Rabu, 07 Juli 2010

PERILAKU SEKS MENYIMPANG
(Homoseksual dan Masturbasi)
Dipresentasikan Pada Forum Diskusi Fikih Kontemporer
Oleh : Prio Hotman, MA





A. Prolog.

Seks - dalam arti hubungan kelamin (bukan jenis kelamin) - sebagai kebutuhan asasi manusia, secara esensial merupakan salah satu dari sekian banyak nikmat Allah yang diberikan kepada hambanya. Kebutuhan manusia akan seks tidak kalah asasinya dari kebutuhan-kebutuhan fisik lain dan merupakan satu aspek sebab manusia dapat bertahan hidup (survive). Sebagai suatu nikmat, seks dapat disyukuri seperti pula bisa dikufuri. Bersyukur atas nikmat seks, artinya manusia harus memahami hikmat dibalik anugerah seks, tujuan pemberian seks dan menggunakan seks sesuai dengan aturan yang ditetapkan-Nya. Sedangkan mengkufuri nikmat seks, artinya seseorang menyalahi aturan yang ditetapkan Tuhan atas seks dan tidak memahami (menutupi) tujuan dan hikmat daripada seks itu sendiri.
Manusia sebagai delegasi Tuhan, dipersiapkan dengan atribut lengkap yang tidak diberikan kepada mahluk lain agar ia bisa memakmurkan bumi ini. Seperti Tuhan telah melengkapi dengan atribut ketaatan, manusia juga diberi potensi untuk melakukan penyimangan-penyimpangan. Dengan kedua hal tersebut, maka amat wajar jika Tuhan mengunggulkan ketaatan manusia ketika dibanding dengan ketaatan para malaikat. Melalui hubungan seks, Tuhan menghendaki agar manusia merasakan anugerah Tuhan yang begitu besarnya dan memakmurkan bumi ini dengan kebaikan-kebaikan . Jika demikian adanya, maka penyimpangan seks manusia menyalahi kehendak Tuhan tersebut dan menyalahi tatanan alam yang wajar.
Walaupun tidak mendalam, tulisan ini mencoba untuk mendiskusikan permasalahan seputar seks menyimpang dalam perspektif pemahaman legal Islam (fiqh) dengan dibatasi atas persoalan homeseks, lesbian dan masturbasi saja. Homoseks dan lesbian, dipilih sebagai bentuk yang mewakili prilaku seks menyimpang karena fenomenanya dan dampaknya yang begitu besar bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Sedangkan masturbasi dipilih, karena terdapat pandangan sebagian ulama yang begitu keras dalam masalah ini dan menilainya sebagai salah satu bentuk perilaku seks menyimpang dan dosa besar.


B. Definisi Prilaku Seks Menyimpang: Homoseks, Lesbian dan Masturbasi.

Dalam tinjauan medis, perilaku seks menyimpang diistilahkan dengan parafilia. Istilah yang berasal dari bahasa yunani ini tersusun dari dua frasa kata, yakni para yang berarti samping, dan philia yang berarti cinta. Istilah Parafilia kemudian digunakan untuk menunjuk kepada sifat dan prilaku serta ketertarikan seksual yang diluar kebiasaan atau diluar kewajaran . Dalam penelitian selanjutnya, ada beberapa perilaku seks yang biasa dikenal dan dikategorikan sebagai seks menyimpang. Kategori yang dimaksud secara berturut-turut adalah Homoseks, Lesbian dan Masturbasi.
Homoseks merupakan penyimpangan seksual yang mengacu kepada kelainan terhadap orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai kelamin sejenis atau identitas gender yang sama, baik pria dengan pria maupun wanita dengan wanita. Melalui pengertian ini, homoseks berarti memiliki pengertian yang umum. Pengertian khusus yang sering digunakan untuk seks sesama pria biasanya diistilahkan gay, dan untuk sesama wanita digunakan kata lesbian .
Tidak semua pelaku homoseksual dapat diidentifikasi melalui penampilan. Jika melihat pengertian yang penulis paparkan di atas, berarti waria dan tomboy ("leather boy") juga termasuk dalam kategori ini karena preferensi seksnya berorientasi pada sesama jenis. Hanya saja waria dan tomboy terlihat dari penampilan pisiknya, jika waria menyukai penampilan yang feminim, sebaliknya tomboy menyukai penampilan yang maskulin. Dalam kegiatan seksnya, waria menempatkan diri seolah sebagai pasangan wanitanya, dan tomboy menempatkan diri seolah sebagai pasangan lelakinya .
Gay dan lesbian sebagai bagian dari perilaku homoseksual, memiliki perbedaan dengan yang baru dijelaskan di atas. Baik gay atau lesbian berpenampilan layaknya lelaki dan perempuan biasa. Kelainan seksual mereka terlihat justru ketika sudah dihadapkan kepada pasangan sejenis mereka. Dalam kasus gay dan lesbian, dikenal adanya istilah pasangan pasif dan pasangan aktif. Pasangan aktif adalah mereka yang "melayani" (bertindak agresif dalam kegiatan seksnya) dan pasangan pasif adalah mereka yang "dilayani". Dalam kegiatan seksnya, baik gay maupun lesbian selalu taking turn sebagai pasangan aktif dan pasifnya .
Sedangkan masturbasi berasal dari kata manus yang berarti tangan dan stuprare yang berarti penyalahgunaan, istilah yunani ini kemudian disederhanakan sebagai penyalahgunaan fungsi tangan. Dalam bahasa Indonesia, masturbasi dikenal dengan istilah onani atau rancap, yang maknanya sama yaitu perangsangan organ sendiri dengan cara menggesek-geseknya melalui tangan atau benda lain hingga mengeluarkan sperma dan mencapai orgasme. Karena masturbasi lebih banyak terjadi pada remaja, maka perilaku seks ini mempunyai istilah "gaul" yang akrab disebut coli. Dalam fiqih Islam, masturbasi dikenal dengan banyak istilah seperti Istimnâ' al Kaff (bersenang-senang dengan telapak tangan), nikâh al yâd (sek dengan tangan), al Jildu al umairah (kulit yang kemerah-merahan), I'timâr (ziarah tangan), dan al 'adât al sirriyah (kebiasaan rahasia). Sedangkan masturbasi oleh wanita dikenal dengan istilah al Ilthâf .
Masturbasi dilakukan seseorang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan seksualnya tanpa jalan senggama, selain menggunakan tangan juga digunakan pula alat bantu (vibrator/vaginator). Menurut sebagian ahli, masturbasi adalah istilah yang diperuntukan bagi wanita, sedangkan untuk laki-laki digunakan istilah onani. Penggolongan masturbasi sebagai salah satu perilaku seks menyimpang dimungkinkan karena sifatnya yang dilakukan tanpa senggama. Namun demikian, banyak dari pakar kesehatan yang menolak penggolongan masturbasi sebagai perilaku seks menyimpang. Bagi mereka, justru masturbasi adalah perilaku normal selama tidak dilakukan secara berlebihan dalam kuantitas (berapa kali dilakukan) maupun kualitas (tanpa mencederai alat kelamin) .

C. Pandangan Islam Mengenai Homoseksual.
Semua manusia yang berjiwa sehat menilai homoseksual sebagai perbuatan tercela dan terlarang, baik dalam ukuran akal sehat maupun ukuran agama. Penilaian demikian berangkat dari pemahaman tentang status homoseksual sebagai kejahatan kemanusiaan (al jarîmah al khalqiyyah) yang tidak pantas dipraktekan oleh bangsa/jenis manusia manapun di dunia . Homoseksual juga dinilai sebagai bentuk perlawanan terhadap eksistensi kemanusiaan karena pada hakekatnya perbuatan itu bertentangan dengan fitrah manusia di satu sisi dan hukum alam di sisi yang lain .
Melalui kaca mata Islam, homoseksual yang biasa diistilahkan dengan al liwat (untuk gay) dan al sihâq (untuk lesbian) ini disinggung dalam al Qur'an dengan istilah al fahisyah . Istilah ini biasanya diartikan sebagai zina, namun acapkali digunakan dalam arti homoseksual (al liwat) . Kata Fahisyah menurut al Ashfihany adalah perbuatan yang terlampau buruk atau begitu jelas unsur keburukannya sehingga tidak ada orang yang berakal sehat yang berkeinginan untuk menyangkalnya . Mungkin karena alasan ini pula maka seluruh manusia di dunia sepakat tentang penilaian buruk homoseksual dan tidak ditemukan pembenaran terhadap homoseksual atas nama agama manapun. Pembelaan yang biasa ditemukan terhadap kasus-kasus homoseksual biasanya dengan alasan hak asasi manusia sekular ad hoc tanpa menyertakan nama agama dalam prakteknya. Dengan kata lain, status hukum (keharaman) homoseksual dalam Islam dapat dikatakan sebagai sesuatu yang ma'lum bi al dharurah (taken for granted: diterima begitu saja) .
Dengan kejelasan status hukum homoseksual, maka pembicaran di dalamnya menjadi suatu yang boleh dibilang tahsil al hasil. Bagi penulis kajian tentang eksistensi homoseksual sebagai fenomena sosial dan suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah lebih relevan. Menurut penilitian para ahli kesehatan, diperoleh keterangan bahwa homoseksual disebabkan oleh hal-hal berikut, susunan kromosom, ketidakseimbangan hormon, kelainan susunan syaraf, dan faktor-faktor lain . Menurut pakar seksologi Wimpie Pangkahila seperti dikutip Desti Riyanti, faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor psikodinamik, sosiokultural dan lingkungan . Kesimpulan dari hasil penelitian tersebut dapat disederhanakan dalam dua poin. Pertama, homoseksual merupakan kelainan berlatarbelakng bornmake product (kelainan yang dihasilkan sejak lahir). Kedua, kelainan tersebut baru berupa potensi karena masih ada unsur lain yang bisa mempengaruhi perkembangan homoseksual, yakni unsur lingkungan dan sosial. Dengan ungkapan lain, kecenderungan homoseksual tidak dapat menjadi aktual jika tidak mendapat momentnya dalam lingkungan dan kehidupan sosial.
Pernyataan di atas menarik suatu pemahaman bahwa homoseksual berbeda dari kejahatan (jarimah) lainnya seperti pencurian atau zinah. Baik mencuri atau berzina, keduanya walaupun dapat difaktori oleh lingkungan sosial, namun kehendak dan kecenderungan pribadi sipelaku merupakan faktor yang dominan, berbeda dengan homoseksual. Latar belakang kelainan kelahiran (hormon, syaraf dan kromosom) yang diperoleh dari hasil penelitian ilmiah, mengandaikan adanya faktor lain diluar kehendak pribadi yang mendorong seseorang berprilaku homoseksual. Dengan ungkapan lain, homoseksual dapat disamakan dengan cacat bawaan. Namun demikian, pernyataan ini dibantah oleh pakar lain sebagai alasan yang tidak manusiawi. Bagi mereka, homoseksual merupakan pilihan yang dapat diubah dan bukan takdir yang statis .
Manapun dari pendapat di atas, keduanya mengandung unsur kebenaran. Karakteristik Islam yang dalam sejarah tidak pernah menentang hasil penelitian Ilmiah mengharuskan untuk menerima fakta tersebut . Di pihak lawannya, secara esensial-moral perilaku homoseksual tidak dipungkiri sebagai perbuatan tercela yang menentang fitrah manusia. Melalui logika ini, maka dapat dimengerti alasan sebagian pakar yang secara sepintas lalu memberikan pembelaan terhadap homoseksual . Bagi penulis, pembelaan mereka dalam kasus homoseksual tidak berarti pembenaran terhadap tindakan homoseksual. Secara proporsional, pembelaan mereka harus dipahami dalam tataran prasangka positif terhadap nilai-nilai kebaikan priomordial dalam diri manusia.
Kita tidak akan berkata seperti perkataan Mujahid ketika berkomentar tentang pelaku homoseksual "…orang yang melakukan perbuatan homoseksual meskipun dia mandi dengan setiap tetesan air dari langit dan bumi masih tetap najis”. Kita juga tidak akan menetapkan hukum mati terhadap pelaku homoseksual sebagaimana ijtihad para ulama malikiah dan hanabilah , atau seperti mereka yang berdalil dengan argumen sahabat tentang aneka ragam cara membunuh bagi pelaku homoseksual . Tidak satupun ungkapan-ungkapan dan justifikasi ulama terhdap pelaku homoseksual seperti diungkap di atas yang bernada positif. Padahal – seperti telah di jelaskan di atas – homoseksual tidak semata-mata pilihan yang bersangkutan yang menyebabkan ia harus menanggung semua perbuatannya secara sadis. Benar bahwa perilaku homoseksual adalah perbuatan amoral yang tidak dapat ditolerir, namun lingkungan sosial dan genetika juga memiliki peran dalam terwujudnya penyimpangan ini.
Berangkat dari prasangka positif tentang nilai-nilai kebajikan priomordial yang terdapat dalam diri manusia, penulis percaya bahwa dengan kemauan keras dari pelaku dan penerimaan yang positif dan sinergis dari lingkungan sosial dapat mengurangi – jika tidak mungkin menghilangkan - penyimpangan seksual ini dan dampak negatifnya di masyarakat. Jika ditelaah lebih jauh, rendahnya pengawasan terhadap perkembangan remaja, sistem kolot pesantren yang cenderung memperketat pertemuan santri pria dan wanita, serta sejumlah sistem sosial lainnya juga kerap kali dituding sebagai pintu gerbang yang menyemaikan bibit-bibit homoseksualitas.
Pendapat yang kedengaran agak positif terlihat dari pandangan pakar tafsir kenamaan Quraish Shihab ketika mengomentari ayat ke 15 dan 16 surah al Nisa cenderung memahami kata al fahisyah dalam ayat tersebut sebagai perbutan homoseksual. Menurut ulama ini – mengutip pendapat al Sya'rawi, ayat tersebut membicarakan hukuman bagi pelaku homoseksual baik wanita maupun pria. Homoseksual wanita (lesbian) hukumannya adalah dipenjarakan atau tahanan rumah melalui pengawasan penguasa setempat. Sedangkan hukuman bagi pelaku homoseksual pria adalah dicemoohkan bukan ditahan, demikian karena lelaki berkewajiban mencari rizki namun tidak demikian dengan wanita .
Penjatuhan sanksi atas pelaku homoseksual baik pria maupun wanita, lanjut Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas, baru diberlakukan ketika dapat dibuktikan oleh sekurangnya empat orang saksi. Jika mereka telah bertaubat, yakni menyesali perbuatannya, tidak mengulangi perbuatan kejinya dan memperbaiki diri, dengan jalan beramal saleh dalam waktu yang cukup sehingga ia benar-benar dapat dinilai telah menempuh jalan yang benar, maka mereka tidak boleh lagi dicemooh lagi. Diakhir penafsirannya, Quraish Shihab menambahkan perlunya meneladani sifat Allah termasuk menerima kembali oerang yang bersalah dan menyayanginya .

D. Pandangan Islam mengenai Masturbasi.
Baik al Qur'an maupun Sunnah, sebagai dua teks yang mewakili pandangan Islam tidak memuat pembicaraan mengenai masturbasi. Dalam al Qur'an hanya ditegaskan tentang keharusan kaum beriman untuk menjauhi zina dan apa yang bisa mendekatkan orang kepada zina. Sedangkan dalam Sahih Bukhari ataupun Muslim sebagai dua kitab kodifikasi hadist yang dinilai memiliki otoritas dalam hal kelayakan sebuah hadist tidak ditemukan pula pembicaraan mengenai masturbasi. Sepanjang penelitian penulis, kitab fiqih klasik bermazhab Syafi'i I'anat al Thalibin mengutip suatu hadist tanpa takhrij demikian "...لعن الله من نكح يده/ Allah Melaknat orang yang menikahi tangannya…" . Kata masturbasi itu sendiri lebih populer dimuat dalam kitab-kitab fikih klasik dengan istilah al Istimna' dan di dalamnya kebanyakan menegaskan status keharaman, atau paling tidak melabelkan makruh.
Sebagai preposisi awal dapat disimpulkan bahwa al Qur'an dan Sunnah tidak secara tegas menyebutkan tentang status hukum Istimna'. Dalam kaitan status keharaman hukum ini, penulis dapat menggaris bawahi beberapa hal tentang wacana populer masturbasi. Pertama, Istimna' disamakan status hukumnya dengan zina dengan merujuk pada ayat-ayat dan hadist tentang keharaman zina . Kedua, Istimna' dihukumi haram dengan argumen hadist-hadist yang masih diragukan validasinya . Ketiga, Istimna' diharamkan melalui pertimbangan logis dengan argumen kemadharatan .
Mengenai pandangan yang pertama, jika dikaitkan dengan definisi ulama tentang zina maka argumen yang diberikan menjadi tumpang tindih. Padahal dalam kitab-kitab klasik zina diartikan sebagai "…bersetubuhnya seorang laki-laki dengan perempuan melalui kemaluan depannya (qubul) tanpa ada hubungan kepemilikan atau serupa kepemilikan (syubhat al milk) . Definisi zina seperti diuraikan mengandaikan tentang keharusan adanya hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin. Dengan demikian, masturbasi sebagai seks yang dilakukan secara personal tidak termasuk dalam pengertian zina. Masturbasi juga bukan perbuatan yang mendekati zina, sebaliknya masturbasi justru dapat dijadikan sebagai sarana untuk menghindari zina. Mendekati zina, kata al Maraghi berarti melakukan perbutan-perbuatan yang bisa menjadi sebab atau mendorong orang melakukan zina . Bahkan Muhammad Kharsy, seorang ulama fikih bermazhab Maliki, kendati berpendapat akan haramnya masturbasi, namun tetap membolehkannya sebagai alternatif menghindari zina jika tidak ditemukan cara lainnya .
Sedangkan pengkaitan antara pernyataan hadist nabi tentang zinanya anggota badan dan keharaman masturbasi, bagi penulis termasuk dalam tausi' al kalam (memperluas pengertian ucapan) yang tidak pada tempatnya dan cenderung menyetarakan status hukum istimna' dengan zina . Padahal karena pemahamannya yang umum, secara pemikiran sehat tidak mungkin menjadikan hadits di atas sebagai argumen keharaman status Istimna' seperti diharamkannya zina.
Sedangkan mengenai pandangan yang kedua bagi penulis cukup jelas. Kaidah yang berlaku dalam ushul fiqh menolak keberadaan status nas-nas (baca: hadist) yang non valid untuk dijadikan sebagai rujukan dalam menentukan status hukum. Keterangan-keterangan demikian ini dalam limit maksimalnya hanya diperkenankan untuk diaplikasikan sebatas targhib wa tarhib dan tidak lebih . Atas dasar pandangan demikian ini, penetapan status keharaman masturbasi dengan argumen hadist-hadist non valid tidak dapat diterima.
Adapun justifikasi keharaman masturbasi atas dasar pertimbangan kemadharatan di dalamnya, maka hal ini juga perlu dikaji ulang. Jika ditelaah lebih jauh, depresi emosional-psikologis yang dialami oleh pelaku masturbasi karena adanya perasaan berdosa, sebetulnya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, ketidaktahuan pelaku secara teknis mengenai masturbasi yang aman dan bermanfaat. Kedua, ketidaktahuan pelaku bahwa keharaman masturbasi itu bersifat kondisional dan situasional. Dengan ketidaktahuan itulah, maka pelaku masturbasi terus dihantui perasaan berdosa dan bersalah setelah melakukan hal tersebut. Ketiga, stigma keharaman yang dilabelkan ulama yang cenderung memandang masturbasi hanya dari sudut dan aspek tertentu dengan mengabaikan aspek yang lain. Pakar seks Martha Chang dalam Big Book of Masturbation menyebutkan bahwa menurut penelitan medis dan psikologi modern masturbasi tidaklah menimbulkan dampak negatif pada tubuh selama dilakukan dengan intonatif dan tidak berlebihan, karena pada hakekatnya masturbasi hanyalah membuang apa yang berlebihan dari produksi seksresi tubuh .
Pemaparan ulama al Kharsy, menegaskan bahwa masturbasi yang dilakukan oleh pasangan suami istri ketika berhubungan seks status hukumnya masih dipertentangkan. Namun demikian, pada penjelasan berikutnya al Kharsy memberikan keterangan bahwa pendapat yang lebih argumentatif adalah mubah (boleh) . Kebolehan ini menurut sebagian ulama merupakan alterntif seks di saat pihak istri sedang berhalangan untuk melakukan kegiatan seks semisal dalam keadaan haid atau lainnya . Masturbasi yang dilakukan oleh pasangan suami istri menurut pakar kesehatan dan seks sangat berguna dalam meningkatkan kedekatan melalui variasi seks. Dengan pernyataan ini, maka pandangan yang mengatakan bahwa masturbasi berdampak buruk dalam kelanggengan dan keintiman pernikahan menjadi tak beralasan.

E. Kesimpulan.
Dalam bagian sub bab ini, penulis hendak mempertegas beberapa poin sekaligus sebagai solusi atas permasalahan yang dikaji. Pertama, dalam kasus homoseksual, Islam atau agama manapun secara tegas menjustifikisi keharamannya dan dianggap sebagai common sense yang tidak menerima perdebatan. Untuk itu, kajian ini penulis fokuskan pada persolaan diseputar eksistensi homoseksual dan penerimaan pelakunya di masyarakat.
Pandangan umum yang berlaku adalah stigma negatif dan persepsi tentang kriminalitas homoseksual sebagai pendosa yang mesti dilenyapkan dari muka bumi. Namun demikian, segelongan cendekiawan menolak pandangan tersebut dan memilih untuk memberi ruang bagi pelaku homoseksual, sambil memberikan pemahaman tentang perilaku yang wajar dan diterima. Bagaimanapun, homoseksual bukanlah kejahatan semisal syirik yang pelakunya tidak mungkin mendapat ampunan dari Tuhan . Bahkan warta dibeberapa media lebih memberikan keyakinan bahwa pelaku homoseksual juga merindukan rahmat dan kasih Tuhan yang dibuktikan semisal dengan berdirinya pesantren waria dan sebagainya .
Dalam kaitannya dengan dakwah, seharusnya para pelaku homoseksual tersebut dipahamkan akan hal-hal yang mudah dalam Islam dan yang menggembirakan seperti ampunan dan rahmat Tuhan bagi mereka yang bertaubat dan kembali kepada fitrah . Da'i juga tidak berhak menghakimi mereka dengan pernyataan-pernyataan negatif mengingat beberapa sistem sosial juga ambil peran dalam aktualisasi potensi homoseksual. Dengan demikian, pembenahan homoseksual sebagai perilaku seks menyimpang bukan hanya difokuskan pada pelaku unsich, lebih dari itu dakwah juga harus menyentuh sistem pergaulan keluarga dan sosial sehingga aktualisasi potensi homoseksual dapat dicegah.
Mengenai masturbasi, secara doktrinal al Qur'an dan sunnah tidak secara tegas menyatakan hukum keharamannya. Dengan ketidaktegasan itu, maka dapat dipahami jika ada golongan ulama yang membolehkan masturbasi dengan persyaratan. Namun demikian, kebolehan masturbasi ini dapat didudukkan dalam porsinya yang tepat yakni sebagai alternatif ketika seks yang formal tidak dapat diselenggarakan. Jika melihat perspektif medis dan psikologi modern yang menyatakan keamanan masturbasi, maka tidak tepat rasanya jika hal ini dikategorikan dalam kelompok perilaku seks menyimpang. Masturbasi hanyalah usaha untuk menurunkan kulminasi libido yang kerap kali mengganggu kejiwaan dan konsentrasi orang dalam limit yang tinggi.
Sebagai solusi, dakwah dalam hal ini perlu untuk menjelaskan secara jujur tentang keadaan yang sebenarnya tinjauan doktrinal mengenai masturbasi. Kemudian secara praktikal, dakwah harus bisa menjelaskan bahwa masturbasi hanyalah alternatif dan sarana seks, bukan seks itu sendiri. Karena pada dasarnya hanya seks formal sajalah yang unggul baik dalam tujuan immanent (kepuasan jasmani) maupun transendent (bernilai ibadah) . Seperti layaknya seks, masturbasi yang dilakukan secara berlebihan juga menyebabkan gangguan kesehatan. Untuk itu dakwah harus dapat menjelaskan tipologi perilaku seks yang membayakan kesehatan. Dakwah juga perlu untuk memotivasi pemuda yang belum mampu menikah untuk mempertahankan kesuciannya sebagaimana diperintahkan oleh kitab suci al Qur'an .

Prio Hotman, 19 November 2009.
Wallahu a'lam bi al Sawwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar