Sabtu, 21 November 2009

PENDIDIKAN ANAK DALAM SURAH AL LUQMAN 12-19

Oleh Prio Hotman,MA

A. Pengantar
Para pakar berbeda pendapat mengenai sosok Luqman al Hakim, sebagian ada yang berpendapat bahwa dirinya seorang nabi dari deretan yang tidak terdapat dalam sebutan 25 rasul. Sebagian lagi berpendapat bahwa dirinya hanyalah seorang bijak yang diberi kelebihan oleh Allah. Mana saja dari dua pendapat di atas, ada hal penting dari riwayat mengenai tokoh luqman hingga Allah mengabadikannya dalam surah tersendiri. Menurut pakar tafsir kontemporer Wahbah al Zuhayli, perihal yang menjadikan riwayat ini menjadi penting hingga diabadikan adalah faktor instrinsik yang ada dalam sosok luqman, yakni hikmah. Kemudian al Zuhayli menjelaskan bahwa isi kandungan hikmah yang menjadi keistimewaan luqman antara lain terdiri dari tauhid, ketaatan kepada Allah, dan akhlak al karimah. Keistimewaan luqman ini kemudian dijadikan sebagai materi inti dari pendidikan Islam yang harus sejak semula ditanamkan kepada umat manusia. Karena begitu pentingnya inti ajaran ini, maka dalam riwayat luqman digambarkan bagaimana ia dijadikan sebagai bahan nasehat kepada anaknya yang mesti dibudayakan sedari dini dan secara kontinyu. Dalam konteks pendidikan anak, maka pewartaan al Qur'an atas kisah al Luqman ini sangat relevan untuk dijadikan sebagai pembahasan tersendiri yang mengkaitkan antara idealis al Qur'an di satu sisi, dan proyek pendidikan anak di sisi yang lain.
Bagi al Zuhayli, perihal luqman ini diwartakan al Qur'an sebagai bukti ekstistensi potensi kebaikan pada diri manusia. Manusia biasa sekelas Luqman, lanjut Zuhayli, dapat memperoleh pengetahuan yang sahih walaupun tanpa melalui proses pewahyuan (nubuwwah). Pengetahuan yang dimiliki Luqman, adalah pengetahuan yang berupa hidayah taufik untuk mengaktualisasikan ilmu dan pemahaman agama yang dengannya orang jadi mampu untuk bersyukur atas nikmat Allah dan karunia-Nya, mencintai kebaikan untuk manusia, dan menggunakan segala potensi dirinya untuk menghasilkan kebaikan yang bermanfaat. Kata Zuhayli, pengetahuan itulah yang disebut Hikmah. Hikmah inilah yang kemudian diwariskan Luqman al Hakim kepada keturunannya, dan kemudian diikuti oleh para orang tua dan orang-orang beriman yang memiliki kepentingan dalam pendidikan anak.

B. Petunjuk Akal dan Syukur Nikmat.
Akal sebagai potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia sejak lahir, baru bisa difungsikan ketika ia mencapai batas usia tertentu. Orang yang telah mencapai batas usia berfungsinya akal, dia dibebani kewajiban-kewajiban tertentu yang mesti dilaksanakan dan diharuskan untuk menjauhi sejumlah larangan untuk dilanggar. Orang demikian dalam ilmu fiqih disebut dengan istilah mukallaf, artinya orang yang telah memiliki tanggungan. Seorang mukallaf diberi pahala dan dosa atas dasar melaksanakan atau meninggalkan kewajiban agamanya. Berbeda dengan anak-anak yang belum mencapai usia berfungsinya akal, mereka ini disebut ghair mukallaf artinya orang yang belum terbebani atas sejumlah kewajiban tertentu. Dengan demikian, mereka tidak mendapat sangsi atas pelanggaran seperti yang diberikan kepada orang-orang mukallaf.
Melalui akal yang sehat, seorang mampu memahami dan menyadari berbagai hakekat hidup dari mulai siapa yang menghidupkannya, sebab-sebab bertahan hidup (survive), alasan dia hidup, hingga tujuan dari hidupnya. Jika dia telah memahami dan menyadari (menginsafi) berbagai hakekat tersebut, artinya telah terbuka pintu syukur (terima kasih) atas semua kebaikan dalam wujud nikmat yang telah diberikan Allah dalam hidupnya. Jika orang bersyukur atas segala kebaikan Allah, artinya dia akan berusaha agar tidak mengecewakan pihak yang telah berbuat baik kepada. Termasuk dalam kategori perilaku yang mengecewakan pihak yang berbuat baik adalah berkhianat kepada-Nya. Dalam kaitan dengan Allah, maka khianat itu dapat berupa sikap menduakan Allah dengan pelbagai berhala baik yang konkrit (ashnam) maupun yang abstrak (awtsan), sikap inilah yang selanjutnya disebut dengan syirik. Dengan demikian, syirik dapat dinilai sebuah sikap yang menyalahi prinsip syukur nikmat dan prinsip akal sehat.
Hikmah yang diberikan Allah kepada Luqman, merupakan akal sehat yang jernih, sehingga mampu mengetahui kebenaran melalui ilmu serta memahami hakekat-hakekat untuk kemudian berbuat kebajikan. Dengan anugrah hikmah tersebut, Luqman menginsafi bahwa dirinya memiliki komitmen untuk berterima kasih (syukur) atas semua nikmat Allah. Luqman dalam hal ini juga memahami bahwa ternyata komitmen syukur tersebut pada hakekatnya adalah untuk kepentingan kebaikannya sendiri. Firman Allah
"…Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS Luqman/31: 12).
Syukur secara bahasa berarti melukiskan nikmat dalam benak untuk kemudian ditampakkan dalam wujud perilaku konkrit. Lawan dari syukur adalah kufur, yang berarti melupakan nikmat dan menutup-nutupi kenyataan seolah-olah Allah tidak memberikan nikmat itu kepadanya. Jika seseorang menyadari tentang keberadaan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya kemudian ia melakukan eksplorasi atasnya sehingga nikmat tersebut menjadi lebih optimal maka iapun akan dapat memperoleh banyak manfaat darinya. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah " …jika kamu bersyukur pasti akan ditambahkan nikmat…". Sebaliknya jika seseorang melupakan nikmat Allah dan menutup-nutupinya, maka nikmat yang berpotensi besar tersebut menjadi terpendam. Jika potensi nikmat terpendam dan tidak bisa dimanfaatkan, artinya yang bersangkutan akan menderita kerugian yang besar. Inilah makna firman Allah "…jika kamu kufur (menutupi nikmat Allah), sesungguhnya siksa Allah (kerugian) itu amat pedih..".
Bentuk syukur atas nikmat Allah yang utama adalah tidak mengkhianatinya (menduakannya) dengan pelbagai berhala yang konkrit dan yang abstrak, kemudian mengikrarkan (declaration) sambil mewujudkannya dalam amalan-amalan real yang bermanfaat. Termasuk dalam amaran real tersebut adalah mewariskan konsep dan pengetahuan hikmah ini kepada keluarga dan anak-anak (keturunan) dalam bentuk wasiat (nasehat).
Kewajiban orang tua terhadap anaknya yang belum sampai usia tamyiz, adalah menanamkan konsep syukur nikmat ini melalui logika yang mereka pahami. Perhatikan bagaimana Luqman menggambarkan tindakan menduakan Allah itu sebagai suatu yang gelap (zhulm) yang sangat ditakuti anak-anak. Bagi orang mumayyiz, konsep gelap (zhulm) tersebut dapat berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebab kegelapan memungkinkan orang untuk meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Untuk kasus syirik, kegelapan itu dapat dikonotasikan sebagai gelap yang gulita (a'zham al zhulm) di mana tidak ditemukan secercah cahaya di dalamnya. Begitu, karena ia berkaitan dengan dasar keyakinan yang paling asasi yakni tauhid. Perbuatan syirik berarti menyetarakan pencipta yang agung dengan makhluk yang hina di satu sisi, dan menyetarakan antara pemberi nikmat dengan yang tidak di sisi yang lain.

C. Syukur, Keteladanan Dan Tauhid.
Berterima kasih kepada Allah mengaharuskan pula berterima kasih kepada pihak-pihak yang menjadi sebab turunnya nikmat Allah melalui mereka. Dalam hadist nabi dikatakan "…barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah". Hadist nabi tersebut menunjukkan betapa syukur dalam artian vertikal-transendent tidak diterima tanpa syukur yang horizontal dan immanent. Kehidupan manusia yang merupakan satu bagian nikmat dari nikmat Allah yang begitu banyaknya terwujud melalui perantara jasa-jasa orang tua. Jika hal ini dikaitkan dengan hadist di atas, berarti syukur kepada Allah juga mewajibkan untuk bersyukur kepada orang tua. Itulah sebabnya dalam banyak ayat al Qur'an, larangan syirik biasanya dibarengi dengan perintah untuk berbuat baik kepada orang tua. Firman Allah

"Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu." (QS Luqman/31: 14).

Kewajiban kedua dalam pendidikan anak menurut ayat di atas adalah mengkongkritkan sikap syukur anak kepada Allah melalui sikap bakti mereka kepada kedua orang tua. Pendidik anak dalam hal ini harus bisa memberikan pemahaman kepada anak bahwa kepatuhan kepada orang tua merupakan kepatuhan kepada Allah. Sebaliknya kedurhakaan kepada orang tua berarti tidak bersyukur kepada Allah dan bagi pelakunya akan mendapat ganjaran yang setimpal.
Sikap kepatuhan kepada orang tua bukanlah kewajiban yang beridiri sendiri, lebih dari itu kepatuhan kepada orang tua harus sejalan dengan kepatuhan kepada perintah Allah. Ketika pendidik menasehati anak untuk patuh kepada orang tua sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah, maka pada saat yang sama orang tua harus memberikan keteladanan untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Allah yang digariskan dalam agama-Nya. Dengan demikian, asas kepatuhan anak kepada orang tua berangkat dari unsur keteladanan dan integritas orang tua. Itulah sebabnya, ketiadaan unsur keteladanan menyebabkan hilangnya kewajiban patuh kepada orang tua. Dengan demikian, hak orang tua untuk memperoleh kepatuhan anak bisa diambil alih oleh orang yang bisa dipercaya karena komitmennya kepada Allah. Inilah makna firman Allah

"…Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan…" (QS Luqman/31: 15).

Di sisi lain, hilangnya kewajiban anak untuk mematuhi orang tua karena ketiadaan unsur keteladanan itu bukan berarti hilang pula kewajibannya untuk memberi kehormatan kepada mereka. Adapun hilangnya hak kepatuhan itu dapat dikaitkan dengan tanggung jawab pribadi. Orang tua memiliki komitmen sendiri kepada Allah untuk mematuhi dan melanggar perintahnya dengan segala akibat yang ditanggungnya. Anakpun memiliki tanggung jawab pribadi kepada Allah untuk mematuhi perintahnya sekaligus mematuhi perintah orang tua yang sejalan dengan perintah Allah. Namun demikian, hilangnya kewajiban anak untuk patuh kepada orang tua tidak menghilangkan kewajiban mereka untuk bergaul dengan baik kepada mereka. Itulah sebabnya al Qur'an mengingatkan "….dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik (makruf)…".
Prinsip seperti tersebut di atas, pada hakekatnya berangkat dari keyakinan Tauhid seperti telah dibahas pada tema-tema yang telah lalu. Penduaan Allah (syirik) dengan berhala-berhala bisa terwujud dalam beragam rupa dari mulai yang konkrit hingga yang abstrak. Mematuhi perintah mahluk (dalam hal ini orang tua) untuk bermaksiat kepada khaliq masuk kedalam kategori syirik, sebab menyamakan antara kepatuhan mutlak kepada Allah dengan kepatuhan bersyarat kepada mahluk. Hal demikian ini adalah berlawanan dengan prinsip tauhid. Pada perkembangan selanjutnya, tauhid yang diawali dari syukur melahirkan kesadaran akan kehadiran Allah (muraqabah Allah). Orang yang memiliki sikap kesadaran akan kehadiran Allah pasti akan melahirkan sikap Ihsan. Dalam hadist nabi dikatakan Ihsan adalah "…engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya sesungguhnya dia melihatmu….". Kesadaran ketuhanan inilah yang dinasehatkan Luqman kepada anaknya "….wahai anakku, jika ada perbuatanmu seberat biji sawi dan berada dalam batu di langit atau di bumi niscaya Allah akan memberi balasan, sesunguhnya Allah maha halus dan maha teliti…" QS al Luqman/31: 16.

D. Kewajiban Menjalankan Syari'at Agama.
Hal berikutnya yang dijelaskan dalam surah Luqman dalam pendidikan anak adalah perlunya menanamkan pemahaman mereka mengenai kewajiban menjalankan syari'at agama. Setelah sebelumnya anak dididik agar memiliki kesadaran ketuhanan (muraqabat Allah), maka langkah berikutnya adalah melengkapi kesadaran itu dengan keinsafan akan perlunya melahirkan rasa syukur kepada Allah melalui amalan-amalan real. Amalan real yang dituntut Allah sebagai bukti rasa syukurnya adalah menjalankan syari'at agama.
Dalam wasiat Luqman, syari'at agama tersebut diringkas dalam tiga poin. Pertama, syari'at yang terkait dalam kaitannya dengan hubungannya dengan Allah yang dalam hal ini diwakili dengan shalat. Kedua, syari'at yang terkait dalam kaitannya dengan hubungan antar mahluk (mu'amalah) yang dalam hali ini diwakili dengan amar ma'ruf nahi munkar. Ketiga, syari'at yang terkait dalam hubungannya dengan diri pribadi (konsistensi) yang dalam hal ini diwakili melalui sikap sabar.
Syari'at yang berhubungan kepada Allah disebut sebagai ibadah mahdah, baru akan sempurna dalam wujudnya melalui kepedulian sosial yang disebut sebagai ibadah ghair mahdah. Dalam pendidikan anak, pendidik harus bisa memberi pemahaman bahwa ibadah itu justru dapat diapresiasi jika telah diwujudkan dalam bentuk amalan-amalan sosial. Hal demikian dapat dipahami mengingat status manusia yang merupakan mandataris Allah untuk memakmurkan bumi ini. Dalam aplikasinya, baik ibadah mahdah maupun sosial akan menemui pelbagai rintangan baik yang datang dari luar maupun dalam diri manusia. Untuk itu, syari'at yang berikutnya harus dipahamkan kepada anak adalah bagaimana agar mereka memiliki komitmen diri (diciple) yang tinggi dalam bentuk sikap sabar. Firman Allah

" Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS Luqman/31: 17).

E. Pendidikan Akhlak Mulia (akhlak al karimah).
Jika keimanan disempurnakan dalam wujud amalan real melalui pelaksanaan syari'at, maka syari'at perlu dihiasi oleh budi pekerti yang luhur. Pada prinsipnya kedisiplinan yang diajarkan al Qur'an melalui nasehat Luqman bertujuan untuk membentuk sosok pribadi yang berbudi pekerti luhur, baik ketika berinteraksi dengan Allah (takhalluq bi akhlaq al karimah ma'a Allah), maupun ketika berinteraksi dengan manusia (takhalluq bi akhlaq al karimah ma'a al nas). Itulah tujuan agama Islam seperti dijelaskan dalam hadist nabi "…sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia…". Syari'at merupakan sisi kulit dari agama, karenanya syari'at tidak mencerminkan agama itu sendiri. Syari'at baru bisa mewakili kesempurnaan Islam bilamana telah dilengkapi dengan budi pekerti yang luhur yang merupakan inti sari dari agama Islam.
Atas dasar logika di atas, maka agenda berikutnya bagi pendidikan anak adalah menanamkan budi pekerti luhur (akhlak) sebagai pelengkap sikap disiplin syari'at. Dalam surat al Luqman, hal tersebut terbaca dalam wasiat Luqman kepada anaknya untuk melakukan tiga hal. Pertama tawadu', yakni sikap rendah hati sehingga memberikan ruang untuk berbagi dengan manusia dalam berbagai hal. Sikap tawadu' ini pada tahap berikutnya melahirkan sikap toleransi (tasamuh) dengan anggapan bahwa keagungan dan kesombongan hanya milik Allah. Orang yang memiliki sikap tawadu' ini akan memiliki pergaulan dan wawasan yang luas serta memperoleh tambahan hikmah dalam hidupnya. Sebaliknya orang yang angkuh akan selalu mengecilkan dan meremehkan eksistensi orang yang akibatnya akan menyempitkan cara berpikir dan wawasannya. Firman Allah " wahai anakku, jangan engkau memalingkan wajah kepada manusia karena sombong..".
Kedua sikap demokratis, nasehat Luqman "…jangan berjalan di muka bumi dengan sombong…" merupakan ilustrasi dari sikap otoriter yang lahir dari anggapan tentang superiorias diri pribadi (mukhatal mu'jab li nafsihi) dan merendahkan orang lain (fakhur li ghairih). Orang yang menganggap dirinya super dan mutlak, secara otomatis menilai bahwa orang lain perlu untuk mematuhi dan menta'atinya. Untuk manusia, sikap demikian ini tidak bisa diterima mengingat hal tersebut merupakan hak prerogeratif Allah. Kebalikan dari sikap otoriter adalah demokratis, artinya sikap yang memberikan tempat bagi orang lain dan menghargai eksistensi diri mereka. Sikap demokratis berangkat dari anggap bahwa diri sendiri adalah tidak sempurna dan relatif, untuk itu perlu akan nasehat dan kritik dari orang lain yang lebih bisa menilai dirinya secara obyektif.
Ketiga sikap moderat (pertengahan) dalam menjalani hidup. Artinya sikap ini menuntut untuk mempertimbangkan setiap langkah dalam hidup agar dipikirkan secara matang dan dewasa dengan penuh kesadaran (qashd). Anak-anak harus dibimbing menuju kedewasaanya melalui sikap moderat. Sikap kedewasaan menuntut adanya kesadaran dan pertimbangan seseorang dalam setiap tindak tanduknya. Berbeda dengan anak-anak yang selalu berbuat tanpa dasar pertimbangan yang matang. "….sederhana dalam berjalan (waqsid fi masyyika)…" menurut Wahbah Zuhayli berarti berjalan tidak berlambat-lambat yang berarti menandakan kelemahan, dan tidak pula tergesa-gesa yang merupakan ciri khas syetan. Berjalan dengan sederhana berarti memperhitungkan matang dan bijak setiap tindakan dan melaksanakan setiap tindakan secara proporsional.
Keempat wajar dalam komunikasi. Menurut Wahbah Zuhayli, merendahkan suara (ghadd al saut) menunjukkan perlunya mempertimbangkan bicara sesuai dengan kebutuhan dan kewajaran. Dalam ayat ini (...waghdud fi sautika…) disetarakan antara berbicara yang melewati batas kewajaran dengan suara himar. Hal demikian merupakan etika yang disepakati oleh setip orang yang berakal sehat (common sense) tentang penilaian negatif bagi komunikasi yang diluar batas kewajaran. Dalam tahap anak-anak, adalah suatu kewajaran jika mereka terlihat sering berbicara yang berlebih-lebihan bahkan sampai diulang-ulang mengingat mereka dalam masa perkembangan mental. Tugas pendidik dalam hal ini adalah menanamkan sikap kedewasaan pada mereka tentang etika-etika dalam komunikasi yang mungkin bisa memicu banyak hal negatif dari mulai terlukanya perasaan hingga hilangnya nyawa.
Hikmah adalah pengetahuan benar yang meliputi tiga aspek, keyakinan, amalan dan budi pekerti yang baik. Tiga hal inilah yang teringkas dalam pesan-pesan al Qur'an seperti diwasiatkan Luqman kepada anaknya.
Wallahu a'lam bi al sawwab.
Prio Hotman, Oktober 2009.

Daftar Pustaka
Zuhayli, Mustafa Wahbah, Tafsir al Munîr Fi al 'Aqîdah wa al Syarî'ah wa al Manhâj, (Damaskus: Dar al Fikr Mu'âsir, 1997), Cet. Kedua.

al Asfihâny, al Husein bin Muhammad al Mufdal Abu al Qasim al Râghib, Mufradat Alfâz al Qur’ân, (Damsyik: Dar al Qalam, tt).

'Ulwan, Abdullah Nasih, Tarbiyat al Aulâd fi al Islâm, (Kairo: Dar al Salam, tt), Cet. Pertama.

al Marâghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al Marâghi, (Beiruth: Dar al Fikr, tt).

---------------000000-----------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar