Senin, 06 Juni 2011

Otoritarianisme Politik Arab Saudi

Oleh: Prio Hotman

Sejak fenomena lengsernya Ben Ali dari singgasana kepresidenan Tunisia, negara-negara Arab lain di Timur Tengah seolah mendapatkan legitimasinya untuk “latah” memunculkan revolusi. Awalnya diikuti oleh revolusi Tahrir yang berakhir dengan lengsernya kekuasan absolut Presiden Mubarok yang bertahan selama tidak kurang dari tiga dekade. Kini negara-negara seperti Libya, Bahrain, Jordania dan bahkan negara paling konservative di dunia sekelas Arab Saudi pun tidak mau ketinggalan ambil peran dalam trend revolusi Arab ini. Terkait dengan yang tersebut terakhir ini, saya melihat ada suatu keunikan yang tidak ditemukan pada fenomena revolusi di negara-negara Arab yang lain. Jika di negara-negara semisal Tunisia, Mesir, dan Libya para ulama mereka bersikap pro, atau kurang lebih tidak mencela munculnya revolusi, maka sikap demikian ini tidak kita temukan pada pandangan ulama-ulama kerajaan Arab Saudi. Alih-alih membela para demonstran yang menuntut perubahan, para ulama mereka justru memfatwakan bahwa demonstrasi sebagai suatu perbuatan terlarang yang tidak islami. Lebih dari sekedar fatwa, ulama-ulama itu malah menuduh bahwa demonstrasi yang terjadi belakangan di negara itu sebagai sebuah kedurhakaan yang tak terampuni. Walaupun tidak langsung bersinggungan dengan iklim politik demikian itu, kita tentu dapat berempati bahwa fatwa yang naif itu pasti amat melukai dan mematahkan semangat para demostran.

Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, sekarang, kubu demonstran di Arab Saudi yang mengecam penindasan dan monarki absolut itu mesti berhadapan dengan dua kekuatan yang berkonspirasi, kekuatan politik dan kekuatan doktrin agama. Dari kekuatan politik, kubu demonstran bersitegang dengan keganasan para tentara kerajaan yang akan “mengeksekusi” setiap orang yang bersuara menuntut perubahan. Seolah tidak cukup dengan kekerasan fisik, para ulama Saudi ikut-ikutan mengintimidasi para pejuang keadilan itu dengan cara melemahkan psikologi mereka dengan doktrin-doktrin agama versi mereka. Salah satu fatwa yang terkesan parodis seperti dilansir oleh Republika, adalah pernyataan mereka bahwa perubahan tidak bisa dilakukan dengan cara menghasut, tapi dengan cara nasehat yang islami. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bilakah para raja dan pangeran yang absolut itu mau mendengarkan nasehat dari rakyat? Tidakkah mereka yang mengaku sebagai pengawal hukum Tuhan itu pernah mendengar sabda Nabi “kebijakan pemimpin itu mengikuti kemaslahatan rakyatnya?” Ataukah ini hanya sebuah lelucon bagi sebuah negara yang bersimbolkan syahadat dan berkonstitusikan Kitab Allah?

Dimaklumi bahwa perkawinan agama dan politik yang terjadi di kerajaan Arab Saudi sejatinya merupakan konspirasi yang sengaja diciptakan untuk mengukuhkan doktrin dari sebuah sekte yang tidak terhitung dalam sejarah pemikiran Islam ke pentas dunia. Banyak pengamat yang menilai bahwa seandainya tanpa dukungan politik Ibn Saud dan penerusnya, ideologi wahabi mungkin tidak bisa berkembang seperti sekarang. Mungkin karena “hutang budi” itulah, para ulama Saudi yang notabene beraliran wahabi merasa perlu memberi dukungan terhadap praktik politik absolut kerajaan. Mungkin hikmah yang bisa kita petik dari kasus konspirasi ulama dan praktik absolutisme politik ini barangkali mengingatkan kita kembali kepada pentingnya proyek sekularisasi negara yang belakangan ini mulai kelihatan melemah apinya. Semenjak munculnya fenomena kebangkitan agama-agama dewasa ini, ada kesan seolah sekularisme kehilangan kepercayaan dirinya dan takluk dengan rongrongan agama. Ini ditunjukkan terutama oleh kompromi-kompromi politik yang akhirnya menerima tuntutan kelompok agama tertentu dan menjadikannya sebagai public policy yang mengikat bagi semua warga negara. Mungkin menjadikan kasus konspirasi ulama-absolutisme politik di Saudi sebagai analogi untuk menganalisa suasana ketegangan politik dan agama di Indonesia tidak sepenuhnya tepat sasaran. Namun demikian, fenomena yang kita saksikan sekarang di negara kita, terkait dengan beberapa kasus yang menuntut agar pemahaman agama tertentu atau fatwa ulama dijadikan sebagai konstitusi jika dibiarkan bukan tidak mungkin akan mengarah kepada bentuk otoritarianisme seperti yang terjadi di Saudi.

Kerajaan Saudi, adalah contoh buruk bagaimana agama dan para ulamanya ikut campur dalam urusan kenegaraan dan pengaturan publik. Adapun saat ini, mata dunia melihat bahwa loyalitas rakyat pada apa yang didoktrinkan sebagai “konstitusi yang suci” tidak lagi dapat dipertahankan. Demonstrasi yang muncul di Arab Saudi dapat dilukiskan sebagai suara hati nurani manusia yang terdalam yang berteriak bahwa “agama” dan “konstitusi yang suci” semata-mata tidak cukup untuk menjadi dasar pengaturan negara terhadap kebijakan publik. Walaupun masih terkesan takut dan malu-malu, berkumpulnya 12 orang di depan pintu Masjid al Rajhi di ibu kota Riyadl yang menuntut perubahan monarki absolut menjadi kerajaan konstitusional itu, jelas sekali menunjukkan bahwa untuk menciptakan suatu negara yang berkeadilan dan pro rakyat, butuh lebih dari sekedar campur tangan ulama dan undang-undang suci (baca: hukum Islam) dalam menentukan wajah sebuah bangsa. Untuk saat ini, mungkin kita masih sulit untuk memprediksi apakah kelanjutan revolusi di Arab Saudi itu akan berakhir seperti di Tunisia dan Mesir, ataukah kemenangan akan berpihak pada kelompok otoriter dan para ulama konspiratifnya dengan cara “membunuh” suara para demonstran.

Mungkin terlalu simplistis mengatakan bahwa otoritarianisme politik semata lahir dari agama. Dengan tidak melupakan contoh otoritarianisme komunis, tapi sejarah kelam politik Islam tentang mihnah, dan ditambah lagi sekarang contoh kasus Arab Saudi yang mutakhir, menjadi bukti bahwa agama dengan kosnpirasi ulamanya merupakan salah satu varian yang ditengarai berpotensi melahirkan otoritarianisme politik. Melalui pernyataan di atas, saya ingin mengajak para pemerhati dan aktivis pembaruan untuk kembali komitmen kepada proyek sekularisme politik di Indonesia yang selama ini telah diperjuangkan. Mungkin kita tidak akan mencontoh model sekularisme “leicite” yang pernah diterapkan Prancis atau Turki, tapi kita tetap akan memperjuangkan sekularisme politik dalam format yang bukan hanya ramah terhadap agama, tapi juga tegas. Ramah dalam arti memberikan ruang bagi para pemeluk agama untuk mengekspresikan keyakinannya, dan tegas dalam arti tidak berkompromi dengan segala bentuk tekanan-tekanan kelompok tertentu yang hendak memaksakan keyakinannya sebagai pengatur kebijakan publik.

Untuk memperjuangkan model sekularisme politik seperti yang disebut di atas, kiranya poin-poin berikut ini dapat menjadi pertimbangan.

Pertama, memisahkan lembaga-lembaga institusi keagamaan seperti MUI dari domain negara. Dengan memutus aliran anggaran belanja negara ke lembaga-lembaga keagamaan tersebut, menandakan sebuah sikap yang tegas bahwa negara tidak ingin dibebani dengan urusan-urusan yang bersifat privat seperti persoalan agama dan keyakinan. Negara dalam hal ini bisa memberi perlindungan dalam bentuk perizinan eksistensi dengan pembiayaan swadaya internal. Dengan begitu, maka setiap fatwa atau statemen yang dikeluarkan lembaga agama tersebut tidak lagi memiliki daya ikat konstitusional kepada semua warga negara.

Kedua, mencabut dukungan terhadap partai-partai politik dan sistem keuangan yang berbasis agama. gagasan yang mesti diusung oleh sebuah partai politik dalam sistem sekuler adalah merujuk kepada idealisme bersama kebangsaan yang diwujudkan dalam induk konstitusi, dan bukan pada idealisme kelompok tertentu. Begitupun sistem keuangan negara harus diatur secara merata, dan bukan berfokus untuk kesejahteraan golongan tertentu.

Ketiga, mencabut pemberlakuan perda-perda syari’at dan menggantinya dengan undang-undang daerah yang disepakati oleh semua kelompok dan elemen masyarakat terkait. Tujuan dari pencabutan perda-perda syari’at tersebut dilakukan demi menghindari praktik otoritarianisme politik dari lini pemerintahan yang terkecil. Melalui konsensus semua kelompok masyarakat, maka pelbagai bentuk aspirasi rakyat dapat diakomodir dan penindasan atas nama dominasi mayoritas dapat dihindari.

Keempat, dalam wilayah edukasi, ketegasan negara terhadap agama bisa diwujudkan dalam bentuk revisi kurikulum pendidikan. Dalam hal ini, mata pelajaran agama di sekolah-sekolah negara mesti dicabut dan digantikan dengan studi etika atau moral yang ramah dengan keragaman. Hal ini dilakukan demi menghindari pemaksaan paradigma kelompok keagamaan tertentu sebagai bidang studi wajib. Mungkin pendekatan multikulturalisme dan kajian lintas keyakinan sudah saatnya dijadikan metode alternatif pembelajaran di sekolah-sekolah sebagai wahana memperkenalkan “yang lain” dan menghapus segala bentuk kebijakan publik yang berbau otoritarian.

http://islamlib.com/id/artikel/otoritarianisme-politik-arab-saudi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar