Sabtu, 21 November 2009

Bagian Pertama.
MODEL DAKWAH DAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SURAH IBRAHIM
Prio Hotman,MA.


A. Pendahulan.

Dalam mushaf, surah Ibrahim berada dalam urutan yang ke empat belas setelah surah al Ra'du. Sedangkan menurut turunnya, surah Ibrahim merupakan surah yang ketujuh puluh dua. Surah Ibrahim yang terdiri dari lima puluh dua ayat itu, keseluruhannya di turunkan di makkah. Menurut Mana' Khalil al Qattani, surah-surah al Qur'an yang diturunkan di Mekkah bercirikan pertama, menekankan pada pembahasan (tema) tauhid. Kedua, mengedepankan cerita-cerita umat terdahulu sebagai i'tibar bagi umat dan penghibur bagi Nabi Muhammad. Ketiga, berisikan inti syariat agama dan inti akhlak (budi pekerti) yang mulia. Keempat, pada umumnya surah-surahnya pendek dan ringkas.
Adapun kaitan (munasabah al surah) surah Ibrahim dengan surah sebelumnya, yakni surah al Ra'du. Surah al Ra'du berbicara mengenai tentang kebenaran al Qur'an sebagai wahyu Allah. Seperti namanya, tema surah al Ra'du terkait dengan ayat yang berbunyi "…huwallazdi yurikumul barqa khaufan wa tama'an…". Menurut ayat tersebut, kebenaran al Qur'an seumpama petir (al barq), yakni sama-sama menunjukkan tentang adanya kecemasan (khaufan) dan harapan (tama'an). Kecemasan akan didapatkan oleh setiap orang yang meragukan atau mendustakan al Qur'an, adapun harapan akan didapatkan oleh setiap orang yang membenarkan dan mengamalkan ajaran al Qur'an. Sedangkan surah Ibrahim berbicara mengenai tujuan kebenaran al Qur'an tersebut, yakni mengajak dan mendidik manusia dari kegelapan (al zulumat) kepada kehidupan yang terang benderang (al nur).
Sebagaimana surah makkiah pada umumnya, surah Ibrahim bertemakan tauhid. Namun demikian surah Ibrahim berbeda dengan surah-surah makkiah yang lain. Jika surah makkiah pada umumnya berayat pendek, seperti surah al Ikhlas, al Kafirun dan yang lainnya, maka surah Ibrahim memiliki ayat-ayat yang panjang. Panjang atau pendeknya ayat dalam surah makkiah, mengindikasikan seberapa besar urgensi pembahasan tema tauhid di dalamnya. Artinya, surah Ibrahim memiliki perhatian yang cukup besar terhadap tema tauhid. Hal demikian dapat dipahami, mengingat nabi Ibrahim adalah nabi pertama yang mendapatkan pengalaman keesaan tuhan (monoteisme) melalui pengalaman akal. Sedangkan nabi-nabi lainnya mendapatkan informasi tauhid berdasarkan wahyu. Atas dasar keterangan demikian, maka nabi Ibrahim ditetapkan sebagai bapak Monoteisme sedunia.

B.Tema umum Surah Ibrahim.
Pertama, Berintikan tentang dakwah dan pendidikan tauhid.
Kedua, gaya ungkap informasi surah Ibrahim menekankan tentang urgensi untuk memperhatikan kelas-kelas mad'u/peserta didik serta potensi (opportunity) dan tantangan (treat) dakwah.
Ketiga, tema dalam surah Ibrahim berbeda dengan kebanyakan surah al Qur'an. Jika dalam surah yang lain terkadang berfokus pada beberapa buah tema pokok, maka surah Ibrahim berfokus hanya pada satu pembahasan tanpa melampauinya dengan tema pembahasan yang lainnya sama sekali, yakni dasar-dasar akidah tauhid. Hal demikian dimaksudkan untuk pemantapan dan penyempurnaan pendidikan tauhid al Qur'an.
Keempat, dalam memantapkan dan penyempurnaan pendidikan tauhid tersebut, al Qur'an menggunakan metode pendekatan historis untuk menjelaskan tema tersebut melalui kesatuan materi dan ajaran para Rasul.
Kelima, untuk membentuk kesempurnaan pendidikan tauhid, surah Ibrahim menetapkan perihal dikotomi antara iman dan kafir. Iman dalam surah Ibrahim ditunjukan sebagai pendidikan yang didasari pada ketundukan terhadap perintah Tuhan. Sedangkan kekafiran, dalam surah Ibrahim ditunjukan sebagai penentangan terhadapnya. Terkadang penentangan tersebut bukanlah hal yang mendasar atas keyakinan tauhid, sehingga kekafiran tersebut diperhitungkan sebagai kufur ringan (lam yakun kufran bi 'ainihi).

C.Deskripsi Pendekatan Pendidikan Dalam Surah Ibrahim.
Pendidikan tauhid merupakan orientasi yang paling urgen sebelum pendidikan lainnya. Hal demikian karena pendidikan tauhid merupakan dasar dari segala pendidikan yang tanpanya akan terjebak dalam suatu sirkulasi pembelajaran tanpa pijakan dan tanpa tujuan. Di katakan tanpa pijakan, karena pendidikan yang tidak didasari pada tauhid memiliki dasar yang rentah dan rapuh serta tidak memiliki ketahanan dalam menghadapi dinamika persoalan yang kompleks. Di katakan tanpa tujuan, karena pendidikan demikian ini akan berputar-putar pada suatu lingkaran fana yang tidak bertepi. Dalam kaitan ini, pendidikan non tauhid yang terjadi di negera-negara barat dapat dijadikan contoh. Fenomena degradasi moral dan humanisasi yang terjadi dibarat, dapat diindikasikan sebagai akibat dari pendidikan non tauhid.
Seperti terbaca dalam surah Ibrahim, ditemukan dua macam pendekatan pendidikan yang dipakai untuk membentuk dasar dan tujuan pendidikan tauhid. yaitu pendekatan ayat kauniah, dan pendekatan ayat syar'iyyah.
Pertama, pendekatan perenungan terhap ayat-ayat kauniah. Seperti namanya, pendekatan ini berupa ayat-ayat yang membicarakan mengenai beragam fenomena yang terdapat dalam alam makro (dunia) dan alam mikro (manusia). Tujuan yang ingin dicapai melalui pendekatan ini adalah menghilangkan keraguan politeis dan mengarahkan peserta didik kepada kemantapan pemikiran tauhid.
Perhatikan misalnya surah berikut ini "Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah Telah menciptakan langit dan bumi dengan hak? jika dia menghendaki, niscaya dia membinasakan kamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru" (QS Ibrahim/19).

Melalui ayat ini, peserta didik diarahkan al Qur'an supaya merenungkan mengenai fenomena-fenomena alam sebagaimana diciptakan pada awal mulanya. Jika semua ciptaan ini pada mulanya tidak ada, kemudian atas kekuasan Allah diciptakanlah segala yang ada, maka bukanlah suatu hal yang sulit untuk melenyapkannya kembali dan menggantinya dengan wujud lain yang ia kehendaki pula. Hal demikian hanya mungkin dilakukan oleh zat yang satu dan mampu mengatur ciptaan tersebut. Inilah salah satu bentuk pengajaran tauhid al Qur'an.
Ayat ini juga mengandung ancaman bagi mereka yang menentang kekuasaan Allah dan melecehkan perintahnya. Mereka itu bukanlah apa-apa, jikalau Allah mau bisa saja Allah lenyapkan eksistensi mereka sebagai mahluk dan menggantinya dengan suatu eksistensi sesuai yang ia inginkan. Yang demikian itu bukanlah suatu yang sulit bagi Allah. Menurut M.Quraish Sihab, ayat ini mengandung pengertian bahwa keesaan Allh ditunjukan dengan kemampuannya untuk menciptakan atau melenyapkan mahluk.
Perhatikan pula misalnya ayat al Qur'an berikut ini "…Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan dari langit air, kemudian dia mengeluarkan dengannya berbagai buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Dia pula yang telah menundukan bahtera bagi kamu supaya ia berlayar di lautan dengan kehendak-Nyadan dia telah menundukan bagi kamu sungai-sungai. Dan dia telah menundukkan pula bagi kamu maahari dan bulan yang terus beredar serta malam dan siang…" (QS Ibrahim, 32-33).
Kalau ayat yang pertama, al Qur'an surah Ibrahim memberikan pendidikan tauhid melalui pendekatan ayat kauniah mengenai kemampuan untuk menciptakan atau melenyapkannya. Maka pada ayat yang disebut terakhir al Qur'an memberikan pendidikan tauhid kepada peserta didiknya melalui pendekatan ayat kauniah mengenai fenomena sinergis antar ciptaan. Perenungan tersebut bermaksud untuk menyimpulkan bahwa kemampuan meletakkan sinergisitas antar ciptaan hanya mungkin dilakukan oleh zat yang satu. Demikian pendekatan ayat kauniah menyandarkan pada aspek kekuatan dan kepercayaan logis.
Kedua, pendekatan perenungan (ta'ammul) terhadap ayat-ayat syar'iyyah. Pendekatan ini menekankan pada aspek sunatullah yang biasa terjadi terkait dengan ketundukan kepada aturan Allah (al inqiyad li syar'i Allah) atau penentangan terhadap aturan Allah dan larangannya (al tammarud 'ala amrihi wa nahyihi). Melalui perenungan terhadap ayat syar'iyyah, akan diperoleh pemahaman bahwa ketundukan merupakan preposisi atas perolehan pahala, ketetapan eksistensi, keselamatan dan beragam akibat baik lainnya. Sebaliknya, penentangan berujung pada perolehan siksa, kehancuran dan kecelakaan. Pendekatan terhadap ayat syar'iyyah atau disebut juga ayat kauliah, menyandarkan kepada kekuatan iman atau intuitif.
Baik ketundukan maupun penentangan terhadap ayat syar'iyyah dan segala konsekuensi yang muncul dari keduanya, tersaji dalam surah Ibrahim dalam bentuk kesaksian-kesaksian atau bukti konkrit yang terekam dalam beragam ayat. Kesaksian-kesaksian yang dimaksud adalah kesaksian kehancuran umat, kesaksian pertikaian penghuni neraka, kesaksian maklumat iblis, kesaksian penghuni surga, dan kesaksian hari di mana tidak ada transaksi dan pertolongan.
Pertama, kesaksian kehancuran umat atau kelompok masyarakat. Untuk mendidik dan mengarahkan kepada tauhid, surah Ibrahim menunjukan bukti konkrit berupa kehancuran suatu umat yang pernah terjadi pada masa sebelum ini. Bukti demikian ini dimaksudkan sebagai kesaksian sejarah tentang perihal orang-orang yang menentang instruksi Tuhan seperti kehancuran kaum 'Ad dan Tsamud yang mendustakan ajakan para rasul. Seperti misalnya dalam ayat berikut ini "…Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, 'Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang rasul-rasul kepada mereka (membawa) bukti-bukti yang nyata lalu mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan Sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya…".

Kedua, kesaksian pertikaian para penghuni neraka. Untuk mendidik dan mengarahkan peserta didiknya kearah tauhid, surah Ibrahim memiliki bukti lain yang patut ditunjukan kepada mereka. Bukti yang dimaksud adalah bukti mengenai keadaan mereka yang menentang instruksi Tuhan setelah mereka mendapatkan balasannya di neraka jahannam. Dalam pada itu, surah Ibrahim menunjukan keadaan jiwa mereka seperti penyesalan atau merugi sehingga mereka saling bertikai dan menyalahkan satu sama lainnya akibat perbuatan mereka. Perhatikan misalnya ayat berikut "…Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, Maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? mereka menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri…". (QS Ibrahim, 21).

Ketiga, maklumat Iblis. Informasi berikutnya yang diberikan surah Ibrahim dalam mengarahkan peserta didik kepada tauhid adalah dengan menunjukkan bukti mengenai maklumat Iblis di hari kiamat. Dalam pada itu, penentangan dan pelecehan terhadap perintah Tuhan dinilai sebagai suatu ketundukan kepada Iblis, sebaliknya penentangan dan pelecehan terhadap ajakan Iblis dinilai sebagai ketundukan terhadap perintah Tuhan. Iblis sebagai pemrakarsa penentangan kepada instruksi Tuhan mengajak manusia kepada "kegelapan hidup" dengan berbagai rayuan dan bujukan. Namun demikian, manakala rayuan dan bujukan itu tidak terwujud Iblis memaklumkan kepada pengikutnya demikian ini "…sesungguhnya Allah menjajikan kepada kalian dan ia tepati, aku juga berjanji kepada kalian tapi aku ingkari. Aku tidak memiliki wewenang apa-apa saat ini cuma aku ajak kalian dan kalian sendiri yang mau. Karena itu jangan sekali-kali kalian mencaci aku, tapi cacilah diri kalian sendiri….." (QS Ibrahim, 22).
Keempat, bukti kenikmatan penghuni surga. Jika penentangan terhadap instruksi Tuhan telah terbukti melalui persaksian penghuni neraka dan diperkuat dengan maklumat Iblis, maka untuk mengarahkan peserta didiknya kearah tauhid surah Ibrahim menunjukkan bukti tentang ketundukan terhadap instruksi Tuhan melalui persaksian penghuni surga. Perhatikan ayat berikut ini "…Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seizin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam syurga itu ialah "salaam" (QS Ibrahim, 23).

Kelima, bukti hari ketiadaan transaksi dan pertolongan. Jika ketundukan kepada instruksi Tuhan dibuktikan dengan penghuni surga dan penentangan terhadap Instruksi Tuhan dibuktikan melalui persaksian penghuni neraka dan diperkuat dengan maklumat Iblis, maka ketentuan yang demikian ini adalah suatu yang mutlak dalam arti tidak bisa dinegoisasi. Jika ketentuan-ketentuan duniawi masih memiliki celah untuk direkayasa dan dinegoisasi, maka yang demikian ini menurut surah Ibrahim tidak lagi dapat ditemukan di hari pembalasan. Ketentuan yang berlaku terhadap mereka yang mengikuti instruksi Tuhan tidak bisa ditukar tambah dengan ketentuan mereka yang menentang. Dengan adanya ketegasan demikian ini, tidak mungkin lagi ada kesempatan untuk menolong satu pihak terhadap pihak yang lainnya. Inilah satu bukti lagi yang diberikan surah Ibrahim untuk mengarahkan peserta didiknya kearah tauhid. perhatikan ayat berikut "…Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang Telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan…" (QS Ibrahim, 31).

D.Metode Pendidikan Surah Ibrahim.

Seperti terbaca dalam surah Ibrahim, ditemukan beberapa metode pendidikan yang digunakan dalam mengarahkan peserta didik kepada tauhid.
Pertama, sasaran pendidikan surah Ibrahim (menentukan sasaran pendidikan). Setiap pendidikan tanpa sasaran atau orientasi adalah sebuah pendidikan yang rapuh dan rentan. Demikian dikatakan, karena ia tidak memiliki dasar yang kuat dan petunjung sebagai penopang pelaksanaan langkah-langkah pendidikan. Pendidikan yang demikian ini secara maksimal hanya akan menyentuh wilayah material dari aspek yang diajarkan pada peserta didik. Akibatnya cita-cita membangun manusia seutuhnya secara mental-fisik, jasad-ruhani, material-spiritual tidak akan mungkin terwujud. Untuk maksud demikian ini, surah Ibrahim menekankan pendidikannya pada suatu orientasi dan tujuan pendidikan yang kuat yakni, tujuan atau orientasi tauhid.
Orientasi pendidikan tauhid yang dimaksud dalam surah Ibrahim, adalah sasaran pendidikan di mana pendidik dan peserta didik terhubung dalam suatu titik temu yakni tauhid dan 'ubudiah. Pengertian ini diperoleh melalui firman Allah "…jauhilah aku (Ibrahim sebagai pendidik) dan keturunanku (peserta didik) dari menyembah berhala…".
Kedua, menentukan lingkungan pendidikan. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dari sasaran pendidikan adalah lingkungan pendidikan yang baik. Pendidik yang sukses menurut surah Ibrahim adalah pendidik yang mampu memilih atau membentuk (menciptakan) lingkungan yang baik bagi peserta didiknya. Lingkungan pendidikan yang baik adalah lingkungan pendidikan di mana memiliki potensi besar bagi seorang pendidik untuk menumbuhkan nilai-nilai tauhid (pengakuan terhadap keesaan Tuhan) dan 'ubudiah (kemauan untuk mewujudkan jiwa tauhid dalam aplikasi kepatuhan terhadap perintah Tuhan) dan melenyapkan segala anasir-anasir kebatilan dan penentangan Tuhan. Perhatikan misalnya doa nabi Ibrahim berikut ini "…ya Tuhan jadikanlah negeri Mekkah ini sebagai negeri yang aman…". Keamanan yang dimaksud dalam doa nabi Ibrahim di atas adalah keadaan dimana suara tauhid dapat dikumandangkan dan suara kebatilan dapat dipadamkan. Inilah lingkungan pendidikan yang ideal di mana faktor sumber daya alam tidak menjadi faktor utama dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Firmannya "…negeri yang tiada tumbuhan…". Selain memiliki potensi yang kuat dalam menegakkan kalimat tauhid, lingkungan pendidikan yang ideal adalah lingkungan pendidikan yang memiliki instrumen preventif yang berfungsi untuk mencegah munculnya benih-benih kejahatan syetan. Faktor lain dalam lingkungan pendidikan yang ideal adalah faktor kebaikan yang dominan dari pada keburukan. Lingkungan yang keburukannya lebih dominan dari kebaikannya tidak dapat digunakan sebagai lingkungan pendidikan, di sini letak pentingnya hijrah.
Ketiga, aktualisasi nilai-nilai pendidikan tauhid peserta didik. Tauhid bukanlah suatu pengetahuan hati belaka, lebih dari itu, tauhid adalah sebuah keyakinan yang memiliki implikasi besar bagi amalan real. Tauhid berakar dari hati, di ucapkan melalui lisan dan di wujudkan dalam amalan aplikatif. Untuk tujuan ini, pendidikan tauhid bukanlah sebuah pendidikan yang hanya mementingkan keyakinan belaka. Lebih dari itu, pendidikan tauhid harus mampu mengaktualisasikan nilai-nilai tauhid yang diyakini oleh peserta didik dalam wujud amalan real. Itulah sebabnya bapak Monoteisme kita berdoa kepada Allah"…ya Tuhan jadikanlah mereka orang-orang yang mendirikan shalat…" dan berdoa "…Tuhan, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang yang konsisten dalam mendirikan shalat…".
Keempat, aktualisasi karakter pendidik. Setiap pendidikan yang baik, pasti memerlukan adanya keteladanan atau panutan. Tidaklah mungkin berhasil seorang pendidik yang tidak ada integritas antara ajaran dan sikapnya. Itulah sebabnya Ibrahim sebagai pendidik menyertakan dirinya dalam setiap doa untuk keturunannya. Perhatikan doa nabi Ibrahim berikut "…jauhilah aku dan keturunanku dari menyembah berhala…", " Tuhan jadikanlah aku orang yang konsisten menjalankan shalat…", dan doa "…Tuhan, ampunilah aku dan kedua orang tuaku serta mu'minin seluruhnya di hari ditegakkannya perhitungan amal…".
Di antara aktualisasi karakter pendidik adalah selalu meminta pertolongan dan bertawakal kepada Allah. Demikian diperlukan karakter ini karena dalam prosesnya setiap pendidikan akan mengalami hambatan dan rintangan. Untuk itu selain kerja keras dan usaha maksimal, pertolongan dan intervensi Allah juga suatu yang menentukan dalam keberhasilan pendidikan. Perhatikan doa nabi Ibrahim berikut ini "…Tuhan, jadikanlah hati sebagian manusia condong kepada mereka dan berilah rizki dari buah-buahan kepada mereka supaya mereka bersukur…" (QS Ibrahim, 31).
Di antara aktualisasi karakter pendidik lainnya yang terdapat dalam surah Ibrahim adalah welas asih dan antusias terhadap perkembangan peserta didik. Seorang pendidik yang baik harus memperlakukan peserta didiknya layaknya orang yang belum mengerti, mereka memerlukan pengarahan bukan kekerasan, perhatian dan bukan kecaman. Seorang pendidik yang baik juga diharuskan memiliki antusias yang besar dalam membimbing mereka dari kegelapan kepada nur serta berlapang dada jika mereka melakukan kesalahan. Seperti doa nabi Ibrahim "…barang siapa yang mendurhakai aku, engkau maha pemurah…". Demikian pendidikan dalam surah Ibrahim.

BAGIAN KEDUA
PENDIDIKAN KELUARGA DALAM SURAH AL TAHRIM


A.Pendahuluan.
Seperti namanya, surah al Tahrim bertemakan tentang kritikan Allah terhadap pengharaman yang dilakukan nabi Muhammad atas sejumlah hal-hal yang sebetulnya di halalkan oleh Allah. Dalam sebuah riwayat mengenai surah al Tahrim, nabi Muhammad meminum madu yang diberikan oleh salah satu istrinya, saudah. Hal demikian ini rupanya menimbulkan kecemburuan atas kedua istrinya, yakni 'Aisyah dan Hafsah. Sebagai reaksi dari kecemburuan ini, Rasulullah bersumpah mengharamkan madu atas dirinya. Kemudian turunlah surah al Tahrim sebagai teguran kepada Rasulullah agar bertindak tegas terhadap istri-istrinya, dan tidak menentukan suatu keputusan lain yang berbeda dengan kehendak Allah.
Surah al Tahrim berkaitan dengan surah sebelumnya yakni al Thalaq. Dalam surah al Thalaq, nabi diajarkan berbagai ketentuan-ketentuan dalam menceraikan istri dan peringatan untuk mentaati perintah Tuhan. Kemudian dalam surah al Tahrim, ketatan itu ditekankan lagi baik bagi rasulullah sendiri maupun para istri-istrinya. Barang siapa di antara istri nabi enggan untuk mengikuti aturan Tuhan tersebut, maka Rasullullah berhak mentalaq mereka dan menggantinya dengan wanita-wanita yang lebih salihah, patuh dan taat kepada perintah Tuhan mereka.
Pendidikan dalam surah al Tahrim ini menekankan kepada pendidikan keluarga, dimulai dari pendidikan kepala keluarga, pendidikan istri dan di tutup dengan pendidikan keluarga.


B.Pendidikan Kepala Keluarga.
Kepala keluarga adalah pemimpin dalam sebuah komunitas keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak, dan anggota keluarga lain. Layaknya seorang pemimpin, kepala keluarga dibebani sejumlah tanggung jawab dan diberikan sejumlah hak sebagai kompensasinya. Keluarga muslim, adalah sebuah keluarga di mana dibangun atas dasar nilai-nilai tauhid dan mewujudkan nilai tersebut dalam pergaulan dan pembinaan karakter anggota keluarga. Dalam hal ini, kepala keluarga bertanggung jawab untuk mengkontrol sikap setiap anggota keluarga yang terdapat di dalamnya dari mulai sikap terhadap diri pribadi, pergaulan dalam keluarga, hingga sikap dan tanggung jawab terhadap Tuhan mereka. Kepala keluarga juga bertanggung jawab membangun dan menciptakan sebuah sistem keluarga (nizam al usrah) yang berlandaskan nilai-nilai tauhid di mana setiap anggota keluarga di haruskan untuk menjalankan dan mematuhinya. Kepala keluarga juga perlu menyusun tugas-tugas yang relevan bagi masing-masing anggota keluarga dan ia harus meminta pertanggung jawaban pula kepada mereka atas tugas yang telah diberikan. Firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Tugas-tugas kepala keluarga seperti di jelaskan di atas merupakan suatu urgensitas untuk membangun keluarga muslim dan tindakan preventif gangguan yang datangnya dari dalam. Sedangkan dalam lingkup yang lebih jauh, setiap kepala keluarga dalam Islam diharuskan untuk membangun jaringan antar keluarga muslim untuk saling bahu membahu menghadang ganguan-gangguan dari luar. Firman Allah
جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Dalam membentuk kepala keluarga yang tegas, surah al Tahrim memberikan pelajaran kepada peserta didiknya mengenai teguran Allah kepada nabi agar konsisten terhadap ketentuan Allah dan tegas dalam mensikapi sikap istri-istri mereka. Dalam sebuah keluarga muslim ketegasan ini sangat penting artinya ketika terjadi gesekan-gesekan dalam keluarga. Seorang kepala keluarga yang baik, harus bersikap netral dari pihak-pihak yang bertikai dalam keluarga. Melainkan ia harus bisa menegakkan ketatapan Allah tanpa harus melihat satu kepentingan dan mengesampingkan kepentingan lainnya.
Rasulullah sebagai kepala keluarga ditegur Allah ketika ia tidak bersikap netral dan memilih untuk menyenangkan hati sebagian istrinya. Perhatikan firman Allah berikut
Hai nabi, Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS al Tahrim, 1).

Karena itu, seorang kepala keluarga harus tegas dalam menerapkan ketentuan dan aturan Allah. Untuk itu, ia harus membebaskan diri dari segala tekanan yang datang dari pihak-pihak tertentu untuk melemahkan ketentuan Tuhan tesebut. Ketegasan dalam mematuhi aturan Allah adalah suatu kebijakan yang tepat, adapun kemungkinan akan tantangan-tantangan yang akan muncul tidak perlu ditakuti dan tidak akan menimbulkan bahaya besar selama Allah yang menjadi pelindung firman Allah.

"…Sesungguhnya Allah Telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana…" (QS`Al Tahrim,2).


C.Pendidikan Istri.

Dalam keluarga Islam, peranan Istri juga sangat menentukan dalam pembentukan suatu keluarga yang berlandaskan nilai-nilai tauhid. Kedudukan istri dalam sebuah keluarga adalah sebagai penopang kebijakan kepala keluarga. Istri diharuskan untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh kepala keluarga selama aturan yang dimaksud tidak keluar dari garis syari'at. Penentangan terhadap kepala keluarga yang mengikuti aturan syari'at adalah sebuah kejahatan keluarga (jarimat al usrah) yang tidak bisa didiamkan saja. Untuk itu harus diberikan ketegasan.
Dalam surah al Tahrim, materi pendidikan yang ditekankan untuk istri keluarga muslim ada empat. Pertama, kepatuhan kepada ketetapan kepala keluarga yang tidak bertentangan dengan syari'at. Kedua, kesempatan kedua bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Ketiga, larangan untuk bekerjasama dengan anggota keluarga yang lain untuk mengugurkan ketentuan keluarga yang telah di tetapkan bersama. Keempat, hukuman bagi mereka yang tidak bisa memperbaiki diri.
Mengenai yang pertama, ditunjukan melalui pembebasan sumpah pengharaman nabi dalam firman-Nya "…sungguh Allah telah membebaskan kamu dari sumpah kamu…". Mengenai yang kedua di singgung dalam firman-Nya "…jika kamu berdua bertaubat berarti hati kamu condong kepada kebenaran…". Mengenai yang ketiga di jelaskan dalam firman-Nya "…jikalau kalian saling bantu-membantu untuk menyusahkan nabi maka sungguh Allah, jibril dan orang-orang yang baik menjdi pelindungnya…". Mengenai hukuman maka dibahas dalam firman-Nya "jika dia menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberikan ganti perempuan-perempun yang baik…".
Khusus mengenai hukuman (punishment), dalam al Qur'an dalam tempat yang lain memberikan batasan-batasan. Pertama, memberi nasehat kepada mereka (fa'izuhunna). Kedua, mengasingkannya secara psikologis tanpa diberikan nafkah batin ( wahjuruhunna fi al madhaji'). Kemungkinan ada di atara para istri yang kondisi kejiwaannya telah demikian kompleks sehingga tidak bisa diluruskan secara mental maka yang ketiga, adalah hukuman fisik (wadribuhunn). Demikian disebutkan dalam al Qur'an surah al Nisa 34.
Adapun pendidikan hukuman berupa cerai bagi istri seperti disebutkan dalam surah al Tahrim adalah pendidikan dalam tahap akhir di mana sudah tidak didapat lagi solusi lain yang memuaskan. Demikian karena dalam hadist nabi disebutkan bahwa cerai dalam sebuah hubungan keluarga adalah perkara halal yang paling dibenci Tuhan.

D.Pendidikan Keluarga.
Dalam keluarga muslim, anggota keluarga juga merupakan suatu yang perlu di bina dalam berbagai aspek. Baik aspek yang berkaitan dengan tanngung jawab pribadi, hubungan antar anggota keluarga yang lain, maupun dengan Tuhan. Dalam surah al Tahrim ditunjukan perbedaan yang mendasar antara karakteristik keluarga muslim dan keluarga kafir.
Keluarga muslim dalam surah al Tahrim diperlihatkan sebagai keluarga yang memiliki karakteristik seperti pertama, kepedulian dan saling bertausiah antara satu sama lain. Kedua, memiliki kesadaran terhadap tanggung jawab pribadi. Keduanya tercakup dalam firman Allah
"…Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS al Tahrim, 6).

Ketiga, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kesalahan yang dilakukan dan mengembalikannya kepada Allah (taubat). Seperti dijelaskan dalam firmannya "…wahai orang-orang yang beriman taubatlah kalian dengan sebenar-benarnya taubat…" (QS al Tahrim, 7).
Sedangkan keluarga kafir, di perlihatkan oleh surah al Tahrim sebagai keluarga yang selalu mencari-cari alasan dalam melaksanakan aturan Tuhan, tidak memiliki kepekaan terhadap tanggung jawab pribadi dan acuh terhadap anggota keluarga lainnya. Demikian dijelaskan dalam firman Allah
"…Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan…" (QS al Tahrim, 7).

Keluarga muslim dalam surah al Tahrim juga digambarkan sebagai keluarga yang menjalin jaringan dan kerjasama dalam menghadang segala gangguan yang kemungkinan akan muncul dari luar serta bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang menimbulkan gangguan dan kestabilan dalam kelompok keluarga-keluarga muslim. Demikian dijelaskan dalam firman-Nya.
"…Hai nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.." (QS al Tahrim, 9).


E.Tanggung Jawab Pribadi.

Pendidikan dalam sebuah keluarga muslim adalah sebuah usaha dan kerja keras menuju pembentukan keluarga yang berlandaskan tauhid. Namun demikian, hasil bukanlah suatu yang mutlak. Terkadang usaha dan kerja keras tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan. Dalam hal ini, kepala keluarga hanya bertugas sebagai pendidik dan bukan pemaksa. Di sinilah perlunya sikap demokratis ditunjukkan dalam sebuah keluarga. Masing-masing anggota keluarga bertanggung jawab atas diri pribadinya.
Dalam surah al Tahrim, digambarkan bagaimana istri dari kedua nabi yakni Nuh dan Luth yang melakukan penentangan terhadap ketentuan kepala keluarga yang sejalan dengan perintah Tuhannya. Dalam kasus yang demikian ini, tanggung jawab tidak lagi dibebankan kepada kepala keluarga, melainkan masing-masing pihak. Ini berarti faktor ketegasan dan kebijakan dari kepala keluarga dalam membina keluarga muslim saja tidaklah memadai. Lebih dari itu, cita-cita pembentukan keluarga muslim harus didukung oleh segenap anggota keluarga. Perhatikan firman Allah berikut
                         •   
"…Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)…" (QS al Tahrim, 10).

Juga digambarkan bagaimana seorang wanita yang shalih karena memiliki kepekaan yang tinggi terhadap tanggung jawab pribadinya mampu lahir dari sebuah keluarga yang melakukan penentangan terhadap ketentuan Tuhan. Informasi ini menunjukan bahwa kesalihan atau kedurhakaan istri atau anggota keluarga bukanlah disebabkan karena kegagalan kepala keluarga dalam memimpin. Lebih dari itu, kepala keluarga hanya sebagai fasilitator dan mediator yang mengarahkan mereka kepada keluarga muslim yang berlandaskan tauhid. Di sisi lain, faktor kepekaan terhadap tanggung jawab pribadi adalah komponen yang kuat dalam mewujudkan karekteristik masing-masing. Ini juga bukan berarti perempuan atau anggota keluarga yang baik tidak dapat lahir dari keluarga yang buruk adanya. Perhatikan contoh al Qur'an terhadap dua wanita, yakni istri fir'aun dan maryam binti 'Imran dalam ayat berikut ini.
               •                           
Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim. Dan (Ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, Maka kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-KitabNya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat" (QS al Tahrim, 11-12).

BAGIAN KETIGA
PENDIDIKAN ANAK DALAM SURAH AL LUQMAN 12-19



A. Pengantar
Para pakar berbeda pendapat mengenai sosok Luqman al Hakim, sebagian ada yang berpendapat bahwa dirinya seorang nabi dari deretan yang tidak terdapat dalam sebutan 25 rasul. Sebagian lagi berpendapat bahwa dirinya hanyalah seorang bijak yang diberi kelebihan oleh Allah. Mana saja dari dua pendapat di atas, ada hal penting dari riwayat mengenai tokoh luqman hingga Allah mengabadikannya dalam surah tersendiri. Menurut pakar tafsir kontemporer Wahbah al Zuhayli, perihal yang menjadikan riwayat ini menjadi penting hingga diabadikan adalah faktor instrinsik yang ada dalam sosok luqman, yakni hikmah. Kemudian al Zuhayli menjelaskan bahwa isi kandungan hikmah yang menjadi keistimewaan luqman antara lain terdiri dari tauhid, ketaatan kepada Allah, dan akhlak al karimah. Keistimewaan luqman ini kemudian dijadikan sebagai materi inti dari pendidikan Islam yang harus sejak semula ditanamkan kepada umat manusia. Karena begitu pentingnya inti ajaran ini, maka dalam riwayat luqman digambarkan bagaimana ia dijadikan sebagai bahan nasehat kepada anaknya yang mesti dibudayakan sedari dini dan secara kontinyu. Dalam konteks pendidikan anak, maka pewartaan al Qur'an atas kisah al Luqman ini sangat relevan untuk dijadikan sebagai pembahasan tersendiri yang mengkaitkan antara idealis al Qur'an di satu sisi, dan proyek pendidikan anak di sisi yang lain.
Bagi al Zuhayli, perihal luqman ini diwartakan al Qur'an sebagai bukti ekstistensi potensi kebaikan pada diri manusia. Manusia biasa sekelas Luqman, lanjut Zuhayli, dapat memperoleh pengetahuan yang sahih walaupun tanpa melalui proses pewahyuan (nubuwwah). Pengetahuan yang dimiliki Luqman, adalah pengetahuan yang berupa hidayah taufik untuk mengaktualisasikan ilmu dan pemahaman agama yang dengannya orang jadi mampu untuk bersyukur atas nikmat Allah dan karunia-Nya, mencintai kebaikan untuk manusia, dan menggunakan segala potensi dirinya untuk menghasilkan kebaikan yang bermanfaat. Kata Zuhayli, pengetahuan itulah yang disebut Hikmah. Hikmah inilah yang kemudian diwariskan Luqman al Hakim kepada keturunannya, dan kemudian diikuti oleh para orang tua dan orang-orang beriman yang memiliki kepentingan dalam pendidikan anak.

B. Petunjuk Akal dan Syukur Nikmat.
Akal sebagai potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia sejak lahir, baru bisa difungsikan ketika ia mencapai batas usia tertentu. Orang yang telah mencapai batas usia berfungsinya akal, dia dibebani kewajiban-kewajiban tertentu yang mesti dilaksanakan dan diharuskan untuk menjauhi sejumlah larangan untuk dilanggar. Orang demikian dalam ilmu fiqih disebut dengan istilah mukallaf, artinya orang yang telah memiliki tanggungan. Seorang mukallaf diberi pahala dan dosa atas dasar melaksanakan atau meninggalkan kewajiban agamanya. Berbeda dengan anak-anak yang belum mencapai usia berfungsinya akal, mereka ini disebut ghair mukallaf artinya orang yang belum terbebani atas sejumlah kewajiban tertentu. Dengan demikian, mereka tidak mendapat sangsi atas pelanggaran seperti yang diberikan kepada orang-orang mukallaf.
Melalui akal yang sehat, seorang mampu memahami dan menyadari berbagai hakekat hidup dari mulai siapa yang menghidupkannya, sebab-sebab bertahan hidup (survive), alasan dia hidup, hingga tujuan dari hidupnya. Jika dia telah memahami dan menyadari (menginsafi) berbagai hakekat tersebut, artinya telah terbuka pintu syukur (terima kasih) atas semua kebaikan dalam wujud nikmat yang telah diberikan Allah dalam hidupnya. Jika orang bersyukur atas segala kebaikan Allah, artinya dia akan berusaha agar tidak mengecewakan pihak yang telah berbuat baik kepada. Termasuk dalam kategori perilaku yang mengecewakan pihak yang berbuat baik adalah berkhianat kepadanya. Dalam kaitan dengan Allah, maka khianat itu dapat berupa sikap menduakan Allah dengan pelbagai berhala baik yang konkrit (ashnam) maupun yang abstrak (awtsan), sikap inilah yang selanjutnya disebut dengan syirik. Dengan demikian, syirik dapat dinilai sebuah sikap yang menyalahi prinsip syukur nikmat dan prinsip akal sehat.
Hikmah yang diberikan Allah kepada Luqman, merupakan akal sehat yang jernih, sehingga mampu mengetahui kebenaran melalui ilmu serta memahami hakekat-hakekat untuk kemudian berbuat kebajikan. Dengan anugrah hikmah tersebut, Luqman menginsafi bahwa dirinya memiliki komitmen untuk berterima kasih (syukur) atas semua nikmat Allah. Luqman dalam hal ini juga memahami bahwa ternyata komitmen syukur tersebut pada hakekatnya adalah untuk kepentingan kebaikannya sendiri. Firman Allah
                •    
"…Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS Luqman/31: 12).
Syukur secara bahasa berarti melukiskan nikmat dalam benak untuk kemudian ditampakkan dalam wujud perilaku konkrit. Lawan dari syukur adalah kufur, yang berarti melupakan nikmat dan menutup-nutupi kenyataan seolah-olah Allah tidak memberikan nikmat itu kepadanya. Jika seseorang menyadari tentang keberadaan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya kemudian ia melakukan eksplorasi atasnya sehingga nikmat tersebut menjadi lebih optimal maka iapun akan dapat memperoleh banyak manfaat darinya. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah " …jika kamu bersyukur pasti akan ditambahkan nikmat…". Sebaliknya jika seseorang melupakan nikmat Allah dan menutup-nutupinya, maka nikmat yang berpotensi besar tersebut menjadi terpendam. Jika potensi nikmat terpendam dan tidak bisa dimanfaatkan, artinya yang bersangkutan akan menderita kerugian yang besar. Inilah makna firman Allah "…jika kamu kufur (menutupi nikmat Allah), sesungguhnya siksa Allah (kerugian) itu amat pedih..".
Bentuk syukur atas nikmat Allah yang utama adalah tidak mengkhianatinya (menduakannya) dengan pelbagai berhala yang konkrit dan yang abstrak, kemudian mengikrarkan (declaration) sambil mewujudkannya dalam amalan-amalan real yang bermanfaat. Termasuk dalam amaran real tersebut adalah mewariskan konsep dan pengetahuan hikmah ini kepada keluarga dan anak-anak (keturunan) dalam bentuk wasiat (nasehat).
Kewajiban orang tua terhadap anaknya yang belum sampai usia tamyiz, adalah menanamkan konsep syukur nikmat ini melalui logika yang mereka pahami. Perhatikan bagaimana Luqman menggambarkan menduakan Allah itu sebagai suatu yang gelap (zhulm) yang sangat ditakuti anak-anak. Bagi orang mumayyiz, konsep gelap (zhulm) tersebut dapat berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebab kegelapan memungkinkan orang untuk meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Untuk kasus syirik, kegelapan itu dapat dikonotasikan sebagai gelap yang gulita (a'zham al zhulm) di mana tidak ditemukan secercah cahaya di dalamnya. Begitu, karena ia berkaitan dengan dasar keyakinan yang paling asasi yakni tauhid. Perbuatan syirik berarti menyetarakan pencipta yang agung dengan makhluk yang hina di satu sisi, dan menyetarakan antara pemberi nikmat dengan yang tidak di sisi yang lain.

C. Syukur, Keteladanan Dan Tauhid.
Berterima kasih kepada Allah mengaharuskan pula berterima kasih kepada pihak-pihak yang menjadi sebab turunnya nikmat Allah melalui mereka. Dalam hadist nabi dikatakan "…barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah". Hadist nabi tersebut menunjukkan betapa syukur dalam artian vertikal-transendent tidak diterima tanpa syukur yang horizontal dan immanent. Kehidupan manusia yang merupakan satu bagian nikmat dari nikmat Allah yang begitu banyaknya terwujud melalui perantara jasa-jasa orang tua. Jika hal ini dikaitkan dengan hadist di atas, berarti syukur kepada Allah juga mewajibkan untuk bersyukur kepada orang tua. Itulah sebabnya dalam banyak ayat al Qur'an, larangan syirik biasanya dibarengi dengan perintah untuk berbuat baik kepada orang tua. Firman Allah
     •            
"Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu." (QS Luqman/31: 14).

Kewajiban kedua dalam pendidikan anak menurut ayat di atas adalah mengkongkritkan sikap syukur anak kepada Allah melalui sikap bakti mereka kepada kedua orang tua. Pendidik anak dalam hal ini harus bisa memberikan pemahaman kepada anak bahwa kepatuhan kepada orang tua merupakan kepatuhan kepada Allah. Sebaliknya kedurhakaan kepada orang tua berarti tidak bersyukur kepada Allah dan bagi pelakunya akan mendapat ganjaran yang setimpal.
Sikap kepatuhan kepada orang tua bukanlah kewajiban yang beridiri sendiri, lebih dari itu kepatuhan kepada orang tua harus sejalan dengan kepatuhan kepada perintah Allah. Ketika pendidik menasehati anak untuk patuh kepada orang tua sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah, maka pada saat yang sama orang tua harus memberikan keteladanan untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Allah yang digariskan dalam agama-Nya. Dengan demikian, asas kepatuhan anak kepada orang tua berangkat dari unsur keteladanan dan integritas orang tua. Itulah sebabnya, ketiadaan unsur keteladanan menyebabkan hilangnya kewajiban patuh kepada orang tua. Dengan demikian, hak orang tua untuk memperoleh kepatuhan anak bisa diambil alih oleh orang yang bisa dipercaya karena komitmennya kepada Allah. Inilah makna firman Allah
                   •             
"…Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan…" (QS Luqman/31: 15).

Di sisi lain, hilangnya kewajiban anak untuk mematuhi orang tua karena ketiadaan unsur keteladanan itu bukan berarti hilang pula kewajibannya untuk memberi kehormatan kepada mereka. Adapun hilangnya hak kepatuhan itu dapat dikaitkan dengan tanggung jawab pribadi. Orang tua memiliki komitmen sendiri kepada Allah untuk mematuhi dan melanggar perintahnya dengan segala akibat yang ditanggungnya. Anakpun memiliki tanggung jawab pribadi kepada Allah untuk mematuhi perintahnya sekaligus mematuhi perintah orang tua yang sejalan dengan perintah Allah. Namun demikian, hilangnya kewajiban anak untuk patuh kepada orang tua tidak menghilangkan kewajiban mereka untuk bergaul dengan baik kepada mereka. Itulah sebabnya al Qur'an mengingatkan "….dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik (makruf)…".
Prinsip seperti tersebut di atas, pada hakekatnya berangkat dari keyakinan Tauhid seperti telah dibahas pada tema-tema yang telah lalu. Penduaan Allah (syirik) dengan berhala-berhala bisa terwujud dalam beragam rupa dari mulai yang konkrit hingga yang abstrak. Mematuhi perintah mahluk (dalam hal ini orang tua) untuk bermaksiat kepada khaliq masuk kedalam kategori syirik, sebab menyamakan antara kepatuhan mutlak kepada Allah dengan kepatuhan bersyarat kepada mahluk. Hal demikian ini adalah berlawanan dengan prinsip tauhid. Pada perkembangan selanjutnya, tauhid yang diawali dari syukur melahirkan kesadaran akan kehadiran Allah (muraqabah Allah). Orang yang memiliki sikap kesadaran akan kehadiran Allah pasti akan melahirkan sikap Ihsan. Dalam hadist nabi dikatakan Ihsan adalah "…engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya sesungguhnya dia melihatmu….". Kesadaran ketuhanan inilah yang dinasehatkan Luqman kepada anaknya "….wahai anakku, jika ada perbuatanmu seberat biji sawi dan berada dalam batu di langit atau di bumi niscaya Allah akan memberi balasan, sesunguhnya Allah maha halus dan maha teliti…" QS al Luqman/31: 16.

D. Kewajiban Menjalankan Syari'at Agama.
Hal berikutnya yang dijelaskan dalam surah Luqman dalam pendidikan anak adalah perlunya menanamkan pemahaman mereka mengenai kewajiban menjalankan syari'at agama. Setelah sebelumnya anak dididik agar memiliki kesadaran ketuhanan (muraqabat Allah), maka langkah berikutnya adalah melengkapi kesadaran itu dengan keinsafan akan perlunya melahirkan rasa syukur kepada Allah melalui amalan-amalan real. Amalan real yang dituntut Allah sebagai bukti rasa syukurnya adalah menjalankan syari'at agama.
Dalam wasiat Luqman, syari'at agama tersebut diringkas dalam tiga poin. Pertama, syari'at yang terkait dalam kaitannya dengan hubungannya dengan Allah yang dalam hal ini diwakili dengan shalat. Kedua, syari'at yang terkait dalam kaitannya dengan hubungan antar mahluk (mu'amalah) yang dalam hali ini diwakili dengan amar ma'ruf nahi munkar. Ketiga, syari'at yang terkait dalam hubungannya dengan diri pribadi (konsistensi) yang dalam hal ini diwakili melalui sikap sabar.
Syari'at yang berhubungan kepada Allah disebut sebagai ibadah mahdah, baru akan sempurna dalam wujudnya melalui kepedulian sosial yang disebut sebagai ibadah ghair mahdah. Dalam pendidikan anak, pendidik harus bisa memberi pemahaman bahwa ibadah itu justru dapat diapresiasi jika telah diwujudkan dalam bentuk amalan-amalan sosial. Hal demikian dapat dipahami mengingat status manusia yang merupakan mandataris Allah untuk memakmurkan bumi ini. Dalam aplikasinya, baik ibadah mahdah maupun sosial akan menemui pelbagai rintangan baik yang datang dari luar maupun dalam diri manusia. Untuk itu, syari'at yang berikutnya harus dipahamkan kepada anak adalah bagaimana agar mereka memiliki komitmen diri (diciple) yang tinggi dalam bentuk sikap sabar. Firman Allah

             •     
" Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS Luqman/31: 17).

E. Pendidikan Akhlak Mulia (akhlak al karimah).
Jika keimanan disempurnakan dalam wujud amalan real melalui pelaksanaan syari'at, maka syari'at perlu dihiasi oleh budi pekerti yang luhur. Pada prinsipnya kedisiplinan yang diajarkan al Qur'an melalui nasehat Luqman bertujuan untuk membentuk sosok pribadi yang berbudi pekerti luhur, baik ketika berinteraksi dengan Allah (takhalluq bi akhlaq al karimah ma'a Allah), maupun ketika berinteraksi dengan manusia (takhalluq bi akhlaq al karimah ma'a al nas). Itulah tujuan agama Islam seperti dijelaskan dalam hadist nabi "…sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia…". Syari'at merupakan sisi kulit dari agama, karenanya syari'at tidak mencerminkan agama itu sendiri. Syari'at baru bisa mewakili kesempurnaan Islam bilamana telah dilengkapi dengan budi pekerti yang luhur yang merupakan inti sari dari agama Islam.
Atas dasar logika di atas, maka agenda berikutnya bagi pendidikan anak adalah menanamkan budi pekerti luhur (akhlak) sebagai pelengkap sikap disiplin syari'at. Dalam surat al Luqman, hal tersebut terbaca dalam wasiat Luqman kepada anaknya untuk melakukan tiga hal. Pertama tawadu', yakni sikap rendah hati sehingga memberikan ruang untuk berbagi dengan manusia dalam berbagai hal. Sikap tawadu' ini pada tahap berikutnya melahirkan sikap toleransi (tasamuh) dengan anggapan bahwa keagungan dan kesombongan hanya milik Allah. Orang yang memiliki sikap tawadu' ini akan memiliki pergaulan dan wawasan yang luas serta memperoleh tambahan hikmah dalam hidupnya. Sebaliknya orang yang angkuh akan selalu mengecilkan dan meremehkan eksistensi orang yang akibatnya akan menyempitkan cara berpikir dan wawasannya. Firman Allah " wahai anakku, jangan engkau memalingkan wajah kepada manusia karena sombong..".
Kedua sikap demokratis, nasehat Luqman "…jangan berjalan di muka bumi dengan sombong…" merupakan ilustrasi dari sikap otoriter yang lahir dari anggapan tentang superiorias diri pribadi (mukhatal mu'jab li nafsihi) dan merendahkan orang lain (fakhur li ghairih). Orang yang menganggap dirinya super dan mutlak, secara otomatis menilai bahwa orang lain perlu untuk mematuhi dan menta'atinya. Untuk manusia, sikap demikian ini tidak bisa diterima mengingat hal tersebut merupakan hak prerogeratif Allah. Kebalikan dari sikap otoriter adalah demokratis, artinya sikap yang memberikan tempat bagi orang lain dan menghargai eksistensi diri mereka. Sikap demokratis berangkat dari anggap bahwa diri sendiri adalah tidak sempurna dan relatif, untuk itu perlu akan nasehat dan kritik dari orang lain yang lebih bisa menilai dirinya secara obyektif.
Ketiga sikap moderat (pertengahan) dalam menjalani hidup. Artinya sikap ini menuntut untuk mempertimbangkan setiap langkah dalam hidup agar dipikirkan secara matang dan dewasa dengan penuh kesadaran (qashd). Anak-anak harus dibimbing menuju kedewasaanya melalui sikap moderat. Sikap kedewasaan menuntut adanya kesadaran dan pertimbangan seseorang dalam setiap tindak tanduknya. Berbeda dengan anak-anak yang selalu berbuat tanpa dasar pertimbangan yang matang. "….sederhana dalam berjalan (waqsid fi masyyika)…" menurut Wahbah Zuhayli berarti berjalan tidak berlambat-lambat yang berarti menandakan kelemahan, dan tidak pula tergesa-gesa yang merupakan ciri khas syetan. Berjalan dengan sederhana berarti memperhitungkan matang dan bijak setiap tindakan dan melaksanakan setiap tindakan secara proporsional.
Keempat wajar dalam komunikasi. Menurut Wahbah Zuhayli, merendahkan suara (ghadd al saut) menunjukkan perlunya mempertimbangkan bicara sesuai dengan kebutuhan dan kewajaran. Dalam ayat ini (...waghdud fi sautika…) disetarakan antara berbicara yang melewati batas kewajaran dengan suara himar. Hal demikian merupakan etika yang disepakati oleh setip orang yang berakal sehat (common sense) tentang penilaian negatif bagi komunikasi yang diluar batas kewajaran. Dalam tahap anak-anak, adalah suatu kewajaran jika mereka terlihat sering berbicara yang berlebih-lebihan bahkan sampai diulang-ulang mengingat mereka dalam masa perkembangan mental. Tugas pendidik dalam hal ini adalah menanamkan sikap kedewasaan pada mereka tentang etika-etika dalam komunikasi yang mungkin bisa memicu banyak hal negatif dari mulai terlukanya perasaan hingga hilangnya nyawa.
Hikmah adalah pengetahuan benar yang meliputi tiga aspek, keyakinan, amalan dan budi pekerti yang baik. Tiga hal inilah yang teringkas dalam pesan-pesan al Qur'an seperti diwasiatkan Luqman kepada anaknya.
Wallahu a'lam bi al sawwab.
Prio Hotman, Oktober 2009.

Daftar Pustaka
Zuhayli, Mustafa Wahbah, Tafsir al Munîr Fi al 'Aqîdah wa al Syarî'ah wa al Manhâj, (Damaskus: Dar al Fikr Mu'âsir, 1997), Cet. Kedua.

al Asfihâny, al Husein bin Muhammad al Mufdal Abu al Qasim al Râghib, Mufradat Alfâz al Qur’ân, (Damsyik: Dar al Qalam, tt).

'Ulwan, Abdullah Nasih, Tarbiyat al Aulâd fi al Islâm, (Kairo: Dar al Salam, tt), Cet. Pertama.

al Marâghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al Marâghi, (Beiruth: Dar al Fikr, tt).

---------------000000-----------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar