Jumat, 05 November 2010

PARADIGMA DAKWAH ISLAM LIBERAL
(Sebuah Dekontruksi Pemikiran Dakwah)

Dipresentasikan di Arena Reboan PSIK Universitas Paramadina Jakarta
pada 29 September 2010. pkl 19.00-21.30

Oleh : Prio Hotman

A. Prolog: Genealogi Pemikiran Liberal Islam dan Konteks Dakwah Kontemporer
Walaupun memiliki kemiripan-kemiripan dalam istilah, Islam liberal mengaku sepenuhnya berbeda dengan liberalisme baik dari keyakinan (sudut pandang) maupun praktik. Istilah liberalisme, menunjuk kepada suatu paham yang menekankan kepada kebebasan mutlak (kebebasan permisif) . Liberalisme sebagai paham yang dipopulerkan di Barat, pada mulanya merupakan suatu konsep pemikiran yang digulirkan sebagai solusi standar untuk masyarakat demokratis di satu sisi, dan keprihatinan atas peperangan dengan nama agama yang berlangsung berabad-abad di sisi yang lain . Paham liberalisme dimunculkan untuk mengakomodir perbedaan-perbedaan dan melindungi hak asasi manusia selama tidak melanggar hak asasi orang lain . Karena tidak didasari oleh akidah yang kuat, maka "niat yang tulus" ini akhirnya mengalami "kecelakaan" ideologi sehingga mengubahnya menjadi suatu permisifisme (paham serba boleh).
Dari sudut pandang ini, Islam liberal mengaku berbeda sama sekali dengan liberalisme. Liberalisme seperti dikenal di Barat menurut pendukung Islam liberal adalah gerakan kanan, sebaliknya Islam liberal sendiri adalah gerakan kiri . Islam liberal mengaku, bahwa ideologi gerakannya memang memiliki inspirasi dari liberalisme tapi setelah melalui penyaringan yang ketat akidah Islam. Jadi Islam liberal sebetulnya adalah liberalisme barat yang telah di "Islamkan" dan karenanya menjadi "halal" . Islam liberal juga mengaku bukan sebagai konsep Islam yang sama sekali baru, lebih dari itu, ia memiliki preseden dari akar historis Islam .
Seperti juga semua kelompok pemikiran Islam, Islam liberal juga mengaku memiliki keterkaitan ideologi dengan salafus saleh (para pendahulu yang saleh). Dari sahabat, Islam liberal mengaku mendapatkan inspirasinya melalui Umar Ibn Khattab misalnya, yang terkenal keliberalannya dengan meninggalkan bunyi tekstual al Qur'an dan Sunnah serta meninggalkan pemahaman mainstream pada masanya . Islam liberal juga mengaku sebagai generasi penerus para pembaharu salafus saleh seperti al Razi , Ibn Rusd , Ibn 'Araby , hingga Ibn Taimiah .
Pada abad modern, Islam liberal mengaku memiliki pertalian pemikiran dengan para pembaharu di Timur Tengah semisal al Tahtawi, Jamal al Din al Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya . Seperti para pembaharu tersebut, Islam liberal mengklaim memiliki cita-cita untuk memperbaiki kondisi umat Islam secara internal dan meningkatkan gengsi (image) dalam pandangan umat lain. Dalam kasus bercabangnya pemikiran murid-murid Muhammad Abduh, Islam liberal mengkaitkan pemikirannya kepada murid-murid kiri Abduh semisal Ali Abdul Raziq, Muhammad Imarah dan Hasan Hanafi .
Dengan bertambahnya jumlah pemikir-pemikir Islam progresif dari seluruh dunia, pada era kontemporer, Islam liberal makin menguatkan identitasnya dengan bersandar pada pemikir-pemikir muslim berkelas internasional semisal Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammad Arkoun, Muhammad Syahrour, Hasan Hanafi, Abdullahi Ahmad al Na'im, Khaled Abou al Fadl, hingga Fazlur Rahman. Pemikir-pemikir lokal yang pernah belajar di luar negeri juga merupakan tonggak utama pergerakan Islam liberal semisal Harun Nasution, Nurkholis Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Raharjo hingga Munawir Sadzali .
Islam liberal yang merupakan rejuvenasi dari gerakan kebangkitan Islam yang dimulai sejak awal abad ke 19 di seluruh dunia Islam itu, kini telah melakukan konsolidasi gerakannya di penjuru negeri . Dalam posisi tersebut, Islam liberal tampil sebagai pengkounter pemikiran-pemikiran konservatif dan fundamentalis serta pendobrak kekuatan medan pemikiran ortodoksi. Bentuk perlawanan terhadap bentuk parokial dalam pemikiran agama dan perjuangan ide egalitarianisme serta kebebasan berpikir menjadi ciri utama kekirian pemikiran Islam liberal. Dalam pemikiran Islam liberal, kebutuhan dakwah kontemporer tidak semestinya lagi dipusatkan pada usaha memperbanyak pengikut, lebih dari itu, adalah perjuangan memberdayakan pengikut. Dengan kata lain, dakwah di era kontemporer semestinya diupayakan untuk memperkuat kualitas, bukan kuantitas.
Dakwah kontemporer dalam kondisi demikian, ad hoc membutuhkan pola pikir kekirian yang bibitnya ada dalam pemikiran Islam liberal. Perjuangan egalitrianisme, hak-hak manusia, kebebasan berfikir dan berkarya, kebebasan beragama, pro modernitas, hingga pemihakan terhadap kelompok minoritas, adalah item-item yang mesti diperjuangkan oleh umat muslim saat ini melalui dakwahnya. Sebaliknya, wajah dakwah yang membela parokialisme agama, ortodoksi, ekslusivistik, dan fundamentalis, untuk ukaran saat ini dinilai tidak relevan dan tidak lagi dibutuhkan umat muslim. Dalam pemikiran Islam liberal, dakwah kontemporer mesti dijauhkan dari kecenderungan-kecenderungan kapitalisme religius. Dakwah ke jalan Tuhan (al da'wah ilâ sabîli al rabb), sejatinya adalah untuk membela kepentingan manusia dari segala bentuk kesemena-menaan (al tawaghit), dan bukannya untuk membela kepentingan Tuhan itu sendiri.

B. Perlunya Dekontruksi Pemikiran Dakwah Konvensional.
Watak dinamis Islam dalam fakta historisnya sukses menorehkan produktifitas dalam banyak aspek, berangkat dari politik, kemudian menjalar ke aspek ilmiah dan kultural. Dari aspek politik, watak dinamisme Islam memperoleh sukses besar melalui ekspansi militernya hingga keluar jazirah Arab melampaui Persia hingga ke India dan Cina di Timur, atau hingga ke Benua Eropa di sebelah Barat . Kesuksesan aspek keilmuan dalam sejarah Islam yang tidak kalah bersinarnya, juga tidak bisa dilepaskan dari watak Islam yang dinamis. Sejumlah nama ilmuwan beserta karya dan pemikirannya yang menjadi warisan dunia kontemporer menjadi saksi keterkaitan Islam dan sikap keberagamaan yang dinamis . Begitu juga dari sudut pandang budaya, Islam telah menjadi inspirasi yang melahirkan hibridasi agama dan budaya lokal. Sikap dinamis Islam dalam hal ini, telah melahirkan sejumlah kreasi dan inovasi yang mewarnai keragaman wajah peradabannya di pelbagai tempat yang berbeda .
Watak dinamisme Islam yang produktif itu sebetulnya berangkat dari sikap anti kemapanan dan otoritas. Islam sendiri – melalui kacamata historis global - lahir sebagai anti tesis dari pelbagai kemapanan dan otoritas yang menghegemoni di masanya, baik otoritas agama, politik maupun budaya . Dari sudut pandang keyakinan, Islam lahir sebagai protes atas sejumlah praktik keagamaan populer saat itu yang telah menjauh dari arti agama dalam pengertian yang sebenarnya. Keyakinan paganis sebagai wujud anthropomorpisme agama pada akhirnya telah menyimpangkan ajaran agama yang suci melalui penetrasi kurafat dan takhayul . Yudaisme dan kristen sebagai dua agama samawi yang pernah mendapat bimbingan nabi dan kitab suci, juga dinilai gagal dalam mengemban tugas membumikan risalah langit. Sementara Yudaisme terpedaya dalam sikap oportunisnya yang kotor dengan mengatasnamakan agama, Kristenisme terjebak dalam pertikaian sekte-sekte di mana satu sama lainnya saling mengkafirkan dan bahkan memusnahkan . Beranjak ke Timur dari tempat lahirnya Islam, Majusisme sebagai sebuah agama tua di Persia dianggap sebagai yang bertanggung jawab atas merebaknya kebobrokan moral dan sosial , disamping praktik kerahiban yang menjauhkan manusia dari kodrat materinya, baik yang dipraktikan oleh penganut kristen hingga agama-agama spiritual di Timur jauh . Kondisi politik tribalistik arab yang liar dan primitif, atau pemerintahan diktator Romawi dan Persia yang secara keseluruhan tidak berpihak kepada keadilan dan kemanusiaan dalam artinya yang utuh, adalah keperihatinan dalam latar belakang kelahiran Islam . Dari sudut pandang kultur, Islam tidak diragukan sebagai suatu gerakan revolutioner signifikan yang dengan tegas menyatakan ketidakberpihaknnya pada budaya populer di saat itu .
Dalam fenomena demikian vis a vis Islam dengan tegas mempropagandakan gerakan untuk keluar dari mainstream sebagai syarat untuk menemukan kondisi hidup yang lebih segar dan menapaki era baru sejarah yang lebih produktif. Bagi agama baru ini, sikap menerima ortodoksi secara apa adanya (taken for granted), adalah akar penghambat kemajuan. Lebih dari itu, Islam menuntut adanya perubahan yang radikal, dan bahkan hingga menyentuh elemen masyarakat dan pemahaman yang telah dianggap mapan . Keluar dari mainstream yang ada dengan tujuan mencari inspirasi baru yang segar dan pencerahan adalah satu-satunya jawaban rasional untuk mendukung perubahan .
Kemapanan atau otoritas mainstream, adalah kekuatan hegemoni yang memiliki arus kuat untuk dilawan. Bagi nalar-nalar kritis, akan ditangkap banyak hal-hal mendasar dari kekuatan hegemoni yang dirasa perlu untuk dipertanyakan ulang. Indikasi oportunisme, pihak-pihak yang mempertahankan status quo dan irasionalitas serta paham-paham lama yang tidak lagi dapat menjawab permasalahan kekinian menjadi alasan utama ketidaknyamanan ideologi seseorang sehingga – walaupun penuh resiko – memaksanya untuk melawan arus tersebut. Konsekuensi logis dari perlawanan ini adalah tekanan, pertama, tekanan eksternal yang bentuk konkritnya bisa bermacam-macam, dari mulai protes, pengucilan dan embargo sosial, penentangan dan perlawanan, hingga teror dan pembunuhan. Kedua, tekanan internal berupa konflik kejiwaan akibat pengaruh pemahaman lama yang sedikit banyak mengintervensi sikap dan pikiran seseorang .
Bagaimanapun, kekuatan hegemoni mainstream beserta tekanannya tidak cukup kuat untuk mematikan watak dinamisme Islam. Secara faktuil, sejarah tidak membiarkan kekuatan mainstream terus dalam posisi menang, dan pada gilirannya selalu saja ditemukan oposisi, baik dalam bentuk gerakan maupun pemikiran sebagai protes terhadap hegemoni mainstream. Terlepas dari keragaman motifnya, sejarah mencatat banyak oposisi gerakan atau pemikiran terhadap paradigma mainstream . Di antara mereka ada yang efektif dan berhasil membuat terobosan, tapi ada juga yang berakhir dengan kekalahan namun menjadi inspirasi di era berikutnya. Mereka adalah para pembaharu dengan komitmen yang kuat dan optimisme ideologi yang meyakini bahwa jika tidak saat ini, pada masanya nanti akan tiba di mana pandangan atau gagasan mereka akan menjadi populer dan diterima khalayak ramai.
Bagi pengkaji biografi Nabi Muhammad, perlawan beliau atas hegemoni mainstream yang memunculkan kecurigaan, pengucilan, embargo, perlawanan hingga ancaman dan teror adalah pengalaman yang sangat berharga. Dalam hal ini, reaksi-reaksi di atas adalah kelumrahan sebagai harga yang harus dibayar untuk menebus reformasi atau perubahan . Karena di manapun dan kapanpun, para pemegang otoritas dan penyandang status quo tidak akan merelakan posisi mereka tergeser. Namun demikian, akan ada saatnya di mana umat harus keluar dari mainstream dan membebaskan diri dari kekangan ortodoksi. Pertama, ketika pemahaman-pemahaman keagaman lama tidak lagi dapat menjawab pesoalan-persoalan kekinian yang lebih kompleks . Kedua, ketika struktur otoritas (ulama) menjadi stagnan, tidak terkontrol, dalam arti keluar dari fungsinya atau diindikasikan telah tersusupi oleh pelbagai subyektif kepentingan (vested interest) .
Hampir semua praktik keberagamaan populer pada kali pertama munculnya, juga merupakan respon atas wajah pemahaman dan situasi populer sebelumnya . Pada saat kelahirannya, ia dianggap sempalan dari mainstream yang ada. Lambat laun, pemahaman baru tersebut menarik banyak simpatisan dan ketika gilirannya tiba, gerakan tersebut telah cukup mengkonsolidasikan kekuatan untuk melawan hegemoni mainstream dan mentransformasikan dirinya sebagai mazhab popular yang baru. Ada dua sebab yang melatarbelakangi transformasi sebuah mazhab keagamaan baru menjadi popular. Pertama dari perspektif luar, munculnya krisis kepercayaan dan sikap skeptis atas pemahaman lama yang popular. Formulasi konsep dalam pemahaman lama dinilai tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan dan permasalahan baru yang lebih kompleks. Karena adanya jarak antara ide (das solen) dan kenyataan (das sein), paham lama terkesan irasionil dan apologis . Bagi para pendukung status quo, satu-satunya kekuatan untuk mengikat pandangan umum adalah dengan senjata konsensus . Berbeda dari yang diinginkan, sikap seperti ini justru membuat keraguan orang bertambah besar dan akhirnya lebih memilih mencari alternatif baru. Kedua, dari perspektif dalam, sebuah mazhab yang baru lahir kekuatannya masih lemah dan karena itu konsolidasi menjadi ciri khas dalam gerakan ini. Mazhab baru sebagai respon dan kritik atas pandangan populer menawarkan ide baru yang lebih segar dan sesuai dengan semangat kekinian. Bagi nalar-nalar kritis yang dari sejak awal mempertanyakan ulang banyak hal-hal mendasar, ini menjadi satu lagi modal yang melahirkan banyak dukungan.
Seperti telah disinggung sebelumnya, satu-satunya ketahanan Islam dalam menghadapi perubahan dan perkembangan adalah keberdinamikaannya. Dengan karakter tersebut, pemahaman keislaman berani untuk keluar dari setiap kemapanan yang terkonsolidasi. Dari situ, tercipta kepercayaan diri untuk merespon setiap perubahan yang melahirkan wajah barunya yang lebih segar dan bernuansa kekinian . Kesimpulan yang ditarik baik dari logika dan nash agama, menafikan semua bentuk absolutisme eksistensi selain eksistensi Tuhan (kullu syay'in hâlik illâ wajhah) . Sehingga satu-satunya kemungkinan untuk tetap eksis hanyalah menjadi profan (the only way to be exis is be profan), dan itu hanya terjadi jika sesuatu adalah berubah . Perubahan tidak mungkin diciptakan dari dalam, lebih dari itu, perubahan menuntut keberanian untuk keluar dari arus utama, melihat lebih luas sudut pandang lain yang berbeda, dan kemudian mengkomparasikannya ke dalam secara lebih obyektif. Ketika dinamika terhenti dan pandangan telah dibatasi dalam suatu konteks historis tertentu, maka disitu tercipta atmosfer dalam iklim intelektual yang tidak sehat. Ada masa di mana orang harus mengkekspansikan wawasannya melampui pemahaman yang dianggap baku guna menciptakan iklim intelektual yang lebih segar.
Diskursus yang selama ini seperti terbaca dalam referensi-refensi kajian dakwah, secara garis besar menyebutkan tiga dimensi pemikiran yang mewakili mainstream. Pertama dari sudut pandang keyakinan, dakwah diterima sebagai misionarisasi Islam. Kedua dari sudut pandang politik, dakwah merupakan langkah untuk mensukseskan agenda-agenda politik Islam (kesatuan agama dan negara). Ketiga dari sudut pandang keilmuan, dakwah diterima sebagai gerakan untuk mengkonsolidasikan pandangan-pandangan keagamaan klasik dan otoritas keagamaan ortodoks (salafiah).
Dalam pandangan mainstream, dakwah dipahami sebagai suatu misi suci untuk merekreuit masa ke dalam Islam. Dalam literatur-literatur dakwah, pernyataan ini dijelaskan melalui berbagai sudut pandang yang berbeda, baik secara eksplisit maupun implisit. Namun demikian, pada akhirnya yang ingin ditekankan bahwa ciri utama dakwah adalah penegasan tentang kampanye iman (misionarisasi). Dalam suatu literatur, dakwah melalui perspektif evolusi agama, ditegaskan sebagai yang menganulir semua agama dan syari'at sebelumnya. Muatan dalam risalah Islam diyakini sebagai yang mengakomodasi risalah-risalah dan dakwah para nabi dengan tambahan undang-undang realistis yang telah diperbaharui (al tasyrî' al waqî'i al mutajaddad). Konsekuensi yang dapat dipahami dari keyakinan ini adalah bahwa dakwah itu berarti mengajak untuk menerima risalah Islam dengan cara meninggalkan keyakinan lama yang telah dianulir (mansûkh) .
Dalam bukunya Hidâyat al Mursyidîn, Syeikh Ali Mahfuz membagi tugas dakwah ke dalam tiga sasaran. Pertama, dakwah individuil-internal sesama muslim untuk saling mengingatkan tentang melakukan kebajikan sekaligus mencegah dari berbuat kejahatan (dakwah individual). Kedua, dakwah sebagian muslim kepada muslim lainnya kepada kebaikan (dakwah komunal). Dakwah ini ditugaskan kepada sebagian kelompok khusus umat Islam yang memiliki spesifikasi dalam masalah-masalah agama dan pemahaman syari'at. Ketiga, dakwah umat Muhammad (muslimin) kepada umat beragama lain agar memeluk Islam dan bersedia menerima petunjuk agama yang benar (dakwah lintas komunal). Berdasarkan kategori ini, kewajiban mengajak kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran kepada non muslim hanya diwajibkan bilamana mereka telah bersedia menerima Islam .
Pernyataan yang lebih tegas berkenaan dengan pandangan mainstream dakwah sebagai misionarisasi terekam dalam kutipan berikut
"…Islam adalah agama hak yang diridiai Allah untuk manusia. Beriman kepada Islam, mencari petunjuknya dalam hidup menurut manhajnya yang tegas adalah suatu kewajiban bagi setiap mukkalaf. Tanggung jawab mukallaf tidak cukup hanya dengan beriman dan menerima hidayah Islam, lebih dari itu, keimanan dan hidayah Islam itu mesti harus melampaui dirinya melalui dakwah, memotifasi orang agar memeluk Islam dan menyingkap tirai kelalaian dan kesesatan dari hati orang yang berpaling darinya….hal demikian, karena Islam adalah agama hak yang mesti melingkupi dunia dan memenuhi cakrawala… "

Keyakinan demikian ini, sebetulnya didasari sebuah anggapan bahwa orang-orang yang berada di luar komunitas Islam adalah kafir yang harus ditarik atau diselamatkan ke dalam Islam. Islam adalah satu-satunya jalan keselamatan, sebaliknya, semua agama dan kepercayaan di luar Islam adalah kebatilan yang menyesatkan (dlillun mudlill). Dengan sikap keagamaan yang ekslusif ini, bahkan dalam pergaulanpun melulu didasari atas sikap saling mencurigai .
Pemahaman dakwah sebagai misionarisasi dalam pernyataannya yang implisit misalnya terbaca dalam kutipan berikut. "…dakwah secara istilah adalah merubah pandangan (sarf al anzâr) dan akal manusia kepada akidah dan kemaslahatan yang bermanfaat dengan tujuan untuk menyelamatkan manusia dari jebakan kesesatan dan maksiat..." . Dalam definisi tersebut belum ditegaskan apa yang dikategorikan sebagai yang "sesat" dan kemana pandangan manusia akan diubah. Namun dalam keterangan berikutnya ulama tersebut menegaskan bahwa dakwah adalah sebuah sebutan yang komprehensif tentang seperangkat elemen risalah dari mulai akidah, ibadah, mu'amalat, dan pelaksanaan hukum . Dari keterangan ini, dapat dipahami bahwa kesesatan yang dimaksud adalah posisi di luar Islam dan mengubah pandangan manusia berarti menarik mereka untuk memeluk Islam.
Dalam pandangan mainstream, dakwah juga masih menilai perlunya integrasi antara agama dan negara yang dengan demikian berarti mengandaikan keharusan berdirinya negara Islam . Pandangan mainstream ini pada hakekatnya berakar dari keyakinan bahwa Islam adalah sistem hidup (manhaj al hayât) yang memuat cetak biru (blue print) hukum-hukum yang mesti dijalani manusia. Menurut pandangan ini, dakwah tidak mungkin dijalankan tanpa ditopang oleh kekuatan politik. Melalui politik, negara dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa orang menjalankan ketentuan-ketentuan (baca: syari'at) Islam (al nazm wa al qawânin) . Bagi pendukungnya, hak asasi, kebebasan berpikir, kesejahteraan dan aneka ragam tuntutan manusia kontemporer hanya mungkin diwujudkan jika syari'at Islam diterapkan. Warga negara non muslim, bagi mereka, justru hanya akan terjamin hak dan kehormatannya melalui kekuatan negara yang menerapkan syari'at Islam .
Dari aspek keilmuan, pandangan dakwah konfensional masih menekankan perlunya kesesuaian dengan tradisi dan persaratan otoritas yang ketat. Dalam pandangan mainstream, tidak boleh ada pendapat yang menyalahi atau bertentangan dengan apa yang dikatakan dan disepakati oleh ulama salaf (nahy al ikhrâj 'an manhâj al salaf al sâlih). Walaupun secara umum mereka sepakat dengan usulan ijtihad, namun ijtihad itu tidak boleh lepas dari ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh para pendahulu . Dari pandangan mainstream ini dapat disimpulkan bahwa dari sudut pandang intelektualitas, dakwah konfensional mempertahankan tradisionalisme dan ortodoksi keagamaan .
Saat ini, umat Islam tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa mereka adalah bagian dari proses globalisasi. Dalam situasi demikian, komunitas muslim di seluruh dunia didesak untuk mengadakan hubungan yang intensif-inklusif denga komunitas lain dalam pelbagai aspek kehidupan . Di sisi lain, sistem pemerintahan kontemporer yang dikonsolidasikan atas format nation-state dengan sistem demokrasinya, untuk saat ini, telah menjadi bagian perpolitikan yang lumrah (exceptble) dan mungkin (capable) bagi masyarakat dunia . Dalam format negara ini, yang menjadi tiangnya adalah nilai-nilai universal yang diterima oleh seluruh kalangan (warga negara) dan bukan kekuatan mayoritas atau kelompok . Sedangkan dari segi perkembangan keilmuan, agama sebagai keyakinan fundamental, dituntut untuk lebih nyata memberikan kontribusi dan jawaban atas permasalahan kemanusiaan kontemporer. Melalui pandangan ini, berarti dakwah dituntut untuk mampu bersikap dinamis, untuk menghadirkan petunjuk langit (wahyu) yang selaras dengan situasi kontemporer .
keterangan-keterangan seperti diuraikan di atas, pada akhirnya menekankan perlunya untuk memahami dakwah dalam sorotan yang berbeda dari pandangan mainstream. Islam liberal dengan paham pluralismenya, tampil sebagai kelompok yang berani mendakwahkan pemahamannya yang notabene tampak berbeda dari apa yang disuarakan oleh mainstream. Sungguhpun demikian, secara hakiki kelompok Islam liberal juga mengaku sepakat dengan pandangan mainstream, yakni sama-sama berconcern untuk menegaskan eksistensi agama Islam yang diyakini sebagai agama universal dan rahmatan lil 'alamin.
C. Mendudukkan Pluralisme Dalam Konteks Dakwah.
Satu dari dua permasalahan yang melingkupi kajian ini, - selain tuntutan atas kedinamisan intelektual - sebetulnya berakar pada penerimaan Islam liberal terhadap konsep pluralisme agama. Dari situ, kemudian Islam liberal membangun pemikiran dakwahnya sendiri yang membedakannya dari pemikiran dakwah konvensional. Jika pluralisme agama dimengerti sebagai suatu paham yang menyatakan adanya keragaman jalan menuju Tuhan, maka ia memang akan sama sekali bertolak belakang dengan dakwah ekslusif . Ekslusifitas dakwah seperti yang dipahami dalam pandangan mainstream tentunya akan sampai pada kesimpulan bahwa pluralisme agama adalah konsep batil yang bertentangan dengan nilai-nilai doktrinal Islam. Di sisi lain, seluruh kelompok Islam tanpa terkecuali bersepakat, bahwa Islam adalah agama dakwah baik dari sudut pandang teori dan praktek . Atas dasar ini, kelompok Islam pendukung pluralisme agama kelihatannya perlu menyusun suatu teologi dakwah baru agar ajaran fundamental Islam tersebut dapat selaras dengan semangat keberagamaan yang inklusif. Untuk keperluan tersebut, yang pertama-tama harus dilakukan adalah mendudukkan paham pluralisme agama dalam konteks pemikiran dakwah.
Dakwah yang inklusif dan menerima pluralisme lahir dari pemahaman keagamaan yang juga inklusif dan pluralis. Melalui pemahaman ini, maka teologi dakwah yang ekslusif mesti didekonstruksi untuk kemudian di bangun kembali dengan pemahaman baru yang inklusif. Mempertemukan dua terminologi yang secara lahiriah terkesan berbeda, hanya bisa dilakukan dengan mempertanyakan sisi kesamaan antara dua terminologi tersebut. Untuk itu, pertanyaan yang perlu diajukan dalam diskusi ini adalah apa point yang mempertemukan antara pluralisme dan dakwah?
Pluralisme agama adalah suatu paham keagamaan (religious tought) yang berpendapat bahwa Allah menciptakan banyak jalan untuk mencapai ridla-Nya. Jalan-jalan itu walaupun secara lahir berbeda, namun pada hakekatnya ia menuju pada yang satu. Allah yang mutlak, tidak bisa dipahami oleh manusia yang terbatas. Karena itu, pemahaman dan ekspresi keimanan manusia atas Allah yang satu itu menjadi beragam . Pluralisme agama berpendirian, bahwa ekspresi keimanan yang beragam itu adalah absah dan benar berdasarkan kriteria masing-masing . Lebih lanjut, pluralisme menilai bahwa perbedaan zahir dalam agama-agama harus dipahami sebagai yang lain, dan karenanya tidak boleh menilai agama lain dengan standar ganda (double standar). Bagi kaum pluralis, karena agama-agama itu menuju pada yang sama, maka walaupun secara lahiriah berbeda, tetap diikat oleh kesatuan pandangan (kalimatun sawâ).
Sedangkan dakwah, adalah doktrin fundamental dalam ajaran Islam untuk menyeru manusia ke jalan Tuhan (ud'û ilâ sabîli rabbik) . Allah sebagai Tuhan semesta alam, dalam firman-Nya menegaskan bahwa Ia telah menciptakan banyak jalan (syir'at) dan cara (minhâj) untuk memperoleh keridaan-Nya . Melalui keduanya, manusia disuruh Tuhan untuk berlomba-lomba memberi kontribusi bagi kebajikan/kemanusiaan (fastabiq al khayrât). Untuk itu, manusia disuruh untuk berdakwah, mengajak yang lain untuk konsisten melakukan kebajikan. Seperti umat muslim, umat non muslim juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk mensukseskan dakwah kemanusiaan itu .
Dari pemaparan tentang pluralisme dan dakwah seperti diuraikan di atas, didapat suatu kesamaan ide yang mengikat antara kedua konsep tersebut. Pluralisme seperti juga dakwah, sama-sama menekankan tentang pandangan kesatuan dunia (universalitas). Dari sudut pandang pluralisme, universalitas adalah tiang yang menghubungkan antara agama-agama dunia yang berbeda. Sedangkan dari sudut pandang dakwah, universalitas adalah nilai yang menjadi karakteristik penyampaian ajaran agama. Atas alasan universalitas ini pula, al Qur'an menyebutkan alasan perihal diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul . Melalui sinkronisasi dakwah dan pluralisme dalam suatu ikatan nilai universalitas, akan diperoleh suatu pemahaman baru tentang dakwah yang lebih terbuka. Dakwah dalam paradigma ini, dipahami sebagai sebuah ajakan yang bernilai transenden (rabbâniyyah) kepada seluruh manusia untuk bersama menuju jalan-Nya dengan cara berkomitmen dengan nilai-nilai kebajikan dan kemanusiaan yang menjadi kesepakatan universal.
Islam sebagai tema dakwah, dalam maknanya yang generik memang menyimpan maksud keuniversalan itu. Melalui pengertian ini, Islam dimengerti sebagai sebuah kepasrahan utuh manusia sebagai mahkluk di hadapan Tuhannya. Islam adalah kelanjutan ajaran nabi-nabi terdahulu dari mulai Nuh, Musa, Isa hingga Muhammad. Inti kandungan risalah para nabi tersebut ada dua, yaitu secara vertikal dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah (al Islâm) dan secara horizontal dengan menebarkan kesejahteraan dan kebaikan untuk kemanusiaan dan semesta alam (al salâm) .
Pemahaman pluralisme dalam konteks dakwah, tidak dipahami sebagai kemanusiaan sekular seperti yang dituduhkan sebagian orang. Kemanusiaan yang diusung oleh pluralisme dalam konteks dakwah adalah ajakan yang bernilai transenden. Disebut demikian, karena ia memiliki justifikasi yang mendasar dalam teks-teks keagamaan . Atas dasar sanggahan ini, maka kemanusiaan pluralisme menjadi berbeda sama sekali dengan kemanusiaan sekular. Kemanusiaan sekular didasari oleh keinsafan seseorang yang lahir dari hati nuraninya yang terdalam (karena pada dasarnya fitrah manusia adalah condong kepada kebaikan). Sedangkan kemanusiaan yang diusung pluralisme adalah kemanusiaan yang berbasis religius dan transenden. Disebut demikian, karena kesadaran kemanusiaan itu memiliki sandaran yang kuat dari teks-teks kitab-kitab suci agama.
Dakwah yang berlandaskan teologi pluralisme juga menilai bahwa ajakan yang melampaui batas-batas keyakinan itu harus dilakukan dengan cara berkomitmen di jalan-Nya. Komitmen di jalan Tuhan, berarti komitmen untuk melakukan kebaikan-kebaikan universal dan menebarkannya di tengah kehidupan masyarakat tanpa menjadikan proses konversi agama sebagai inti tujuan dakwah. Karena komitmen ini diakui oleh seluruh pemeluk agama, maka kebaikan universal dalam konteks ini seharusnya menjadi titik temu (kalimatun sawâ/common platfrom) antara gerakan-gerakan dan aktivis misionarisasi agama-agama. Last but not least, pertemuan dan kesepakatan itu hanya mungkin terwujud jika setiap agama bersedia untuk terbuka dan berdialog atas dasar sikap saling percaya yang dilandasi paham pluralisme agama.

D. Dakwah Pembaharuan Islam liberal dan Konteks Keislaman Indonesia.
Seperti gerakan dakwah pada umumnya, Jaringan Islam liberal sebagai sebuah organisasi Islam yang digerakkan oleh kaum muda muslim, juga menyayangkan fenomena Islam di Indonesia akan tiga hal. Pertama, secara internal tentang kondisi umat Islam yang tidak bisa lepas dari keterbelakangan dan kejumudan, kedua, secara eksternal-lokal tentang hubungannya dengan umat beragama lain di Indonesia, dan ketiga, secara internasional dengan negara lain dan kondisi dunia yang telah mengglobal.
Dari sudut pandang internal, Islam liberal menyayangkan beberapa kelompok muslimin di Indonesia ketika masih menunjukkan sikap konservatisme di era kebangkitan Islam. Konservatisme yang sejak lama dianggap sebagai ideologi yang bertanggung jawab terhadap kemunduran dan keterbelakangan kaum muslim, dinilai sebagai sikap keberagamaan yang berbahaya karena selalu berseberangan dengan semangat pembaharuan dan kemajuan . Karena pada prinsipnya, setiap pembaharuan itu pasti melawan pandangan mainstream . Di sisi lain, pandangan mainstream berpotensi menjadi hegemoni jika penganutnya berpandangan konservatif. Menurut Islam liberal, selama muslimin masih bersikukuh dengan konservatismenya, mereka tidak akan pernah memperoleh kebaikan seperti yang mereka harapkan. Bagi gerakan ini, satu-satunya yang bisa diandalkan untuk memperbaiki kondisi umat adalah tertanamnya sikap dinamisme dalam jiwa umat, dan itu hanya mungkin jika konservatisme ditinggalkan .
Dari sudut pandang eksternal-lokal, Islam liberal menyayangkan berkembangnya sikap fundamentalisme agama baik dalam Islam maupun agama lain. Ideologi fundamentalisme bagi Islam liberal adalah sikap keberagamaan yang berbahaya dan salah kaprah. Keberadaan fundamentalisme, merupakan ancaman serius bagi pluralitas dan inklusifitas seperti di Indonesia ini. Fundamentalisme dalam Islam bagi Islam liberal, adalah penyimpangan dari ajaran Islam yang sebenarnya terutama tentang ajaran kedamaian (salâm) dan keberagaman (syu'ûb wa qabâ'il) . Bagi kelompok fundamentalis, kebenaran itu hanya ada satu yaitu kebenaran dirinya sendiri. Dalam bentuknya yang ekstrim, tak jarang memaksakan keinginan mereka dengan cara-cara kekerasan. Sementara itu, pembangunan dan pengembangan masyarakat hanya mungkin digerakkan jika pandangan fundamentalis ini dienyahkan dari pikiran umat muslim dan umat beragama pada umumnya .
Dari sudut hubungan internasional, Islam liberal menyayangkan terbentuknya streotip negatif muslimin di mata Internasional. Dengan terjadinya kasus terorisme dan bom bunuh diri yang terjadi waktu-waktu belakangan ini jelas telah mengurangi integritas muslimin di mata luar negeri. Islam liberal juga menyayangkan sikap sebagian ulama yang – walaupun secara tegas mengecam terorisme – tetap menaruh simpati pada pelaku-pelaku teror . Sebagian mereka memberikan justifikasi kebenaran terhadap tindakan teror sebagai jihad untuk melawan musuh-musuh Allah, dan sebagian yang lain menganggap wacana terorisme hanya rekayasa yang dibuat-buat oleh para musuh Islam . Untuk ukuran lingkup global saat ini, perbaikan masyarakat dan umat tidak akan mungkin diwujudkan selama citra yang diperkenalkan dalam hubungan Internasional adalah streotip Islam yang negatif.
Menurut Islam liberal, ketiga point seperti disebut di atas bukanlah ciri khas Islam Indonesia yang sebenarnya. Dari historisnya, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang dinamis, inklusive dan toleran. Islam seperti yang di bawa oleh para pedagang dan wali songo ke Indonesia, dalam sejarahnya sangat kental dengan warna tasauf yang kosmopolitan . Dengan kata lain, Islam yang berkembang pertama kali di Indonesia adalah Islam moral dan bukan Islam militan, dan karenanya ia menjadi kosmopolit – diterima oleh berbagai kalangan. Wajah Islam yang masuk ke Indonesia adalah wajah Islam yang dinamis, luwes dan indegenous. Dengan kedinamisannya itu, Islam dapat merangkul budaya lokal setempat melalui proses asimilasi dan akulturasi, karenanya, Islam menjadi tidak asing dimata penduduk Indonesia – yang mayoritas Hindu – walaupun kenyataannya datang dengan membawa pemahaman yang samasekali baru. Islam juga datang ke Indonesia dengan wajah inklusive dan toleran. Buktinya, Islam sangat menghargai keyakinan-keyakinan yang berbeda, terbuka, koperatif dan akomodatif terhadap umat beragama lain .
Berbeda dengan di atas, wajah Islam yang konservatif, fundamentalis dan eksklusive adalah pemahaman Islam "imporan" yang belum melewati proses dialektika dengan budaya lokal. Karena itu, wajah-wajah Islam demikian ini kelihatan asing dan tidak sesuai dengan semangat pribumi. Dengan ketidaksesuaian itu, maka dapat dipastikan wajah Islam yang demikian ini tidak akan laku "dijual" di Indonesia. Sebagai gantinya, Islam liberal melalui gerakan pembaharuannya merasa perlu untuk merestorasi kembali semangat keislaman Indonesia yang plural, humanis, dinamis, dan toleran.
Agenda pembaharuan Islam liberal ada empat. Pertama, agenda politik untuk mendakwahkan sikap politik yang tepat bagi kaum muslimin. Melalui agenda ini, Islam liberal berusaha memberi pemahaman kepada kaum muslimin bahwa pilihan terhadap bentuk negara adalah pilihan manusiawi dan bukan ilahi. Karena itu, apapun bentuk negara yang dipilih –apakah republik, kerajaan, semi kerajaan, atau parlementer – adalah sah-sah saja asalkan tujuan inti dari pembentukan negara sebagai pelindung rakyat terpenuhi. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dinilai mampu memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada rakyat, bagi Islam liberal adalah salah satu bentuk pilihan politik terbaik yang pernah ada sampai saat ini . kedua, agenda pluralisme. Fakta kemajemukan dalam kehidupan masyarakat global, menjadi suatu dorongan mutlak untuk mencari teologi agama yang plural. Dari sisi doktrinal Islam, baik ayat-ayat al Qur'an maupun praktik kehidupan Nabi adalah suatu bukti kuat yang menandakan kedekatan Islam dengan pluralisme. Ketiga, agenda kesetaraan gender. Bagi Islam liberal, semangat Islam yang asli sebenarnya adalah mendukung kesetaraan gender. Adapun pemahaman agama yang bias gender seperti selama ini dipahami mainstream, adalah pemahaman agama yang terikat dengan kondisi lokal dan kontekstual budaya asing (baca: budaya non Islam) . Keempat, agenda kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia. Bagi Islam liberal, dibukanya kembali pintu ijtihad satu abad silam merupakan jaminan bagi seorang muslim untuk tidak takut memiliki pendapat (pemahaman) pribadi atas agamanya. Pendapat (ijtihad) dalam Islam adalah suatu yang sangat dihargai dan dihormati. Bagi yang salah, pendapatnya tetap dihargai dengan satu kebaikan, sedangkan yang benar menjadi dua kebaikan. Islam dalam pandangan Islam liberal, sangat menghargai pendapat pribadi sehingga tidak ada seorangpun yang memiliki hak untuk melarang siapa saja untuk mengemukakan pendapatnya atau pemahaman agamanya . Empat agenda ini tersirat dalam istilah "nahdlah" yang merupakan merek dagang pemikiran Islam liberal. Bagi Islam liberal, kebahagiaan itu tergantung dari kesejahteraan, dan kesejahteraan tidak mungkin terwujud tanpa adanya nahdlah yang ciri utamanya adalah kebebasan .
Dalam konteks keindonesiaan, Islam liberal sangat optimis bahwa program-program pembaharuannya akan sukses di tanah air. Bagi Islam liberal, kesesuian karakter keindonesiaan yang cocok dengan semangat pluralisme, dinamisme dan humanisme menjadi basis kepercayaan diri Islam liberal untuk berkembang di Indonesia. Islam liberal juga optimis, bahwa semangat pemahaman Islam seperti yang didakwahkannya adalah cerminan masa depan Islam di Indonesia .

D.Gagasan dan Pendekatan (Metode) Dakwah Islam liberal.
Untuk mempublikasikan Islam yang dinamis seperti yang diusulkan Islam liberal, maka Islam liberal mengajukan empat gagasan yang semestinya dilakukan dalam dakwah (sosialisasi) Islam. Pertama, dakwah yang humanis dan subtantif. Kedua, dakwah yang berorientasi progresif. Ketiga, dakwah yang mengedepankan pembelaan hak-hak sipil dan golongan minoritas. Keempat, dakwah Islam kultural.
Dakwah yang humanis, maksudnya adalah dakwah yang berorientasi kemanusiaan (humancentris) sebagai lawan dari dakwah orientasi ketuhanan (theocentris). Menurut Islam liberal, ajakan Allah kepada manusia agar mengikuti jalan-Nya bukan semata-mata berasal dari keinginan Allah untuk dipatuhi. Lebih dari itu, ajakan tersebut sebetulnya lebih tepat berasal dari sifat rahman dan rahim-Nya yang selalu menghendaki yang terbaik bagi manusia . Basis keyakinan (theology) yang dijadikan pendekatan dalam pemahaman dakwah humanis ini, menurut Islam liberal adalah bahwa hubungan manusia dan Allah bukanlah hubungan antara majikan yang menundukkan dan budak yang ditundukkan . Makna Ibadah seperti dalam ayat " tidak Aku ciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku " lebih tepat dimaknai sebagai hubungan partership, antara yang mewakilkan dan yang dijadikan wakil (khalifah). Karena itu, hubungan manusia dan Allah bukan didasarkan atas paksaan, melainkan atas dasar proses dialogal yang kreatif . Melalui pemahaman theologi ini, maka hakekat dakwah menurut Islam liberal bukan ditujukan untuk membela agama Allah, tapi untuk membela kehidupan manusia agar lebih baik .
Dakwah yang subtantif, maksudnya adalah dakwah yang lebih menekankan aspek subtansi (tujuan dan maksud), sebagai lawan dari dakwah formalis, yaitu dakwah yang melulu mengekspos bentuk-bentuk lahiriah (simbol) agama. Menurut Islam liberal, subtansi ajaran agama adalah mengajak kepada kebaikan universal (al khair) yang merupakan kecenderungan fitri setiap manusia . Dari sudut ini, maka sosialisasi agama (baca: dakwah) tidak akan pernah terbentur dengan pelbagai perbedaan sehingga dakwah dapat menaungi seluruh golongan (rahmatan li al 'Alamîn). Sedangkan sisi formal dari agama, memiliki banyak sekali kecenderungan perbedaan pemahaman dan keyakinan. Karena itu, dakwah pada sudut pandang ini kerap mencirikan eksklusivisme dan ketegangan dalam beragama . Dalam kaitan Allah sebagai Tuhan semesta alam (rabb al 'Alamîn), maka pertanyaan mendasar yang perlu dikaji ulang adalah apakah dakwah ke jalan-Nya (sabîli rabbik) yang disyariatkan itu adalah dakwah yang penuh eksklusifitas dan ketegangan ataukah dakwah yang menjadi payung bagi semesta alam? Dakwah subtantif menurut Islam liberal memilih yang terakhir.
Dakwah yang berorientasi progresif, artinya dakwah yang melulu melihat masa depan dan mementingkan kemajuan (progressive). Kata-kata Muhammad sebagai nabi akhir zaman, jelas menandakan ciri keprogresifan agama Islam. Akhir zaman itu berada di depan dan bukan di belakang, karena itu dakwah Muhammad adalah dakwah yang menjadikan masa depan sebagai tolak ukur keberhasilannya . Tradisi dalam hal ini, hanya sebagai pengalaman yang perlu di rekontruksi ulang dan bukan sebagai tolak ukur . Terkait dengan ini, klaim Islam Madinah sebagai cerminan keberhasilan dakwah sebagai tolak ukur dakwah kontemporer perlu diredefinsi . Karena berorientasi masa depan, dakwah yang progressif menganggap perlunya isu-isu mengenai kesetaraan gender, kritik tradisi, dan dekontruksi hukum dan pemahaman Islam agar dikaji ulang. Dakwah progresif juga menuntut lebih dari sekedar sikap apologis-dogmatik, tetapi juga sikap realistis dalam mensikapi perubahan-perubahan di era kontemporer .
Dakwah kepada Islam, berarti juga mengajak orang untuk melakukan pembelaan terhadap hak-hak sipil dan minoritas dari tekanan tirani mayoritas . Nabi Muhammad di utus untuk mendakwahkan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam, bukan sekolompok golongan atau mayoritas golongan. Hal ini berarti, Islam yang perlu didakwahkan adalah Islam yang berdiri di atas semua golongan, dan karenanya dakwah Islam itu harus bersifat inklusif dan pluralis. Dakwah yang demikian ini dituntut untuk mencegah tindakan kesewenang-wenangan mayoritas (istibdâ' al jumhur) atas golongan minoritas. Islam seperti namanya, diturunkan untuk menebarkan kedamaian (salâm) di penjuru bumi. Di sisi lain, salâm tidak mungkin terwujud selama yang kuat masih menindas yang lemah, mayoritas menekan yang minoritas, baik dengan dalih agama, ideologi, politik dan ekonomi.
Terakhir, pendekatan dakwah semestinya dilakukan dalam ranah kultural-sosial dan bukannya militansi politik. Dakwah yang dilakukan secara militan, biasanya memunculkan kekerasan dan perlawanan. Walaupun dakwah demikian ini pernah dilakukan Rasul ketika di Madinah, menurut Islam liberal untuk konteks masa sekarang ini pendekatan dakwah Makkiyah adalah yang paling mengenai sasaran. Dakwah periode mekkah, adalah dakwah yang menekankan sisi kultural dakwah ketimbang militansi. Risalah-risalah yang mengajak untuk beriman kepada Tuhan semesta alam yang satu, persamaan kedudukan manusia, berbuat adil, menghargai kehidupan dan menekankan urgensi moralitas manusia adalah misi-misi dakwah yang perlu dibudayakan dan disosialisasikan. Dalam era globalisasi, karakteristik dakwah mekkah yang mengakomodir kemanusiaan secara universal (ya ayyuhâ al nâs) pada sisi lain dinilai memiliki kemiripan urgensi dengan dakwah kontemporer .
Gagasan-gagasan yang memang berlawanan dengan apa yang disuarakan oleh mainstream seperti di jelaskan di atas, tidak mungkin dipahami kecuali dengan pendekatan yang pula dinamis. Menurut Islam liberal, pendekatan-pendekatan dinamis ini bukan sengaja dibangun secara oportunistik untuk mencocok-cocokan Islam dengan perkembangan situasi. Lebih dari itu, karena tuntutan zaman dan kekhasan lokalitas memang secara objektif meniscayakan demikian. Pertama, dakwah yang humanis-subtantif hanya bisa dipahami melalui pendekatan Islam yang non-literal, subtansial, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah . Kedua, dakwah yang progresif hanya bisa dipahami melalui pendekatan Islam yang mengkategorikan antara kreasi budaya yang diakomodir Islam dengan ajaran fundamental Islam itu sendiri . Ketiga, dakwah yang inklusif dan pluralis hanya mungkin dapat dipahami melalui pendekatan Islam yang universalistik dan bukan partikuralistik. Umat Islam tidak boleh lagi menganggap dirinya sebagai masyarakat yang terpisah dari kelompok masyarakat lainnya . Keempat, dakwah kultural hanya mungkin dipahami melalui pendekatan keislaman yang mengkategorikan antara mana wilayah agama dan politik .

E. Epilog: Uji Sahih Dakwah Islam Liberal.
Wal hasil, bagaimanapun klaim tentang Islam liberal tidak mungkin diterima secara positif kecuali setelah melewati uji sahih melalui tinjauan doktrin Islam. Seperti dijelaskan dalam pembahasan yang lalu, kata Islam yang berdampingan dengan keterangan liberal di sini menjelaskan maknanya yang pokok. Jadi keliberalan itu tidak liar, tetapi dibatasi oleh doktrin-doktrin Islam yakni al Qur'an dan al Sunnah. Jika ditarik akarnya, sebetulnya paradigma dakwah Islam liberal mengajak kepada dua sikap keagamaan. Pemikiran keagamaan yang dinamis dan pemikiran keagamaan yang pluralis dan humanis .
Kedinamisan menurut Islam liberal, sebetulnya adalah kritik atas ortodoksi yang kerap menjadi kemapanan yang menghegemoni. Islam sendiri, pada hakekatnya adalah kritik atas kemapanan ortodoksi pada masanya . Perhatikan misalnya ayat berikut

"…dan jika dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang diturunkan Allah, niscaya mereka berkata : kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan dari bapak-bapak kami walaupun bapak-bapak mereka tidak berakal dan tidak memiliki petunjuk…" (QS al Baqarah/2: 170). atau ayat berikut

"…dan jika dikatakan kepada mereka kemarilah kepada apa yang diturunkan Allah dan kepada Rasul mereka berkata "cukuplah apa yang kami dapatkan dari bapak-bapak kami". Tidakkah seandainya bapak-bapak mereka itu tidak mengerti sesuatu dan tidak memberi petunjuk…". (QS al Mâidah/4: 104).

Menurut Muhammad 'Abduh, ayat dalam surah al Baqarah tersebut berisi kritik atas sikap ortodoksi yang berurat berakar pada setiap generasi (Islam liberalûn) dan mazhab pemikiran (millah) . Agama, menurut Abduh, sangat menghargai rasionalisasi (aql) dan mengecam sikap taklid baik kepada pemimpin (al sâdat), orang besar (al kubarâ') ataupun ulama (al syuyûkh wa al 'ulamâ) . Bagi Abduh, seorang yang berakal tidak akan pernah menggadaikan pemahaman agamanya melalui taklid kepada siapapun dia walaupun memiliki pemikiran besar dan riwayat hidup yang baik . Hal demikian, karena setiap orang berpotensi untuk melakukan kesalahan dan kekeliruan. Karena itu, pemahaman agama yang benar semestinya adalah sikap dinamis melalui penelitan argumen-argumen agama (al bahts al mustadill), dan bukan pemahaman yang statis melalui taqlid pendapat seseorang . Sikap kedinamisan Islam ini dicakup dalam satu makna istilah, yakni "ijtihad". Ijtihad adalah ciri khas agama Islam yang dinamis, dan salah dalam berijtihad adalah resiko mutlak yang harus diambil . Tidak ada Ijtihad tanpa keberanian untuk salah, dan menurut hadits nabi, orang yang berijtihad itu " …jika salah mendapat satu pahala dan jika benar mendapat dua pahala…" (HR ashab al sunan dan Ahmad) .
Pluralisme sebagai kemestian logis dari toleransi , bagi Islam liberal adalah semangat keagamaan yang dicintai Allah. Hadits Nabi "…sesungguhnya agama yang dicintai di sisi Allah adalah agama yang lurus dan toleran…" (HR Bukhari) . Dengan demikian, Islam dalam arti yang sebenarnya sebagai agama yang diridlai Allah adalah mengakui inklusivisme dan pluralisme. Bukti-bukti tekstual doktrinal dari al Qur'an dalam hal ini – terlepas dari perbedaan penafsiran yang beredar – adalah sangat banyak sekali. Karakteristik ajaran pluralisme seperti menghormati perbedaan ritual , kebebasan berkeyakinan , mengakui keabsahan dan keselamatan dalam agama lain , pergaulan tanpa memandang batas-batas keyakinan , hingga bekerja sama dalam kebaikan dengan umat agama lain seluruhnya dicakup dalam ajaran-ajaran al Qur'an. Atas dasar fakta-fakta ini, banyak pemikir dari kalangan Islam liberal yang takjub betapa ajaran al Qur'an yang plural dan inklusif ini bisa distorsi sedimikian rupa dalam tafsir-tafsir keagamaan yang ekslusif dan fundamentalis .

Wallahu A'lam bi al Sawwab

Catatan Akhir:
______________

Lihat Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, (Surabaya: Alumni, 2005), h. 367.
Richard Bellamy, Liberalism and Pluralism: Toward A Politic Of Compromies, (New York: Routlege, 1999), First Edition, h. 1.
Ibid.
Luthfi Assyaukanie, ed., Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: Teather Utan Kayu Press, 2002), h. 224. Istilah kanan dan kiri dalam pemikiran agama, menurut Hasan Hanafi adalah kategori Ilmu Humaniora atau Ilmu sosial yang tidak ada kaitannya dengan sesat atau tidak sesat. Untuk keterangan lebih lanjut tentang pemikiran kanan dan kiri agama Baca Hasan Hanafi, al Yamîn wa al Yasâr Fi al Fikri al Dîny, (Damaskus: Dar 'Ala'u al Din Li al Nasyr wa al Tauzi' wa al Tarjamah, 1996), h. 5. Makna kiri (al Yasâr) dalam gerakan Islam dirumuskan sebagai lawan terhadap segala bentuk penindasan, ketidakadilan, pengekangan, feodalisme di satu pihak dan pembelaan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas di sisi yang lain. Gerakan Islam kiri juga berarti gerakan yang pro terhadap nilai-nilai egalitarianisme dan partisipasi seluruh kalangan. Baca Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, (Jogja: Galang Press, 2001), h. 140.
Bagi pendukungnya, Islam liberal bukan berarti kebebasan liar dalam menafsirkan Islam. Karena jika begitu, tidak ada gunanya menggunakan keterangan Islam dalam istilah Islam liberal. Baca Luthfi Assyaukanie, Op.Cit, h. 226.
Pada mulanya, banyak yang menilai – terutama dari kalangan orientalis - bahwa istilah Islam liberal adalah sebuah ungkapan yang kontradiktif (contradictio in terminis). Karena Islam, dipandang sebagai agama yang fanatik dan ketat, karena itu berbeda sama sekali dengan paham liberal. Pada kenyataannya, menurut Charles Kurzman, ada tradisi lain yang tidak popular dalam Islam. Mereka menegaskan sikap oposisi terhadap teokrasi, mendukung demokrasi, menjamin hak-hak wanita dan non Muslim di negara-negara Islam dan membela kebebasan berpikir. Mereka memiliki akar yang kuat dalam sejarah Islam dan menamakan dirinya Islam liberal. Baca Charlez Kurzman, Ed., Liberal Islam: a Source Book, Alih Bahasa Bahrul Ulum, (Jakarta: Paramadina, 2003), Cet. Kedua, h. 13.
Umar pernah meninggalkan memotong tangan pencuri yang jelas-jelas disebut dalam al Qur'an. Ia juga pernah meninggalkan bunyi tekstual al Qur'an dan Sunnah yang umum dikenal pada waktu itu untuk membagi harta rampasan. Pertimbangan Umar Ibn Khattab dalam hal ini adalah benar-benar diperhitungkan berdasarkan alasan logis. Baca Muhammad Abdul Aziz al Halawi, Fatâwa wa Aqdliyyah Amîril Mu'minîn Umar Ibn al Khattâb, Alih Bahasa Zubeir Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), Cet. Pertama, h. 258 dan h. 358. Baca Juga Husein Haekal, al Farûq 'Umar Ibn Khattab, (Kairo: Dar al Ma'arif, tt), Cet. Kesepuluh, Juz 2, h. 247.
Nama lengkapnya adalah Abu 'Abdillah Muhammad Ibn 'Umar Ibn Husein Fakhr al Din al Razi. Lahir di Ray, Tabaristan, suatu kota terkenal di Iran (persia). Ulama yang mahir dalam tafsir al Qur'an, filsafat, kalam, hingga ushul fiqh ini lahir pada tahun 1150 dan wafat pada tahun 1210 M. kerasionalan dan keilmiahannya menjadi inspirasi bagi gerakan Islam liberal. Lihat Mausu'ah al 'Arabiyah al 'Alamiyah, Tarjamah Fakhr al Din al Razi.
Nama lengkapnya Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al Qurthuby al Andulusy. Ulama yang dilahirkan di Cordoba-Spanyol ini lahir pada tahun 1126 M ahli dalam berbagai disiplin ilmu dan yang terkenal adalah Filsafat dan Fikih. Nama Averros (dari Ibn Rusyd) kemudian menjadi simbol pencerahan akal (renaisance) di Barat. Karena itu, Islam liberal merasa lebih berhak mengambil inspirasi Ibn Rusyd ketimbang Barat. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 247.
Nama lengkapnya Abu 'Abdillah Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Muhyiddin Ibn 'Arabi. Ulama yang dilahirkan pada tahun 1240 di Mursia Spanyol ini, terkenal dengan buku Futuhat al Makkiyah yang berisi ajaran-ajaran tentang kesetaraan agama (pluralisme). Pemahaman inilah yang kemudian menjadi inspirasi gerakan Islam liberal. Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2002), Cet. Pertama, Islam liberalid 2, h. 86.
Namanya adalah Ahmad Ibn Muhammad Taqiy al Din Ibn Taimiyyah. Ulama yang dilahirkan di Damaskus pada tahun 1306 M ini menjadi Isnpirasi bagi gerakan Islam liberal karena kegigihannya dalam melawan hegemoni kemapanan. Ibn Taimiah berulang kali dipenjara karena usahanya yang keras untuk keluar dari pandangan mainstream. Abu Hasan 'Ali al Nadwy, Rijâl al Fikr wa al Da'wah, (Damaskus: Dar al Qalam, 2002), Cet. Pertama, h. 6.
Peter S. Groff and Olimer Leaman, Islamic Philoshopy, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007), h. 3.
Menurut Ilyas Ismail, murid-murid Abduh terpecah kedalam dua kelompok, yakni kanan (yang mewakili kaum fundamentalis) dan kiri (yang mewakili kelompok liberal). Dari dua kelompok tersebut, kata Ismail, semakin hari yang kanan makin ke kanan dan yang kiri makin ke kiri. Kelompok kanan diwakili oleh Rasyid Ridla, Hasan al Banna dan Sayyid Qutb. Baca Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), Cet. Pertama, h. 63.
Carl W. Ernest, Following Muhammad: Rethinking Islam In The Contemporary World, (USA: Carolina Press, 2003), h. 140.
Luthfi Assyaukanie, Islam Benar Versus Islam Salah, (Jakarta: Kata Kita, 2007), Cet. Pertama, h. 61.
Marshal G.S. Hodgson, The Venture Of Islam Consience and History In a World Civilization: The Expansion Of Islam In the Middle Periods, (London: University Of Chicago Press, 1974), Volume 2, h. 532.
Philip K. Hitti, Histori of The Arabs: From The Earliest Time to The Present, Alih Bahasa R. Cecep Lukman Hakim, (Jakarta: Serambi Ilmu Sentosa, 2010), Cet. Pertama, h. 381. Baca Juga Philip K.Hitti, The Arabs: A Short History, Alih Bahasa Usuludin Hutagalung dkk., (Jogjakarta: Pustaka Iqra, 2001), h. 133.
Ibid, h. 146. Menurut Sayyed Hosein Nasr, salah satu faktor yang memudahkan penyebaran Islam adalah kedimanisannya dalam mengakomodir budaya lokal. Kemanapun Islam menyebar, kata Nasr, secara faktuil tidak pernah menghancurkan kebudayaan lokal. Sebaliknya, budaya-budaya asing itu diakomodir dan ditransformasikan kedalam realitas Islam. Dalam bukunya Nasr Menulis demikian

"…Wherever Islam went, it did not destroy the local culture,but transformed it into an Islamic reality. What were rejected were elements of a clearly un-Islamic nature. As a result, Islamic civilization developed into several distinct cultural zones including the Arabic, Persian, Black African, Turkic, Indian, Malay, and Chinese. In each of these zones Islamic culture and art were to have a certain distinct local style while preserving their universal Islamic character…"

Baca Sayyed Hosein Nasr, Islam Religion, History and Civilization, (Newyork: Harper Collins Publisher, tt), h. xvi.
Mengenai sikap anti tesis Islam terhadap kemapanan dan otoritas, Marshal Hodgson menulis

"…it became clear that Muslims could not rest content to be irrelevant deviants in a society founded on contrary principles. Sooner or later, the challenge of the Qur'an was bound to require the creation of a just polity as the natural outgrowth and context of the personal purity it required. Obviously, no pagan who did not accept the challenge could have remained neutral to such claims in the long run. Whatever the personal circumstances, the pagan Quraysh could not have tolerated a movement which attacked the principles of their social order and suggested an alternative sort of moral sanction for behaviour and especially for social authority. So long as the Muslims stayed as a minority in Mecca there would have been deadlock at best…"

Baca Marshal G.S Hodgson, op.cit, Clasical Age, Volume I, h. 173.
Muhammad Husein Haekal, Hayât Muhammad, (Kairo: Dar al Ma'arif, 2001), Cet. Ke 14, h. 19.
Ahmad al Syalaby, al Mujtama' al Islâmy: Asâs Takwînuhu, Asbâb Tadhûruhu, al Târiq Ilâ Islâhihi, (Kairo: Maktabah al Nahdlah al Mishriyyah, tt), h. 3-4.
Ibid, h. 5.
Ibid, h. 7.
Ibid, h. 8.
Baca Abu Hasan 'Ali al Nadwy, Sîrat Khâtim al Nabiyyîn, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1979), Cet. Kedua, h. 7-10.
Pada awal kelahirannya, Islam dengan tegas menunjukkan sikap oposisinya pada tiga pemahaman keagamaan yang dianggap mapan waktu itu (u'tubirat makûnat al dîn). Pertama, pemikiran ketuhanan yang chaos (al lahûtiyah al ghâmidah), antrophormisme (mujassamah) atau penjelasan ketuhanan definitif (al mahdûdat li Allah). Kedua, doktrin keimanan yang didasarkan atas mukjizat. Ketiga, lembaga keagamaan yang memonopili penafsiran atau pemahaman agama dan justifikasi penghalalan atau pengharaman atas nama agama. Baca Jamal al Bana, al Islâm wa al 'Aqlâniyyah, (Kairo: Dar al Fikr al Islamy, 1991), h. 14.
Menurut Hasan Hanafi, masalah orisinalitas (al asâlah) dan kekinian (al mu'asirah) adalah dua aspek dialektika yang tidak pernah luput dari fenomena pergesaran suatu masa ke masa yang lain. Atas dasar dialektika orinisalitas dan kekinian itu, maka lahirlah gerakan-gerakan pembaharuan agama (mu'azham harakat al islâh al dîny) dan pemikiran kebangkitan (al ittijâh al fikriah al nahdah) yang berusaha merekatkan kerenggangan jarak antara orisinalitas dan kekinian. Persoalan yang menjadi isu penting dalam kajian kultur sosial ini mashur dikenal dengan terminologi yang saling dilawankan yakni al Qâdim wa al Jadîd atau al Turâts wa al Jadîd. Baca Hasan Hanafi, Fi Fikrina al Mu'âsir, (Beiruth: al Tanwir, 1983), h. 49.
Pemikir liberal Nasr Hamid Abu Zaid membuat kajian tersendiri mengani hubungan antara keberanian berpikir beda dan tekanan yang timbul. Lebih lanjut silahkan merujuk Nasr Hamid Abu Zaid, al Tafkîr fî Zamân al Takfir: Did al Jahl wa al Zaif wa al Khurâfat, (Kairo: Maktabah Madbuly, 1995), Cet. Kedua, h. 12-16.
Baca Marshal Hodgson, op.cit, Clasic Age, Vol. 2, h. 241. Oposisi individu misalnya dipelopori oleh reformer Ibn Taimiah (1263) yang terkenal dengan oposisi atas situasi intelektual dan politik di masanya. Sedangkan oposisi gerakan misalnya syi'ah ketika melawan kekuatan khalifah Marwan dan ulama-ulamanya, atau gerakan kalam Asy'ariyyah yang beroposisi atas kekuatan Muktazilah ketika melakukan inkuisisi di bawah pemerintahan al Ma'mûn. Laura S. Etheredge dalam bukunya tentang sejarah Islam menyebut ada empat fitnah sebagai periode-periode oposisi Islam. Keempat fitnah itu terjadi di jaman 'Ustman Ibn Affan, fitnah karbala, fitnah suni-syi'ah atau arab dan golongan muwalladun, serta yang terjadi di masa al Ma'mun. Baca Laura Edheredge, ed., Islamic History, (Newyork: Britanica Educational Publishing, 2010), h. 61-87.
Baca Shafy al Rahman al Mubarakfury, al Rahîq al Makhtûm: Bahts fi Sîrat al Nabâwiyyah 'alâ Sâhibiha Afdal al Salâtu wa al Salâm, (Alexandria: Dar Ibn Khaldun, tt), h. 65-70.
Menurut Rachid Ghanousi, intelektual muslim tunisia, - seperti diutarakan Esposito - latar belakang ide pembaruan pemikiran keagamaan sebetulnya diawali dari sikap kritis atas pemahaman keagamaan klasik. Di sisi lain, ketidakmampuan keluar dari model-model masa lalu dan menghadirkan situasi yang berbeda di masa sekarang adalah pangkal dari kelumpuhan Islam. Baca Jhon L. Esposito, ed., Makers of Contemporary Islam, Alih Bahasa Sugeng Harianto dkk., (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 126.
Seperti dikatakan oleh Abdul Karim Soroush dalam Ibid, h. 205. Baca juga Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam: Custodian of Change, (New Jersey: Princeton University Press, 2002), h. 173.
Mazhab Asy'ariyyah merupakan respon atas mazhab muktazilah. Mazhab Zahiriyyah merupakan respon atas mazhab bathiniyyah. Mazhab salafi merupakan respon atas mazhab sufi ekstrim. Mazhab syi'ah merupakan respon atas kelompok khawarij. Pada masa kontemporer, mazhab liberal Islam boleh dibilang respon (kritik) atas serangkai mazhab fundamentalisme dan konservatisme agama. Mengenai sejarah kemunculan mazhab-mazhab silahkan baca al Imam Muhammad Abu Zahrah, Târikh al Madzâhib al Islâmiyyah: fi al Siyâsah, wa al 'Aqâid, wa târikh al Madzâhib al Fiqhiyyah, (Kairo: Dar al Fikr al 'Araby, tt). Sedangkan untuk respon Islam liberal silahkan merujuk Carl W. Ernest, Following Muhammad: Rethinking Islam In The Contemporary World, (North Carolina: the University of North Carolina Press, 2003), h. 140.
Lihat Abdul Madjid Syarfi dalam Abdou Filali Ansari, ed., Abdou Filali Ansary, Ed., Reformer l'Islam: Une Introdution Aux Debts Contemporation, Alih Bahasa Machasin, (Bandung: Mizan, 2009), Cet. Pertama, h 271.
Baca Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, Alih Bahasa Cecep Lukman Hakim, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 25. Untuk komentar mengenai kaitan otoritarianisme agama dan hambatan perubahan baca juga. Nurkholis Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 138. Harun Nasution adalah termasuk pemikir muslim modernis yang meragukan tentang eksistensi konsesus (Ijma' ulama) dalam Islam. Bagi Nasution, ijma' setelah sahabat, (lebih spesifik lagi setelah periode pemerintahan Abu Bakar al Siddiq) adalah hal yang diperdebatkan dalam Islam. Golongan yang meragukan adanya ijma' memberi argumen demikian. Pertama, ulama-ulama setelah meluasnya Islam berjauhan tempat tinggal dan komunikasi antara mereka di masa lampau sulit dapat diwujudkan. Kedua, tidak semua ulama bersedia menyatakan hasil ijtihadnya. Ketiga, tidak ada norma yang bulat disepakati tentang siapa sebenarnya yang disebut mujtahid. Baca Harun Nasution, Islam di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI press, 2002), h. 21.
Abu A'la dalam kajiannya tentang pemikiran Fazlur Rahman menegaskan bahwa sikap keberagamaan Islam dinamis adalah faktor yang mendasari perkembangan Islam dalam sejarah. Menurut Fazlur Rahman, kutip Abu A'la, abad-abad pertama Islam adalah bukti kedinamisan pemikiran tersebut. Adapun akar dari kelumpuhan adalah ketika penafsiran al Qur'an dan sunnah nabi tidak lagi menjadi sunnah yang hidup (sunnah yang berproses dan terus berkembang), dan dipandang sebagai perwujudan kehendak Tuhan. Sedangkan generasi awal umat Islam lebih dipahami sebagai bagian kepercayaan daripada bagian sejarah. Baca Abu A'la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, (Jakarta: Paramdina, 2009), Cet. Pertama, h. 69.
Bagi cendekiawan muslim Nurkholis Madjid, perkembangan sebagai ide tidaklah asing bagi kaum muslim. Akidah Islam, lanjut Madjid, memformulasikan bahwa "…segala sesuatu pasti berubah kecuali wajah Tuhan…" (QS al Qashshash/28: 88). Para ulama muslim, kata Madjid menyadari bahwa ciri dari semua eksistensi selain eksistensi Ilahi adalah perubahan (taghayyur). Dengan begitu, justru hukum perubahan menunjukkan bahwa segala yang ada tidak abadi, teripta dari hadits (baru). Lihat Nurkholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), Cet. Ke 6, h. Ixxi.
'Abdullah Nasih 'Ulwan dalam buku Silsilah Madrasat al Du'at menulis demikian
"...أن محمدا عليه الصلاة والسلام هو خاتم الانبياء والمرسلين وان زسالته التي كلف بتبليغيها هي خاتمة الرسالات والشرائع....أن شريعة الاسلام ناسخة لجميع الشرائع والديانات وان رسالة محمد ودعوته هي خاتمة الرسالات والدعاوات... ان رسالة الاسلام جمعت فى طياتها دعوة الانبياء والرسل جميعا, وزادت عليها شمولية التشريع الواقعي المتجدد...".
Baca 'Abdullah Nasih 'Ulwan, Silsilah Madrasat al Du'ât: Fusûl al Hadîfat Fi Fiqh al Da'wat wa al Dâ'iyat, (Kairo: Dar al Salam, 2007), Cet. Keempat, h. 20.
Syeikh 'Ali Mahfuz, Hidâyat al Mursyidîn Ilâ Turûq al Wa'zi wa al Irsyâd, (Kairo: Dar al I'tisham, 1919), Cet. Kesembilan, h. 17.
Demikian redaksinya
" الاسلام هو دين الحق الذي ارتضاه الله للبشر والايمان به, والاستهداء فى الحياة بمناهجه الحكيمة حق على مكلف. ولا تفق مسؤلية المكلفين الاولي الالباب عند الايمان والاستهداء به بل لا بد لهم ان يتجاوزوا ذالك الى الدعوة اليه وحث الناس عليه وكشف الحجب الغفلة والضلالة عن قلوب المعرضين عنه.....ذالك لان الاسلام الحق لا بد ان يعم الدنيا ويملق الافاق...."
Baca Sayyid Razzâq al Tawîl, al Da'wah fi al Islam: 'Aqîdah wa al Manhâj, (Mekah: Rabitah al 'Alam al Islamy, tt), h. 17.
Dalam buku kompilasi fatwa-fatwa ulama mengenai dakwah misalnya, ketika dipertanyakan bagaimana sikap terhadap teman nasrani yang meminta diberikan mushaf al Qur'an, fatwa yang diberikan adalah tidak boleh, tetapi cukup dibacakan ayat-ayat al Qur'an. Fatwa yang didasarkan pada QS al Taubah/7: 6, menurut ulama tersebut didasari atas kekhawatiran bahwa orang kafir akan menghina dan melecehkan mushaf al Qur'an. Baca Syaikh 'Abd al 'Aziz Ibn Baz, dkk., Fatâwâ al 'Ulamâ Haula al Da'wah wa al Jamâ'at al Islâmiyyah, (Iskandariah: Dar al Iman, 2004), h. 75.
Adam 'Abdullah al Alûry, Tarîkh al Da'wat Ila Allah Bain al Ams wa al Yaum, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1979), Cet. Kedua, h. 17.
Ibid, h. 19.
Baca Muhammad al Ghazali, Fî Mauqib al Da'wah, (Kairo: Nahdlah Misr, 2005), Cet. Keempat, h. 151. Yusuf al Qardawi sebagai pemikir berbasis moderat, juga tidak lepas dari pendapat kesatuan agama dan negara. Dalam bukunya fiqh al Daulah, ulama ini berusaha untuk meruntuhkan argumen-argumen pemikir sekular melalui argumen tekstual (al Qur'an sunnah), historis Islam, hingga watak Islam. Statemen pemikir sekular " al dîn li Allah, wa al watân li al jami'/agama untuk Allah, negara untuk semua…" dipahami al Qardlawi sebagai usaha untuk mematikan agama dari kehidupan publik. Menurutnya, ucapan ini tidak lebih dari kalimat benar tapi yang dimaksud adalah kebatilan (kalimat al haq urîda biha al batil). Baca Yusuf al Qardawi, Min Fiqh al Daulah fi al Islâm: Makânatuha, Ma'âlimuha, Tabî'atuha, Mauqîfuha min al Dimuqrâtiyah wa al Ta'addudiah wa al Mar'ah wa Ghair al Muslimîn, (Kairo: Dar al Syuruq, 2001), Cet. Ketiga, h. 13-30.
Fathi Yakan, seorang aktifis dakwah dari timur tengah menulis demikian
".....فالاسلام منهاج حياة فهو عقيدة توضح التصور الصحيح للكون والانسان والحياةز عقيدة تعرف هدا الانسان على نفسه....وعلى اساس هدا العقيدة تقوم شريعة ونظام...شريعة تنظم حياة الانسان فى كافة شؤونها. فالاسلام منهاج المتكامل الجوانب, شاملة النظرة...وفيه بيان للاصول والقواعد التي تقوم عليها النظم والقوانين التي تحكم سير المجتمع والناس...."
Baca Fathi Yakan, Kaifa Nad'û Ilâ al Islâm, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1991), Cet. Ke 13, h. 89-90.
Baca Muhammad al Ghazali, op.cit, h. 152-153.
Bagi pendukung dakwah salafi, umat Islam terlarang untuk mengambil manfaat dari umat agama lain tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama, akhlak, pemikiran (al afkâr), nilai-nilai (al qiyâm), hingga metode (al sulûk). Bagi pendukungnya, kelengkapan dan kesempurnaan Islam seperti ditunjukkan al Qur'an (QS al Maidah/5: 3) adalah hujjah untuk memutuskan dialog teologis dengan umat agama lain. Baca Syaikh 'Id 'Abbas dan Muhammad Nashir al Din al Albany, al Da'wat al Salâfiyah wa Mauqifuhâ min Harakat al Ukhrâ, (Alexandria: Dar al Iman, 2002), h. 6. Berbeda dengan dakwah salafi, dakwah pluralis Islam liberal menilai perlunya dialog teologis dengan umat agama lain.
Dalam buku Tsaqafat al Dâ'iyah, Syeikh Yusuf al Qardlawi ketika mejelaskan tentang urgensi mengetahui pemikiran-pemikiran kontemporer Islam (al tiyârât al maujudah dakhîl al 'alâm al Islâmy) memasukkan pemikiran nasionalisme (al qoumy) dan liberal sebagai bentuk pemikiran Islam kontemporer yang melawan Islam dari dalam (al tiyâr al fikriyyah al mu'âridlah li al Islâm). Bagi al Qardlawi, baik nasionalisme Islam maupun Liberal Islam adalah sebuah bentuk pemikiran sekular yang berafiliasi kepada Barat. Baca Yusuf al Qardlawy, Tsaqafat al Dâ'iyyat, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), Cet. Ke 10, h. 123. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh 'Abdulllah Nasih 'Ulwan – guru besar kajian Islam Universitas Malik Abdul 'Aziz – dalam kitab Silsilat Madrasat al Du'at. Menurut ulama dakwah ini, Islam liberal adalah pemikiran sekular yang tidak berbasis agama (wa huwa tiyârun 'almaniyyun la diniyun). Baca 'Abdullah Nasih 'Ulwan, op.cit, h. 316.
Fenomena penyebaran Islam yang begitu pesat hingga kini telah merambah dunia barat Eropa dan Amerika. Dalam kondisi sebagai kelompok minoritas, umat muslim dalam dua benua tersebut dituntut untuk menafsirkan ulang Islam dalam konteks mereka, seperti misalnya kekerasan dalam Islam, hak-hak perempuan, dan dialog antar agama (interfaith relation). Pemikir-pemikir muslim semisal Nurkholis Madjid dari Indonesia dan Amina Wadud dari Amerika memprakarsai gerakan untuk mendukung akomodasi ide-ide demokrasi dan liberalisasi dalam pemahaman Islam tradisional. Pandangan demikian seperti terbaca dalam kutipan berikut

"….Amid the ubiquitous language of global religious warfare, there were internal debates among Muslims about how the religious tradition should be interpreted, particularly as it concerned the use of violence, women’s rights, and interfaith relations.Intellectuals such as Nurcholis Majid in Indonesia and Amina Wadud in the United States attempted to reclaim Islamic traditions by showing how Islam could accommodate liberal-democratic societies and ideas….. Today, one-third of the world’s Muslims live within minority communities. The rapid movement of Muslim immigrants to non-Muslim countries in modern times has meant a blurring of the distinction between Islam and the West. And although Islam has met with globalization before through migration, conquest, pilgrimage, and the use of Arabic language among far-flung learned classes, modern globalized Islam is altogether unique. It is a mass movement, not an elite one, and as emigration continues, the homeland left behind is not static but is itself greatly changed. The ummah, the community of believers, must be considered in abstract terms….".

Lihat Laura Edheredge, op.cit, h. 212.
Menurut Bernard Lewis, walaupun pada mulanya konsep nation-state dipandang asing, namun pada perkembangan berikutnya di abad ke 19. Baca Bernard Lewis, What Went Wrong: Westren Impact and Middle Eastern Respon, (New York: Oxford University Press, 2002), h. 106.
Baca Malise Ruthven with Azim Nanji, Historical Atlas of Islam, (USA: Harvard University Press, 2004), h. 192. Dalam konteks negara-bangsa Indonesia misalnya, menurut cendekiawan dan mantan presiden Abdurrahman Wahid, konsep Pancasila yang disepakati oleh para pendiri bangsa ini adalah merefleksikan kesamaan pesan semua golongan agama. Dengan konsep negara-bangsa ini, kata Wahid, Indonesia jelas-jelas menolak bentuk formalisasi agama dan sebaliknya, lebih menekankan substansinya. Bagi Wahid, visi dari didirikannya negara Indonesia dengan pancasilanya adalah sebagai institusi yang memayungi keragaman (pluralisme), berdiri di atas semua kepentingan, serta melindungi segenap keyakinan, budaya dan tradisi bangsa Indonesia. Baca Abdurrahman Wahid, Ed., Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: the Wahid Institue, 2009), Cet. Pertama, h. 17.
Dari sudut pandang sosiologi agama misalnya, agama dalam hal ini diperlakukan sebagai suatu fakta historis yang tampak dan bisa diamati (an empirically observable social fact) . Dalam posisi ini, penilaian terhadap suatu agama dimunculkan melalui observasi hubungan antara agama dan weltanchaung (worl view), praktik dan evolusi historisnya. Michele Dillon dalam buku sosiologi agama menulis demikian

"…The sociology of religion treats religion as an empirically observable social fact. It thus applies a sociological perspective to the description, understanding, and explanation of the plurality of ways in which religion matters in society. Sociologists of religion are not concerned with inquiring into whether God exists or with demonstrating the intellectual compatibility of religion and science. The focus, rather, is on understanding religious beliefs and explaining how they relate to worldviews, practices, and identities, the diverse forms of expression religion takes, how religious practices and meanings change over time, and their implications for, and interrelations with, other domains of individual and social action. As a social fact, religion is similar to other social phenomena in that it can be studied across different levels and units of analysis and drawing on the plurality of theoretical concepts and research designs that characterize the discipline…"

Baca Michele Dillon, Handbook of the Sosiology of Religion, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), h. 7.
Kaum pluralis menilai ada banyak (plural) jalan kebenaran menuju yang maha mutlak (Allah). Sebaliknya, pandangan eksklusif menegaskan bahwa jalan kebenaran dan keselamatan hanya ada dalam Islam saja. Baca Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur'an Menyingkapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), Cet. Kedua, h. 19-20.
Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qutb: Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), Cet. Pertama, h. 3.
Komarudin Hidayat, Ahmad Gaus AF, Ed., Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta: Gramedia, 1998), h. 37.
Dalam terminologi Jalaluddin Rakhmat "…Each One Is Valid Within Its Particular Cultur…". Jalaluddin Rakhmat, op.cit, h. 20.
QS al Nakhl/ 16: 125.
Lihat QS al Mâidah/5: 84 beserta semua kemungkinan penafsirannya.
al Qur'an menegaskan bahwa umat non muslim (ahl al kitab) juga dibebani tugas dakwah sama seperti halnya dengan umat muslim. Ketika mereka mengindahkan perintah Tuhan ini, al Qur'an memberikan pujian pada mereka. Lihat QS Âli 'Imran/3: 115. Sedangakan kritik keras al Qur'an terhadap pengabaian ahlul kitab atas tugas amar ma'ruf nahi munkar ini terlihat misalnya dalam QS al Mâidah/5: 78.
Lihat QS al Nisa/4: 79, QS al Anbiya/21: 107, atau QS al Saba'/ 34: 28 beserta semua kemungkinan penafsirannya.
Baca Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI- Press, 2005), Jilid 1, h. 13.
Dalam al Qur'an misalnya diperoleh perintah untuk mengajak kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran (QS Alu 'Imran/3: 104). Dalam Bible, didapatkan perintah menyerukan kebajikan (perjanjian lama: Zakharia: 1: 17, dan perjanjian baru: 1 Timotius: 6: 18 ". Perintah mengajak kebajikan dalam kitab suci Buda misalnya ditemukan dalamTripitaka : Mahavagga Pali 2:3. Sedangkan dalam kitab suci agama Hindu ditemukan dalam Veda misalnya Manusmriti Ch. 9 V. 235, Manusmriti Ch. 11 V. 55, Rigveda Bk. 8 Hymn 2 V. 12, berjuang demi menegakkan kebenaran dalam Veda Bhagavat Gita 2 : 50.
Luthfi Assyaukanie, Islam Benar, Op.Cit, h. 64.
Dalam sejarahnya, pemikiran keagamaan senantiasa mengandaikan adanya pijakan yang merujuk pada sumber-sumber yang dianggap orisinil. Sedangkan yang lama selalu dianggap membawa kebenaran, yang baru seringkali dianggap membawa kemurtadan. Pola pandang semacam ini menurut Islam liberal tentu menjadi hambatan serius dalam melakukan perubahan. Baca Nurkholis Madjid, et. All., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 138. Seperti kasus Indonesia misalnya, mayoritas masyarakat secara sosiologis sering dijadikan alasan untuk menguasai konstitusi negara dengan doktrin islam. Baca juga Syarifuddin Jurdi, Op.Cit, h. 88.
Luthfi Assyaukanie, Islam Benar, Op.Cit, h. 65.
Ibid.
Ibid.
Ibid, h. 141.
Ibid.
Menurut Badri Yatim, Islam masuk ke Indonesia salah satunya melalui ajaran tasauf. Bercampurnya teosofi dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia menjadikan tasauf sebagai bentuk penyebaran Islam di Indonesia bewatak kosmopolit. Melalui tasauf, bentuk Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama hindu. Dengan demikian ajaran agama Islam yang meskipun terbilang baru, dapat dimengerti dan diterima oleh mereka. Baca Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 202.
Abd. Moqshit Ghazali, Argumentasi Pluralisme Agama, Op.Cit, h. 96.
Luthfi Assyaukani, Islam Benar, Op.Cit, h. 72.
Ibid, h. 73.
Ibid, h. 74.
Ibid, h. 75.
Ibid, h. 88.
Menurut Syamsul Rizal Panggabean, Islam liberal sebagai sebuah kesadaraan keberagamaan yang ditandai dengan empat ciri. Pertama, kritis. Kedua, memberi dan mendatangkan energi. Ketiga, menciptakan. Dan keempat, menyembuhkan. Kesadaran kritis diperlukan untuk menolak kesadaran dominan budaya keberagamaan di Indonesia yang sarat tunduk kepentingan. Islam liberal yang berorientasi progresif, merasa perlu membebaskan theologi dari tradisi keagamaan yang statais dan terkooptasi agar Islam di Indonesia dapat bergerak maju ke zaman yang lebih baik. Islam liberal juga menciptakan, yakni sanggup untuk mengidentifikasi masalah, isu dan keprihatinan yang melanda kelangsungan hidup manusia dan menjawabnya secara kreatif. Islam liberal menyembuhkan, maksudnya memiliki basis dari kekuatan spritiual agama yang bersumber dari komitmen dan kegairahan terhadap risalah dan nubuat agama. Baca Syamsul Rizal Panggabean, Prospek Islam liberal di Indonesia, dalam Luthfi Assyaukanie, Wajah Liberal, Op.Cit, h. 9-10.
Ulil Abshar Abdalla, Agama, Akal dan Kebebasan: Tentang Makna "Liberal dalam Islam liberal, dalam Abd Moqshit Ghazali, Ijtihad Islam liberal,Op.Cit, (Jakarta: Theater Utan kayu, 2005), h.15.
Ibid.
QS al Zâriyyat/51: 56.
Ibid.
Ibid.
Nurkholis Madjid, Fiqih Lintas Agama, Op.Cit, h. 34. Nurkholis Madjid mengutip pendapat Rasyid Ridla ketika menafsirkan QS Ali Imran/3: 104 menjelaskan bahwa kata berdakwah kepada" al Khair" berarti adalah berdakwah kepada kebaikan universal. Kebajikan universal seperti terkandung dalam kalimat al khair tersebut – lanjut Madjid, adalah nilai-nilai moral etis atau al akhlâq al karîmah. Hal ini dipahami dari makna generik Islam dan universal yaitu agama semua Nabi dan Rasul sepanjang jaman. Baca Nurkholis Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2008), Cet. Kedua, h. 91.
Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal, (Jogja: LKIS, 2004), h. 76.
Pemikir Islam liberal kenamaan Muhammad Arkoun mengajukan enam pendekatan (langkah) dalam pemahaman Islam progressif. Pertama, menyiapkan Perangkat-Perangkat Untuk Pemikiran Baru. Kedua, membuat denah mode-mode pemikiran yang ada. Ketiga, beranjak dari yang tak terpikir menuju yang terpikirkan. Keempat, pembentukan Istilah Masyarakat al Kitab untuk masyarakat pluralis. kelima, menyiapkan strategi dekontruksi. Keenam, mengkaitkan wahyu dan konteks sejarah. Baca Charles Kurzman, ed., Liberal Islam: a Source Book, Op.Cit, h. 339.
Baca Muhammad Syahrour, Nahw al Ushûl al Jadîdah Li al Fiqh al Islâmy, (Damaskus: al Ahaly, 2000), h. 59.
Baca Luthfi Assyaukanie, Islam Benar, Op.Cit, h. 249.
Charlez Kurzman, Op.Cit, h. 487.
Untuk agenda dakwah ini, Islam liberal merasa perlu meredifinisi pengertian Ijma' seperti dalam pandangan klasik dan sebagai gantinya memformulasikan pengertian Ijma' yang modern dengan mengumpulkan pandangan-pandangan para pembaharu seperti Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, hingga Mahmud Syaltut. Untuk pembahasan Ijma' modern baca, Taufik Adnan Kamal, Menilik Model Ijma' Kontemporer, dan Zuhairi Misrawi, Konsep Ijma' Sebagai Partisipasi Otonom, dalam Abd Moqhsith Ghazali, Ijtihad Islam liberal, Op.Cit, h. 97-104.
Untuk karakteristik risalah Islam Mekkah, Baca Mana’ Khalil al Qattâny, Mabâhits fi ‘Ulûm al Qur’ân, (Riyadl: Maktab al Ma’arif, 2000), cet. Ketiga, h. 63.
Menurut ulama klasik al Suyûthy, ciri-ciri risalah makkiah menekankan unsur universitalitas kemanusiaan yang ditandai dengan kata-kata yâ ayyuhâ al Nâs atau yâ Ibn Adâm. Baca Jalal al Din al 'Abd al Rahmân al Suyûthy, al Itqân Fi 'Ulûm al Qur'ân, (Kairo: Dar al Hadits, 2004), Islam liberalid 1, h. 73. Ada tiga alasan penting mengapa dakwah kultural ini menjadi sangat penting di Indonesia. Pertama, proses Islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan kebudayaan lokal, tradisi dan adat lokal. Kedua, posisi Islam sebagai salah satu kepercayaan di antara banyak kepercayaan dan agama yang ada di Indonesia. Ketiga, Islam bukan satu-satunya sistem nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Karena di samping sistem Islam, juga terdapat pandangan lokal dan asing Barat yang telah lebih dulu dikenal oleh Masyarakat Indonesia. Dengan tiga alasan ini, maka dakwah kultural dalam era kontemporer terutama di Indonesia menjadi sebuah tuntutan yang mutlak. Baca Aden Wijdan SZ, Op.Cit, h. 49-50.
Ulil Abshar Abdalla, dkk, Islam liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, (Jogja: ElsaQ, 2003), h. 6.
Ibid.
Ibid.
Ibid.
Menurut Fazlur Rahman, - seorang pemikir muslim liberal asal pakistan – seperti dikutip Abd A'la, sikap teologi Islam liberal itu memiliki fungsi ganda. Pertama fungsi vertikal, yaitu untuk mengukuhkan keimanan umat Islam. Kedua fungsi horizontal-eksternal. Pada fungsi yang kedua ini, teologi Islam harus berkarakter transformatif dan liberal yang ditujukan untuk menafsirkan dan menyikapi kehidupan kontemporer dalam segala dimensinya. Baca Abd A'la, Dari Neo Modernisme Ke Islam liberal, (Jakarta: Paramadina, 2009), h. 207.
Al Qur'an sendiri sesungguhnya merupakan refleksi yang sangat dinamis dari tuntutan suatu perubahan dalam situasi stagnasi tradisionalisme (ortodoksi), khususnya bangsa Arab. Tidak kurang dari sembilan ayat dalam al Qur'an yang mengecam sikap tradisionalisme seperti QS al Baqarah/2: 170, QS Luqman/31:21, dan al Zukhruf/43:22. Seperti dinamika awal Islam, hingga saat ini perubahan-perubahan yang terjadi menuntut untuk untuk terlahirnya wacana-wacana Islam kontemporer. Baca Munzir Hitami, Revolusi Sejarah manusia: Peran Rasul Sebagai Agen Perubahan, (Jogja: LKIS, 2009), h. 243.
Muhammad Rasyîd Ridlâ, Tafsîr al Qur'ân al Hakîm al Syahîr bi Tafsîr al Manâr, (Kairo: al Hai'ah al Mishriyyah al 'Ammah li al Kitab, 1990), Juz 2, h. 74.
Ibid.
Ibid.
Ibid, h. 75.
Bagi Pemikir Islam liberal Muhammad Arkoun, Ijtihad adalah sebuah upaya umat Islam yang dinamis untuk mengkritik nalar Islam dalam pemahaman ortodoksi. Bagi Arkoun, Ijtihad sebagai upaya muslimin yang dinamis patut dihargai walaupun salah ketimbang berpegang teguh dengan pemahaman keagamaan klasik yang bisa jadi tidak lagi relevan dengan perubahan kontemporer. Baca Muhammad Arkoun, Min al Ijtihâd Ilâ Naqd al 'Aql al Islâmi, (Beirut: Dar al Saqy, 1991), Cet. Pertama, h. 12.
Redaksinya demikian إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
Lihat Abû 'Isâ Ibn Muhammad Ibn 'Isâ Ibn Tsaurah al Turmûdzi, Sunan al Turmudzi, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 160. Lihat juga Sulaiman al Sijistâni Abû Daud, Sunan Abu Daud, (Mauqi' al Islam), Juz 9, h. 464. Lihat juga Abu 'Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Mauqi' al Islam), Juz 7, h. 103. Lihat Juga Ahmad Ibn Syu'ayb al Khurâsâny, Sunan al Nasâ'i, (Mauqi' al Islam), Juz 16, h. 212. Lihat Juga Abu 'Abdillah Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Mauqi' al Islam), Juz 36, h. 175.
Ada tiga sikap keagamaan dalam memandang fakta pluralitas agama. Pertama, eksklusif. Kedua, inklusif, dan ketiga pluralis. toleransi dalam beragama bagi Islam liberal tidak mungkin hanya mengandaikan sikap inklusif apalagi eksklusif. Sebab inklusifisme masih memiliki pandangan tentang superiorias agama tertentu di atas agama-agama lain. Abdul Moqsith Ghazali, Op.Cit, h. 60. Sedangkan toleransi yang menghasilkan dialog hingga kerjasama antar agama tidak cukup hanya dengan sikap inklusif, tapi pluralis. Baca Nurkholis Madjid, et. All, Fiqih Lintas Agama, Op.Cit, h. 197.
Redaksinya demikian احب الدين عند الله الحنفية السمحة
Lihat Abû Isma'il al Bukhâry, Sahîh al Bukhâry, (Mauqi' al Islam), Juz 1, h. 68.
Lihat QS al An'âm/6: 108.
Lihat QS al Baqarah/2: 256.
Lihat QS al Baqarah/2: 52, QS al Mâidah/5: 69.
Lihat QS al Mumtahanan/60: 8, QS al Mâidah/5: 5.
Lihat QS al Baqarah/2: 148, QS Âli 'Imrân/3: 113-115, QS al Mâidah/5: 48.
Baca Zuhairi Misrawi, Op.Cit, h. 18. Menurut KH. Abdrruhman Wahid – ulama yang dikenal sebagai pahlawan pluralisme di Indonesia – pendistorsian ajaran al Qur'an dari bentuknya yang inklusif dan pluralis kepada penafsiran yang rigid, ekslusif dan fundamentalis ini berakar dari proses pendangkalan agama. Baca Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Demokrasi, (Jakarta: the Wahid Institue, 2006), h. 299. Jalaluddin Rakhmat, menyebut proses pergeseran penafsiran dari ayat-ayat al Qur'an yang pluralis menjadi ayat ekslusif, sebagai bentuk penafsiran yang terpengaruh redundansi bahasa. Rakhmat, lebih lanjut memberi contoh bagaimana QS al Baqarah/2: 256 yang dalam pandangan kaum pluralis berisi informasi keabsahan agama lain, menjadi tertutup dalam penafsiran kaum ekslusif. Baca Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak al Qur'an Menyingkapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi Ilm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar