Rabu, 07 Juli 2010

SAYYID RASYÎD RIDLÂ SEBAGAI RIJAL DA'WAH

Oleh : Prio Hotman, MA


A. Prolog.
Pernyataan kritis para pakar bahwa dakwah tidak identik dengan tabligh memang sangat relevan jika dikaitkan dengan parsialitas tugas da'i yang menyentuh banyak aspek kehidupan . 'Abdullah Nasih 'Ulwan menyebut sekurangnya ada enam misi yang mesti diemban da'i dalam mensosialisasikan ajaran Islam. Kata 'Ulwan, seorang da'i itu adalah seorang pembaharu (muhadditsan), pengajar (mudarrisan), komunikator (khathîban), penceramah (muhâdiran), pakar dialog (munâqisyan wa muhâwiran), juga seorang budayawan (adîban) dan penulis (kâtiban) sekaligus. Dengan kriteria seperti disebutkan, label tokoh dakwah (rijâl al da'wah) tidak mudah diberikan kecuali jika yang dimaksud merupakan seorang pemikir yang memiliki misi-misi pembaharuan (al mujaddidûn) .
Seorang pembaharu kata 'Unwan Diwi, hidupnya berada dalam tingkatan nilai yang luhur melebihi kehidupan masyarakat pada umumnya . Karena perbedaan nilai hidup itu, lantas muncul kepekaan dirinya untuk mengangkat kehidupan masyarakat kepada nilai-nilai yang lebih luhur dan mulia . Seorang pembaharu adalah orang yang terbebas dari penyakit kaumnya, selamat dari pelbagai penyimpangan dan penyelewengan, serta memiliki integritas dengan nilai-nilai luhur yang ia dakwahkan . Muhammad Rasyîd Ridlâ, adalah satu dari sekian orang yang memiliki keterkaitan dengan apa yang dijelaskan di atas. Beliau adalah seorang ulama dan ilmuwan sekaligus yang dalam pikiran dan hatinya dipenuhi oleh semangat pembaharuan. Rasyîd Ridlâ layak disebut sebagai rijal al da'wah yang dengan demikian penelusuran terhadap kehidupan dakwahnya akan sangat membantu bagi para da'i Islam setelahnya.
Atas dasar kepentingan ini, maka penulis bermaksud meneliti kehidupan dakwah Rasyîd Ridlâ dalam lima aspek. Pertama, biografi dan karyanya. Kedua, latar belakang (seting sosial politik dan kultural masyarakat) di mana Rasyîd Ridlâ hidup. Ketiga, gagasan dan pemikiran dakwahnya yang meliputi falsafah, metodologi hingga media dan sarana yang digunakan dalam dakwahnya. Keempat, aktivitas dakwah selama Rasyîd Ridlâ hidup yang meliputi dakwah lisan, tulisan hingga dakwah nyata melalui gerakan pengembangan masyarakat. kelima, pengaruh yang ditimbulkan dari dakwah dan pembaharuan Rasyîd Ridlâ dalam kaitannya dengan perubahan dan kemajuan Islam.

B. Biografi dan Karya-Karya Rasyîd Ridlâ.
Nama lengkap murid terdekat Muhammad Abduh ini adalah Muhammad Rasyîd Ibn 'Alî Ridlâ Ibn Muhammad Syams al Dîn Ibn Muhammad Bahâ'u al Dîn Ibn Manlâ 'Alî Khalîfah al Qalamuny al Baghdâdy al Ashly. Beliau lahir di desa Qalamun pada tanggal 27 Jumadil 'Ula 1282 H bertepatan dengan 23 september 1865 M . Desa Qalamun adalah sebuah desa kecil yang terletak dipinggiran pantai laut mediterania dan terletak di antara dataran tinggi libanon . Jaraknya sekitar tiga mil (sekitar lima kilo meter) ke arah utara dari kota Tarablus di Suriah dan sebelah kiri jika dari Libanon . Dalam biografinya, Rasyîd Ridlâ sering ditambahkan gelar Sayyid yang merupakan gelar untuk orang terhormat di tempatnya. Menurut urutan keturunnnya, sebutan tersebut diberikan karena ia masih memiliki hubungan nasab dengan Nabi Muhammad melalui Husain Ibn 'Ali .
Ayah Rasyîd Ridlâ adalah seorang terpandang (syaikh) di Qalmun dan menjabat sebagai Imam masjid di sana. Masa kecil Ridlâ dihabiskan untuk mempelajari dan menghapal al Qur'an, menulis dan berhitung. Setelah itu, Ridlâ pindah ke kota Tarablus dan melanjutkan sekolahnya di Madrasah Rasyidiah al Ibtida'iyyah yang mengikuti sistem pendidikan nasional Turki. Di sana ia belajar tata bahasa (nahwu dan sharf), matematika dan dasar-dasar ilmu bumi dengan bahasa Turki . Setelah satu tahun, Ridlâ pindah ke Madrasah al Wathaniyyah al Islamiyyah pada tahun 1882 di Tarablus. Sekolah ini lebih tinggi dari sekolah sebelumnya dan merupakan sekolah pemerintah Turki yang didirikan oleh seorang ulama terkemuka, Syaikh Husain Jisr. Di sana ia belajar ilmu syari'at, mantiq, dan falsafah dengan bahasa arab, di samping bahasa Turki dan Perancis . Belum lamaRidlâ belajar, sekolah ini kemudian ditutup karena mendapat hambatan dari pemerintah Turki Ustmani. Walaupun sekolah tersebut ditutup, namun hubungan Ridlâ dan Syaikh Jisr tetap berlanjut. Orang yang tersebut terakhir inilah yang banyak berpengaruh kemudian dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan pembaharuan dalam diri Ridlâ. Ridlâ juga rutin mengunjungi sejumlah ulama-ulama besar di Tarablus dan mengambil pemikiannya dari mereka, seperti 'Abd al Ghany al Rafi'i, Muhammad al Qawaji, Muhamad al Husaini dan lainnya .
Rasyîd Ridlâ rajin mengikuti perkembangan dunia Islam melalui surat kabar 'Urwat al Wutsqô. Melalui surat kabar inilah Ridlâ mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad 'Abduh dan Jamaluddin al Afghâni .Ridlâ sangat tertarik kepada ide berilian kedua tokoh tersebut dan sangat berharap untuk bertemu langsung dengan mereka. Sayangnya,Ridlâ tidak pernah mendapat kesempatan untuk mendapatkan keinginannya dan hanya dapat berhubungan dengan al Afghâni sebatas surat menyurat saja. Beruntung, ketika pemerintah Turki membuang Abduh ke BeirutRidlâ mendapat kesempatan untuk bertemu dengannya dua kali sewaktu ia mengunjungi Tarablus. Sharing ide dengan 'Abduh membawa keinginan untuk menerapkan ide-ide pembaharuan di kotanya. Namun karena terbentur oleh kepentingan pemerintah 'Ustmani, Ridlâ memutuskan untuk hijrah menyusul gurunya ke Mesir.Ridlâ sampai di teluk iskandariah pada sore hari jum'at 8 Rajab 1315 H bertepatan dengan 3 Januari 1898 M .
Setelah bertemu dengan gurunya, hal pertama yang dia usulkan adalah menyusun majalah sebagai sarana untuk pembaharuan. Ridlâ mengusulkan agar majalah itu memuat suatu dialog yang panjang mengenai ide-ide pembaharuan seputar politik, pendidikan dan penyebaran pemikiran-pemikiran yang sahih melawan kebodohan, kurafat dan bid'ah. Majalah tersebut kemudian diterbitkan pertama kali pada 22 syawal 1315 H bertepatan dengan bulan Maret 1899 M dengan nama al Manar yang berarti petunjuk .
Rasyîd Ridlâ wafat pada hari kamis 23 Jumadil Ula bertepatan dengan 22 agustus 1935 di usia beliau yang ke tujuh puluh. Dalam pengantar majalah al Manar disebutkan bahwa wafatnya beliau disebabkan oleh kecalakaan sepulang mengantar raja Sa'ud Ibn 'Abd al 'Aziz dari terusan suez. Sayyid Rasyîd Ridlâ menyetir sendirian mobil dalam keadaan tidak sehat dan beliau pulang kerahmatullah sambil membaca al Qur'an sebagai syahid .
Di antara karya tulisan beliau yang terkenal adalah majalah al Manâr 35 jilid, Tafsîr al Qur'ân al Hakîm (Tafsir al Manâr) , al Wahy al Muhammady , Huqûq al Nisâ , Târikh al Ustâdz Imâm Muhammad 'Abduh , al Khilâfah aw al Imâmah al 'Uzmâ , al Sunnah wa al Syi'âh , al Wahâbiûn wa al Hijâz, dan Syubhât al Nasârâ wa Hujjat al Islâm . Di antara karya tersebut, majalah al Manar adalah karya termasyhur dan paling banyak menyita waktunya. Bahkan tafsir al Manâr yang terkenal juga termuat di dalamnya. Majalah ini menembus publik eropa, hijaz hingga india. Majalah ini eksis selama tidak kurang dari 36 tahun dan menerbitkan tidak kurang dari 35 jilid meliputi 160 ribu lembar halaman.

C. Latar Belakang Sosial Politik dan Kultural.
Menurut orientalis Malise Ruthven dan Azim Nanji, akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 adalah puncak terjadinya gerakan revormasi pemikiran arab Islam di timur tengah. Tokoh yang kerap kali disebut-sebut dalam masa tersebut adalah dua orang yang merupakan idola Rasyîd Ridlâ, Jamaluddin al Afghâni dan Muhammad 'Abduh. Keduanya merupakan sosok revormer islam yang fokus pada permasalahan-permasalahan umat Islam dan perlawanan terhadap penjajahan barat. Pada rentang waktu tersebut, dunia Islam khususnya di Timur tengah sedang mengalami permasalahan serius dalam dua aspek, intern dan ekstren . Permasalahan internal, merupakan persoalan yang timbul dari umat Islam sendiri dari mulai penyimpangan-penyimpangan paham keagamaan hingga perseteruan golongan dalam Islam. Sedangkan permasalahan eksternal lebih kepada persoalan yang ditimbulkan akibat kontak dunia muslim dan barat. Dalam hal ini, 'Abduh merupakan tokoh yang memiliki perhatian besar pada masalah pembaharuan pemikiran agama, sedangkan al Afghâni lebih kepada persoalan pan Islamisme (persatuan umat islam sejagad) dan perlawanan penjajah barat terutama Inggris . Rasyîd Ridlâ juga dibesarkan dan dididik dalam situasi politik umat Islam yang sedang terpecah belah berada di bawah penjajahan Barat.
Harun Nasution memaparkan bahwa pembuangan 'Abduh oleh pemerintah Inggris terjadi di akhir tahun 1882. Pada awalnya ke Beirut, kemudian ia pergi ke Paris menyusul al Afghâni yang selanjutnya meluncurkan majalah 'urwat al wutsqo dua tahun kemudian . Saat kedatangan 'Abduh ke Beirut, Rasyîd Ridlâ masih menjalani pendidikannya di Madrasah al Wathaniyah Tarablus. Ridlâ baru mengenal 'Abduh melalui pemikiran-pemikirannya di majalah 'urwat al wustqo ketika ia bergabung dengan al Afghâni di Paris . Gejolak revolusi Urabi di Mesir dan trend nasionalisme pada waktu pembuangan 'Abduh , banyak mempengaruhi para pemikir-pemikir arab di luar mesir, salah satunya syaikh al Jisr yang banyak membentuk semangat keilmuan Rasyîd Ridlâ. Salah satu ide syaikh al Jisr yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Ridlâ adalah perlunya memadukan antara pendidikan agama dan sekuler melalui metode Eropa modern dan metode Pendidikan Nasional . Menurut 'Adawi, Pemikiran guru Ridlâ ini berangkat dari situasi politik saat itu yang menyuburkan pendidikan bergaya barat Eropa-Amerika yang makin diminati oleh para orang tua di Syam untuk menyekolahkan anaknya di sana. Sekolah tempat Ridlâ menimba ilmu dari al Jisr itu ditujukan sebagai tandingan sekolah-sekolah Barat tersebut .
Kalau demikian latar belakang politik, maka setting kultur keagamaan di masa Rasyîd Ridlâ banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Salah satu yang mendapat perhatian Ridlâ ketika masih muda adalah organisasi tarekat sufi Maulawiyah yang penuh dengan praktik-praktik dan pemahaman yang menyimpang . Budaya keagamaan masa Ridlâ juga diwarnai dengan banyaknya pelaku bid'ah yang menambahkan ajaran dan pemahaman yang tidak relevan dalam agama, seperti tawasul kepada ahli kubur . Di sisi lain, taqlid dan fanatisme kepada mazhab fikih juga mewarnai budaya keagamaan umat Islam. Dikisahkan Rasyîd Ridlâ pernah mengunjungi sebuah kedai kopi di mana ia menemukan dua orang yang sedang mengunggulkan mazhabnya masing-masing .
Pemikiran Rasyîd Ridlâ hampir seluruhnya dibentuk dalam kultur Arab Islam. Bahkan menurut Samir Hamdan, boleh dibilang Rasyîd Ridlâ tidak pernah tersentuh oleh pemikiran Barat . Satu-satunya akses Ridlâ dalam pemikiran modern boleh dibilang hanya terbatas melalui pemikiran gurunya, 'Abduh. Lebih jauh lagi Samir Hamdan meringkas empat sumber yang mempengaruhi setting pemikiran Ridlâ, yaitu al Qur'an, Hadits Nabi, kitab-kitab turats dan dua majalah 'Urwât al Wutsqô dan al Muqtatif . Keterbatasan Rasyîd Ridlâ dari kultur Barat Modern ini menurut Samir Hamdan bukan karena ia enggan mendalaminya, namun lebih dikarenakan kelemahannya dalam bahasa asing terutama Perancis . Mungkin hal ini pula yang menjadikan perbedaan pandangan pembaharuan antara Ridlâ dan 'Abduh.

D. Pemikiran (Gagasan) dan Aktifitas Dakwah Rasyîd Ridlâ.
Bagi Rasyîd Ridlâ, dakwah tidak berbeda dengan pembaharuan (ishlâh). Dengan demikian, yang dimaksud dengan dakwah kepada Islam artinya mengajak orang untuk memperbaiki segala aspek yang kurang dari agama dan kaitannya. Dakwah kepada Islam artinya mengajak orang untuk beragama yang orisinil (ashl al dîn), bukan yang dicampuri dengan pernak-pernik bid'ah. Dakwah bagi Ridlâ adalah mengenalkan keutamaan-keutamaan ajaran Islam kepada orang, peradaban Islam, dan praktik-praktiknya yang menyebabkan kepada kesuksesan hidup dunia-akhirat termasuk agenda mencegah dari segala bentuk kemunkaran dan kejahatan .
Dakwah kepada agama yang orisinil, menurut Ridlâ adalah dakwah kepada hakekat, bukan simbol-simbol. Ridlâ menyesalkan sikap kebanyakan orang yang tertipu dengan julukan-julukan bek, pasya, sayyid atau syarif. Mereka menjadi loyal kepada orang-perorang, bukan kepada akidah dan agamanya. Hal demikian menurut Ridlâ, adalah awal dari praktik pengkultusan seperti yang terjadi pada tarekat-tarekat tasauf . Sikap kultus dalam agama menurut Ridlâ serupa dengan sikap orang kafir yang dikritik al Qur'an dan akan menyesal di hari kemudian " Hai Tuhan Kami, kami menuruti pemimpin dan pembesar kami, tapi mereka malah menyesatkan kami…" QS al Ahzâb/33: 67 . Pengkultusan terhadap orang perorang, juga bisa terjadi dalam sikap bermazhab. Dalam hal ini, pengkultusan akan membentuk sikap fanatik seseorang akan mazhab tertentu. Dakwah bagi Rasyîd Ridlâ, harus bisa menghilangkan sikap fanatik ini dan mensosialisasikan sikap toleransi antar mazhab . Bagi Ridlâ, yang mesti dipertahankan adalah hal-hal yang sama dan prinsipil, sedangkan dalam perbedaan perincian dan bukan dasar orang diberikan kebebasan untuk memilih mana yang disetujuinya. Dalam bidang fikih, Rasyîd Ridlâ menilai perlunya pembaharuan fikih dengan perspektif modern .
Dakwah sebagai perwujudan dari ide pembaruan menurutRidlâ tidak bisa dilakukan kecuali jika umat Islam bersatu dibawah kesatuan akidah dan kesatuan kepemimpinan yang adil. Rasyîd Ridlâ mengkritik pendapat yang memisahkan antara khilafat (kekuasaan agama) dan sultanat (kekuasan politik), dan antara din dan daulah . Menurut Ridlâ, agama (dîn) memiliki tiga tujuan utama, yakni memperbaiki keyakinan (tashîh al 'aqâid), memuliakan budipekerti (tahzîb al akhlâq) dan memperbaiki amal (ihsân al a'mâl). Amal sendiri bagi Ridlâ terdiri dari amal ibadah dan mu'amalat . Bagian amal yang tersebut terakhir ini kata Ridlâ juga mencakup bidang kenegaraan dan politik. Semua ini bagiRidlâ dapat diwujudkan apabila terdapat khilafat yang bertugas sepuluh hal berikut .
Pertama, memelihara agama agar tetap berada pada pokoknya seperti yang disepakati oleh para ulama salaf. Ia bertugas membantah dan menghukum penyelewengan-penyelewangan paham agama agar umat tetap berada dalam keyakinan yang benar. Kedua, eksekusi hukum bagi pihak-pihak yang bertikai dan melerai pihak-pihak yang bermusuhan, serta menjaga keadilan agar yang zalim tidak bertambah zalim dan yang tertindas makin tertindas. Ketiga, memelihara stabilitas ekonomi agar masyarakat terhindar dari praktik-praktik kecurangan yang diharamkan. Keempat, menegakkan hukum pidana (hudûd) dengan tujuan memelihara pelecehan terhadap hal-hal yang diharamkan Allah dan memelihara hak-hak masyarakat dari kerusakan dan penganiayaan. Kelima, menyiapkan pertahanan yang kuat dari musuh-musuh muslim yang hendak menyerang atau melukai orang muslim dan warga non muslim yang berada dalam perlindungan. Keenam, menggalakkan jihad terhadap musuh-musuh agama setelah ditegakkannya dakwah sehingga mereka masuk Islam atau menjadi ahl al dzimmah. Ketujuh, mendistribusikan pajak, zakat dan sedekah kepada mereka yang berhak menerimanya. Kedelapan, mengaudit keuangan negara dan menentukan pihak-pihak yang berhak dibiayai oleh negara dengan perhitungan yang matang dan tepat waktu. Kesembilan, merekrut orang-orang yang terpercaya dan kompeten agar semua pekerjaan bisa dikerjakan dengan profesional dan terhindar dari praktik korupsi. Kesepuluh, seorang khalifah haruslah yang mampu mengendalikan dirinya dan bersikap profesional .
Dalam bidang pendidikan, Rasyîd Ridlâ seperti juga Syaikh Jisr menilai perlunya pendidikan agama dan umum yang dikombinasikan dengan metode modern . Hal ini dibuktikan dengan usahanya mendirikan sekolah madrasah al da'wah wa al Irsyâd. Sekolah ini didirikan dengan tujuan untuk merekrut da'i-da'i muslim yang berwawasan modern untuk disebarkan ke negara-negara muslim di dunia . Rasyîd Ridlâ juga menilai perlunya mengangkat kaum perempuan dalam pendidikan. Hal demikian diwujudkan melalui usahanya membangun kaum perempuan ketika masih berada di Suriah .
Selain dakwah dengan tulisan dan pendidikan, aktivitas dakwah Rasyîd Ridlâ juga meliputi dakwah dengan lisan. Ketika masih berada di Qalmun, Ridlâ aktif mengadakan ceramah-ceramah di Mesjid dekat rumahnya . Ia juga tidak berkeberatan untuk berkunjung ke kedai-kedai untuk minum kopi dan teh bersama orang banyak sambil mengingatkan mereka yang meninggalkan shalat.Ridlâ juga mengajak mereka untuk bergabung bersama dalam pengajian yang ia selenggarakan.
Dalam pembaharuan, seperti juga gurunya, Muhammad 'Abduh, Rasyîd Ridlâ menyerukan agar kaum muslimin meningalkan keyakinan fatalisme (aqîdat al jabr). Kata Ridlâ, dalam keyakinan fatalisme terdapat kebodohan dan kemadharatan . Rasyîd Ridlâ menyebutkan sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menyebabkan kemunduran kaum muslim. Pertama, faktor agama (al asbâb al diniyyah) yang salah satunya dilatarbelakangi oleh keyakinan fatalisme dan mengajak orang untuk zuhd meninggalkan usaha dan optimime. Kedua, faktor politik (al asbâb al siyâsiyyah) yang salah satunya disebabkan oleh perpecahan kaum muslim dan merebaknya sikap kesukuan 'Ashabiah dan golongan. Ketiga, faktor moral (al asbâb al akhlâqiyyah) yang salah satunya disebabkan oleh kebodohan dan sikap puas dengan kebodohan .
Walaupun secara garis besar Rasyîd Ridlâ memiliki kesamaan pandangan dengan gurunya, Muhammad 'Abduh, namun banyak sekali perbedaan-perbedaan pandangan dari keduanya. Kata Harun Nasution, guru lebih liberal sedangkan murid lebih salafi. Karena dalam bidang politik guru tidak tertarik pada politik, maka agaknya murid mengambil ide politiknya atas dasar pandangan al Afghâni yang juga tokoh idolanya . Kata Harun Nasution, awalnya Ridlâ menaruh harapan kepada kerajaan Ustmani untuk menjadi khilafah seperti yang dicitakannya, namun setelah Kemal Attaturk menghapusnya di tahun 1924 ia beralih menaruh harapan kepada kerajaan Saudi. Itulah yang mungkin menyebabkan di akhir hayatnya ia memiliki hubungan yang dekat dengan raja Abdul 'Aziz .
Rasyîd Ridlâ menaruh simpati kepada aliran wahâbiyyah yang menurutnya memiliki pandangan yang komprehensif tentang Islam. Wahâbiyyah kata Ridlâ, memiliki pijakan agama yang kuat, dan konsisten dalam mengikuti sunah dan memberantas bid'ah dan kebencian mereka terhadap pemerintahan orang asing . Karena simpati ini pula dimungkinkan Ridlâ terpengaruh oleh ajaran wahâbiyyah yang sepaham dengannya . Salah satu contoh paham yang membedakan ia dengan gurunya dapat dilihat ketika ia menafsirkan kata 'arsy. Menurut 'Abuh kata tersebut berarti kekuasaan. Sedangkan menurut Ridlâ, berarti singgasana meskipun berbeda dengan singgasana manusia .




E. Pengaruh Dakwah Rasyîd Ridlâ.
Pemikiran-pemikiran pembaharuan Rasyîd Ridlâ memiliki pengaruh yang sangat luas di kalangan muslimin. Tidak terbatas hanya di Timur Tengah, tapi juga sampai ke Indonesia. Khusus di Timur Tengah, pemikiran Rasyîd Ridlâ berpengaruh kuat dalam pelbagai gerakan dakwah. Di antaranya tersebut nama gerakan Ikhwân al Muslimûn dan Hizb al Tahrîr yang mengadopsi pemikiran kesatuan umat Islam dan menolak paham nasionalisme. Menurut paham ini, paham nasionalisme bertentangan dengan ide persaudaraan seluruh umat muslim. Persaudaraan dalam Islam tidak kenal pada perbedaan bahasa, tanah air maupun bangsa .
Di india, organisasi dengan model serupa yaitu Jama'at al islami disebut-sebut juga sebagai pengadopsi ide-ide khilafat Rasyîd Ridlâ. Pendiri gerakan ini, yakni Abu al A'lâ al Maudûdi, adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan tradisionil dan jauh dari pendidikan modern. Ia kemudian mengenal ide Rasyîd Ridlâ melalui majalah al Manar yang sampai ke anak benua India .
Di indonesia, gerakan dakwah yang mengadopsi ide-ide Rasyîd Ridlâ dapat dilihat dalam organisasi Muhammadiyyah . Organisasi yang didirikan oleh Kiayi Ahmad Dahlan pada 1912 ini pada awal berdirinya concern dalam pemberantasan paham taqlid, kurafat dan bid'ah-bid'ah. Muhammadiyyah juga mengadopsi ide Rasyîd Ridlâ untuk membangun sekolah Islam modern sebagai tandingan sekolah-sekolah kristen misionaris . Selain organisasi Muhammadiyyah, pemikiran pembaharuan Rasyîd Ridlâ juga masuk ke Indonesia melalui majalah al Imam yang diterbitkan di Malaysia oleh tiga orang ulama besar, yaitu Said Muhammad Agil, Syekh Muhammad al Kalali dan Syekh Taher Jalaluddin. Orang yang tersebut terakhir in pernah mengenyam pendidikan di Cairo dan terpengaruh oleh ide-ide pembaharuan Rasyîd Ridlâ. Hal tersebut dapat dilihat melalui isi majalah al Imam yang tidak jauh berbeda isinya dengan majalah al Manar. Seperti juga al Imam, majalah al Munîr yang lahir di kota Padang juga bisa dibilang sebagai duplikasi ide-ide majalah al Manar .
Di Jakarta, seorang sahabat Ridlâ yang juga pengikut Muhammad 'Abduh bernama Syekh Ahmad Surkati mendirikan sekolah al Ishlâh wa al Irsyâd dan menerbitkan majalah al Zâkhirah. Sekolah in seperti juga madrasah al Da'wah wa al Irsyâd memiliki kesamaan misi dalam pembaharuan. Sedangkan majalah al Zâkhirah memiliki spesifikasi menyebarkan ide-ide pembaharuan di Indonesia .

Wallâhu A'lam bi al Sawwâb.
Prio Hotman, Desember, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar