Senin, 16 November 2009

LEMAHNYA ETOS DAN TRADISI ILMU DALAM SISTEM PENDIDIKAN
SAHRUL MAULUDI
JAKARTA, OKTOBER 2009
Makalah disampaikan dalam diskusi FKI

PENDAHULUAN
Keprihatinan bangsa yang tengah dilanda krisis dalam berbagai aspek kehidupan membuat peran pendidikan, khususnya di sekolah dipertanyakan. Dengan melihat kondisi real yang ada, seperti tawuran pelajar, merebaknya narkoba, dan beberapa perilaku yang menyimpang dari norma-norma agama dan budaya seperti pergaulan bebas, membuat peran pendidikan semakin dipersoalkan (Samsul Nizar: 2002).
Adalah wajar bila persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini harus dijawab oleh sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia. Hal ini, kata Dr. Samsul Nizar, disebabkan karena pendidikan memegang amanat tertinggi bangsa ini sebagai sarana untuk membina dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, sebagaimana tercermin dalam pembukaan UUD 1945: “untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Lebih lanjut, menurut Nizar, pendidikan nasional telah cukup banyak memainkan peranannya secara positif. Akan tetapi keberhasilannya masih belum maksimal dan hanya mampu menyentuh segelintir putra terbaik bangsa. Hal ini disebabkan karena system pendidikan yang ditawarkan masih bersifat parsial. Akibatnya pendidikan yang dilaksanakan hanya mampu menciptakan out put yang terpecah.
Menurut Nizar, paling tidak ada 3 kelompok besar yang prototype out put pendidikan dari hasil system yang parsial, yaitu: pertama, memiliki kemampuan intelektual yang mampu menguasai teknologi mutakhir, akan tetapi kurang mampu menghayati nilai-nilai luhur ajaran agama. Akibatnya, seringkali berbagai hasil olah keterampilannya kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas, bahkan terkesan untuk memperkaya pribadi atau golongan. Kebijakan politik seringkali sulit untuk dirujuk pada etika mana diambil. Bahkan sangat sulit untuk dikatakan apakah politik yang dimainkan masih mengemas dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika (moralitas). Kedua, memiliki kemampuan intelektual yang mampu menguasai dan menghayati nilai-nilai luhur ajaran agama, akan tetapi tidak mampu menguasai teknologi dan dinamika politik yang ada di dalamnya. Karena itu, tidak jarang kelompok ini dijadikan sasaran yang cukup strategis bagi kepentingan politik yang terkadang dijadikan alat untuk “menjustifikasi” berbagai kebijakan pemerintah. Ketiga, memiliki kemampuan intelektual yang mampu menguasai ajaran agama, akan tetapi tak mampu menghayati nilai-nilai luhur sebagai substansi ajaran Islam. Akibatnya muncul para “ulama” secara keilmuan, tetapi “menggadaikan” agama dalam praktek keseharian.
Harus diakui, lanjut Samsul Nizar, bahwa persoalan ini merupakan gambaran umum kegagalan pendidikan nasional, khususnya pendidikan Islam di Indonesia saat ini. Kegagalan ini merupakan konsekuensi dari kesalahan dalam penetapan kebijakan pendidikan. Yaitu:
1) Rendahnya alokasi dana bagi pendidikan
2) Kurikulum yang ditawarkan terkesan kurang bersifat progresif. Rumusannya berkisar menjawab berbagai persoalan kekinian yang terjadi dan belum mampu memprediksikan persoalan 5 atau 10 tahun yang akan datang, sebagaimana kurikulum pendidikan yang ditawarkan di negara-negara maju.
3) Kendurnya system yang dikembangkan, sebagaimana terlihat dengan terjadinya kecurangan-kecurangan dalam dunia pendidikan
Sementara itu, Indra Djati Sidi, Ph.D (2003) juga menilai bahwa sistem pendidikan nasional yang telah dibangun selama tiga dasawarsa terakhir ini, ternyata belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan nasional dan global dewasa ini. Sejumlah masalah masih membutuhkan perhatian seperti pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan, perkembangan teknologi informasi, demokratisasi dan tuntutan HAM.
Nampaknya gejala ini berlaku umum, bukan hanya menjadi persoalan dalam pendidikan Nasional saja, tetapi juga pendidikan Islam. Dr Hilmy Bakar menilai bahwa bentuk pendidikan yang diterapkan sebagian besar kaum Muslimin saat ini baik yang tradisional, sekuler ataupun gabungan keduanya belum mampu secara maksimal melahirkan manusia-manusia unggul yang ideal sebagaimana dikehendaki Islam yang tercermin dalam keunggulan generasi didikan Muhammad Rasulullah beserta para sahabatnya terdahulu. Tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah mencetak manusia-manusia unggul dalam artian yang sebenarnya, yaitu manusia yang memiliki keunggulan fisik, keunggulan intelektual dan keunggulan spiritual.
Sebagai perbandingan, di awal abad 21, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah Negara-negara Asia lainnya seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia. Bahkan jika dilihat dari indeks sumber daya manusia, yang salah satu indikatornya adalah sector pendidikan, posisi Indonesia kian menurun dari tahun ke tahun. Semua itu merupakan akibat dari kekeliruan dalam pembangunan yang berjalan cukup lama pada masa orde baru yang menekankan pada pembangunan fisik dan kurang serius dalam pembinaan SDM.
Dari segi mutu pendidikan juga kurang menggembirakan. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia tahun 1992 studi IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: Hongkong 75,5; Singapura 74,0; Thailand 65,1; Filipina 52, 6; Indonesia 51,7. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30 % dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda (Dede Rosyada, 2004)

LEMAHNYA ETOS DAN TRADISI ILMU
Dari sedikit gambaran di atas, kita dapat menilai bahwa pendidikan kita nampaknya masih menunjukkan problematika yang cukup serius dengan latar belakang persoalan yang demikian kompleks. Sehingga Utomo Dananjaya mengatakan “Aspek apapun dalam sistem pendidikan kita diamati, pasti menemukan problem” (Utomo Dananjaya; 2005)
Terkait dengan tema persoalan tulisan ini, ada satu hal mendasar yang juga masih luput dari perhatian sistem pendidikan kita, yaitu pendidikan sebagai pengembangan etos dan tradisi ilmu. Bahwa pendidikan merupakan suatu proses untuk menumbuhkan etos keilmuan dalam diri peserta didik, dan bukan hanya menjejalinya dengan materi-materi ilmu pengetahuan.
Pendidikan separuhnya sudah dianggap gagal bila tidak mampu menumbuhkan semangat keilmuan siswa. Karena itu tugas pendidik yang paling dasar sekali bukan hanya mengajari dan memberikan materi pelajaran, tetapi bagaimana menumbuhkan rasa ingin tahu, rasa senang serta cinta pada ilmu. Sehingga Albert Einstein dalam tulisannya yang berjudul On Education menyatakan: The most impotant motive for work in the school and in life is the pleasure in work, pleasure in its result and the knowledge of the value of the result to the community. In the awakening and strengthening of these psychological forces in the young man, I see the most important task given by the school. (Michael W. Alsid, William Kennedy, 1964)
Utomo Dananjaya juga mengatakan, tujuan belajar adalah membangkitkan pada orang-orang muda suatu perasaan hasrat dari dalam terhadap kehidupan dan kecintaan terhadap belajar. Sebab belajar bukan hanya di dalam kelas, tetapi belajar dalam kehidupan nyata, belajar adalah melalui pengalaman langsung, dengan kehidupan dan lingkungan, belajar sepanjang hayat.
Rendahnya prestasi pendidikan kita dapat dikembalikan kepada kondisi rendahnya etos dan tradisi ilmu. Pendidikan kita sejauh ini belum mampu menumbuhkan hal tersebut secara mantap. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh seperti rendahnya minat baca, kurangnya penguasaan literatur, kurangnya penguasaan metodologi ilmu, kurangnya semangat penelitian ilmiah dan kurangnya apresiasi terhadap kajian-kajian keilmuan.

MEMBANGUN KEMBALI ETOS DAN TRADISI ILMU
Prestasi dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan lahir dari iklim keilmuan yang kuat, memiliki etos dan tradisi ilmu yang melembaga. Karena itu sudah merupakan suatu kemestian bagi dunia pendidikan untuk membangun hal tersebut dan menjadikannya sebagai bagian utama dari proses pendidikan.
Bahkan tuntutan bagi pembangunan etos dan tradisi keilmuan bukan hanya menjadi soal dunia pendidikan, tetapi memiliki implikasi lebih jauh, khususnya bagi umat Islam.
Kata Nurcholish Madjid, yang lebih diperlukan ialah penumbuhan dan pengembangan etos keilmuan yang kuat dan mendalam, yang menghasilkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan bukan saja berguna untuk memenuhi expediency dan menjawab tantangan-tantangan ad hoc, melainkan merupakan part and parcel dari sesuatu yang jauh lebih penting, luas dan mendalam, yaitu pandangan hidup. Dan pandangan hidup itu, untuk seorang Muslim dan umat Islam, tentu tidak dapat lain kecuali mesti berdasarkan ajaran Islam. Jadi, yang amat diperlukan adalah sebuah etos yang mampu melihat hubungan organic antara ilmu dan iman, atau iman dan ilmu. Tetapi justru ini yang nampaknya belum tumbuh dengan mantap di kalangan kaum Muslim (Nurcholish Madjid, 1997)
Karena itu menurut Cak Nur, kita sangat memerlukan upaya untuk membangkitkan kembali etos intelektual Islam klasik yang membuat para pendahulu kaum Muslim begitu kreatif dan kuat dalam wawasan keilmuan mereka.
Untuk melakukan upaya tersebut kita mendapatkan wujud idealnya terutama di tingkat perguruan tinggi. Sebab menurut Dr. Samsul Rizal, perguruan tinggi merupakan pilar utama dan sekaligus mesin peradaban. Untuk sampai pada kerangka ideal tersebut, peran serta seluruh civitas akademika sangat diperlukan, terutama para mahasiswa sebagai objek dan subjek pendidikan.
Meskipun sayangnya, menurut Samsul Nizar, masyarakat perguruan tinggi dewasa ini tidak lagi memainkan perannya sebagai garda utama yang memprediksi, membangun, dan mewarnai zaman. Hal ini karena telah terjadi pergeseran misi dan orientasi input yang memasuki sebuah institusi pendidikan tinggi, dimana secara perlahan telah mengalami pergeseran dan pendangkalan makna pencarian dan pengembangan intelektual kemanusiaan.
Padahal, sebuah universitas bila hanya menyelenggarakan kegiatan pengajaran saja, sebenarnya tidak dapat dinamakan sebagai universitas. Lembaga seperti ini lebih tepat dinamakan sebagai sebuah lembaga kursus. Seharusnya universitas itu selain menyelenggarakan kegiatan pengajaran juga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Edward Shills, 1993)
Walapun kita menghadapi keadaan dilematis tersebut, namun upaya untuk membangun etos dan tradisi ilmu harus terus digalakkan mengingat peranannya dalam memacu kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Selama hal tersebut tidak kita upayakan secara serius, maka selama itu pula kita tidak akan bisa mencapai hasil yang maksimal, bahkan lebih buruk lagi pendidikan kita akan terus tertinggal dengan Negara-negara lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar