Minggu, 29 November 2009

TAFSIR TARBAWI
Oleh : Prio Hotman, MA.




A. Definisi.

Mengetahui isi al Qur'an dan al Sunnah, adalah hal yang mutlak untuk dapat memahami Islam dan ajarannya. Demikian sangat wajar, karena keduanya adalah referensi utama yang dinilai mengakumulasi nilai-nilai dasar ajaran Islam. Maksud dari Sunnah sebagai referensi, yaitu Sunnah digunakan sebagai penjelasan aplikatif dan teoritis terhadap al Qur'an. Sebagai penjelas al Qur'an, berarti kandungan Sunnah memiliki fungsi sebagai penafsir awal terhadap al Qur'an. Dalam wacana kajian Islam, maksud dari al Qur'an sebagai refensi Islam dijelaskan bahwa di dalamnya mengandung prinsip-prinsip ajaran universal yang dijadikan rujukan dalam memecahkan segala aspek permasalahan kehidupan, termasuk pendidikan. Dari perspektif pendidikan Islam, tafsir digunakan sebagai alat untuk mengeksplor ajaran-ajaran Islam dalam kaitannya untuk mengembangkan dan mencapai sasaran (tujuan) pendidikan. Melalui cara berpikir ini, maka muncul apa yang dinamakan tafsir tarbawi (tafsir bercorak tarbiyyah), yaitu tafsir yang menekankan (tendensi) kepada tema-tema dan untuk keperluan tarbiyyah (pendidikan Islam). Dari segi fungsinya, tafsir tarbiyyah memiliki kecenderungan yang sama dengan tafsir-tafsir dengan corak lainnya yang beraneka ragam, yakni sama-sama memiliki corcern pada pembahasan dan tujuan pada aspek permasalahan tertentu.
Secara etimologi, tafsir bermakna menjelaskan (al idhâh) dan menerangkan (al tabyîn). Tafsir yang terambil dari akar kata al fasru jug dapat diartikan sebagai menerangkan (al ibânah) atau menyingkap (al kasyfu). Menurut pakar tafsir al Zahâbi, istilah tafsir dari segi etimologi digunakan dalam dua arti. Pertama, menyingkap suatu hal yang berkaitan dengan indra (al kasyfu al hissiy). Kedua, menyingkap suatu hal yang berkenaan dengan simbol-simbol rasional (al kasyfu 'an al ma'ani al ma'qulat). Menurut ulama ini, penggunaan kata tafsir pada arti yang kedua ini lebih umum dari yang pertama.
Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir sebagai ilmu tidak memiliki batasan definisi tertentu karena tidak memiliki kaidah-kaidah khusus yang berlaku seperti yang diterapkan pada ilmu-ilmu rasional yang lain. Menurut pendukung pendapat ini, tafsir cukup diartikan sebagai penjelasan terhadap kalam Allah atau yang menjelaskan terhadap redaksi al Qur'an beserta pemahamannya. Menurut sebagian ulama lain, tafsir merupakan suatu disiplin ilmu tertentu yang didukung oleh displin-disiplin ilmu lain dalam satu paket yang berfungsi untuk memahami al Qur'an seperti, ilmu linguistik (lughat), peralihan kata (sharf), gramatika (nahw), bacaan al Qur'an (Qira'at) dan sebagainya.
Pakar tafsir klasik Ibn Hayyan dalam Bahr al Muhith menjelaskan definisi tafsir secara istilah sebagai ilmu yang membahas teknik pengucapan redaksi al Qur'an beserta petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik secara redaksi personal maupun rangkaian, makna-makna yang terkandung di dalamnya ketika dirangkai dan penyempurnaan kepada makna tersebut. al Suyuthi dalam Itqan, mengutip pendapat al Zakarsy menjelaskan definisi tafsir sebagai " ilmu untuk memahami kitab Allah ta'ala yang diturunkan kepada Nabi-nya, menjelaskan makna-maknanya, menjabarkan hukum-hukumnya, dengan menggunakan bantuan ilmu linguistik (lughat), gramatika (nahw), peralihan kata (sharf), ilmu bayan, usul fiqh, Qira'at, serta bantuan ilmu asbab al nuzul dan nasikh mansukh. Sebagian pakar lain lebih memilih untuk mendefinisikan tafsir dari sudut pandang kemampuan sebagai " ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan al Qur'an beserta penjelasannya sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala sesuai dengan kemampuan obyektif manusia.
Tafsir bagi sebagian ulama tidak berbeda dengan ta'wil, kedua istilah ini bagi umumnya dipahami oleh para ulama tafsir klasik dengan arti yang sinonim. Sebagian ulama yang lain seperti al Asfihani, membedakan arti tafsir dan ta'wil. Tafsir bagi al Asfihani lebih luas artinya dibanding ta'wil. Jika istilah tafsir lebih banyak digunakan secara teknis pada redaksi al Qur'an, maka ta'wil lebih berfokus kepada makna-makna dari al Qur'an. Menurut al Tsa'labi, perbedaan antara tafsir dan ta'wil adalah sisi tekstual dan kontekstual redaksi al Qur'an. Kata ulama ini, jika tafsir lebih menekankan aspek tekstual dari pada struktur redaksi al Qur'an baik secara hakekat maupun majazi, maka ta'wil lebih menekankan aspek konstekstual redaksi al Qur'an (bathin al lafzi).
Dari keterangan ulama mengenai tafsir di atas, maka dapat ditarik beberapa point mengenai tafsir. Pertama, tafsir merupakan usaha untuk memahami firman Allah SWT dalam al Qur'an sesuai dengan kemampuan subyektif penafsir. Kedua, usaha memahami firman Allah tersebut melibatkan arti tekstual dan kontekstual redaksi al Qur'an. Ketiga, dalam usaha menafsirkan al Qur'an mempergunakan disiplin keilmuan lain yang relevan. Keempat, usaha menafsirkan al Qur'an tersebut berangkat dari kebutuhan akan petunjuk-petunjuk ilahi dalam menyelesaikan pelbagai problematika kehidupan.
Sedangkan definisi etimologis tarbiyyah, bagi al Hazimy menunjuk kepada arti-arti berikut ini. pertama, perbaikan (al ishlah), menurut ulama ini arti ishlah tidak terkait dengan kuantitas (al ziyâdah), melainkan kualitas (al ta'dil wa al tashhih). Jika tarbiyyah dipahami dengan istilah ishlah, berarti tarbiyyah itu tidak berfokus kepada penambahan ilmu, tetapi lebih kepada perbaikan potensi yang sudah ada. Kedua, tumbuh (al namâ') dan bertambah (al ziyâdah). Jika tarbiyyah dipahami dengan istilah tersebut, berarti tarbiyyah menyimpan unsur bertambah dan tumbuh. Maksudnya melalui proses tarbiyyah akan bertambah ilmu dan tumbuh kecakapan dan kemampuan dalam menghadapi masalah. Ketiga, tumbuh (al nasyâ'u) dan berkembang (tara'ra'a). Maksudnya, dengan proses tarbiyyah akan tumbuh dan berkembang sikap kedewasaan dan kematangan berpikir seseorang melalui ilmu yang ia peroleh. Keempat, mengatur dan mengurusi keperluan (al siyasâh wa tawwaliy al amr). Dalam tarbiyyah memang tersimpan unsur pengaturan dan pengurusan, yakni mengatur kedisiplinan peserta didik dan mengurusi semua keperluannya yang menjadi penunjang pembelajaran. Artinya pendidik dalam hal ini berstatus sebagai pihak yang dipercaya untuk mengatur dan mengurusi peserta didik (al qiyâm bi amri al mutarabby). Kelima, pengajaran (al ta'lîm). Dengan mengutip pendapat Ibn al A'raby, al Hazimy menjelaskan bahwa kata al rabbany yang terdapat dalam QS Ali 'Imran/3: 79 berarti orang yang berilmu yang bertindak sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu-ilmu kecil kepada orang lain sebelum mengajarkan ilmu-ilmu yang berat. al rabbany juga berarti orang yang mendalam dalam ilmunya dan hanya mengharapkan Allah dengan ilmu yang dimilikinya. Menurut al Hazimy, kelima arti bahasa tersebut merupakan unsur-unsur yang mesti ada dalam sebuah proses tarbiyyah.
Dalam al Qur'an, kata tarbiyyah digunakan untuk menunjuk kepada dua arti. Pertama, hikmat, ilmu dan pengajaran. Arti ini ditemukan dalam QS Ali 'Imran/3: 79, Ibn 'Abbas seorang sahabat Nabi yang terkenal piawai dalam menafsirkan al Qur'an mengartikan kata rabbany dalam ayat ini sebagai hukama (ahli hikmah), 'ulama (cerdik pandai), dan hulama' (orang bijak). Kedua, pemeliharaan, arti ini ditemukan dalam QS al Isra/17: 24 dan QS al Su'ara/31: 18. Kata rabb, dalam kedua ayat tersebut berarti memelihara (al ri'âyah) atau merawat (al 'inâyah). Orang tua memelihara dan merawat anak diwaktu kecil, Fir'aun juga memelihara dan memelihara Musa ketika ia masih kecil. Menurut pakar tafsir al Baidhâwi dan al Asfihâni, kata rabb dalam al Qur'an sejajar maknanya dengan tarbiyyah, yaitu mengantarkan sesuatu (tablîg al syay') atau menumbuhkannya (insyâ'uhu) secara bertahap agar mendekati garis kesempurnannya (hadd al tamâm). Dengan pengertian ini, maka secara terminologis tarbiyyah berarti proses menumbuhkan manusia secara bertahap dalam segenap aspek kehidupannya untuk tujuan kebahagiaan dunia-akhirat menurut ajaran Islam.
Pendidikan dalam perspektif tarbiyyah berbeda dengan pendidikan lainnya dari segi metodik dan tujuan. Dari segi metodik tarbiyyah mengharuskan adanya kesesuian dengan manhaj Islam, sedangkan dari segi tujuan nilai-nilai transendental harus terdapat dalam tarbiyyah. Baik kesesuaian dengan manhaj Islam maupun tujuan transenden pendidikan baru dapat diperoleh jika pendidik telah memahami pesan-pesan pendidikan dalam al Qur'an sebagai referensi tertinggi dalam Islam. Pemahaman terhadap pesan-pesan pendidikan al Qur'an itulah yang dinamakan dengan tafsir tarbawi.

B. Perkembangan Tafsir dan Coraknya.

Pada masa Nabi, pemahaman terhadap ayat-ayat al Qur'an seluruhnya berada dalam otoritas beliau. Rasulullah dalam hal ini berperan sebagai penjelas pesan-pesan ayat yang diturunkan kepada beliau. Setiap ditemukan ayat yang samar maknanya atau tidak dipahami oleh para sahabat, mereka langsung mengkonfirmasikan ulang kepada Rasulullah. Keadaan ini terus berlangsung hingga periode wafatnya beliau, yang dengan demikian penafsiran al Qur'an pada masa ini lebih banyak kecenderungannya kepada homogen (satu corak penafsiran).
Kalau pada masa hidup Nabi semua pertanyaan tentang ayat yang sulit dipahami atau yang samar tuntas dijawab beliau, maka tidak demikian pada masa setelah beliau wafat. Pada masa ini, setiap ada ayat yang sulit dipahami atau samar maknanya mereka bertanya kepada sahabat yang lain dan terkadang mereka menemukan penjelasan Nabi dari mereka yang tidak diketahuinya. Jika mereka tidak mendapat penjelasan, maka para sahabat berijtihad sesuai dengan kaidah bahasa al Qur'an yang merupakan bahasa mereka. Karena penafsiran al Qur'an pada masa sahabat dilakukan dengan ijtihad, maka cenderung lebih heterogen (plural) disebabkan oleh kecenderungan yang berbeda antara satu sahabat dengan yang lain. Pada masa ini pula lahir penafsir-penafsir ulung dari kalangan sahabat seperti 'Ali Ibn Abi Thalib, Ibn 'Abbas, 'Ubay Ibn Ka'ab dan 'Abdullah Ibn Mas'ud.
Corak penafsiran tafsir makin terlihat pada masa sahabat, di mana wilayah Islam telah makin meluas dan banyak orang-orang non arab ('ajam) yang masuk islam. Dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam, masalah-masalah yang membutuhkan jawaban al Qur'an pun makin beragam. Karena itu maka muncul pada masa ini tokoh-tokoh penafsir baru dari kalangan tabi'in yang antara satu dengan lain memiliki kecenderungan penafsiran yang berbeda. Perbedaan penafsiran para sahabat pada masa mereka yang kemudian diwariskan kepada murid-murid mereka dari kalangan tabi'in juga merupakan faktor yang menyebabkan makin beragamnya corak penafsiran al Qur'an.
Pada masa perkembangan selanjutnya, maka dikenal beragam corak penafsiran al Qur'an yang oleh para ilmuwan tafsir dikelompokkan kepada tafsir tahlily, tafsir ijmaly, tafsir muqaran dan tafsir maudhu'i. Kebanyakan dari kitab-kitab tafsir yang ditemukan dewasa ini dengan uraian panjang hingga berjilid-jilid adalah tafsir dengan corak tahliliy. Menurut Fahd al Rumi, - guru besar ilmu-ilmu al Qur'an Universitas Riyadl – para penafsir penafsiran al Qur'an dengan metode tahlily berbeda dalam aspek panjang dan singkatnya uraian penafsiran, ada yang uraiannya panjang lebar (al ithnâb) hingga puluhan jilid, ada yang pertengahan (musâwah), dan ada yang singkat (al ijâz) urainnya hanya satu jilid saja. Warna penafsirnnyapun beraneka ragam sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan sipenafsir tersebut. Jika penafsirnya merupakan pakar tasawuf maka uraian tafsirnya cenderung bernuansa sufistik dan dikenal apa yang disebut tafsir shufi. Jika penafsirnya ahli fikih maka isi uraian tafsirnya penuh dengan penjelasan hukum-hukum Islam yang kemudian dikenal dengan tafsir fiqhy. Jika penafsirnya seorang filosof maka uraian tafsirnya akan sangat kental dengan teori-teori filsafat, semantik (logika) dan ilmu kalam, dan dikenal apa yang disebut tafisr falsafi. Begitu seterusnya hingga dikenal beragam warna tafsir seperti tafsir 'ilmi yang menekankan penjelasan saintifik, tafsir adaby yang menekankan penjelasan fenomenal realistik kehidupan, tafsir da'awy yang menekankan penjelasan dakwah, dan tafsir tarbawy yang menekankan pesan-pesan pendidikan al Qur'an. Aneka ragam persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban al Qur'an juga merupakan faktor dominan lahirnya warna-warna tafsir tersebut.
Walaupun dalam uraian tafsir tahlily ditemukan penekanan pada aspek permasalahan tertentu, akan tetapi keharusan untuk menjelaskan arti kata-perkata belum lagi banyaknya persoalan yang terdapat dalam rangkaian ayat-ayat dalam mushaf, menjadikan pembahasan terhadap satu permasalahan tertentu menjadi tidak tuntas. Karena satu persoalan yang dibahas dalam satu surah tertentu terkadang ditemukan pembahasan berikutnya dalam surah yang lain. Hal demikian akan menjadi sulit jika menggunakan metode tafsir tahlily, maka solusi yang ditempuh oleh para ilmuwan tafsir adalah melengkapinya dengan metode penafsiran lain yang dikenal dengan metode tafsir maudhu'i.
Methode tafsir maudhu'i merupakan cara penafsiran dengan orientasi tematik. Artinya sasaran (target) yang ingin dicapai melalui penjelasan tafsir maudhu'i adalah tema yang sedang dibahas. Berbeda dengan tafsir tahlily, tafsir maudhu'i hanya menguraikan arti kata seperlunya yang terkait dengan tema yang difokuskan. Tafsir maudhu'i juga mengabaikan keterangan-keterangan yang tidak relevan dengan tema yang sedang dibahas. Metode ini terkadang dilakukan dengan mengumpulkan ayat-ayat dari seluruh mushaf yang memiliki tema sama, dan terkadang dilakukan dengan mengkotakkan satu surat dalam suatu bahasan atau tema tertentu. Tafsir tarbawi seperti juga tafsir dengan corak-corak lainnya, terkadang disusun dengan metode tahlily dan terkadang dengan metode maudhu'i dengan kedua teknisnya.



C. Kebutuhan Tafsir Dalam Ilmu Pendidikan Islam (Hubungan Tafsir dan Tarbiyyah).

Tarbiyyah merupakan satu dari sekian cabang tugas kekhalifahan manusia di muka bumi seperti diungkap dalam al Qur'an. Pada awalnya, tarbiyyah dalam pengertian pengajaran ('allama) merupakan proses transfering sifat-sifat Allah kepada hamba-Nya, Adam. Manusia diunggulkan Allah atas mahluk-Nya yang lain karena pada adam terdapat proses pengajaran sehingga ia diamanahkan untuk memakmurkan bumi ini. Melalui proses pengajaran, potensi manusia dioptimalkan agar mengerti cara berinteraksi dengan kehidupan dunia dan bersikap yang benar terhadapnya. Pengajaran Allah kepada manusia dilakukan melalui dua cara, pertama secara langsung melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul. Kedua, melalui fitrah yang ditanamkan pada jiwa manusia untuk selalu berkeinginan menyampaikan dan mencari kebenaran. Pengajaran yang pertama merupakan informasi yang dapat diakses manusia melalui ajaran agama, sedangkan pengajaran yang kedua merupakan konfirmasi yang diusahakan manusia melalui eksplorasi terhadap fenomena alam. Baik pengajaran berupa informasi maupun konfirmasi, keduanya merupakan proses pencarian kebenaran yang saling melengkapi untuk menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam pendidikan Islam, sasaran yang ingin dicapai adalah melakukan pengaturan dan pembinaan dari segenap aspek potensial manusia agar mencapai kesempurnaan. Di sisi lain, manusia sebagai mahluk multi dimensi memiliki banyak aspek potensial dari mulai aspek material (jasmani), hingga immaterial (akal dan jiwa). Untuk itulah, maka Allah mengutus Rasul sebagai pendidik yang dalam al Qur'an disebutkan bertugas sebagai penyampai informasi Tuhan (yatlu 'alaihim ayatih), menyucikan yang berarti mendidik (yuzakkîhim) dan mengajar yang tidak lain menanamkan pengetahuan (yuallimuhum) baik yang berkaitan dengan alam fisika maupun metafisika. Tujuan pendidikan islam (tarbiyyah) tidak hanya bersifat immanent, tetapi juga transenden. Sebab target yang ditetapkannya adalah melahirkan kesempurnaan manusia agar tercipta mahluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia-akhirat, atau ilmu dan iman.
Karena tujuan itu, maka pendidikan Islam menjadikan pemahaman akan kitab suci sebagai salah satu syarat mutlak dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian dikarenakan target menciptakan manusia dengan keilmuan dan keimanan yang mantap tidak akan dapat diwujudkan hanya sebatas melalui pengetahuan kognitif yang relatif. Lebih dari itu, kebenaran pengetahuan kognitif harus dikonfirmasikan kepada pengetahuan akan informasi transenden yang mutlak dan absolut. Pengetahuan transenden yang dimaksud adalah pengetahuan akan pesan-pesan kitab suci al Qur'an, dan pengetahuan tersebut dinamakan tafsir.
Kebutuhan pengetahuan akan kitab suci (tafsir) dalam ilmu pendidikan didasarkan pada aspek-aspek berikut. Pertama, tafsir sebagai basis keimanan yang merupakan pengetahuan tertinggi nilainya, dan terdasar kedudukannya dalam susunan pengetahuan manusia sebelum pengetahuan keilmuan yang lain. Kedua, tafsir sebagai konfirmasi terhadap kebenaran yang diungkap dalam pengetahuan eksploratif. Artinya pengetahuan keimanan (informatif) dalam pendidikan Islam dan pengetahuan ekploratif harus saling menguatkan dan membenarkan. Ketiga, tafsir berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurna akan pengetahuan eksploratif yang belum tuntas. Artinya tafsir harus dapat memberi penjelasan tentang fenomena-fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan eksploratif. Keempat, tafsir berfungsi sebagai pengisi nilai (value filler) terhadap pengetahuan eksploratif. Artinya tafsir dimaksudkan sebagai pengetahuan yang dapat mewarnai pengetahuan ekspolaratif agar tidak bebas nilai melalui penanaman nilai-nilai transendent dan etika/moral. Kelima, tafsir berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pesan-pesan ketuhanan agar dapat ditangkap oleh manusia. Dengan kata lain, tafsir merupakan sarana untuk memberikan kesan membumi (indegenous) terhadap pesan-pesan Ilahi yang bersifat suci dan transenden.
Wallahu A'lam bissawab
Prio Hotman, S. Sos. I, November 2009.

DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al Qur’an, (Bandung : Mizan, 2006), Cet. Ke 29.

_______________, Tafsir al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. Pertama.

Almunawar, Said Agil husin, al Qur'an Membngun Tradisi kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. Keempat.

Al Hazimi, Khalid Ibn Hamid, Ushul al Tarbiyyah al Islamiyyah, (Madinah Munawwarah: Dar al 'Alim al Kutub, 2000), Cet. Pertama.

Muhammad 'Imarah, Mahmud, Tarbiyyat al Nasy Fi Zhil al Islam, (Mekah Mukaramah: Da'wat al Haq, 2000), Cet. Kedua.

Al Mak, Syaikh Khalid Abd al Rahman, Ushul al Tafsir wa Qawa'iduhu, (Beirut: Dar al Nafais, 1986), Cet. Kedua.

Al Zahaby, Muhammad Husein, al Tafsir wa al Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), Cet. Ketujuh.

Al Rumi, Fahd, Buhuts Fi Ushul al Tafsir wa Manahijuhu, (Riyadl: Maktabah Taubah, 1998), Cet. Keempat.

-----------00000-------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar