdasarkan ayat Qur’an dalam surat al-Baqarah (2: 106): “Dan ayat mana saja yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya.”

Pandangan Muhammad al-Ghazali –seorang tokoh Ikhwan Mesir– dalam buku al-Ta’asshub wa al-Tasâmuh bain al-Masîhiyyah wa al-Islâm (Fanatisme dan Toleransi antara Islam dan Kristen [2005: 70]) mewakili paradigma pseudo toleransi ini. Ulama tersebut menganalogikannya dengan dokter yang menyarankan makanan berupa ASI untuk bayi pada awal periode kehidupannya. Saat beranjak besar kemudian ASI itu digantikan dengan makanan yang lembut, dan ketika dewasa semua makanan itu diganti dengan makanan yang lebih baik dan sempurna. Analog dengan agama yang terus mengalami revisi di mana versi terakhir adalah yang terbaik.

Dengan konsep toleransi yang semu ini, jangankan mendakwahkan keberagamaan yang inklusif, eksklusivisme beragamapun bahkan menjadi sangat sulit untuk dihidari. Bagaimana mungkin seorang yang meyakini bahwa Islam sebagai satu-satunya jalan keselamatan, bisa membiarkan penganut agama lain hidup tenang dengan keyakinannya. Orang yang menganut paham pseudo toleransi seperti ini tidak akan pernah bisa benar-benar toleransi. Yang ia bisa hanya pura-pura toleransi. Dikatakan begitu, karena ia tidak akan berhenti mencari-cari kesempatan kapan waktunya mengkonversi keyakinan orang lain itu ke dalam Islam.

Rumusan dakwah kepada non muslim, bagi para penganut pseudo toleransi, adalah “mengajak umat manusia untuk masuk Islam, dan jika mereka menerima itu, barulah mereka disuruh untuk mengerjakan kebaikan dan mencegah kemunkaran.” Demikian seperti dikutip dari buku Hidâyat al Mursyidin (1979: 17) karya Syeikh Ali Mahfuz, seorang da’i kondang dari al-Azhar. Karena dasarnya yang rapuh, maka model toleransi ini alih-alih menjadi solusi pluralitas sosial, yang ada justru rentan sekali menyuburkan radikalisme dan fundamentalisme beragama. Bagaimanapun juga, eksklusivisme beragama tidak akan pernah melahirkan toleransi. Sebaliknya eksklusivisme justru melegitimasi radikalisme dan segala bentuk kekerasan beragama.

Pengakuan terhadap realitas mengharuskan pembenaran terhadap realitas itu sendiri. Dengan kata lain, pengakuan terhadap pluralitas berimplikasi pada pengakuan terhadap pluralisme. Jarak antara pluralitas dan pluralisme tidak berbeda dengan das sein dan das solen, antara yang senyatanya dan yang seharusnya. Seseorang tidak akan pernah bisa menerima kenyataan pluralitas dengan tulus, selama ia masih bersikeras menolak pluralisme. Dengan demikian, rumusan KH. Hasyim Muzadi tentang bolehnya menerima pluralisme sosial tapi wajib menolak pluralisme teologis seperti dipaparkan di atas, menjadi tidak relevan. Jika yang dimaksud beliau dengan pluralisme sosial adalah sikap menerima pluralitas sosial dengan cara toleransi dan bergaul dengan akur dan damai, maka yakinlah cita-cita dakwah demikian ini dapat dipastikan tidak akan kesampaian tanpa pengakuan pluralisme teologis yang menegaskan bahwa setiap agama itu adalah benar. Karena itu, mendakwahkan toleransi yang benar tidak akan bisa terwujud selama klaim-klaim kebenaran atau eksklusivisme itu masih bersikeras dipertahankan. Sebaliknya, mendakwahkan toleransi yang masih menyisakan ruang truth claim dan eksklusivisme hanya akan melahirkan toleransi-toleransi yang “hangat-hangat tahi ayam”: laris dan populer ketika banyak terjadi konflik dan kekerasan, tapi menghilang ketika suasana relatif stabil. Dengan kata lain, pseudo toleransi tidak akan pernah benar-benar utuh dan memadai untuk menyelesaikan konflik dan kekerasan, tapi bersifat sebatas tambal sulam.

Sebagai garda terdepan umat muslim, sudah saatnya para ulama sekarang ini mengubah paradigmanya tentang toleransi. Sudah saatnya beralih dari pseudo toleransi atau toleransi yang setengah-setengah, kepada toleransi yang sejati. Toleransi sejati (al tasamuh al-haqîqiy) adalah toleransi yang lahir dari pola berpikir pluralisme, yaitu toleransi yang berani menyatakan bahwa bukan hanya agama saya saja yang benar, tetapi agama orang lain juga benar. Jika semua orang menjalankan agamanya masing-masing dengan sebenar-benarnya, maka sudah pasti akan melahirkan kedamaian, ketentraman hidup dan kerjasama sosial yang sehat.

Toleransi dan pluralisme tidak perlu disikapi sebagai ancaman akidah, karena setiap orang memiliki preferensinya sendiri-sendiri. Sebagaimana baju yang saya pakai, belum tentu nyaman dipakai oleh orang lain. Berdakwah kepada non muslim dalam rumusan ini, tidak lagi identik dengan mengkonversi iman mereka, tapi cukup mengajak mereka melakukan kerjasama sosial yang sehat. Inilah toleransi yang benar dan sehat, yang semestinya dijadikan rujukan dakwah oleh para da’i dan ulama-ulama di nusantara.

Wallahu a’lam bi al-shawab.


di muat di
http://islamlib.com/id/artikel/pseudo-toleransi-metode-dakwah-al-qardlawi-dan-masa-depan-pluralisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar