Rabu, 07 Juli 2010

PERADABAN ISLAM

PERADABAN ISLAM:
MAKNA, ESENSI DAN DINAMIKANYA
DALAM SEJARAH




SAHRUL MAULUDI




Disampaikan dalam Kajian Kajian Islam dan Peradaban
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina
Tanggal 8 Juli 2010



A. MAKNA PERADABAN ISLAM
Dalam kamus bahasa Indonesia peradaban diartikan sebagai kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin. Kata ini merupakan derivasi dari kata adab yang berarti budi pekerti yang halus; akhlak yg baik; budi bahasa; kesopanan. Dan juga dari kata beradab, yang berarti mempunyai kesopanan (budi pekerti); sudah maju tingkat kehidupannya, baik secara moril maupun secara materil.
Dalam bahasa aslinya (Arab), "peradaban" memiliki beberapa padanan kata yang walaupun memiliki arti tersendiri, namun core dari kesemuanya menunjuk kepada satu arti “perkembangan dan kemajuan”. Beberapa padanan kata tersebut secara berturut-turut adalah al adâb, al-hadharah, al-madâniyyah, dan al tsaqâfah. Kata yang pertama (al adab) biasa disetarakan dengan ethic dalam bahasa Inggris, kata yang kedua (al hadarah) dan al madâniyyah, bisa disetarakan dengan civil-civilization, dalam bahasa Inggris , yang terakhir ini biasa dibedakan dengan al tsaqâfah yang padanan katanya adalah culture dalam bahasa Inggris. Istilah al madâniyyah sendiri seakar dengan kata al dîn yang salah satu artinya adalah ketundukan dan al madînah yang berarti tempat orang membentuk ketundukkan kepada Allah. Dari sini maka dikenal istilah masyarakat madani (al musyârakah al madâniyyah) yang bermakna persekutuan orang-orang dalam suatu tempat tertentu (kelompok sosial) untuk suatu tujuan, yakni ketundukkan kepada Allah .
Para sosiolog kontemporer membedakan antara peradaban dan kebudayaan, dimana kebudayaan memiliki cakupan yang sangat luas, sebagaimana dijelaskan berikut:
Culture is an extremely broad concept. to sociologists, culture is made up of all of the ideas, beliefs, behaviors, and products common to, and defining, a group’s way of life. Culture encompasses everything humans create and have as they interact together.
Tetapi ada juga yang mengkhususkan kebudayaan sebagai dimensi ruhani, intelektual dan artistik:
Culture refers to intellectual and artistic activity and the artifacts produced thereby, to what Matthew Arnold (1822–88) called “the best that has been thought and said.” Culture is taken as the highest moral and aesthetic achievements of civilization.
Sedangkan peradaban biasanya diartikan sebagai perkembangan lebih lanjut dari kondisi masyarakat sebelumnya. Jadi, peradaban identik dengan kemajuan, seperti perbedaan antara civilzed society dengan primitive society:
A concept referring to an advanced stage or condition of organized social life and social development, often used in distinction to primitive societies, A concept referring to an advanced stage or condition of organized social life and social development, often used in distinction to primitive societies.
Di sini dapat di bedakan secara sederhana kebudayaan dan peradaban pada aspek berikut:
Culture stands for spiritual growth, civilization for materialism, atomism, individualism and economism and hyperintellectualism.
Selanjutnya, peradaban Islam merupakan terjemahan dari kata Arab al-hadharah al-Islamiyyah atau dalam bahasa Inggrisnya Islamic civilization. Peradaban Islam berlandaskan pada kebudayaan Islam (ats-tsaqafah al-Islamiyyah), terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama.
Jadi, antara peradaban, kebudayaan dan agama Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan saling berhubungan erat sebagaimana hal itu termanifestasi dalam sejarah dan kehidupan jutaan umat Islam di dunia ini, dulu dan sekrang. Kiranya Seyyed Hossein Nashr dapat memberikan gambaran yang jelas tentang ini:
Islam is both a religion and a civilization, a historical reality that spans over fourteen centuries of human history and a geographical presence in vast areas stretching over the Asian and African continents and even parts of Europe. It is also a spiritual and metahistorical reality that has transformed the inner and outer life of numerous human beings in very different temporal and spatial circumstances. Today over 1.2 billion people from different racial and cultural backgrounds are Muslim, and historically Islam has played a signifi cant role in the development of certain aspects of other civilizations, especially Western civilization.
Jadi, peradaban Islam merupakan sebuah entitas yang sangat kompleks sebagai hasil dari dialektika antara doktrin Islam (bersumber pada wahyu), masyarakat, dan sejarah. Berangkat dari ajaran Islam yang amat sederhana (tauhid) kemudian mengalami dialektika sosial budaya yang rumit, khususnya sejak umat Islam mengalami kontak budaya dengan komunitas di luar mereka, dengan beragam latar belakang yang berbeda, baik agama, etnis, suku bangsa, sosial, budaya, politik dan sejarah.


B. ESENSI PERADABAN ISLAM
Al-Faruqi mengatakan bahwa esensi peradaban Islam adalah ajaran Islam yang berpusat pada tauhid. Inilah prinsip pokok peradaban Islam. Al-Faruqi juga mengatakan,
Tawhid is that which gives Islamic civilization its identity, which binds all its constituens together and thus makes of them an integral, organic body which call civilization.
Dengan prinsip tauhid ini kita dapat memahami berbagai keragaman dan pluralitas pemikiran dan kebudayaan umat Islam sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari lokalitas mereka masing-masing, namun tetap terintegrasikan dalam satu tubuh organik yang memberinya “identitas Islam”. Dalam hubungan ini pula, memahami esensi peradaban Islam berarti harus memahami esensi tauhid, sebagai asas yang mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan Muslim dalam satu jaringan organis yang bernama peradaban Islam.
Sebagai esensi peradaban Islam, lanjut al-Faruqi, tauhid memiliki dua aspek atau dimensi, yaitu: aspek metodologis dan isi (contentual). Aspek metodologis mencakup tiga prinsip , yaitu kesatuan (unity), rasionalisme dan toleransi.
Kesatuan (unity). Peradaban Islam menempatkan semua elemen-elemnnya dalam sebuah struktur dan menentukan eksistensi dan relasinya sesuai dengan pola keseragaman (uniform pattern). Elemen-elemen itu bisa saja berasal dari sumber yang berbeda-beda, tetapi kemudian terintegrasi ke dalam sistemnya sendiri (yaitu tauhid). Inilah yang memungkinkan umat Islam menyerap berbagai unsur dari kebudayaan-kebudayaan di luar dirinya namun kemudian mengalami proses adaptasi dan integrasi ke dalam sistem mereka sendiri.
Itulah sebabnya Hossein Nashr menyatakan bahwa darimana pun sumber-sumber itu diambil oleh umat Islam, wataknya tetap Islami karena telah masuk dan terserap ke dalam peradaban Islam yang berdasarkan pada spirit al-Quran. Ia mengatakan:
Both the education and the science which developed in Islamic civilization over the centuries are essentially Islami in character, whatever may have been their historical origin. The living organism which is Islamic civilization digested various types of knowledge from many different sources, ranging from China to Alexandria and Athens; but whatever survived within this organism was digested and made to grow within the living body of Islam. Whatever may have been the origin of the ‘material’ for education and the sciences, the form was always Islamic, and both Islamic education and the Islamic sciences are related in the most intimate manner to the principles of the Islamic revelation and the spirit of the Quran.
Rasionalisme. Sebagai prinsip metodologis, rasionalisme membentuk esensi peradaban Islam. Hal itu mengandung 3 ketentuan: pertama, menolak semua yang tidak berhubungan dengan realitas [artinya berpegang pada pandangan yang objektif dan faktual]; kedua, menolak adanya kontradiksi antara akal dan wahyu; ketiga, keterbukaan terhadap fakta-fakta baru (sehingga mencegah umat Muslim terjebak dalam literalisme dan fanatisme).
Ketiga prinsip rasionalisme inilah yang memberikan landasan utama bagi pengembangan tradisi ilmiah dalam Islam—yang pada awalnya mendapat sumber materialnya dari Yunani, Persia dan India:
1. Pengembangan konsep ilm. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Franz Rosenthal, konsep ilm telah begitu menentukan warna peradaban Islam. Umat Islam telah mengembangkan konsep ilm yang demikian canggih dan kompatibel bagi pengembangan tradisi intelektual yang memungkinkannya untuk menghasilkan capaian-capaian orisinil.
2. Kesesuaian antara akal dan wahyu. Hal ini telah menjadi sebuah tema yang sejak awal mendapatkan perhatian dari para filosof Muslim. Al-Kindi misalnya telah menyusun argumen kesesuaian antara agama dan filsafat; antara akal dan wahyu. Tema ini kemudian menjadi sangat penting dalam pembahasan epistemolog yang dikembangkan para filosof Muslim sampai kemunculan Ibn Rusyd.
3. keterbukaan terhadap evidensi. Hal ini merupakan sikap pertangahan antara absolutisme dan relatifisme. Sikap ini sangat penting bagi dinamika ilmu pengetahuan, yang bergerak diantara dua kutub ekstrim tersebut. Sikap ini banyak dipegang oleh para saintis eksperimental seperti al-Khawarizm, Ibn Sina, al-Biruni, ar-Razi, Jabir ibn Hayyan, dan lainnya.
Toleransi. Sebagai prinsip metodologis, toleransi adalah menerima apa yang ada saat ini sampai terbukti kesalahannya. Hal ini sangat relefan bagi epistemologi. Juga relefan bagi etika.
Berikutnya, sebagai Aspek isi (contentual). Aspek ini terbagi pada beberapa prinsip utama, yaitu: tauhid sebagai prinsip pertama bagi metafisika, prinsip pertama bagi etika, prinsip pertama bagi aksiologi, prinsip pertama bagi societism, prinsip pertama bagi estetika. Prinsip-prinsip ini dapat menjadi dasar bagi banyak aspek kehidupan Muslim baik pemikiran, sosial, etika sampai estetika.
Setidaknya dengan memahami esensi peradaban Islam yang berpusat pada tauhid, seperti di bahas di atas, kita dapat memahami bagaimana karakteristik dan tujuan dari peradaban Islam, yang dengannya peradaban Islam tampak unik dan berbeda dengan berbagai peradaban besar lainnya. Dengan itu pula kita dapat memahami asas utama yang mendorong kemajuan peradaban Islam.

C. WATAK DINAMIKA PERADABAN ISLAM
Dalam pengamatannya terhadap dunia Islam, baik secara historis maupun sosiologis, Akbar S. Ahmed menyatakan bahwa kecenderungan pada dinamika dan pembaruan dalam masyarakat Muslim merupakan fenomena yang bersifat konstan di sepanjang sejarah Umat Islam, dan tidak hanya menjadi fenomena abad ke 21 saja. Ia mengatakan, “dorongan yang bersifat konstan untuk melakukan pembaruan, perubahan dan reformasi, melintasi dunia Islam bukanlah sesuatu yang baru; hal itu merepresentasikan pencarian terhadap yang ideal dalam dunia yang tidak sempurna ini. Islam selalu bangkit kembali setelah mengalami kemunduran; selalu ditemukan kembali (re-discovered) setelah diabaikan”.
Watak dinamis peradaban Islam inilah yang disebut oleh Marshal G.S. Hodgson sebagai high culture. Ia menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat tidak bersifat statis. Aspek dinamis tradisi kultural mengalami peningkatan, malah proses tradisi mengalami percepatan dan menjadi lebih nampak jelas, sehingga dari generasi ke generasi dalam setiap tradisi terdapat inisiatif kesadaran individual kultural dalam merespon kebutuhan-kebutuhan atau kemungkinan-kemungkinan baru. Hal inilah apa yang disebut “high culture” yang secara relatif bentuknya terlihat pada tingkat orang terpelajar, tingkat urban, dimana tradisi sosial tidak diragukan lagi menunjukkan dirinya sebagai sebuah proses perubahan (a process of change). Kemudian terkait dengan Islam, Hodgson mengatakan, Islam possessed enormous dynamic force as a cultural tradition.
Dengan wataknya yang dinamis itu peradaban Islam telah menciptakan berbagai prestasi luar biasa dalam bidang kebudayaan dan tradisi keilmuan yang begitu kaya. Carl W. Ernst mengatakan:
Islamic civilization was home to a complex of traditions that included not only divine revelation but also human reasoning, particularly through the disciplines associated with Greek philosophy.
Maka dari itu, peradaban Islam ini diidentikan dengan “peradaban buku” yang memberikan sumber bagi perkembangan bermacam-macam cabang ilmu yang tumbuh subur sepanjang abad ke 8 – 13 M:
Islamic civilization, perhaps like no other, is a civilization of the book. Indeed, books were copied by hand for more than thirteen centuries in the main Islamic lands, and there are still places in the Islamic world where this activity is very much alive. The number of surviving manuscripts in Arabic, Persian, and Ottoman Turkish may be estimated at several million. The manuscript age produced a wealth of literature that covered the whole spectrum of the traditional branches of knowledge.
Belum lagi kemajuan dalam bidang-bidang lainnya seperti seni, arsitektur, sampai politik dan ekonomi. Maka dikenallah apa yang disebut sebagai masa keemasan peradaban Islam, yang menonjol disekitar masa kekuasaan Abasiyah (750–1258).
Maka dari itu jauh sekali penggambaran peradaban Islam sebagai berwatak pastoralisme padang pasir dan nomadik. Sebaliknya peradaban Islam berwatak urban:
The history of islam as a religion and a civilization is one that is centered on urban life and institutions, contrary to stereotypes that exaggerate the importance of deserts and nomadic pastoralism.Muslims based their first empires in the same lands where the ancient Mesopotamians and Egyptians built the first cities in history and where Hellenistic cities flourished after the conquests of Alexander the great in the fourth century b.c.e.
Sejak periode formatif, umat Islam telah menunjukkan keragaman dinamika yang luar biasa, sebagai proses dialektika antara doktrin wahyu dan realitas sosial budaya setempat. Tidak mengherankan bila umat Islam berhasil menciptakan keragaman pemikiran, tradisi dan kebudayaan yang sangat kaya, termasuk perkembangan sains yang yang sangat signifikan itu. Dan perlu dicatat bahwa yang memberikan kontribusi ini bukan hanya orang-orang Muslim Arab saja, tetapi juga orang Yahudi, Kristen, Hindu, Yunani, Persia dan Afrika, semuanya memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban Islam.
Maka dari itu dalam perkembangan dan dinamika peradaban Islam, masyarakat telah tumbuh sedemikian kompleks dan plural. Hodgson mengatakan, “Tatanan sosial baru pada periode ini sangat berbeda, tidak hanya secara politik, tetapi juga dalam semua aspek kebudayaan, agama, literatur, seni dan sains, sebagaimana juga kemajuan pada aspek ekonomi”.
Meskipun demikian, dalam proses perkembangan yang dinamis itu, terdapat juga anomali—sebagai sebuah resiko tak terhindarkan dari proses dialektika antara doktrin dan realitas sosial budaya yang beragam dimana umat Islam hidup. Anomali ini dapat berupa kecenderungan berpikir literalis dan sektarian seperti yang ditunjukkan oleh beberapa aliran dalam Islam, sikap hidup permisif dan despotik seperti yang ditunjukkan oleh beberapa khalifah Islam di masa Umayah dan Abasiyah, atau sikap hidup asketik yang menjauhi kehidupan dunia secara total. Tidak bisa dipungkiri, sejarah umat Islam menyaksikan itu semua.
Dalam dinamika dan keragaman di atas, terdapat satu titik kesamaan yang menjadi ciri khas watak peradaban Islam sehingga tetap disebut sebagai ummah, yaitu adanya kesatuan pandangan dunia (world view) yang bersumber pada al-Quran. Ciri ini pun tetap menjadi karakteristik peradaban Islam dari dulu sampai sekarang. Kata Ziauddin Sardar, bahwa setiap Negara, komunitas dan populasi Muslim, dikondisikan oleh perbedaan sejarah mereka masing-masing, dulu dan sekarang. Namun mereka tetap tersatukan oleh pandangan dunia Islam yang bersumber dari al-Quran.
Adanya kesatuan dalam dinamika ini, memungkinkan perkembangan masyarakat Muslim untuk memberikan respon secara kreatif dan orisinal terhadap berbagai problematika yang mereka hadapi, di samping tetap terintegrasi dalam semangat kesatuan baik dalam pemikiran, tradisi, masyarakat, kebudayaan dan politik. Oleh karena itu prinsip kesatuan dan keragaman (unity and diversity) ini telah memelihara dinamika umat Islam. Melalui prinsip ini pula, antara konflik, polemik, dan kreatifitas terlihat secara bersamaan. Dan semua itu, seperti dinyatakan Hodgson, malah menjadi stimulasi bagi perkembangan intelektual. Jadi, kesatuan dalam keragaman (unity and diversity) merupakan karakteristika dinamika peradaban umat Islam yang sangat penting yang memungkinkan terjadinya kontinuitas perubahan sambila tetap terintegarsi dalam kesatuan..
Namun persoalannya adalah ketika munculnya kecenderungan untuk “menyeragamkan” identitas dan pemikiran umat Islam secara total dalam satu ideologi—meskipun alasannya berangkat dari keprihatinan atas kondisi umat Islam yang penuh dengan polemik dan pertentangan—sebagaimana telah dengan sukses dilakukan oleh tokoh besar Abu Hamid al-Ghazali yang telah memapankan sebuah ortodoksi yang kokoh sebagai satu-satunya mainstream yang berlaku. Memang pada masa itu umat Islam berada dalam kondisi yang penuh dengan konflik yang sangat parah baik di keagaman, sosial dan politik yang dapat membahayakan keutuhan ummat. Al-Ghazali berhasil menjadi icon penting yang diterima oleh banyak kalangan melalui kredibilitasnya yang luar biasa, baik kepribadian, ilmu dan keagamaannya, sehingga dapat memelihara keutuhan ummat. Ia mampu memberikan pemecahan yang komprehensif atas permasalahan utama yang dihadapi ummat saat itu. Kata Cak Nur, penyelesaian yang ditawarkan oleh al-Ghazali begitu hebatnya, sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius tak sadarkan diri. Dengan begitu komplitnya al-Ghazali memberi penyelesaian masalah-masalah keagamaan Islam, seolah-olah al-Ghazali telah menciptakan suatu kamar untuk umat yang walaupun sangat nyaman, tapi kemudian mempunyai efek pemejaraan kreatifitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.
Sejak itulah pola pemikiran dan dinamika umat Islam tidak menunjukkan lagi ide-ide yang baru dan kreatif, kecuali mengikuti alur pemikiran yang telah digariskan sebelumnya. Montgomery Watt mengatakan, pada masa ini jumlah pemikiran dan karya teologi dan filsafat jumlahnya mungkin meningkat, tetapi kualitasnya malah menurun. Salah satu bukti dari penurunan kualitas yang nyata ini adalah hilangnya originalitas. Para ahli teologi bukannya menghasilkan karya-karya segar seperti al-Juwaini dan Fakhrudin ar-Razi, tetapi usaha utama mereka justru mengarah pada penulisan ‘tafsir’ dan ‘penafsiran tafsir’ serta memberikan ulasan (syarah) terhadap karya-karya terdahulu.
Keadaan ini terus berlangsung sepanjang abad pertengahan sampai terjadinya kontak sosial-politik dengan Barat. Sejak saat itulah muncul kembali dinamika pemikiran Islam dengan suatu perspektif yang baru sebagai reapon atas kondisi sosial-poilitik umat Islam yang tengah berhadapan dengan kolonialisme Barat—meskipun sebelumnya telah muncul gerakan-gerakan keagamaan seperti yang dilakukan oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab di semenanjung Arabia. John L. Esposito mengatakan, “Dunia Islam mengalami gerakan-gerakan yang berbeda baik aktivisme, kebangkitan dan reformasi selama abad ke 18 dan 19 M. Walaupun beberapa dari gerakan ini merupakan respon atas kemerosotan kekuatan politik, banyak dari mereka yang menunjukkan kontinyuitas perluasan komunitas Islam. Para intelektual dan pemimpin Muslim aktif terlibat dalam interpretasi warisan Islam, yang diharapkan dapat menyediakan fondasi yang efektif bagi kemunculan struktur sosial politik. Dalam hal ini terkait dengan tradisi panjang dalam menggunakan penilaian untuk menginterpretasikan prinsip fundamental Islam (yang disebut ijtihad) dan terkait dengan pembaruan keimanan dan masyarakat”. Karena itu abad ke 18 dan 19 M merupakan masa transformasi sosial di sepanjang wilayah timur, dan gerakan-gerakan pembaruan dan reformasi Islam yang juga menjadi bagian dalam konteks yang luas.
Mulai saat itu perkembangan pemikiran Islam sempat menyaksikan masa subur bagi kebebasan berpikir untuk menjawab permasalahan umat Islam dengan perspektif dan alternatif yang lebih segar. Menurut Albert Hourani perkembangan pemikiran ini mengalami beberapa tahapan yang tidak selalu berjalan mulus, sebab berhadapan dengan gerakan fundamentalisme. Bagi para pemikir generasi pertama (sejak al-Tahthawi) mungkin masih memiliki keleluasaan mengajukan ide-ide baru, tetapi generasi berikutnya (seiring dengan bangkitnya fundamentalisme) mereka harus berhadapan dengan iklim yang keras dan serangan fatwa-fatwa kafir.
Nampaknya memang tidak mudah menghadapai kecenderungan umat Islam pada umumnya yang saat itu berada dalam keadaan problematis:
1. Secara internal umat Islam masih mewarisi pemikiran abad pertengahan yang konservatif
2. Secara eksternal umat Islam mengalami konforntasi dengan Barat yang superior dan memaksakan pengaruhnya dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaan dan pendidikan.
Dua keadaan ini menjadi akumulasi yang membentuk sikap defensif, apologis dan inferior. Sehingga bagi umat Islam, kata Karen Armstrong, mengalami kesulitan untuk mengetahui cara menjawab dunia Barat, karena tantangannya belum pernah terjadi sebelumnya. Bila mereka harus berperan secara penuh di dunia modern, umat Muslim harus mempertimbangkan berbagai perubahan-perubahan yang tengah terjadi.
Akan tetapi kecenderungan Islam terhadap dinamika tidaklah mati, yang itu menjadi kekuatan hidup bagi masyarakat Muslim kontemporer. Upaya untuk tetap memelihara kesatuan dan keragaman (unity and diversity) sebagai esensi vital peradaban Islam menunjukkan semangatnya kembali melalui ijtihad, pemikiran rasional dan rekonstruksi peradaban Islam.

D. PROBLEMATIKA PERADABAN ISLAM KONTEMPORER
Abdelmajid Sharfi dalam bukunya Islam Between Divine Massage and History menjelaskan bahwa terdapat dua sebab utama kegagalan untuk menghadirkan sebuah visi Islam, sebagai sebuah misi dalam setiap ruang dan waktu, dengan tuntutan kesadaran modern, yaitu:
Pertama, adalah keterbelakangan kultural masyarakat Islam kontemporer, yang tidak secara aktif berinteraksi dengan apa yang dihasilkan masyarakat maju dalam lapangan sains dan pembelajaran, teknologi, inovasi dan nilai. Mereka masih bersikap tradisional dan konservatif.
Kedua, studi keagamaan sering kali berada pada domain ekslusif dari orang yang berpendidikan tradisional. Ini menjadikan ketidak mampuan untuk menjaga langkah dengan perkembangan dalam lapangan pengetahuan modern. Mereka tetap berada dalam tawanan masa lampau.
Keadaan ini sejak awal telah disadari oleh para pemikir pembaru Muslim. Karena itu salah satu sikap penting yang menjadi pendirian utama mereka adalah penerimaan terhadap sains modern bagi kehidupan masyarakat Muslim. Sejak al-Tahthawi, Sayyid Ahmad Khan, al-Afghani, Abduh, Iqbal dan seterusnya bersepakat dalam menerima metode berpikir rasional dan sains modern sebagai bagian yang sah dalam peradaban Islam—bukan sebagai sesuatu yang asing:
Muslim modernists assert that many of the core principles of Western science and morality originated in Islamicate civilization. Reform, therefore, was a matter of reviving what they defined as the original Islamic heritage that had become corrupted by popular ignorance and backward-thinking ulama. They thought that this was the best way to protect their cultures from colonial domination by European powers.
Dalam perkembangannya, metodologi ini harus berhadapan dengan kecenderungan umum yang sangat kental dengan pendekatan fiqh dan politik sebagaimana ditunjukkan oleh arus konservatifisme dan fundamentalisme. Sebab kedua pendekatan ini, khususnya pendekatan fiqh, sangat dominan hampir menguasai seluruh wacana tradisi kajian Islam—sehingga ada istilah “fiqh sentris”. Kenyataan ini telah menjadi bagian dari perkembangan masyarakat Muslim hampir secara merata. Sementara pendekatan politik yang baru muncul sejak awal abad ke-20 melalui gerakan fundamentalisme dengan paradigma totalistiknya semakin mengarah kepada radikalisme. Kedua pendekatan ini masing-masing membawa implikasi yang tidak kecil dalam wilayah pemikiran, sosial, politik dan pendidikan, berhadapan dengan situasi dan kondisi masyarakat Muslim kontemporer yang tengah berubah.
Polarisasi pemikiran ini akan menentukan bagaimana dinamika umat Islam ke depan, dan bagaimana pula menjawab tantangan-tantangan yang mereka hadapi. Dalam menghadapi persoalan-persoalan seperti demokrasi, HAM, gender, hukum Islam, pluralisme, minoritas dan seterusnya, mereka menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Cheryl Benard membuat beberapa posisi esensial pada umat Islam terkait sikap mereka terhadap isu-isu tersebut, yaitu:
- Fundamentalis, menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat kontemporer. Mereka menghendaki sebuah Negara otoritarian dan puritan yang mengimplementasikan pandangan ekstrim mereka mengenai hokum dan moral. Mereka bersedia menggunakan inovasi dan teknologi modern untuk mencapai tujuan
- Tradisionalis. Menghendaki masyarakat konservatif. Mereka curiga terhadap modernitas, inovasi dan perubahan
- Modernis. Menghendaki dunia Islam menjadi bagian dari modernitas global. Mereka juga menghendaki memodernisasi dan mereformasi Islam sesuai dengan kondisi zaman
- Sekularis. Menghendaki dunia Islam menerima pemisahan antara Negara dan agama dalam sikap dari demokrasi Barat, dengan agama berada di wilayah privat.
Polarisai dan perbedaan-perbedaan ini amat dipengaruhi oleh dialektika antara doktrin kitab suci dengan kondisi sosial budaya dan sejarah dimana umat Islam hidup. Kata Ziauddin Sardar, pertarungan antara ide-ide dan interpretasi terus terjadi sepanjang sejarah Islam dan selalu ditentukan sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik. Di satu sisi tradisi Islam sering digunakan untuk bertahan dari perubahan, tetapi di sisi lain tradisi Islam menjadi nilai otentik bagi perubahan radikal. Bagaimanapun, ke araha manapun interpretasi itu di arahkan, yang terpenting adalah umat Islam tetap berada dalam poros dinamika peradaban Islam yaitu kesatuan dan keragaman (unity and diversity), dimana kesatuan berpangkal pada prinsip tauhid, sedangkan keragaman berpangkal pada perbedaan pemikiran dan kondisi sosial budaya masing-masing yang saling berbeda satu sama lain. Di sinilah arti penting untuk tetap berpegang pada prinsip tauhid dan pluralisme sebagai asas bagi kesatuan dan keragaman umat Islam.


E. PERADABAN ISLAM INDONESIA?
Seperti apakah wajah peradaban Islam di Indonesia? Nampaknya kita akan mengalami kesulitan untuk memperoleh gambaran yang definitif mengenai peradaban Islam Indonesia, sebab selama ini belum ada konsep dan rumusan mengenai hal tersebut. Hal ini seiring dengan masih sedikitnya kajian-kajian sejarah dan kebudayaan Islam Indonesia. Sebab biasanya kajian mengenai peradaban sangat berhubungan erat dengandua wilayah kajian tersebut. Apalagi kajian Islam selama ini lebih banyak di dominasi oleh Timur Tengah sebagai pusat peradaban, sementara Indonesia dianggap sebagai wilayah periferal.
Paling tidak, untuk memetakan bagaimana wajah peradaban Islam Indonesia terdapat beberapa unsur yang harus dijadikan sebagai pemabahasan utama, yaitu:
1. Proses Islamisasi di Indonesia dan corak Islam yang menjadi karakteristiknya. Ini adalah bagian yang paling pokok karena, seperti kata Ricklefs, The spread of Islam is one of the most significant processes of Indonesian history.
2. Kondisi sosio-budaya yang multicultural, yang terdiri dari berbagai bahasa dan suku bangsa
3. Lembaga-lembaga dan organisasi Islam, sejak masa sebelum kemerdekaan sampai sekarang.
4. Dinamika politik yang terus mengalami perubahan-perubahan.
5. Sistem pendidikan di Indonesia, seperti lembaga pendidikan pesantren, sekolah dan universitas.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Perhatian terhadap rekonstruksi peradaban Islam khususnya di Indonesia, sangat penting di tengah-tengah desakan radikalisme yang hendak memonopoli wacana pemikiran Islam. Selain itu juga, yang terpenting, adalah karena Indonesia merupakan bagian dari peradaban Islam itu sendiri, dengan jumlah penduduk mayoritas Islam dan hidup dalam tradisi Islam—yang kata Cak Nur, Indonesia “di bolak balik tetap Islam”.
Tambahan pula, sejak tahun 80-an telah terjadi perubahan signifikan terkait dengan perkembangan agama, sosial, budaya, pendidikan dan pemikiran Islam yang harus terus dilanjutkan sebagai prospek penting bagi dinamika Islam Indonesia:
Since the 1980s, Indonesian Islam has undergone a remarkable period of religious revival inspired in part by the efforts of young Muslim intellectuals such as Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid. By the 1970s, these and likeminded intellectuals explored sometimes radical ideas in a search for new ways in which Islam could be interpreted and implemented with greater relevance to conditions in contemporary Indonesia. At the same time, many Indonesian Muslims also developed new appreciations of the pesantren tradition of Islamic learning. Through “study circles” (Arabic halqah ) organized under the direction of progressive teachers ( kiai ) some young thinkers reevaluated the methodology of Islamic jurisprudence as a coherent discipline of scholarship and textual analysis. Thus Islamic law came to be explored anew, not as an abstract theoretical discipline, but as an integrated approach to questions important to the community in everyday life. Beyond these intellectual aspects of Islamic revival, there has also been a tremendous amount of activity in the fi elds of the arts and culture more broadly. The fruits of this have been myriad, ranging from the publication and public recitation of Muslim poetry to signifi cant developments in the fi elds of painting, calligraphy, music, and Quran recitation.
Perhatian ini akan sangat penting dan menentukan bagi pengembangan unsur-unsur pokok peradaban Islam, yaitu:
1. Pengembangan sains dan tradisi ilmiah dalam Islam
2. Pembentukan budaya demokratis, pluralisme dan kebebasan berpikir
3. Kosmopolitanisme
Ketiganya dapat diarahkan untuk mencapai 3 pilar utama rekonstruksi peradaban Islam, yaitu:
1. Yang pertama dapat diarahkan pada pembentukan knowledge society (masyarakat ilmu).
2. kedua pada civil society (masyarakat madani)
3. ketiga pada open society (masyarakat terbuka).
Tiga pilar tersebut amat penting bagi masa depan peradaban Islam Indonesia dengan tauhid berada di jantung utamanya sebagai faktor pemersatu (unifying factor).




DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar S., Doscovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society, (London & New York: Routledge, 2001),
Armstrong, Karen, Islam: A Short History, (New York: Random House, Inc., 2002).,
al Asfihâny, Husein Ibn Mufdal al Râghib, al Mufradât fi Ghârib al Qur'ân, (Damaskus: Dar al Qalam, tt), Juz 1,
Benard, Cheryl, Civil Democratic Islam: Partners, Resources, And Strategies, (Santa Monica: RAND Corporation, 2003)
Campo, Juan E., Encyclopedia of Islam, (New York: Facts on File, 2009).
Coughlin, Kathryn M. (ed.), Muslim Cultures Today, (London: Greenwood Press, 2006)
Doak, Robin, Empire of the Islamic World, (New York: The Shoreline Publishing Group LLC, 2005).
Ernest, Carl W., Following Muhammad, Rethinking Islam in the Contemporary World, (USA: The University of North Carolina Press, 2003)
Esposito, John L. (Ed.), The Oxford History of Islam, (New York: Oxford University Press, 1999).
el-Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan, (Jakarta: Serambi, 2003).
Faruqi, Ismail Raji dan Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York: McMillan Publishing Company, 1986).,
Fouda, Farag, Kebenaran yang Hilang, (Jakarta: Paramadina-Dian Rakyat, 2004), cet-2.
Geertz, Clifford, Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia, (Chicago: The University of Chicago Press, 1968)
Hodgson, Marshal G.S., The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization, (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), vol.I dan II.
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung: 2004), cet-1
Iqbal, Muzaffar, Science and Islam, (London: Greenwood Press, 2007).
Madjid, Nurcholish (ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),cet-3
Mauludi, Sahrul, Knowledge Society, Ketika Ilmu Menjadi Prioritas dan Masyarakat Terpelajar Menjadi Mayoritas (Rekonstruksi Historis Masyarakat Muslim sampai Kontemporer), (Jakarta: Kirana Cakra Buana, 2010), cet-1
McClellan, James & Harold Dorn, Science and Technology in World History, (Baltimore: The John Hopkins University Press, 2006)Mery, Joseph W. (ed.), Medieval Islamic Civilization, an Encyclopedia, (New York, 2006), vol.I.
Mooney, Anna Belle & Betsy Evans, Globalization: The Key Concepts, (London & New York: Routledge, 2007),
Nashr ,Seyyed Hossein, Islam: Religion, History and Civilization, (Sanfrancisco: Harper Sanfrancisco, 2003)
------------------------, Traditional Islam in the Modern World, (London: Kegan Paul International Ltd., 1987).
Popper, Karl, The Open Society and its Enemies, (London: Routledge, 1966)
Rachman, Budhy Munawar, Ensiklopedia Nurcholish Madjid, (Bandung: Mizan, 2006), cet-1
Rahman, Fazlur, Islam, (Bandung: Pustaka, 2000), cet-4.
Ricklefs, M.C., History of Modern Indonesia Since 1200 c, (Houndmills, Basingstoke , Palgrave, 2001)
Rosenthal, Franz, Knowledge Triumphant, the Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2007)
Sardar, Ziauddin, (introducer), The Islamic World: Religion, History and the Future, (UK: Ecncyclopedia Britannica Inc., 2009).
Sharfi, Abdelmajid, Islam Between Divine Message and History, (New York: Central European University Press, 2005),
Sharif, M.M., A History of Muslim Philosophy, (Otto Harrassowitz, Weisbaden, 1996),
Stolley, Kathy S., The Basics of Sociology, (London: Greenwood press, 2006),
Sugono, Dendy (ed.), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
Turner, Bryan S., (ed.) The Cambride Dictionary of Sociology, (New York: Cambrideg University press, 2006)
Watt, Montgomery, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta: P3M, 1987)., h.177
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), cet-9
Zanaty, Anwer Mahmoud, Glossary of Islamic Terms, (Kairo: Jamiah Ain asy-Syams, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar