Jumat, 05 November 2010

DAKWAH KONPREHENSIF

DAKWAH KONPREHENSIF
(TEORI DAKWAH MIKRO DAN MAKRO)
Oleh : Prio Hotman

A. Pendahuluan.

Ada korelasi timbal balik antara dakwah sebagai instrumen penyebaran ajaran Islam dan Islam sebagai agama dakwah. Di satu sisi, dakwah lekat dengan karakteristik agama Islam, artinya karakteristik dakwah pada dasarnya karakteristik islam itu sendiri . Di sisi lain, ketika Islam didakwahkan, ia akan menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, dari yang mikro hingga yang makro . Seperti agama Islam, dakwah Islam juga berkarakteristik konprehensif. Islam sebagai pedoman hidup dunia akhirat, meliputi sejumlah sistem dan regulasi dari berbagai aspek formulasi, konstruksi dan perbaikan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan dari mulai dogma, ritual hingga moral . Dengan karakteristik demikian, maka dakwah sebagai instrumen penyebaran Islam tentu juga harus berkarakteristik komperehensif . Dakwah yang komprehensif, berarti proses transformasi pesan-pesan Islam harus menjangkau berbagai sudut-sudut strategis kehidupan manusia, dari mulai ranah individu hingga kolektif, dari hal yang remeh-temeh hingga yang memiliki tingkat urgensi dalam kehidupan masyarakat .
Seperti telah disinggung, dakwah yang komprehensif meliputi bidang makro dan mikro. Dakwah makro, berarti bahwa pesan-pesan dakwah yang disampaikan berkaitan dengan lingkup kehidupan yang luas . Ini berarti bahwa dakwah bidang makro memiliki implikasi pada sejumlah bidang kehidupan yang signifikan . Sedangkan dakwah mikro berarti bahwa pesan-pesan dakwah lebih terkait pada bidang kehidupan "pinggiran" yang tidak memiliki implikasi luas terhadap sejumlah bidang kehidupan lainnya . Dalam kaitan ini, dakwah tidak hanya mementingkan satu bidang dan mengabaikan bidang lainnya. lebih dari itu, dakwah memiliki intens pada seluruh bidang kehidupan baik makro maupun mikro sekaligus. Hal demikian agaknya dipengaruhi oleh karakteristik komprehensifitas Islam sebagai agama dakwah yang memiliki perhatian penuh kepada seluruh sendi kehidupan manusia. Islam sebagai agama dakwah yang universal, memandang bidang kehidupan makro sebagai bidang kehidupan yang didirikan di atas banyak bidang kehidupan mikro. Sebaliknya bidang kehidupan mikro bisa tetap eksis melalui dukungan bidang kehidupan yang meliputi aspek luas (makro) .
Satu hal penting yang mesti diluruskan adalah komprehensifitas Islam dalam hal ini juga harus dipahami secara proporsional . Dalam kaitan ini, pernyataan mengenai Islam sebagai agama yang komprhensif bukan berarti Islam berisi seluruh aturan yang terperinci dan tersusun secara sistematis atau blue print yang langsung dapat diterapkan dalam kehidupan individu dan masyarakat, seperti yang selama ini dipahami. Lebih dari itu, komprehensifitas Islam lebih menekankan pada nilai moral dan kaidah-kaidah umum yang memerlukan proses ijtihadi lebih lanjut . Ketentuan terperinci agama yang telah melalui proses, biasanya telah mengalami reduksi sedemikian rupa sehingga ruang lingkupnya lebih sempit. Dalam kaitan dakwah, maka ketentuan-ketentuan terperinci tersebut lebih berperan dalam ranah dakwah mikro . Berbeda dengan dasar moral dan kaidah umum yang menjadi bahan baku regulasi agama yang masih memiliki lingkup yang masih luas. Dalam kaitan ini, maka dasar-dasar moral dan kaidah-kaidah umum tersebut lebih berperan dalam ranah dakwah makro .


B. Islam Sebagai Agama Universal.

Pembicaraan mengenai universalisme Islam berangkat dari keyakinan bahwa nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Sebagai nabi terakhir, tentunya ajaran Islam yang dibawanya mesti melampaui waktu (time) dan lokasi (place). Hal demikian dimaksudkan agar ajaran agama tersebut mampu mengcover karakteristik manusia yang beraneka ragam dari tempat dan jaman yang berlainan . Karakteristik universalitas Islam dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, universalitas dipandang dari materi ajaran. Kedua, universalitas dipandang dari lingkup sasaran dakwah. Ketiga, universalitas dipandang dari temporalitas ajaran.
Dari sudut materi ajaran, Islam dipandang sebagai agama universal. Hal ini menegaskan bahwa Islam memiliki materi ajaran yang berbicara tentang berbagai sudut kehidupan manusia yang beragam, dari yang urgen hingga yang remeh temeh. Persoalan ini akan lebih jelas melalui perspektif fikih yang membicarakan persoalan dengan kompleksitas seperti kenegaraan (fiq al daulah) hingga persoalan yang sederhana seperti istinja (fiq al taharah). Walaupun terdapat perbedaan pemahaman dikalangan sarjana muslim seputar permasalahan wilayah mana saja dari materi ajaran islam yang termasuk universal dan partikular, namun seluruhnya sepakat bahwa Islam tidak melupakan satupun aspek dari kehidupan manusia . Lebih jauh universalitas ajaran Islam memberi nilai dan arahan baik secara tekstual maupun konstekstual, tersurat maupun tersirat terhadap seluruh persoalan kemanusiaan .
Banyak dari teks al Qur'an maupun hadist yang berbicara mengenai pengutusan nabi Muhammad kepada segenap umat manusia, dan bukan kepada ras atau bangsa tertentu . Dengan kenyataan demikian, menunjukkan satu sudut lain dari karakteristik universalitas Islam yakni sasaran dakwah. Konsekuensi logis dari pengutusan tersebut, risalah nabi harus diteruskan oleh para aktivis dakwah kepada segenap bangsa dipelbagai belahan dunia. Dengan pandangan demikian ini berarti sasaran dakwah haruslah mesti bersifat universal atau kosmopolitan, bukan partikular dan lokal .
Sedangkan mengenai temporalitas ajaran, Islam juga mengklaim sebagai agama universal. Hal ini berarti Islam mengakui bahwa ajaran yang dibawanya selalu bersifat aktual dan solustis. Aktual dalam arti bahwa ajaran yang dibawa Islam bergerak selaras dengan dinamika pergeseran waktu (jaman) yang selalu berubah . Dengan demikian berarti Islam memiliki fleksibilitas yang memungkinkannya untuk membentuk pos-pos historis ajaran Islam . Solustis dalam arti bahwa ajaran yang dibawa Islam mampu menanggapi, mencermati dan memberikan jalan keluar terhadap pelbagai persoalan kemanusiaan yang kompleks dan beraneka ragam sejalan dengan kompleksitas dan perkembangan budaya dan peradaban manusia itu sendiri. Dengan karakteristik demikian, ajaran Islam mestilah berupa tujuan-tujuan pokok (maqasid al Syari'ah) yang hanya memberi batasan dan arahan bukan justifikasi dan ketentuan baku. Dengan fleksibilitas dan pokok tujuan itulah ajaran Islam menjadi universal dan lepas dari temporasi waktu .
Dari ketiga sudut pandang mengenai universalitas Islam tersebut, hemat penulis masalahnya terdapat pada sudut pandang terakhir. Jika Islam sebagai agama universal dimaknai sebagai agama yang lentur dan berupa tujuan-tujuan pokok, maka akan ditemukan keberatan dalam hal konsistensi ajaran. Pandangan ini mempertanyakan letak kebakuan dan kesucian ajaran Islam sebagai wahyu Tuhan, bukannya pandangan manusia yang profan dan mudah berubah. Sampai di sini mesti diklasifikasikan antara mana-mana ajaran yang baku dan ajaran yang mudah berubah. Pertanyaan tersebut dapat dijelaskan melalui kaidah fikih yang berbunyi " pada dasarnya dalam bidang ibadah ritual seorang mukallaf dituntut untuk melaksanakannya tanpa berpaling terhadap motifnya, sedangkan dalam bidang mua'malah pada dasarnya berpaling lebih dahulu melihat apa motifnya" . Menurut kaidah ini, ajaran-ajaran baku dalam Islam lebih kepada hal-hal yang sifatnya tidak dapat dijangkau oleh nalar dan kebudayaan manusia karena sifatnya yang suci dan transendental. Sedangkan perubahan dan fleksibilitas ajaran lebih kepada aspek-aspek yang memerlukan penalaran dan terkait dengan kebudayaan manusia .
Makna-makna seperti tersebut di atas, menegaskan bahwa Islam sebagai agama universal pada dasarnya terkait dengan dua kenyataan timbal balik. Pertama, kenyataan bahwa manusia pada dasarnya adalah mahluk beragama (homo religion), hal ini berarti pada dasarnya manusia adalah mahluk dengan keinginan penuh dan kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi kepada sesuatu yang dianggap super. Inilah pandangan yang mengatakan bahwa sebetulnya tidak ada manusia yang tidak bertuhan, setiap manusia melepaskan ikatan dari "tuhan" tertentu berarti ia telah terikat dengan "tuhan" yang lainnya . kedua, kenyataan di sisi lain bahwa Islam diciptakan sebagai agama fitrah, selaras dengan karakteristik pencipataan manusia. Artinya nurani manusia tidak akan bisa tenang kecuali jika kecenderungan dan keinginan bertuhan itu diarahkan kepada kepasrahan dan ketundukan terhadap Tuhan pencipta alam yang satu (Islam). Karena Islam adalah naluri fitriah manusia, sebagai konsekuensi logisnya dakwah Islam merupakan satu kebutuhan mutlak bagi manusia di antara daftar panjang kebutuhan-kebutuhan manusia yang begitu banyaknya .



C. Posisi Dakwah Dalam Tingkatan Kebutuhan Manusia.

Manusia sebagai mahluk multi dimensi, baik secara fisik maupun mental, hidupnya sangat tergantung pada pemenuhan faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi eksistensinya. Faktor-faktor tersebut lebih lanjut dikenal dengan istilah kebutuhan hidup manusia. Ada dua kategori tingkat kebutuhan manusia, materi dan non materi, kemudian masing-masing kategori membawahi kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan tingkat urgensinya terhadap eksistensi manusia. Penulis tidak memandang eksistensi mansuia dalam artian fisik ansich, lebih jauh, hemat penulis eksistensi di sini juga meliputi eksistensi mental dan kejiwaan. Atas dasar pernyataan ini, berarti eksistensi manusia bukan hanya ditentukan oleh terpenuhinya kebutuhan fisik-materi belaka, lebih dari itu, juga ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan yang bersifat mental- non fisik. Hal demikian agaknya terkait dengan eksistensi manusia itu sendiri yang bukan hanya mahluk fisik, tetapi juga mahluk spiritual .
Faktor fisikal yang terdapat pada manusia menyebabkan hidup fisiknya memiliki ketergantungan pada sejumlah faktor-faktor tertentu, yang jika tidak terpenuhi maka kehidupan manusia akan terganggu secara fisik. Kebutuhan fisik tersebut bertingkat-tingkat menurut tuntutan penyegeraannya bagi eksistensi kehidupan fisik manusia, dari yang harus segera dipenuhi hingga yang bisa ditunda pemenuhannya. Mengenai hal ini, para ahli telah menjelaskannya dalam banyak literatur. Di sisi lain, manusia sebagai mahluk spiritual, eksistensinya juga tergantung dari pemenuhan sejumlah kebutuhan-kebutuhan yang bersifat non fisik. Baik kebutuhan fisik, maupun non fisik keduanya menentukan eksistensi manusia secara komprehensif. Pengabaian satu kebutuhan terhadap lainnya menyebabkan kepincangan eksistensi hidup manusia, keadaan tersebut dapat disamakan dengan keadaan tidak eksis. Sebab eksistensi manusia sebagai mahluk multi dimensi fisik-spiritual tidak dapat ditentukan dengan salah satunya dan tidak yang lainnya.
Dengan logika di atas, dapat dipahami lebih jauh bahwa ada kesetaraan urgensitas antara kebutuhan fisik dan kebutuhan non fisik dalam kaitannya untuk menentukan eksistensi manusia. Pertanyaan lain yang dapat diajukan ialah, jika antara kebutuhan fisik dan non fisik itu berada posisi setara, lalu di manakah letak stratafikasi kebutuhan-kebutuhan tersebut dipandang dari sudut urgensitasnya? Jawaban dari pertanyaan ini hemat penulis akan ditemukan jika yang kita bisa menjawab pertanyaan lainnya, manakah yang lebih urgen, eksistensi manusia sebagai individu, atau eksistensi kolektifitas manusia.
Jika melihat tujuan penciptaan manusia sebagai wakil Tuhan yang diberi mandat untuk mengolah bumi ini, maka akan sampai pada satu pandangan bahwa tujuan tersebut tidak dapat diwujudkan kecuali jika manusia hidup berkumpul dan saling menggunakan kelebihannya satu sama lain. Jika tujuan utama penciptaan manusia itu berhasil dilakukan, berarti eksistensi manusia diakui, sebaliknya, manusia individuil an sich tidak dinilai eksis kecuali jika peranannya terlibat dalam kelompok. Manusia dalam kapasitas sebagai orang perorang tidaklah dapat melaksanakan tujuan tersebut, ini berarti dalam kapasitas tersebut manusia tidak bisa diperhitungkan eksistensinya. Atas dasar pandangan ini, maka eksistensi manusia itu pada hakekatnya adalah eksistensi manusia dalam kapasitas kolektifnya. Jika kesimpulan demikian dikaitkan dengan kebutuhan manusia, maka akan di pahami bahwa kebutuhan yang paling tinggi tingkatannya dimulai dari kebutuhan manusia yang terkait dengan eksistensi kolektif, baru kemudian yang menyangkut eksistensi individu.
Jika tesis di atas dapat diterima, berarti kebutuhan manusia akan pranata yang relevan dengan keseimbangan struktur kehidupan sosial seperti dakwah adalah kebutuhan yang paling tinggi tingkatannya di antara seluruh kebutuhan-kebutuhan manusia. Dakwah dinilai sebagai kebutuhan paling tinggi, karena hanya dengan dakwah keteraturan hidup manusia secara kolektif dapat dibangun dan dikontrol. Itulah sebabnya dalam al Qur'an disebutkan bahwa masyarakat kafir Quraisy yang mengusir nabi, mereka tidak akan bertahan lama eksistensinya . Ramalan al Qur'an tersebut ternyata terbukti ketika beberapa tahun berikutnya nabi dan pasukannya membebaskan kota Mekah dan melenyapkan eksistensi masyarakat jahiliah di kota tersebut.
Selanjutnya mengikuti di bawahnya kebutuhan akan instrumen pengembangan sosial seperti lembaga-lembaga kemasyarakatan. Demikian dinilai, karena kebutuhan akan lembaga kemasyarakatan dinilai perlu sebagai penunjang jalannya dakwah. Adapun kebutuhan-kebutuhan fisik yang bersifat individuil, posisinya berada di bawah kedua kebutuhan di atas dengan pertimbangan bahwa urgensitasnya yang tidak berpengaruh langsung terhadap eksistensi manusia secara kolektif.
Sampai di sini kiranya di temukan alur pikir terhadap pokok permasalahan yang dikaji. Pertama, untuk mempertahankan eksistensinya manusia sebagai mahluk fisik-spriritual tergantung kepada sejumlah kebutuhan, baik fisik maupun spiritual. Kedua, kedua kebutuhan tersebut memiliki kesetaraan tingkatan secara fungsional dan perbedaan tingkatan secara urgensial. Ketiga, perbedaan tingkatan urgensial tersebut dilatar belakangi oleh hakekat manusia sebagai mahluk sosial. Keempat, dakwah memiliki peran besar dalam mempertahankan eksistensi sosial manusia. kelima, karena itu, dakwah merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi secara urgensial.

D. Fungsi Agama Bagi Kehidupan Masyarakat Dunia.

Pada hakekatnya, tesis mengenai kebutuhan manusia terhadap dakwah dapat dipahami dari fungsi agama bagi kehidupan masyarakat dunia. Mengingat dakwah adalah instrumen untuk mensosialisasikan agama (baca: Islam), maka dalam hal ini kebutuhan manusia akan dakwah di dasari oleh kebutuhan manusia terhadap agama itu sendiri. Secara psikis, manusia adalah mahluk agama (homo religion), artinya secara naluri jiwa manusia memiliki kecondongan untuk tunduk kepada suatu kekuatan super yang mengarahkan dan memberi nilai pada tingkah laku manusia. ketundukan pada kekuatan supranatural itu lebih lanjut di sebut sebagai agama.
Bagi individu, agama sebagai suatu kebutuhan spirituil manusia memberikan ketenangan dan perasaan damai yang tidak dapat diberikan oleh kebutuhan manusia yang lainnya. Dalam Islam, agama disebut sebagai fitrah, artinya kecenderungan keberagamaan yang melakat pada diri manusia sudah terbawa sejak kelahirannya. Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama karena agama dalam posisi demikian menjadi kebutuhan manusia. Karena agama merupakan kebutuhan intrinsik manusia, maka ketika manusia berusaha berlari dari agama, ia akan mencari alternatif pengganti agama itu walaupun ia tidak akan pernah mendapatkannya.
Sebagai mahluk multidimensi, manusia memerlukan agama untuk memahami berbagai fenomena dunia yang tidak mampu dipahami oleh rasionya. Akal manusia punya wilayah tersendiri, di sisi lain banyak sekali persoalan hidup yang tidak mampu dipahami rasio, di sinilah peran keimanan agama berperan.
Sedangkan bagi masyarakat, agama bisa memaksa orang untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, mengarahkan dan memberi warna pada perilaku dan sikap seseorang. Sebagai keyakinan, agama berpotensi menciptakan peraturan-peraturan bagi individu secara khusus dan masyarakat dalam ruang lingkup yang lebih luas. Agama sebagai keyakinan kolektif, membentuk suatu nilai umum yang disepakati bersama. Hal ini sangat berguna dalam menyelaraskan antara kepentingan dan kewajiban individu dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya agama, masyarakat bisa menentukan suatu konsesus yang menentukan arah perkembangan masyarakat tersebut. Minimal, eksistensi agama dapat memelihara terwujudnya ketertiban dalam hidup masyarakat.
Dalam hubungan kehidupan masyarakat dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama berperan memberi arahan melalui nilai-nilai moral dalam mencegah lahirnya penemuan-penemuan bebas nilai yang akhirnya membawa kemadaratan bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Menurut Ghalab, seperti dikutip Burhanudin Salam, sepanjang sejarah agama telah memberikan banyak kontribusi bagi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun dalam kapasitas kolektif. Pertama, petunjuk-petunjuk agama mengarahkan perilaku masyarakat untuk berbuat baik dan meninggalkan kejahatan, karena itu agama dapat mengurangi munculnya kejahatan. Kedua, aturan-aturan agama berisikan sangsi bagi mereka yang melakukan tindakan pidana. Atas dasar aturan tersebut, agama memiliki peran dalam mengurangi tindak pidana dalam masyarakat. Ketiga, agama juga berisi ajaran-ajaran yang berorientasi akhirat dan menjauhi dunia. Atas dasar ajaran tersebut, syahwat berlebih yang menghancurkan dapat ditekan dan ditumpulkan. Keempat, harapan-harapan yang ditawarkan agama bisa menenangkan dan membahagiaan jiwa manusia. melalui harapan tersebut, manusia memiliki sikap optimis dalam menjalani hidup .
Islam sebagai agama juga memiliki peran-peran tersebut di atas, namun berangkat lebih jauh. Dalam kaitan ini, Islam mengklaim memiliki ide-ide yang tidak terdapat dalam agama lainnya. Ide-ide tersebut tertuang dalam klaimnya yang menawarkan konsep balancing. Mengenai aspek individu, Islam mendorong keseimbangan antara kehidupan material dan spiritual, dunia dan akhirat. Atas dasar keseimbangan tersebut, Islam memiliki fungsi yang besar dalam membangun individu-individu yang beorientasi akhirat, namun berwawasan duniawi. Dalam kehidupan global, karakter individu demikian sangat penting dalam pengembangan peradaban dunia yang terhubung dengan alam transenden.
Dalam bidang hukum, Islam mengaku memberikan ruh pada bidang ritual-formal sehingga tidak melulu bersifat kaku, lebih dari itu, islam lebih mementingkan tujuan dan substansi hukumnya. Dengan karakteristik demikian, Islam memiliki peran besar dalam memberikan arahan hukum, terutama jika menyentuh wilayah hukum publik atau kenegaraan. Hukum dalam pandangan Islam bisa berubah sejalan dengan berubahnya kondisi maupun ketentuan penyebab hukum tersebut (illat). Dengan pandangan demikian ini, Islam memiliki peluang besar untuk merambah berbagai kondisi masyarakat atau negara dengan indegenous yang berbeda-beda.
Dalam kehidupan global-internasional, Islam bersama agama lain memprakarsai lahirnya ide perdamaian, kerukunan dan kehidupan yang demokratis. Dengan karakteristik demikian, Islam memiliki peran dalam membentuk kehidupan dunia yang damai dan sinergis demi terwujudnya fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi.
Secara khusus, fungsi dan karakteristik Islam sebagai agama seperti yang diuraikan di atas, akhirnya bermuara pada tujuan-tujuan dakwah. Tujuan dakwah sebagai Instrumen penyebaran Islam memiliki sasaran yang sangat luas, dari wilayah mikro hingga makro. Seperti uraian sebelumnya, tujuan mikro dan makro dakwah tidaklah lepas dari karakteristik Islam sebagai agama universal.

E. Tujuan Dakwah Mikro.
Karakteristik Islam yang universal, menentukan luasnya arah tujuan dakwah. mengenai tujuan dakwah mikro, aspek-aspek kehidupan yang menjadi sasarannya biasanya meliputi bidang kehidupan yang pengaruhnya terbatas pada tataran individu atau bidang kehidupan yang tidak berpengaruh luas terhadap bidang kehidupan lainnya. Dalam kaitan ini, peran dakwah adalah mensosialisasikan ketentuan-ketentuan khusus berupa formulasi yang disarikan dari ketentuan umum agama.
Karena terkait dengan aspek kehidupan individu dan implikasinya terbatas, maka materi dakwah dalam ruang lingkup mikro lebih mengutamakan rumusan-rumusan baku yang didapat dari pemahaman nas-nas agama. Hal demikian dimaksudkan dengan dua alasan berikut. Pertama, ruang lingkup mikro dakwah bersifat aplikatif dan menghendaki penanganan segera. Dengan demikian, perlu kiranya sebuah rumusan yang siap pakai berupa arahan-arahan yang sistematis. Kedua, aspek dakwah mikro menyentuh wilayah kehidupan lokal yang jangkauan implikasinya tidak luas. Karena itu kaidah dasar dalam kaitan ini tidak relevan, melainkan aturan-aturan yang telah dirumuskan dan sistematis.
Dengan karakteristik demikian, maka tujuan dakwah dalam ruang lingkup mikro terarah pada sasaran-sasaran berikut. Pertama, mensosialisasikan keyakinan tauhid pada tiap individu. Kedua, menegakkan pelaksanaan ibadah ritual melalui sosialisasi petunjuk-petunjuk aplikatif. Seperti mendakwahkan cara-cara melaksanakan salat, puasa dan sebagainya. Ketiga, mengarahkan dan membangun karakter individu melalui nasehat-nasehat agama. Keempat, membentuk keserasian pergaulan antar individu dalam lingkup lokal, seperti hubungan antar anggota keluarga, maupun bertetangga. Kelima, mengembangkan budaya amar ma'ruf nahi munkar dalam ranah fardiah.
Tujuan-tujuan seperti di sebut di muka, hanya bisa diwujudkan dengan rincian-rincian dari ajaran agama yang telah direduksir dalam bentuk pemahaman agama (fiqh al din). Karena sifatnya yang berupa pemahaman dan reduksionir, maka rumusan-rumusan yang didakwahkan bisa berubah seiring berubahnya pemahaman terhadap ketentuan induk.

F. Tujuan Dakwah Makro.
Jika ruang lingkup dakwah mikro lebih menekankan pada aspek fiqih, maka dakwah dalam lingkup makro lebih berfokus kepada nilai-nilai umum dan kaidah dasar agama. Hal demikian agaknya dipengaruhi oleh jangkauannya yang luas dan menyentuh aspek-aspek kehidupan umum dan aspek kehidupan yang memiliki implikasi yang besar pada sejumlah bidang kehidupan lainnya. karena karakteristik yang demikian ini, maka tidak akan ditemukan formula baku atau rumusan-rumusan yang tersusun sistematis dalam ranah dakwah makro.
Ketiadaan ketentuan atau rumusan baku dalam lingkup dakwah makro dapat dipahami melalui teori dakwah komprehensif. Luasnya lingkup kehidupan makro mengharuskan pemahaman yang utuh terhadap kompleksitas dan konstelasi berbagai elemen-elemen yang terkait di dalamnya. Pemahaman yang utuh tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal, dari mulai latar belakang permasalahan, indegenous dan orisinalitas lingkup masalah yang akan dipecahkan hingga elemen pengaruh dan bidang-bidang yang diperkirakan akan terimplikasi darinya. Dengan pertimbangan demikian, maka seharusnyalah dakwah dalam lingkup makro lebih mementingkan nilai dan kaidah umum agama (maqasid al syari'ah) ketimbang rumusan baku dan formal.
Melalui nilai dan kaidah umum agama tersebut, maka dapat dipahami pernyataan tentang keuniversalan Islam. Nilai umum yang berupa etika dan moral agama diperlukan sebagai basis pijakan bagi dakwah. Sedangkan kaidah umum diperlukan agar kebijakan-kebijakan yang diperoleh melalui ijtihad tidak keluar dari tujuan Islam secara umum, dan kondisi lingkungan tempat kebijakan tersebut diputuskan secara khusus.
Atas dasar logika demikian, maka arah tujuan dakwah makro pada hakekatnya bermuara pada hal-hal berikut. Pertama, membudayakan nilai-nilai tauhid dalam berbagai pranata kehidupan masyarakat luas. Kedua, menanamkan ruh ibadah ritual dalam praktek ibadah sosial. Ketiga, menciptakan komunitas masyarakat yang sinergis dan integral. Keempat, membentuk sistem kehidupan ekonomi dan politik yang adil dan makmur dan demokratis melalui pranata-pranata sosial. Kelima, membudayakan amar ma'ruf dan nahi munkar dalam masyarakat secara kolektif.

G. Penutup.
Sebagai instrumen penyebaran Islam, tujuan dakwah pada hakekatnya adalah tujuan Islam itu sendiri. Di sisi lain, tujuan diturunkannya Islam adalah sebagai kasih sayang bagi semesta alam (rahmatan lil 'alamin). Artinya kehadiran Islam dengan segala atributnya yang terdiri dari keyakinan, tuntunan dan ajaran harus menjadi berkat bagi eksistensi alam semesta.
Dari segi keyakinan, Islam harus mengarahkan hati dan pikiran manusia agar mempercayai hanya pada satu kebenaran tunggal, yakni Allah. Dari kepercayaan ini, maka kebenaran-kebenaran lain harus dipandang sebagai kebenaran relativ. Dengan kepercayaan ini, manusia tidak boleh menyandarkan kehidupan kepada kebenaran relativ tersebut. Lebih dari itu, penerimaan atau penolakannya harus didasarkan pada pijakan kebenaran yang mutlak dan tunggal.
Dari segi tuntunan, kehadiran Islam harus memberikan arahan-arahan yang jelas dan orientasi serta sasaran yang tepat. Dalam kehidupan manusia, arahan dan orientasi itu adalah kehidupan setelah mati, atau kehidupan akhirat. Atas dasar tuntunan ini, dakwah membimbing dan mengarahkan kehidupan manusia kepada sikap hidup dan prilaku yang benar. Dengan pertimbangan bahwa semuanya akan diperhitungkan dalam alam eskatis tersebut.
Dari segi ajaran, kehadiran Islam harus memberi petunjuk dan rumusan yang jelas mengenai langkah-langkah yang tepat untuk mencapai keyakinan terhadap kebenaran tunggal maupun orientasi eskatis. Langkah-langkah tersebut bisa berbentuk aturan-aturan yang berlaku baik dalam bidang ritual hingga pergaulan sosial, individu maupun kolektif.
Wal hasil, baik tujuan dakwah mikro maupun makro, semuanya bermuara pada satu sasaran. Yakni merubah cara berpikir (way of thinking) maupun cara hidup manusia (way of life). Keduanya diarahkan kepada segenap bidang kehidupan manusia dari mulai ranah individu hingga kolektif. Terkadang dalam bentuk rumusan-ruman baku, dan lain waktu hanya berupa nilai-nilai moral dan kaidah umum. Semuanya di dasarkan atas pijakan teori dakwah komprehensif dan karakteristik dakwah yang universal.
Wallahu A'lam bi al Sawwab.
Catatan Akhir:

___________________________

Menurut Abdul Karim Zaidan, tema dakwah adalah Islam seperti diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya melalui malaikat Jibril. Jika demikian, berarti karakteristik dakwah, pastilah karakteristik Islam itu sendiri. Baca Abdul Karim Zaidan, Usul al Da'wah, (Beiruth: Muassasat al Risalah, 2001), cet. Kesembilan, h. 7.
Abdullah Nasih 'Ulwan menulis "…sesungguhnya syari'at dakwah Islam mencakup atas sistem dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan beragam sisi kehidupan manusia, dari mulai pembinaan, pengembangan hingga perbaikan masyarakat. Baca Abdullah Nasih 'Ulwan, Silsilah Madrasat al Du'at: Fusul al Hadifah fi Fiqh al Da'wah wa Da'iah, (Kairo: Dar al Salam, 2007), Cetakan keempat, h. 26.
Muhammad Ibn Ibrahim al Hamd, Qishat al Basyariah, (Mauqi' al Islam: www.alIslam.Com, tt), h. 34
'Uqail Bin Muhammad Bin Zaid al Muqthary, al Da'wat al Fardiah wa Ahmiyyatuha Fi Tarbiyyat al Ajyal, (Mauqi' al Islam: www.alIslam.Com, tt), h.14.
Ibid.
Bagi Harun Nasution, Islam berlainan dengan apa yang umum diketahui orang. Islam bukan hanya mempunyai satu-dua aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek. Atas dasar wilayah Islam yang begitu luasnya itu, tentunya jika dikaitkan dengan dakwah, maka akan diperoleh pemahaman bahwa dalam keadaan demikian ini meliputi ruang lingkup yang sangat luas. Dakwah yang meliputi berbagai aspek dalam Islam itulah yang dimaksud dengan dakwah makro. Baca Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2005), Edisi kedua, Jilid 1, h. 27.
Dalam kaitan ini, bidang kehidupan yang signifikan semisal politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan adalah sejumlah unsur kehidupan yang tercakup dalam domain dakwah makro. Dengan demikian, dakwah makro dapat dipahami sebagai wilayah dakwah yang secara fisikal bukan hanya berkenaan dengan bidang agama yang suci, lebih dari itu dakwah makro menembus batas-batas kehidupan sekular yang profan dan sifatnya kolektif. Dakwah dalam ranah ini berarti sebuah usaha infiltrasi nilai-nilai islam dalam aspek-aspek tersebut di atas. Baca Marcell. A. Boisard, L'Humanisme De L'Islam, Alih Bahasa M. Rasjidi, (Jakarta:Bulan Bintang, 1980), h. 184.
Bidang kehidupan pinggiran yang penulis maksud bukan berati memberikan image bahwa bidang ini adalah wilayah yang tidak penting. Dalam kaitan ini, wilayah dakwah mikro lebih mengacu kepada bidang-bidang kehidupan yang secara fisikal memiliki korelasi langsung dengan keagamaan dan sifatnya individual seperti ibadah-ibadah ritual.
Bidang kehidupan ekonomi, politik atau sosial misalnya, tidak mungkin dapat mengalami infiltrasi nilai-nilai islam jika individu-individu yang berkepentingan di dalamnya tidak memiliki kecakapan dalam bidang ibadah. Sebaliknya, kekhusukan serta kebebasan menjalankan ibadah tidak dapat terwujud dalam situasi ekonomi, politik atau sosial yang buruk keadaannya. Ibid, h. 191.
Sebagian orang dari kelompok muslim berpandangan mengenai pernyataan Islam adalah solusi (al Islam huwa al hal) atas segala permasalahan, berarti dalam Islam telah tersimpan segenap formula yang baku sebagai jalan keluar dari berbagai persoalan hidup. Pandangan demikian adalah pandangan yang keliru dan pandangan ini pula yang mewarnai kemunduran Islam di abad pertengahan. Dalam konteks kehidupan kontemporer, pandangan ini mesti diluruskan. Lihat Badrus Syamsi, Islam Dinamis Melawan Islam Stagnan, diakses dari www.Islamlib.Com Pada tanggal 28 Juli 2009. Lihat Juga Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 42.
Ibid.
Ranah dakwah mikro yang berkonsentrasi pada bidang ritual-individualistik, memerlukan langkah-langkah yang bersifat rinci dan praktis bukan petunjuk umum yang genaral dan teoritis. Untuk tujuan tersebut, maka teks-teks agama yang umum diupayakan untuk dipersempit dengan cara mereduksir teks agar dapat diterapkan secara praktis. Dengan proses demikian ini, maka ruang lingkup dakwah mikro lebih menunjukan kepada karakteristik agama yang bersifat khusus dan terperinci ketimbang karakter general dan keluasan agama. Lihat Taufik Adnan Amal, Memikirkan Kembali Islam Konteks Indonesia, diakses pada 18 Agustus 2009 dari www.mail-archive.com.
Dalam bidang fiqih Islam, term yang sering digunakan untuk menunjukan keterlibatan dasar-dasar moral dan kaidah hukum agama dalam ranah kehidupan makro adalah maqasid al syari'ah (tujuan dasar agama). Menurut teori ini, penyusunan regulasi agama dalam kehidupan makro harus diselaraskan dengan tujuan agama itu sendiri. Tujuan-tujuan yang dimaksud adalah menjaga agama (hifz al din), memelihara jiwa (hifz al nafs), memelihara akal (hifz al 'aql), memelihara harta (hifz al mal), dan memelihara keturunan (hifz al nasl). Baca A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Ummat Dalam Rambu-Rambu Syari'ah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.393.
Abdullah Nasih 'Ulwan, Op.Cit, h. 20.
Ibid, h. 22. Bandingkan dengan Abdul Karim Zaidan yang memperinci hukum-hukum Islam kedalam empat kategori pertama, hukum yang berkaitan dengan akidah Islam. Kedua, hukum berkenaan dengan etika (akhlak). Ketiga, hukum yang mengatur hubungan antara mahluk dengan penciptanya dan keempat, hukum yang mengatur hubungan antara manusia. Melalui empat rincian hukum tersebut, Islam tidak melupakan satupun aspek dari kehidupan manusia. lihat Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, h. 53.
'Id al Duwaihis, 'Almaniah Tuharib al Islam, (kuait: Dar al Tuwaiq, 2005), Cet. Pertama, h. 19.
Lihat misalnyaQS al Anbiya' (21): 107, QS al Saba (34): 28, al Nisa (4): 79.
Baca Marcel Boisard, Op.Cit, h. 188.
Dalam Bidang Fiqih terdapat slogan al Islâm Sâlih likulli zaman wa makan (islam selaras dengan perkembangan waktu dan lokasi). Lihat Abudin Nata.ed., Kajian Tematik al Qur'an Tentang Kontruksi Sosial, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 358, Cet. Pertama.
Pos-Pos historis pemikiran Islam sepanjang sejarah dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, pos pemikiran klasik. Kedua, pos modernisme. Dan ketiga, pos paska modern. Lebih lanjut Baca Aden Wijdan, dkk., Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), h. 1-2, Cet. Pertama.
Pokok pikiran ini sejalan dengan pengertian tujuan pokok agama (maqasid al syari'ah) yaitu pendekatan-pendekatan umum yang digunakan agama untuk menunjukan karakteristik keluasan aplikasi hukumnya dalam kehidupan manusia. Lihat Maqâsid al syari'ât al Islâmiah, (www.alIslam.com), h. 1.
M.Quraish Shihab, Membumikan Al Qur'an, (Bandung:Mizan, 2006), h. 214.
Ibid.
M.Quraish Shihab, Wawasan al Qur'an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung; Mizan, 2000), h. 23.
Ibid, h. 493.
Ibid, h. 374.
Lihat QS al Isra (17): 76.
Burhanudin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 176.

METODOLOGI PENELITAN DAKWAH

METODOLOGI PENELITAN DAKWAH
(Pendekatan Sosiologi)
Oleh : Prio Hotman

A. Pendahuluan.

Dakwah sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki sejumlah lapangan penelitian, sebetulnya belum lama lahir dan dirumuskan. Padahal dakwah sebagai aktivitas dan instrumen penyebaran Islam telah dikenal dalam usia yang cukup lama . Hal demikian dimungkinkan karena pada masa itu, para ahli lebih terfokus pada konsepsi dan sistematisasi ilmu-ilmu induk keislaman. Kesadaran akan perlunya suatu ilmu yang independen dan memiliki ruang dan metode tersendiri mengenai dakwah dan seluk beluknya, mengantarkan kepada lahirnya suatu disiplin keilmuan dakwah.
Sebagai disiplin ilmu yang baru lahir, tentunya ilmu dakwah tetap terikat dengan disiplin-disiplin keilmuan lain yang lebih dulu lahir. Dalam hal metodologis misalnya, ilmu dakwah menilai perlunya mengadopsi konsep dan teori keilmuan yang telah mapan. Hal demikian dimaksudkan agar dakwah sebagai ilmu dapat tetap eksis ditengah pesatnya perkembangan keilmuan modern . Dakwah sebagai ilmu, terbangun dari beberapa bidang keilmuan di antaranya pertama, ilmu sumber seperti ulum al Qur'an dan ulum al hadist serta ragam keilmuan lain yang terkait dengan keduanya, kedua, ilmu dasar teoritik seperti pengantar ilmu dakwah, dasar-dasar ilmu tabligh (KPI), dasar-dasar ilmu bimbingan penyuluhan, manajemen dakwah, dan ilmu pengembangan masyarakat. Ketiga, ilmu teknik yang terdiri dari teknologi tabligh, irsyad (bimbingan), tadbir (manajemen) dan tathwir (pengembangan masyarakat). Keempat, ilmu bantu yang terdiri dari psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, manajemen dan komunikasi. Dalam kaitan penelitian, ilmu dakwah melakukan pendekatan pada sejumlah disiplin keilmuan yang telah mapan, dan pendekatan tersebut difokuskan kepada sejumlah ilmu-ilmu bantu dakwah.
Sosiologi sebagai disiplin keilmuan yang lebih dahulu mapan, dipilih sebagai salah satu pendekatan atau metodologi dalam melakukan penelitian dakwah. Dalam kaitan ini, berarti gejala-gejala dan fenomena dakwah ditangkap, diperspektifkan serta diperlakukan dengan analisa sebagaimana menganalisa masalah-masalah yang terdapat dalam disiplin ilmu sosiologi. Atas dasar pernyataan tersebut, berarti semua teori dan metodologi yang terdapat dalam sosiologi digunakan sebagai pisau analisis dalam menelaah gejala dan fenomena dakwah.




B. Hubungan Penelitian Dakwah dan Sosiologi.

Pertanyaan yang paling mendasar pada topik pembahasan ini adalah " mengapa ilmu dakwah menggunakan sosiologi sebagai dasar/pisau analisis dalam melakukan penelitian? Apa hubungan antara ilmu dakwah dan sosiologi?"
Ilmu dakwah merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk peyampaian ajaran Islam kepada pihak lain mengenai bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia agar mereka menerima dan mengamalkan ajaran secara kaffah . Dalam pengertian ini, Ilmu dakwah secara korelasional langsung dapat dipahami memiliki keterlibatan dengan disiplin ilmu pengetahuan lain. Pertama, dipandang dari segi penyampaian maka Ilmu dakwah akan bersimpangan dengan ilmu komunikasi yang juga memiliki wilayah penyampaian informasi dari satu pihak kepihak lain . Kedua, dipandang dari segi hubungan antara ajaran Islam dengan pranata sosial, maka Ilmu dakwah akan berpapasan dengan Ilmu antropologi yang menekankan pada aspek pengaruh atau hubungan antara dogma dan pranata sosial . Ketiga, dilihat dari aspek subyek dan obyek dakwah yang terikat dalam hubungan kemasyarakatan, maka dalam hal ini ilmu dakwah akan berpapasan dengan ilmu sosiologi yang memiliki wilayah garapan kehidupan manusia yang terikat dalam satu kesatuan yang stabil dan teratur melalui bingkai kemasyarakatan . Dengan berpijak atas dasar pandangan poin terakhir ini, maka ilmu dakwah dan pengembangannya melalui penelitan dakwah akan banyak memiliki keterlibatan dengan metodologi dan teori-teori disiplin ilmu sosiologi.
Hubungan antara dakwah sebagai ilmu dan sosiologi, hemat penulis dapat lebih jelas dipahami melalui deskripsi mengenai terminologi sosiologi berikut ini:

a. Jika sosiologi dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari mengenai kehidupan bersama dalam masyarakat , maka dalam hal ranah ilmu dakwah yang mempelajari aturan-aturan hukum pergaulan (al syarî'ât al mu'âmaliât) dan etika pergaulan ( al adab al Ijtimâ'i) dapat ditelusuri melalui pendekatan sosiologi. Jika dalam ilmu dakwah aturan hukum dan etika tersebut berdiri dalam tataran yang seharusnya (das sollen), maka dapat dianalisis melalui pendekatan sosiologi yang berdiri dalam tataran empiris-faktual (das sein). Dalam kasus penelitian dakwah, berbagai fenomena kesenjangan sosial yang nampak dengan ajaran agama ideal dapat dijadikan obyek penelitian dakwah.
b. Jika sosiologi dimaknai sebagai ilmu yang menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia berikut permasalahan yang mengitarinya , maka dalam hal ini, ranah ilmu dakwah yang membahas masalah kejahatan sosial (al jinâyât), persoalan keluarga (nizâm al usrah), perputaran ekonomi (fiqh al mâliat), hingga masalah integritas atau disintegritas masyarakat (ittihâd al ummat wa ikhtilâfuhum) dapat didekati melalui pisau analisis sosiologi. Dalam kasus penelitan dakwah, hubungan ketaatan menjalankan shalat dengan tingkat kriminalitas masyarakat misalnya, dapat dijadikan obyek penelitan dakwah. Contoh lain, tingginya tingkat perceraian artis dengan pemahaman ajaran agamanya, atau persoalan KDRT dalam keluarga muslim dapat dianalisis melalui pendekatan sosiologi dan seterusnya.
c. Jika sosiologi dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari struktur dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial yang terjadi di dalamnya , maka dalam ranah tujuan normatif dakwah yang menekankan aspek perubahan sosial (yukrijuhum min al zulumâti ila al nûr), berbagai fenomena dan gejala perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat islam dapat ditelaah dan dianalisis melalui kacamata sosiologi. Dalam kasus penelitian dakwah, perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat arab dari bentuk masyarakat nomaden kepada sentralistik di abad 6 M dapat dianalisis melalui pendekatan sosiologi disamping pendekatan sejarah.

Pada dasarnya alasan pemilihan sosiologi sebagai salah satu pisau analisis dalam pendekatan penelitian dakwah adalah sisi kesamaan antara obyek sosiologi yang menekankan pada aspek masyarakat dipandang dari sudut hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat , dengan obyek ilmu dakwah itu sendiri. Obyek ilmu dakwah sendiri terdiri dari dua bagian, obyek materi dan obyek forma . kalau obyek materi ilmu dakwah adalah proses penyampaian ajaran Islam kepada umat manusia, maka obyek forma ilmu dakwah terdiri dari proses penyampaian agama (ranah kultural atau formal), hubungan antar unsur-unsur dakwah, dan proses keagamaan pada diri manusia. Pada tataran obyek materi, ilmu dakwah dan sosiologi sama-sama menelusuri aspek proses pada masyarakat. Kalau dalam sosiologi yang ditelusuri adalah proses yang timbul dalam masyarakat, maka proses yang timbul itu disepesifikasikan dalam Ilmu dakwah sebagai proses penyampaian ajaran islam. Sedangkan dalam tataran obyek forma, ilmu dakwah dan sosiologi memiliki titik kesamaan pada hubungan antarmanusia .
Atas kesamaan sudut pandang terebut maka tidak diherankan jika sosiologi memiliki urgensi pada proyek penelitian dakwah .
Pertama, dengan sosiologi, fenomena-fenomena dakwah yang muncul dalam kehidupan masyarakat dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial, serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut (how and why it happened). Misalnya faktor-faktor yang mendorong terjadinya kebangkitan Islam di Timur tengah serta mobilitas sosial yang ditandai dengan pergerakan-pergerakan dakwah serta keyakinan yang mendasarinya baru dapat dipahami melalui pendekatan sosiologi .
Kedua, fenomena dakwah tanpa jasa sosiologi, tidak akan dapat dipahami secara tepat dan proporsional. Contoh dalam hal ini misalnya hubungan antara keragaman keyakinan masyarakat indonesia dan lahirnya pemikiran pluralisme Islam baru dapat dipahami jika menggunakan pisau analisis sosiologi. Sedangkan dalam contoh masalah klasik misalnya pertanyaan mengenai mengapa nabi Yusuf dari bukan siapa-siapa (zero) menjadi tokoh negara yang memiliki peran dalam menentukan kebijakan (Hero), atau mengapa dalam berdakwah nabi Musa dibantu oleh nabi Harun, semua pertanyaan di atas baru dapat dipahami hanya melalui kacamata sosio-historis pada saat teks itu diturunkan .
Ketiga, banyaknya materi dakwah yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial . Dalam kaitan ini, Jalaludin Rakhmat seperti dikutip Abudin Nata, menyebutkan lima perhatian Islam terhadap persoalan sosial . Pertama, teks (al Qur'an Hadist) yang membicarakan persoalan sosial memiliki proporsi 100:1 dengan teks mengenai ibadah. Kedua, Islam membolehkan penangguhan ibadah individual jika bersamaan waktunya dengan ibadah sosial. Ketiga, imbalan (baca: pahala) yang diberikan untuk ibadah sosial lebih banyak ketimbang ibadah individual. Keempat, dalam hal kifarat, ibadah yang tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu, maka tebusannya adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Kelima, amal sosial dalam islam dipandang lebih berbobot ketimbang ibadah sunnah. Keluasan wilayah sosial dakwah tersebut, akhirnya menjadikan sosiologi memiliki peran yang sangat penting dalam penelitian dakwah.
Keempat, Islam didakwahkan untuk kepentingan kemasyarakatan. Atas dasar pernyataan tersebut, sosiologi sebagai ilmu yang menelaah beragam aspek kehidupan masyarakat menjadi kelihatan urgensinya ketika dihadapkan pada penelitian dakwah .
Dari sudut pandang sosiologi, dakwah yang merupakan bagian dari fenomena keagamaan memiliki peran besar dalam proses sosial. Karena peran besar tersebut, maka tidak heran jika dalam penelitian dakwah, sosiologi dijadikan satu pendekatan sebagai metodenya. Bagi para sosiolog, setidaknya ada enam fungsi agama dalam kaitannya dengan kehidupan sosial . Pertama, agama dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam aspek kehidupan sosial manusia yang tidak didapat dari lainnya. kedua, agama dapat memaksa orang untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan. Ketiga, agama memotivasi tumbuh dan terciptanya sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh. Keempat, agama dapat menyatukan pandangan masyarakat mengenai nilai-nilai luhur kemanusiaan. Kelima, agama memiliki peran dalam membentuk hierarki nilai kemasyarakatan beserta seluruh implikasinya. Keenam, agama berperan dalam memberikan standar mengenai tingkah laku bermasyarakat yang selanjutnya terwujud dalam norma-norma sosial.
Atas pertimbangan hubungan-hubungan tersebut, baik yang berangkat dari sudut pandang dakwah sebagai ilmu maupun yang berangkat dari sudut pandang sosiologi, maka sosiologi memiliki tempat khusus dalam penelitian dakwah. Dalam kaitan ini, tentunya disediakan wilayah tersendiri bagi pendekatan sosiologi dalam menganalisa permasalahan dakwah seperti dijelaskan berikut ini.


C.Wilayah Penelitian Dakwah Dengan Pendekatan Sosiologi.

Penelitan dakwah sebetulnya adalah bagian dari penelitian agama, hal demikian karena pada dasarnya perilaku dakwah dapat disebut sebagai bagian dari perilaku keagamaan (religiousity), yakni perilaku yang langsung atau tidak langsung bersumber dari nash agama . Dalam kaitan dakwah bersumber dari teks agama islam, maka peneltian dakwah dapat diartikan sebagai penelitian agama islam. Sebagai mana penelitian agama pada umumnya, penelitian dakwah memiliki lima dimensi kajian .
Pertama, dimensi ideologis. Penelitian dalam dimensi ini difokuskan pada bidang yang terkait dengan perangkat kepercayaan Islam (beliefs). Ini berarti penelitian ditujukan untuk mencari pengetahuan tentang Allah, alam dan manusia serta hubungan diantara mereka. Penelitian ini juga meliputi permasalahan tentang tujuan manusia dan pengetahuan tentang perangkat tingkah laku yang dikehendaki oleh agama.
Kedua, dimensi intelektual. Penelitan dalam dimensi ini diarahkan untuk mengetahui tingkat kesadaran intelektual islam dan tingkat ketertarikan mereka dalam mengikuti ajakan dakwah.
Ketiga, dimensi eksperiensial. Dalam dimensi ini, penelitian dakwah mengacu kepada keterlibatan emosional dan sentimental masyarakat sebagai respon dari kegiatan dakwah. Misalnya penelitian mengenai perasaan keagamaan dalam tingkat konfirmatif (merasakan kehadiran Allah), responsif (perasaan bahwa Allah menjawab kehendak dan keluhannya), eskatik (merasa punya hubungan dekat dengan Allah) maupun partisipatif (merasa menjadi kekasih Allah).
Keempat, dimensi ritualistik. Yaitu dimensi penelitian dalam tataran masalah-masalah mengenai kegiatan ritual islam baik pada tataran pedoman pokok dan pelaksanaan ritual tersebut sehari-hari.
Kelima, dimensi konsekuensional. Yaitu dimensi penelitian yang difokuskan pada tataran sosio-faktual mengenai apa saja yang menjadi implikasi dari materi ajaran islam yang didakwahkan. Misalnya penelitian mengenai efek dakwah terhadap etos kerja, hubungan interpersonal, kepedulian sosial dan lain-lain.
Dari kelima dimensi tersebut, secara garis besar wilayah penelitian dakwah meliputi dua bidang saja, yakni dimensi teoritis yang mengkaji dakwah sebagai ilmu dan dimensi praktis yang mengkaji dakwah sebagai kegiatan praktis . Dalam dimensi teoritis, wilayah penelitian dakwah yang dapat dianalisa melalui pendekatan sosiologi misalnya problem mengenai sasaran dakwah baik secara individual maupun kelompok dalam bidang interaksi da'i dengan doktrin islam, problem pemahaman atas realitas empirik mad'u dalam struktur kemasyarakatan dalam interaksi da'i dan mad'u, problem pemahaman kondisi sosial dalam lingkungan masyarakat yang diajak menyatu dengan tujuan dakwah dalam interaksi mad'u dan tujuan dakwah, dan sebagainya . Sedangkan dalam dimensi praktis, wilayah penelitan dakwah yang dapat dianalisa melalui pendekatan sosiologi misalnya masalah penerimaan pesan dakwah dalam interaksi da'i dan mad'u, masalah pengembangan masyarakat islam dalam interaksi mad'u dan tujuan dakwah, masalah bimbingan penyuluhan dan manajerial sosial dakwah .
Sedangkan dipandang dari sudut aspek normatifitas, wilayah penelitian dakwah memiliki tiga lingkup . Pertama lingkup normatif tentang Islam, yang meliputi studi-studi seperti tafsir, hadist, fikih dan kalam. Kedua lingkup non normatif tentang islam, yang meliputi penelitian tentang ekpresi religius kaum muslim yang faktual. Ketiga lingkup non normatif mengenai aspek kebudayaan dan masyarakat muslim. Penelitan dakwah dengan pendekatan sosiologi dalam hal ini dapat diterapkan dalam kategori yang tersebut terakhir.
Di antara ahli juga ada yang membedakan antara penelitan agama dan penelitian keagamaan. Kategori pertama memiliki sasaran penelitian agama sebagai doktrin, sedangkan kategori kedua memiliki sasaran penelitian agama sebagai gejala sosial. Dalam kaitan penelitian dakwah, kategori kedua adalah wilayah penelitian dakwah yang dapat dianalisa dengan pendekatan sosiologi .
Ada lagi yang memandang agama sebagai obyek penelitian harus dijadikan sebagai fenomena riil betapapun dirasakan abstrak . Dari sudut pandang ini, maka dapat dibedakan fenomena keagamaan untuk diteliti, yaitu agama sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat yang dibentuk oleh agama, dan sikap masyarakat terhaap doktrin . Agama sebagai doktrin berusaha memahami esensi ajaran agama secara mendalam dan mempersoalkan mengenai subtansi ajaran dengan segala refleksinya. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini bercorak sejarah dan kefilsafatan . Sedangkan agama sebagai pembentuk dinamika dan struktur masyarakat meneliti suatu komunitas masyarakat beserta dinamikanya yang dibentuk agama (baca:Islam) melalui dakwah. Dalam hal ini, penelitian ditujukan untuk meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah. Disini pendekatan sosiologi dengan metode kualitatif memiliki peran dalam penelitian dakwah . Adapun sikap masyarakat terhadap dakwah, berusaha mengungkap sikap anggota masyarakat terhadap dakwah sehingga berimplikasi pada pemahaman masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama serta corak dan tingkat keberagamaan. Karena yang diteliti dalam hal ini sudah merupakan fenomena empiris yang memiliki data akuntable, maka penelitian dakwah dengan memiliki peran dalam penelitian ini . pendekatan sosiologi dengan metode kuantitatif
Dalam wilayah penelitian dakwah dengan pendektan sosiologi, metode yang digunakan pada dasarnya hanya dua cara kerja, kualitatif dan kuantitaf . Metode kualitatif dalam pendekatan sosiologi untuk penelitian dakwah memfokuskan pada data-data yang tidak akuntable (tidak bisa dihitung) atau di ukur dengan ukuran-ukuran yang bersifat eksak walaupun data tersebut nyata ditemukan dalam masyarakat . Metode kualitatif dalam pendekatan sosiologi berkisar antara metode sosio-historis, komparatif, dan studi kasus. Metode sosio-historis menggunakan analisis atas peristiwa masa silam untuk merumuskan prinsip-prinsip umum. Sebagai contoh seorang peneliti dakwah yang hendak meneliti mengenai revolusi masyarakat islam misalnya, akan menggunakan data-data sejarah untuk meneliti revolusi-revolusi masyarakat yang pernah terjadi dalam masa yang silam. Sedangkan metode komparatif digunakan untuk membandingkan antara bermacam-macam masyarakat beserta bidang-bidangnya untuk selanjutnya menuturkan kekhasan atau karakteristik masyarakat islam. Studi kasus dalam pendekatan sosiologi dipergunakan untuk mempelajari sedalam-dalamnya salah satu gejala nyata dalam kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan dakwah. Dalam hal ini instrumen riset yang digunakan bisa berupa interview, kuesioner, hingga sekejul .
Adapun ranah metode kuantitatif dalam pendekatan sosiologi mengutamakan bahan-bahan keterangan dengan angka-angka sehingga gejala-gejala kemasyarakatan dalam kaitannya dengan dakwah yang diteliti dapat diukur dengan mempergunakan skala-skala, indeks, tabel, dan formula yang semuanya menggunakan ilmu pasti atau matematika. Pada tataran umum, penelitian dakwah kuantitatif dengan pendekatan sosiologi banyak mempergunakan statistika dan sociometry, yakni alat yang menggunakan skala dan angka untuk mempelajari hubungan antar manusia dalam masyarakat secara kuantitatif .


D.Teori-Teori Sosiologi Untuk Penelitian Dakwah.

Di atas telah penulis paparkan, bahwa yang dimaksud dengan pendekatan sosiologi dalam penelitian dakwah berarti bahwa dalam melakukan penelitian dakwah, peneliti meminjam teori-teori yang telah mapan dalam bidang disiplin ilmu terkait (sosiologi) untuk mengungkapkan dan menjelaskan mengenai suatu fenomena atau gejala tertentu dalam masyarakat dalam kaitannya dengan dakwah. Karena teori-teori sosiologi berbasis dari ilmuwan barat yang nota bene belum memiliki pemaham kaffah mengenai unsur-unsur masyarakat islam, maka dalam hal ini para peneliti dakwah dianjurkan agar bersikap kritis disamping tetap berusaha obyektif dalam menggunakan teori-teori sosiologi yang relevan. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya teori sosiologi yang dimaksud dapat dirinci sebagai berikut
Pertama teori fungsionalisme. Teori ini berbicara mengenai masyarakat yang dipandang sebagai suatu jaringan kerja sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah sistem yang harmonis. Teori ini dikembangkan dari teori-teori klasik seperti Emile Durkheim, Max Weber, Talcot Parson dan Robert K. Merton. Fungsionalisme dalam pandangan Durkheim, berarti bahwa kenyataan atau fakta sosial memiliki pengaruh dalam membentuk perilaku individu. Karena itu, Durkheim memandang bahwa realitas atau fakta sosial memiliki kegunaan tertentu (fungsi) dalam membentuk struktur masyarakat. Sedangkan Max Weber sebagai peletak dasar sosiologi agama, menekankan bahwa agama memiliki fungsi terkait dalam hubungannya dengan perilaku ekonomi masyarakat. Sedangkan fungsionalisme Parson, menilai perlunya agar tiap individu bekerjasama untuk memelihara nilai-nilai yang dijadikan rujukan bersama dalam hidup bermasyarakat. Tujuannya adalah agar tidak terjadi disintegrasi dan putusnya kerjasama (fungsi) antara satu kelompok sosial dengan lainnya. Perubahan sosial dalam pandangan Parson dalam hal ini disebabkan karena nilai-nilai masyarakat yang dijadikan pedoman bersama telah berubah pula. Senada dengan Parson, Merton juga menekankan perlunya nilai dan norma dan perubahan sosial yang terjadi akibat berubahnya kedua hal tersebut. Hanya saja Merton berangkat lebih jauh, yaitu dengan pendapat bahwa nilai dan norma yang tidak memiliki nilai kredibilitas dalam masyarakat bisa diusahakan untuk dirubah melalui rekayasa sosial .
Kedua, teori pertukaran. Teori sosiologi yang satu ini mengedapankan pendapat bahwa dalam hubungan masyarakat tidak terlepas dari unsur pertukaran yang saling menguntungkan antara satu pihak dengan pihak yang lainnya, baik dalam bentuk pertukaran materi maupun non materi. Teori ini dikembangkan oleh pemikir sosiologi di antaranya George C. Homans. Melalui pandangan teori ini, perubahan sosial dinilai sebagai ketidakpuasan pertukaran antara satu komunitas dengan komunitas lain dalam masyarakat. Perubahan tersebut akan terus berlanjut hingga titik dimana terjadi keseimbangan (equilibrium) di mana masing-masing komunitas mendapatkan kepuasan baru. Keadaan tersebut akan berulang terus menerus dalam sebuah perkembangan masyarakat .
Ketiga, teori interaksionisme simbolik. Teori ini berbicara bahwa masyarakat berhubungan antara satu sama lain dengan perantaraan simbol-simbol yang mereka ciptakan, baik dalam bentuk verbal, seperti bahasa, maupun non verbal seperti kebudayaan lainnya. Menurut teori ini, sikap suatu masyarakat terhadap masyarakat lainnya dibentuk atas dasar simbol yang diberikan oleh komunitas lain sebagai respon dari interaksi antar simbol. Teori looking glass self dalam interaksionisme simbolik menjelaskan bahwa sebuah masyarakat melakukan evaluasi diri atas dasar sikap dan prilaku masyarakat lain kepada mereka. Tokoh pemikir dalam teori ini adalah Peter L. Berger yang mengungkapkan bahwa masyarakat mengalami proses dialektis mendasar yang terdiri dari eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Melalui teori ini, perbedaan realitas kehidupan beragama masyarakat muslim di berbagai tempat yang berbeda dapat dijelaskan .
Keempat, teori konflik. Menurut teori sosiologi ini, tiap-tiap komunitas masyarakat memiliki kepentingan satu sama lain yang untuk mewujudkannya mereka harus bersaing. Karena persaingan tersebut, maka tidak jarang terjadi konflik antara komunitas masyarakat tersebut. Salah satu tokoh teori ini Lewis Coser berpendapat bahwa ketika terjadi konflik antar komunitas, hubungan di antara anggota komunitas cenderung integratif sekalipun sebelumnya terjadi konflik. Sebaliknya jika konflik antar komunitas tidak terjadi, hubungan dalam suatu komuitas cenderung mengalami disintegrasi. Tidak adanya rasa senasib sepenanggungan dalam suatu komunitas memicu terjadinya konflik dalam komunitas .
Kelima, teori penyadaran. Teori ini menekankan perlunya sikap kritis terhadap pemikiran dan konsep-konsep yang telah menyebar dan umum dimasyarakat. Tujuannya adalah agar anggota masyarakat menyadari unsur dan tujuan lain dalam pemikiran dan konsep tersebut yang tidak terkait bahkan merugikan masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal penelitian dakwah, teori ini bermanfaat untuk menumbuhkan sikap kritis terhadap berbagai fenomena dakwah .
Keenam, teori ketergantungan. Menurut teori ini, terdapat dua jenis masyarakat dilihat dari kekuasan yang satu atas yang lain. Masyarakat yang memiliki dominasi atas kelompok yang lain disebut masyarakat "center", sedangkan yang dikuasai disebut masyarakat "feri-feri". Komunitas masyarakat feri-feri tidak bisa menunjukan eksistensinya karena memiliki ketergantungan yang besar terhadap komunitas center. Dalam kaitan ini, komunitas masyarakat center adalah pihak yang menghegemoni komunitas feri-feri. Atas dasar disparitas komunitas masyarakat ini, peneliti dakwah dapat mengkritisi berbagai fenomena sosial dalam masyarakat .
Ketujuh, teori evolusi. Pendekatan dengan teori ini bermaksud untuk mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam maasyarakat yang berbeda. Melalui pendekatan ini, peneliti berusaha mencari pola umum perubahan yang terjadi di masyarakat, persamaan dan perbedaan pengaruh dari suatu proses terhadap satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, serta proses memudarnya suatu bentuk intsitusional masyarakat dengan masyarakat lainnya .


E. Kritik Mengenai Pendekatan Sosiologi Dalam Penelitian Dakwah.

Di luar kelebihan dan kesanggupan disiplin ilmu sosiologi dalam menganalisa berbagai fenomena keagamaan, termasuk fenomena dakwah, pendekatan dengan metode ini juga memiliki kelemahan yang mesti disingkapi secara kritis oleh para peneliti dakwah. Terutama karena disiplin ilmu sosiologi yang dikembangkan oleh para pakar barat yang nota bene tidak memahami keunikan dan karakteristik khusus masyarakat Islam. Di sisi lain, teori-teori yang diungkapkan di atas, terkadang tidak cocok untuk menganalisis masyarakat islam. Kritik terhadap pendekatan sosiologi untuk penelitian dakwah dapat diungkap melalui contoh-contoh berikut.
Pertama, dalam menganalisa fenomena keagamaan dalam masyarakat Islam, pendekatan sosiologi terkadang sulit membedakan antara hal-hal yang islamic dan indegenous. Sebagai contoh, penelitian besar Clifford Gertz tentang kelompok santri, priyayi dan abangan mengenai msyarakat muslim di jawa memiliki kekeliruan dalam menggolongkan hal-hal yang sebetulnya islami tapi digolongkan sebagai indegenous .
Kedua, para peneliti barat tidak memahami perbedaan antara masyarakat Islam dan masyarakat muslim. Masyarakat islam adalah masyarakat yang dibentuk dengan ideologi Islam, sedangkan masyarakat muslim adalah masyarakat yang dibentuk oleh sekelompok orang-orang yang beragama islam. Kalau yang pertama memiliki pengertian konseptual, maka pada yang kedua berarti empirik faktual. Kesalahan dalam memahami kedua istilah ini menyebabkan biasnya analisa penelitian tentang masyarakat .
Ketiga, teori sosiologi yang dibangun di atas kerangka empirisme-positivistik terkadang tidak tepat untuk menganalisa fenomena yang terjadi dalam masyarakat muslim . Sebagai contoh teori fungsionalisme sosiologi yang dibangun atas dasar fenomena empirik positif tidak akan bisa diterapkan untuk menganalisa fenomena kemunduran keilmuan yang terjadi pada masyarakat muslim. Menurut teori tersebut, secara empirik ada hubungan fungsional antara keyakinan agama dan perilaku penganut agama tersebut seperti hubungan kapitalisme yang dipengaruhi oleh etika protestan. Dalam hal ini, kemudian disimpulkan bahwa ajaran islam memiliki andil dalam kemunduran masyarakat muslim. Seperti kemudian diketahui, kesimpulan tersebut tidak benar dan telah banyak mendapat kritik dari pakar barat sendiri maupun muslim.

Wallahu a'lam bi al sawwab.


Catatan Akhir:

M. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet. Pertama, h. 189.
Abdurrahman Mas'ud, Prolog Pengantar Sosiologi Islam, (Surabaya: Temprina Media Grafika, 2008), cet. Pertama, h. 16.
Asep Saeful Muhtadi dan Agus Ahmad Safei, Metode Penelitian Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), Cet. Pertama, h. 107.
M. Ali Aziz, Op.Cit, h. 34.
Unong Uchana Effendi, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), h. 10.
Tinjauan Antropologi dan Sosiologi Islam, Artikel diakses pada 25 May 2009 dari http: //wildaznov 11.blogspot.com/search/label/Metodolog i% 20Studi% 20Islam
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 18.
M. Walidin, Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam, Artikel diakses pada 11 Juni 2009 dari http: //wildaznov 11.blogspot.com/search/label/Metodolog i% 20Studi% 20Islam.
Ibid.
Ibid.
Soerjono Soekanto, Op.Cit, h. 21.
M. Ali Aziz, Op.Cit, h. 194.
Ibid, h. 205
M. Walidin, Op.Cit, h. 6.
Ibid.
Ibid.
Ibid.
Lihat Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), h. 39-42.
M. Walidin, Op.Cit.
Tinjauan Antropologi dan Sosiologi Islam, Artikel diakses pada 25 May 2009 dari http: //wildaznov 11.blogspot.com/search/label/Metodolog i% 20Studi% 20Islam.

AsepSaeful, Op.Cit, h. 55.
Ibid, h. 55-56.
Ibid, h. 56.
Baca Ibid, h. 59-62.
Ibid, h. 64.
U. Maman, et.all., Metodologi Penelitian Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 9-10.
Ibid, h. 11.
Ibid, h. 12.
Ibid.
Ibid.
Ibid, h. 13.
Ibid.
Soejono Soekanto, Op.Cit, h. 42.
Ibid.
Baca Ibid, h. 43-44.
Ibid, h. 45.
Baca U. Maman, et.all, Op.Cit, h. 128-132.
Baca Ibid, h. 132-135.
Baca Ibid, h. 135-138.
Baca Ibid, h. 139-142.
Baca Ibid, h. 142-145.
Baca Ibid, h. 148- 150.
Asep Saeful, Op.Cit, h. 110.
U. Maman, et.all., Op.Cit, h. 16.
Syamsudhuha, Pengantar Sosiologi IslamPencerahan Baru Tatanan Masyarakat Muslim, (Surabaya: Temprina Media Grafika, 2008), h.64.
U. Maman, et.all, Op.Cit, h. 35.
KONSELING AGAMA
Oleh Prio Hotman




A. Pengertian Konseling Agama.
Kata konseling yang merupakan serapan dari bahasa inggris counsel, makna awalnya merujuk pada pengertian menasehati atau menganjurkan. Pada perkembangan berikutnya istilah counseling digunakan sebagai suatu kegiatan profesional dibidang jasa berupa pemberian nasehat, atau pengarahan-pengarahan kepada orang yang memiliki permasalahan mental . Setelah diserap dalam bahasa indonesia, dalam penyebutannya kemudian kata konseling sering dilekatkan dengan bimbingan. Agaknya pengkaitan istilah konseling dan bimbingan didasari atas adanya kesamaan ide antara keduanya. Jika dalam bimbingan didapat ide tentang pemberian bantuan orang yang memiliki masalah, maka dalam konseling bantuan terhadap orang yang bermasalah tersebut ditegaskan melalui pelayanan (jasa) nasehat dan pengarahan-pengarahan .
Para pakar sendiri memiliki perhatian serius dalam hal konseling ini, terlihat dari banyaknya definisi yang mereka rumuskan. Cavanagh misalnya, mendifinisikan konseling (counseling) sebagai " “a relationship between a trained helper and a person seeking help in which both the skills of the helper and the atmosphere that he or she creates help people learn to relate with themselves and others in more growth-producing ways” . Sedangkan Peppinsky lebih memilih untuk menjelaskan pengertian konseling dari aspek profesionalnya. Katanya, konseling merupakan interaksi antara dua orang yang masing-masing disebut sebagai konselor dan klien dalam suasana yang profesional dan didukung dengan alat-alat yang memudahkan konselor untuk mengubah tingkah laku klien . Sedangkan pakar Mc. Danield lebih memandang konseling sebagai pelayanan psiskis, katanya " konseling merupakan suatu pertemuan langsung dengan individu yang ditujukan pada pemberian bantuan kepadanya untuk dapat menyesuaikan dirinya secara lebih efektif dengan dirinya sendiri dan lingkungan ".
Dalam dunia Arab (baca: Islam) klasik, kegiatan profesional untuk pelayanan psikis orang yang bermasalah dikenal dengan istilah hisbah, konselornya disebut muhtasib dan kliennya disebut muhtasab 'alaih . Istilah ini walaupun memiliki kesamaan dari aspek profesi, namun dalam pengertian rincinya memiliki detail-detail yang berbeda dengan pengertian-pengertian seperti dijelaskan sebelumnya. Menurut al Ghazali, dalam pengertian yang terakhir ini bukan hanya melayani permasalahan dalam hal sosial-mu'amalah saja, tetapi tercakup juga pelayanan terhadap orang yang bermasalah dalam Ibadah . Perbedaan tersebut sebetulnya wajar saja, mengingat dalam pengertian konseling seperti diutarakan oleh pakar barat adalah konseling atas dasar pengetahuan unsich. Sedangkan konseling model hisbah lebih memiliki nilai transenden (religius) yang berarti lebih dekat kepada pengertian konseling agama.
Jika konseling agama dimaknai sebagai suatu model konseling yang menjadikan nilai-nilai religius sebagai basis pijakannya, maka dalam hal ini konseling agama memiliki dua nilai aksiologis. Pertama seperti konseling pada umumnya, konseling agama memiliki fungsi immanent, yakni sebagai instrumen perbaikan dan kesehatan mental manusia. Kedua, konseling agama berfungsi sebagai instrumen yang bernilai transendent. Artinya konseling agama dapat dimanfaatkan sebagai alat yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan seseorang kepada Tuhannya. Ada keterkaitan erat antara kedua fungsi immanent dan transendent dalam konseling agama, yakni melalui peningkatan iman dan ketakwaan kepada Tuhan, seseorang ditargetkan untuk mampu memperbaiki kesehatan mentalnya sehingga dengan sendirinya ia mampu mengatasi problema kehidupan yang ia sedang hadapi . Sebaliknya, ketika telah keluar dari problema kehidupan seseorang dapat lebih bersukur atas karunia Tuhannya sehingga bertambahlah iman dan ketakwaannya. Inilah makna yang sebenarnya terkandung dalam pengertian konseling agama.
Dalam praktiknya, konseling agama dapat dikaitkan dengan keyakinan manapun selama mengikutsertakan nilai-nilai transenden di dalamnya. Dalam dunia Barat-Kristen misalnya, dikenal istilah pastoral counseling (konseling gaya pastur) yang merupakan konseling dengan mengikutsertakan nilai-nilai ajaran kristen di dalamnya . sedangkan dalam dunia Islam modern, konseling agama dikenal dengan sebutan Irsad al Nafsy yang berarti bimbingan kejiwaan yang dalam praktiknya tentu memasukkan nilai-nilai keislaman di dalamnya. Pada intinya, seorang konselor agama dituntut lebih dari sekedar memiliki kemampuan dalam membimbing kliennya untuk memecahkan masalah, lebih dari itu ia juga dituntut agar si klien mampu berpartisipasi dalam ritual-ritual keagamaan .

B. Konsep Konseling Islami.
Seperti layaknya keilmuan islam pada umumnya, konseling Islami juga didasarkan pada sumber ajaran Islam, yakni al Qur'an dan al Sunnah dilengkapi dengan warisan pemikiran pakar-pakar Islam. Latar belakang konseling Islam mempertanyakan sejumlah hal seperti hakekat manusia, individu bermasalah dan masalah-masalah individu, perkembangan kepribadian individu, dan metode membantu individu yang bermasalah .
Menurut pakar konseling Islam Jabir Tayyam, konseling Islam merupakan profesi yang bertujuan untuk mempersiapkan individu agar mampu memahami lingkungan kekinian serta siap untuk menghadapi masa depannya melalui adaptasinya terhadap lingkungan dan masyarakat sehingga jiwanya mampu membimbingnya untuk berinteraksi secara sehat dengan orang-orang dan keadaan sekitarnya . Adaptasi jiwa terhadap lingkungan secara sehat menurut H.M Arifin seperti dikutip Erhamwilda, didapat seseorang ketika kesadaran atau penyerahan diri terhadap kekuasaan Allah sehingga timbul pada pribadinya suatu cahaya harapan kebahagiaan hidup saat sekarang dan masa depannya .
Seperti istilah bimbingan dan konseling, dalam konseling Islam dibedakan pula antara Taujîh al nafs dan Irsyâd al Nafs. Taujih al nafs merupakan sekumpulan langkah-langkah pelayanan kejiwaan termasuk di dalamnya Irsyad al nafs di samping prinsip-prinsip, teori dan program bimbingan yang lainnya. Melalui pengertian ini, berarti irsyad al nafs dalam konseling Islam merupakan suatu instrumen pokok (al 'amaliyyah al ra'isiyyah) dalam taujih al nafs . Hubungan yang demikian ini memposisikan taujih al nafs setara dengan bimbingan dan irsyad al nafs dengan konseling.
Sebagai konseling yang bernilai Islam, metodologi irsyad al nafs menekankan ajaran agama sebagai penggerak praktisnya. Seorang konselor dalam hal ini dituntut untuk memiliki pengetahuan yang dalam mengenai pokok-pokok ajaran agama semisal karakteristik manusia dan sebab-sebab keterasingan jiwa dalam pandangan Islam seperti dosa, pemahaman keliru, perasaan bersalah hingga lemahnya iman . Konselor juga dituntut untuk mengenal pelbagai gangguan jiwa seperti stress (inhirâf), gelisah (qalaq), hingga sikap psikopat (iktinâb) sekaligus antisipasinya menurut Islam seperti Iman, jalan suci (al sulûk al dîniy) dan budi pekerti luhur. Adapun langkah-langkah yang ditempuh lebih bersifat mandiri, artinya konselor berusaha agar si klien mampu mengobati penyakitnya sendiri baik melalui pengakuan dosa (I'tirâf), taubat, merenung dan berdoa serta mengharap rahmat pengampunan Allah melalui Zikir, sabar dan tawakal .
Konsep konseling Islam secara mendasar berpijak pada pandangan Islam mengenai hakekat manusia. Dalam al Qur'an, dijelaskan bahwa manusia merupakan manusia yang memiliki dua unsur, yakni unsur material dan roh (QS al Hijr/15: 28-29). Sebagai mahluk yang memiliki dua unsur, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan manusia tidak layaknya dipandang dari sisi materialnya saja. Lebih dari itu, unsur roh yang transenden (jiwa) juga mesti mendapatkan porsi perhatian dalam setiap penanganan persoalan kemanusiaan .
Islam berpandangan bahwa jiwa manusia secara fitrah (asal kejadiannya) telah didesain dengan sempurna. Kesempurnaan desain jiwa manusia itu menurut Achamad Mubarok karena Allah telah memberikan dua potensi kepada manusia untuk memahami kebaikan dan kejahatan. Dengan potensi tersebut, jiwa manusia mungkin bisa meingkatkan kualitas kesuciaannya atau malah dapat tercemar dan menjadi kotor . Konseling Islam memandang perlunya mentargetkan kualitas kesucian jiwa manusia melalui potensi kebaikan (iman) yang telah ada dalam diri manusia. Dengan peningkatan kesucian jiwa melalui Iman, seseorang diharapkan mampu memahami persoalan-persoalan hidup yang melingkupinya sehingga dapat direspon melalui sikap dan penanganan yang tepat dan bijak.
Sebaliknya, jiwa yang kotor dan tercemar dinilai tidak mampu untuk memahami persoalan hidup manusia secara proporsional. Jika demikian, maka respon yang diberikan terhadap persoalan tersebut menjadi bias bahkan bisa merugikan manusia itu sendiri. Karena hal demikian adalah permasalahan manusia , maka dalam konseling Islam, jiwa yang kotor perlu dibersihkan agar berkualitas melalui suatu proses yang disebut dengan tazkiah al nafs. Menurut Sa'id Hawwa, tazkiah al nafs secara teknis dilakukan dengan melepaskan jiwa manusia dari ikatan-ikatan syirik dan cabang-cabangnya. Setelah itu, dilanjutkan dengan aktualisasi jiwa melalui nilai-nilai tauhid melalui proses takhalluq dengan asma' al husna dan ketundukan seutuhnya kepada Allah atas dasar peneladanan sikap Rasul .
Konseling Islam menilai bahwa manusia bermasalah adalah mereka yang dalam jiwanya terdapat penyakit-penyakit seperti kufur, fasiq, bid'ah, syirik, riya, cinta kedudukan, dengki, sombong, kikir, bimbang (ghurur), emosional, cinta dunia dan mengikuti hawa nafsu . Penyakit-penyakit seperti di atas dapat merusak kualitas jiwa manusia yang akhirnya dapat menutup pandangan manusia untuk dapat melihat persoalan secara proporsional. Sa'id Hawwa menyebutkan beberapa metode yang tepat untuk membersihkan jiwa dari penyakit-penyakit di atas seperti memurnikan jiwa melalui tauhid, kejujuran terhadap Tuhan, zuhud, tawakkal, mahabbatullah, harap (rajâ) dan cemas (khauf), takwa dan wara', sukur, sabar, pasrah dan ridha, muraqabah da musyahadah (ihsan) serta taubat .

C. Konsep Konseling Barat.
Dalam dunia barat, penyebutan istilah konseling sering dikonotasikan sebagai konseling sekuler unsich. Pandangan demikian ini tidak sepenuhnya benar mengingat dalam masyarakat Barat juga dikenal konseling pastoral yang mengklaim berbeda sepenuhnya dengan konseling sekuler. Seperti halnya konseling Islam, konseling Barat-Kristen juga menjadikan basis ajaran agama sebagai pondasi konsepnya. Konseling Barat-Kristen memang memiliki kesamaan dengan konseling sekular dari segi hasrat dan harapan untuk menolong manusia mengatasi permasalahan mereka, menemukan arti dan kebahagiaan dalam hidup, mengenali diri pribadi mereka lebih dalam, dan menjadi manusia yang sehat, yang berfungsi sepenuhnya dan dapat menempatkan diri serta merespon dengan tepat secara mental dan emosional .
Perbedaan yang signifikan antara konseling Barat-Kristen dan Barat-Sekuler menurut ikatan konselor bible internasional adalah " In Contrast to psychologically-integrated systems, Biblical counseling seeks to carefully discover those areas in which a Christian may be disobedient to the principles and commands of Scripture and to help him learn how to lovingly submit to God’s will ”. Dalam pengakuan mereka, konseling kristen juga berbeda dengan konseling sekuler dari pijakannya, jika konseling sekuler didadasari atas natural laws (hukum alam) dan conscience laws (hukum hati nurani), maka konseling kristen didasari juga dengan God laws (hukum Tuhan) .
Sedangkan konsep konseling yang dalam pandangan Barat-Sekular lebih didasarkan pada Ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama konseling yang dilakukan dengan pendekatan psikodinamika. Yaitu konseling yang berlandaskan terutama pada pemahaman, motivasi tak sadar serta rekonstruksi kepribadian. Model-model terapi yang diterapkan dalam kategori ini adalah kategori terapi psikoanalitik. Kedua konseling terapi yang berorientasi pemangalaman, dan relasi yang berlandaskan psikologi humanistik. Model-model terapi yang digunakan pada kategori ini meliuti terapi eksistensial, client-centered dan terapi gestalt. Ketiga konseling yang menggunakan terapi-terapi yang berorientasi pada tingkah laku, rasional-kognitif dan tindakan. Model-model terapi yang digunakan dalam kategori ini meliputi analisis transaksional, terapi tingkah laku, rasional emotif, dan terapi realitas .
Dalam konsep konseling Barat-sekular, hubungan antara konselor dan kliennya tidak lebih sebatas hubungan profesional yang tidak ada sangkut pautnya dengan eskatologis. Artinya, dalam konseling sekular seorang konselor hanya bertugas membantu individu untuk keluar dari permasalahan hidup kekinian ketika mereka sedang berjuang mengatasi masalah, keputusan hidup, atau ketika seseorang merasakan stagnasi dalam hidup kemudian menginginkan perubahan. Baik ketika masalah yang dimaksud berhubungan dengan anggota keluarga lain, teman, hingga interaksi dalam lingkungan pekerjaan . Menurut Thomas J. Sweney, dalam konseling Barat-Sekular dikenal istilah wellnes counseling (konseling kesehatan fisik) yang jauh – atau malah tidak mengkaitkan sama sekali – dengan tujuan-tujuan eskatologis secara langsung. Katanya " Counseling from a wellness perspective requires that the professional helper introduce a wellness model as a framework for discussing wellness with a client. Understanding what wellness means to the individual, and how they assess their wellness in relation to the components of the model, is important for understanding how the client interprets the personal meaning of wellness concepts and behaviors. Careful listening will reveal much of the client’s private logic" . Kemudian ia memberi contoh bagaimana seorang konselor yang dengan seksama misalnya mendengarkan alur logika klien yang bermasalah dalam hal kelebihan berat badan ketika ia mempertanyakan perihal orang lain yang makan banyak namun tidak gemuk, sedangkan ia tidak makan banyak malah kegemukan .




D. Perbedaan Konseling Islam Dan Konseling Barat.
Jika yang dimaksud dengan konseling Barat dalam hal ini diidentikan dengan konseling kristen, maka perbedaan dengan konseling Islam hanyalah dalam implementasi dan teknisnya. Jika dalam konseling Islam yang menjadi basis pijakan adalah ketentuan legal Islam (al Qur'an dan sunnah), maka dalam konseling kristen berbasis pada ketentuan-ketentuan biblical. Namun secara konsep, antara konseling Islam dan konseling kristen memiliki concern yang sama ketika mengkaitkan keyakinan dengan proses pelayanan kejiwaan individu. Konseling Islam dan kristen sebagai bagian dari model konseling agama juga memiliki kesamaan dalam menilai perlunya membedakan identitas dengan konseling sekular .
Pertama, konseling sekular berorientasi pada manusia (anthropo centris) dan sumber pengetahuannya adalah pengetahuan dan akal budi manusia (humanisme). Sedangkan dalam konseling agama orientasi didasarkan pada ketuhanan (Theocentris) dan menjadikan basis pengetahuannya dari ajaran kitab suci dan pengetahuan-pengetahuan yang sejalan dengannya. Dalam konseling Islam diyakini bahwa Allah telah menentukan sejumlah petunjuk bagaimana seharusnya manusia hidup dan jalan keluar dari permasalahan kehidupan.
Kedua, dari segi tujuan konseling sekular semata-mata mengarah kepada kebahagiaan hidup. Sedangkan dalam konseling agama, tujuannya adalah bagaimana seorang individu yang bermasalah mampu kembali mendekati Allah dan hidup dalam petunjuk-Nya. Adapun kebahagiaan hidup hanyalah sebagai buah dari kedekatannya dengan sang pencipta.
Ketiga, dari segi prinsip-prinsipnya konseling sekuler lahir dari hikmat dan filsafat manusia untuk menjawab semua kebutuhan dan permasalahan hidup manusia. Sedangkan konseling agama berprinsip dari keyakinan, jika dalam konseling Islam dijelaskan bagaimana konselor berusaha menyampaikan hidayah Allah kepada si klient, maka dalam konseling kristen diyakini bahwa Roh Kudus melalui konselor berusaha mewujudkan kehendak Tuhan dalam hidup klient.
Keempat, dari segi kebenaran moralitas, konseling sekuler ditentukan oleh situasi etika masyarakat saat itu yang mungkin bisa mengalami pergeseran-pergeseran nilai. Sedangkan dalam konseling agama (Islam dan Kristen) kebenaran moralitasnya berakar dari keyakinan masing-masing tentang ultimate truth yang implisit dalam kitab suci masing-masing yang tidak akan berubah atau mengalami pergeseran (universal).
Wallâhu A'lam bi al Sawwab.

Catatan Akhir:
__________________

Lihat Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, (Surayabaya: Alumni Surabaya, 2005), h. 331.
Achmad Mubarok menjelaskan dua macam pandangan tentang dikaitkannya antara bimbingan dan konseling. Pendapat pertama menganggap bahwa konseling merupakan bagian dari bimbingan atau lebih tepatnya teknis dari bimbingan. Pendapat kedua menganggap bahwa pusat perhatian bimbingan adalah pencegahan masalah, sedangkan jika masalah tersebut telah diderita seseorang maka di sinilah letak perhatian konseling. Lihat Achmad Mubarok, Konseling Agama Teori dan Kasus, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2002), Cet. Ketiga, h. 3.
Hubungan antara seorang penolong yang terlatih dan seseorang yang mencari pertolongan, di mana keterampilan si penolong dan situasi yang diciptakan olehnya menolong orang untuk belajar berhubungan dengan dirinya sendiri dan orang lain dengan terobosan-terobosan yang semakin bertumbuh (growth-producing ways). Lihat tanpa nama, Pengertian Bimbingan Konseling menurut para Ahli, diakses dari www.4Shared.com, pada 24 oktober 2009.
Ibid.
Ibid.
Baca Achmad Mubarok, Konseling Agama Teori dan Kasus, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2002), Cet. Ketiga, h. 79. Lihat juga Achmad Mubarok, Konseling Agama Dalam Tradisi Islam Klasik, Diakses dari www.KampusIslam.Com pada tanggal 24 Oktober 2009.
Lihat Abu Hamîd al Ghazâli, Ihyâ 'Ulûm al Dîn, (Beirut: Dar al Fikr, tt), Juz 2, h. 155.
Achmad Mubarok, Op.Cit, h. 5.
Pastoral konseling yaitu gembala yang memberikan nasihat, penghiburan dan penguat bagi warga gerejanya. Konseling ini dilakukan melalui mihrab (altar) gereja dengan pastor sebagai konselornya. Klien menggunakan jasa ini dengan cara confession (pengakuan dosa) dan pastor mendengarkannya dari dalam mihrab. Setelah itu, sang pastor memberikan beberapa wejangan sambil membacakan beberapa firman Tuhan dalam kitab perjanjian. Lihat Deny Harseno, Pastoral Konseling, diakses dari www.Blogspot.Com, pada 28 oktober 2009. Namun demikian, konseling pastoral ini tidak begitu populer, hal demikian terbukti melalui interest masyarakat Barat yang lebih memilih jasa konselor ilmiah-sekuler ketimbang konseling agama model pastoral ini.
Louis A. Gamino & R. Hal Ritter JR, Ethical Practice In Grief Counseling, (New York: Springer Publising Compani, 2009), h. 2.
Erhamwilda, Konseling Islami, (Yogykarta: Graha Ilmu, 2009), Cet. Pertama, h. 3.
Jabir Tayyam menulis
هو عملية مساعدة الفرد فى فهم حاضره واعداده لمستقبله يهدف وضعه فى مكانه المناسب له وللمجتمع ومساعدته فى تحقيق التوافق الشخصي والتربوي والمهني والاجتماعي حتى يحقق الصحة النفسية والسعادة مع نفسه ومع الاخرين فى المجتمع المحيط به.
Baca Jabir Tayyam, Mabâdi al Taujîh al Irsyâd al Nafsy, (Yordania: Dar al Shafa, 1999), Cet. Pertama, h. 13.
Erhamwilda, Op.Cit, h. 95.
Ibid.
Ibid, h. 16.
Ibid.
Erham Wilda, Op.Cit, h. 5.
Achmad Mubarok, Sunnatullah Dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, (Jakarta: IIIT, 2002), h. 25.
Erhamwilda menyebutkan empat sumber masalah psikis manusia, yang dua berkaitan dengan fisik yaitu jasad dan lingkungan non spiritual, yang dua lagi secara berturut-turut adalah qalb (hati), dan akal. Baca Erhamwilda, Op.Cit, h. 57-63.
Said Hawwa Menulis
تزكية النفس تعنى باختصار تطهيرها من الشرك وما يتفرع عنه وتحقيقها بالتوحيد وما يتفرع منه وتخلقها باسماء الله الحسنى مع العبودية الكاملة لله...و كل ذالك من خلال اقتداء رسول الله.
Baca Sa'id Hawwa, al Mustakhlish Fi Tazkiat al Anfus, (Kairo: Dar al Salam, 2004), Cet. Kesepuluh, h. 153.
Ibid, h. 159.
Ibid, h. 261.
Garry R. Collins, The Biblical Basis Of Christian Conseling For People Helper, (Colorado: NavPress Publising Group, 1993), h. 2.
Berbeda dengan sistem kesatuan psikater, konseling bible menelusuri secara seksama bilamana ada seorang kristen yang menyalahi ajaran bible untuk membantu dia agar dengan sukarela mematuhi kehendak Tuhan. Lihat Ibid.
Ibid.
Erhamwilda, Op.Cit, h.77.
Counseling and psychotherapy share much in common with other human interactions that individuals may find helpful when they are struggling with problems, life decisions, or desired changes in their lives, whether the interactions occur with professionals, family members, or friends. Baca Fong Chan, Norman L. Berven, and Kenneth R. Thomas, ed., Counseling Theoris And Techniques For Rehabilitation Health Professional, (New York: Spring Publishing Company, 2004), h. 4.
Dari perspektif wellnes counceling, mempersoalkan bagaimana seorang konselor memperkenalkan suatu model kesehatan yang diutarakan dalam suatu frame work yang dapat didiskusikan dengan klient. Memberikan pengertian tentang arti kesehatan bagi individu dan bagaimana mereka menilai kesehatan menurut pandangan mereka dengan memperhatikan interpretasi klien mengenai konsep kesehatan dan kaitannya dengan prilaku mereka. Baca Thomas J. Sweney, Adlerian Counseling And Phsicotherapy, (New York: Routledge Taylor & Francis Groupj, 2009), Cet. Kelima, h. 42.
Ibid.
Garry R. Collins, Op.Cit, h. 5-8.
KONSELING AGAMA
Oleh Prio Hotman




A. Pengertian Konseling Agama.
Kata konseling yang merupakan serapan dari bahasa inggris counsel, makna awalnya merujuk pada pengertian menasehati atau menganjurkan. Pada perkembangan berikutnya istilah counseling digunakan sebagai suatu kegiatan profesional dibidang jasa berupa pemberian nasehat, atau pengarahan-pengarahan kepada orang yang memiliki permasalahan mental . Setelah diserap dalam bahasa indonesia, dalam penyebutannya kemudian kata konseling sering dilekatkan dengan bimbingan. Agaknya pengkaitan istilah konseling dan bimbingan didasari atas adanya kesamaan ide antara keduanya. Jika dalam bimbingan didapat ide tentang pemberian bantuan orang yang memiliki masalah, maka dalam konseling bantuan terhadap orang yang bermasalah tersebut ditegaskan melalui pelayanan (jasa) nasehat dan pengarahan-pengarahan .
Para pakar sendiri memiliki perhatian serius dalam hal konseling ini, terlihat dari banyaknya definisi yang mereka rumuskan. Cavanagh misalnya, mendifinisikan konseling (counseling) sebagai " “a relationship between a trained helper and a person seeking help in which both the skills of the helper and the atmosphere that he or she creates help people learn to relate with themselves and others in more growth-producing ways” . Sedangkan Peppinsky lebih memilih untuk menjelaskan pengertian konseling dari aspek profesionalnya. Katanya, konseling merupakan interaksi antara dua orang yang masing-masing disebut sebagai konselor dan klien dalam suasana yang profesional dan didukung dengan alat-alat yang memudahkan konselor untuk mengubah tingkah laku klien . Sedangkan pakar Mc. Danield lebih memandang konseling sebagai pelayanan psiskis, katanya " konseling merupakan suatu pertemuan langsung dengan individu yang ditujukan pada pemberian bantuan kepadanya untuk dapat menyesuaikan dirinya secara lebih efektif dengan dirinya sendiri dan lingkungan ".
Dalam dunia Arab (baca: Islam) klasik, kegiatan profesional untuk pelayanan psikis orang yang bermasalah dikenal dengan istilah hisbah, konselornya disebut muhtasib dan kliennya disebut muhtasab 'alaih . Istilah ini walaupun memiliki kesamaan dari aspek profesi, namun dalam pengertian rincinya memiliki detail-detail yang berbeda dengan pengertian-pengertian seperti dijelaskan sebelumnya. Menurut al Ghazali, dalam pengertian yang terakhir ini bukan hanya melayani permasalahan dalam hal sosial-mu'amalah saja, tetapi tercakup juga pelayanan terhadap orang yang bermasalah dalam Ibadah . Perbedaan tersebut sebetulnya wajar saja, mengingat dalam pengertian konseling seperti diutarakan oleh pakar barat adalah konseling atas dasar pengetahuan unsich. Sedangkan konseling model hisbah lebih memiliki nilai transenden (religius) yang berarti lebih dekat kepada pengertian konseling agama.
Jika konseling agama dimaknai sebagai suatu model konseling yang menjadikan nilai-nilai religius sebagai basis pijakannya, maka dalam hal ini konseling agama memiliki dua nilai aksiologis. Pertama seperti konseling pada umumnya, konseling agama memiliki fungsi immanent, yakni sebagai instrumen perbaikan dan kesehatan mental manusia. Kedua, konseling agama berfungsi sebagai instrumen yang bernilai transendent. Artinya konseling agama dapat dimanfaatkan sebagai alat yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan seseorang kepada Tuhannya. Ada keterkaitan erat antara kedua fungsi immanent dan transendent dalam konseling agama, yakni melalui peningkatan iman dan ketakwaan kepada Tuhan, seseorang ditargetkan untuk mampu memperbaiki kesehatan mentalnya sehingga dengan sendirinya ia mampu mengatasi problema kehidupan yang ia sedang hadapi . Sebaliknya, ketika telah keluar dari problema kehidupan seseorang dapat lebih bersukur atas karunia Tuhannya sehingga bertambahlah iman dan ketakwaannya. Inilah makna yang sebenarnya terkandung dalam pengertian konseling agama.
Dalam praktiknya, konseling agama dapat dikaitkan dengan keyakinan manapun selama mengikutsertakan nilai-nilai transenden di dalamnya. Dalam dunia Barat-Kristen misalnya, dikenal istilah pastoral counseling (konseling gaya pastur) yang merupakan konseling dengan mengikutsertakan nilai-nilai ajaran kristen di dalamnya . sedangkan dalam dunia Islam modern, konseling agama dikenal dengan sebutan Irsad al Nafsy yang berarti bimbingan kejiwaan yang dalam praktiknya tentu memasukkan nilai-nilai keislaman di dalamnya. Pada intinya, seorang konselor agama dituntut lebih dari sekedar memiliki kemampuan dalam membimbing kliennya untuk memecahkan masalah, lebih dari itu ia juga dituntut agar si klien mampu berpartisipasi dalam ritual-ritual keagamaan .

B. Konsep Konseling Islami.
Seperti layaknya keilmuan islam pada umumnya, konseling Islami juga didasarkan pada sumber ajaran Islam, yakni al Qur'an dan al Sunnah dilengkapi dengan warisan pemikiran pakar-pakar Islam. Latar belakang konseling Islam mempertanyakan sejumlah hal seperti hakekat manusia, individu bermasalah dan masalah-masalah individu, perkembangan kepribadian individu, dan metode membantu individu yang bermasalah .
Menurut pakar konseling Islam Jabir Tayyam, konseling Islam merupakan profesi yang bertujuan untuk mempersiapkan individu agar mampu memahami lingkungan kekinian serta siap untuk menghadapi masa depannya melalui adaptasinya terhadap lingkungan dan masyarakat sehingga jiwanya mampu membimbingnya untuk berinteraksi secara sehat dengan orang-orang dan keadaan sekitarnya . Adaptasi jiwa terhadap lingkungan secara sehat menurut H.M Arifin seperti dikutip Erhamwilda, didapat seseorang ketika kesadaran atau penyerahan diri terhadap kekuasaan Allah sehingga timbul pada pribadinya suatu cahaya harapan kebahagiaan hidup saat sekarang dan masa depannya .
Seperti istilah bimbingan dan konseling, dalam konseling Islam dibedakan pula antara Taujîh al nafs dan Irsyâd al Nafs. Taujih al nafs merupakan sekumpulan langkah-langkah pelayanan kejiwaan termasuk di dalamnya Irsyad al nafs di samping prinsip-prinsip, teori dan program bimbingan yang lainnya. Melalui pengertian ini, berarti irsyad al nafs dalam konseling Islam merupakan suatu instrumen pokok (al 'amaliyyah al ra'isiyyah) dalam taujih al nafs . Hubungan yang demikian ini memposisikan taujih al nafs setara dengan bimbingan dan irsyad al nafs dengan konseling.
Sebagai konseling yang bernilai Islam, metodologi irsyad al nafs menekankan ajaran agama sebagai penggerak praktisnya. Seorang konselor dalam hal ini dituntut untuk memiliki pengetahuan yang dalam mengenai pokok-pokok ajaran agama semisal karakteristik manusia dan sebab-sebab keterasingan jiwa dalam pandangan Islam seperti dosa, pemahaman keliru, perasaan bersalah hingga lemahnya iman . Konselor juga dituntut untuk mengenal pelbagai gangguan jiwa seperti stress (inhirâf), gelisah (qalaq), hingga sikap psikopat (iktinâb) sekaligus antisipasinya menurut Islam seperti Iman, jalan suci (al sulûk al dîniy) dan budi pekerti luhur. Adapun langkah-langkah yang ditempuh lebih bersifat mandiri, artinya konselor berusaha agar si klien mampu mengobati penyakitnya sendiri baik melalui pengakuan dosa (I'tirâf), taubat, merenung dan berdoa serta mengharap rahmat pengampunan Allah melalui Zikir, sabar dan tawakal .
Konsep konseling Islam secara mendasar berpijak pada pandangan Islam mengenai hakekat manusia. Dalam al Qur'an, dijelaskan bahwa manusia merupakan manusia yang memiliki dua unsur, yakni unsur material dan roh (QS al Hijr/15: 28-29). Sebagai mahluk yang memiliki dua unsur, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan manusia tidak layaknya dipandang dari sisi materialnya saja. Lebih dari itu, unsur roh yang transenden (jiwa) juga mesti mendapatkan porsi perhatian dalam setiap penanganan persoalan kemanusiaan .
Islam berpandangan bahwa jiwa manusia secara fitrah (asal kejadiannya) telah didesain dengan sempurna. Kesempurnaan desain jiwa manusia itu menurut Achamad Mubarok karena Allah telah memberikan dua potensi kepada manusia untuk memahami kebaikan dan kejahatan. Dengan potensi tersebut, jiwa manusia mungkin bisa meingkatkan kualitas kesuciaannya atau malah dapat tercemar dan menjadi kotor . Konseling Islam memandang perlunya mentargetkan kualitas kesucian jiwa manusia melalui potensi kebaikan (iman) yang telah ada dalam diri manusia. Dengan peningkatan kesucian jiwa melalui Iman, seseorang diharapkan mampu memahami persoalan-persoalan hidup yang melingkupinya sehingga dapat direspon melalui sikap dan penanganan yang tepat dan bijak.
Sebaliknya, jiwa yang kotor dan tercemar dinilai tidak mampu untuk memahami persoalan hidup manusia secara proporsional. Jika demikian, maka respon yang diberikan terhadap persoalan tersebut menjadi bias bahkan bisa merugikan manusia itu sendiri. Karena hal demikian adalah permasalahan manusia , maka dalam konseling Islam, jiwa yang kotor perlu dibersihkan agar berkualitas melalui suatu proses yang disebut dengan tazkiah al nafs. Menurut Sa'id Hawwa, tazkiah al nafs secara teknis dilakukan dengan melepaskan jiwa manusia dari ikatan-ikatan syirik dan cabang-cabangnya. Setelah itu, dilanjutkan dengan aktualisasi jiwa melalui nilai-nilai tauhid melalui proses takhalluq dengan asma' al husna dan ketundukan seutuhnya kepada Allah atas dasar peneladanan sikap Rasul .
Konseling Islam menilai bahwa manusia bermasalah adalah mereka yang dalam jiwanya terdapat penyakit-penyakit seperti kufur, fasiq, bid'ah, syirik, riya, cinta kedudukan, dengki, sombong, kikir, bimbang (ghurur), emosional, cinta dunia dan mengikuti hawa nafsu . Penyakit-penyakit seperti di atas dapat merusak kualitas jiwa manusia yang akhirnya dapat menutup pandangan manusia untuk dapat melihat persoalan secara proporsional. Sa'id Hawwa menyebutkan beberapa metode yang tepat untuk membersihkan jiwa dari penyakit-penyakit di atas seperti memurnikan jiwa melalui tauhid, kejujuran terhadap Tuhan, zuhud, tawakkal, mahabbatullah, harap (rajâ) dan cemas (khauf), takwa dan wara', sukur, sabar, pasrah dan ridha, muraqabah da musyahadah (ihsan) serta taubat .

C. Konsep Konseling Barat.
Dalam dunia barat, penyebutan istilah konseling sering dikonotasikan sebagai konseling sekuler unsich. Pandangan demikian ini tidak sepenuhnya benar mengingat dalam masyarakat Barat juga dikenal konseling pastoral yang mengklaim berbeda sepenuhnya dengan konseling sekuler. Seperti halnya konseling Islam, konseling Barat-Kristen juga menjadikan basis ajaran agama sebagai pondasi konsepnya. Konseling Barat-Kristen memang memiliki kesamaan dengan konseling sekular dari segi hasrat dan harapan untuk menolong manusia mengatasi permasalahan mereka, menemukan arti dan kebahagiaan dalam hidup, mengenali diri pribadi mereka lebih dalam, dan menjadi manusia yang sehat, yang berfungsi sepenuhnya dan dapat menempatkan diri serta merespon dengan tepat secara mental dan emosional .
Perbedaan yang signifikan antara konseling Barat-Kristen dan Barat-Sekuler menurut ikatan konselor bible internasional adalah " In Contrast to psychologically-integrated systems, Biblical counseling seeks to carefully discover those areas in which a Christian may be disobedient to the principles and commands of Scripture and to help him learn how to lovingly submit to God’s will ”. Dalam pengakuan mereka, konseling kristen juga berbeda dengan konseling sekuler dari pijakannya, jika konseling sekuler didadasari atas natural laws (hukum alam) dan conscience laws (hukum hati nurani), maka konseling kristen didasari juga dengan God laws (hukum Tuhan) .
Sedangkan konsep konseling yang dalam pandangan Barat-Sekular lebih didasarkan pada Ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama konseling yang dilakukan dengan pendekatan psikodinamika. Yaitu konseling yang berlandaskan terutama pada pemahaman, motivasi tak sadar serta rekonstruksi kepribadian. Model-model terapi yang diterapkan dalam kategori ini adalah kategori terapi psikoanalitik. Kedua konseling terapi yang berorientasi pemangalaman, dan relasi yang berlandaskan psikologi humanistik. Model-model terapi yang digunakan pada kategori ini meliuti terapi eksistensial, client-centered dan terapi gestalt. Ketiga konseling yang menggunakan terapi-terapi yang berorientasi pada tingkah laku, rasional-kognitif dan tindakan. Model-model terapi yang digunakan dalam kategori ini meliputi analisis transaksional, terapi tingkah laku, rasional emotif, dan terapi realitas .
Dalam konsep konseling Barat-sekular, hubungan antara konselor dan kliennya tidak lebih sebatas hubungan profesional yang tidak ada sangkut pautnya dengan eskatologis. Artinya, dalam konseling sekular seorang konselor hanya bertugas membantu individu untuk keluar dari permasalahan hidup kekinian ketika mereka sedang berjuang mengatasi masalah, keputusan hidup, atau ketika seseorang merasakan stagnasi dalam hidup kemudian menginginkan perubahan. Baik ketika masalah yang dimaksud berhubungan dengan anggota keluarga lain, teman, hingga interaksi dalam lingkungan pekerjaan . Menurut Thomas J. Sweney, dalam konseling Barat-Sekular dikenal istilah wellnes counseling (konseling kesehatan fisik) yang jauh – atau malah tidak mengkaitkan sama sekali – dengan tujuan-tujuan eskatologis secara langsung. Katanya " Counseling from a wellness perspective requires that the professional helper introduce a wellness model as a framework for discussing wellness with a client. Understanding what wellness means to the individual, and how they assess their wellness in relation to the components of the model, is important for understanding how the client interprets the personal meaning of wellness concepts and behaviors. Careful listening will reveal much of the client’s private logic" . Kemudian ia memberi contoh bagaimana seorang konselor yang dengan seksama misalnya mendengarkan alur logika klien yang bermasalah dalam hal kelebihan berat badan ketika ia mempertanyakan perihal orang lain yang makan banyak namun tidak gemuk, sedangkan ia tidak makan banyak malah kegemukan .




D. Perbedaan Konseling Islam Dan Konseling Barat.
Jika yang dimaksud dengan konseling Barat dalam hal ini diidentikan dengan konseling kristen, maka perbedaan dengan konseling Islam hanyalah dalam implementasi dan teknisnya. Jika dalam konseling Islam yang menjadi basis pijakan adalah ketentuan legal Islam (al Qur'an dan sunnah), maka dalam konseling kristen berbasis pada ketentuan-ketentuan biblical. Namun secara konsep, antara konseling Islam dan konseling kristen memiliki concern yang sama ketika mengkaitkan keyakinan dengan proses pelayanan kejiwaan individu. Konseling Islam dan kristen sebagai bagian dari model konseling agama juga memiliki kesamaan dalam menilai perlunya membedakan identitas dengan konseling sekular .
Pertama, konseling sekular berorientasi pada manusia (anthropo centris) dan sumber pengetahuannya adalah pengetahuan dan akal budi manusia (humanisme). Sedangkan dalam konseling agama orientasi didasarkan pada ketuhanan (Theocentris) dan menjadikan basis pengetahuannya dari ajaran kitab suci dan pengetahuan-pengetahuan yang sejalan dengannya. Dalam konseling Islam diyakini bahwa Allah telah menentukan sejumlah petunjuk bagaimana seharusnya manusia hidup dan jalan keluar dari permasalahan kehidupan.
Kedua, dari segi tujuan konseling sekular semata-mata mengarah kepada kebahagiaan hidup. Sedangkan dalam konseling agama, tujuannya adalah bagaimana seorang individu yang bermasalah mampu kembali mendekati Allah dan hidup dalam petunjuk-Nya. Adapun kebahagiaan hidup hanyalah sebagai buah dari kedekatannya dengan sang pencipta.
Ketiga, dari segi prinsip-prinsipnya konseling sekuler lahir dari hikmat dan filsafat manusia untuk menjawab semua kebutuhan dan permasalahan hidup manusia. Sedangkan konseling agama berprinsip dari keyakinan, jika dalam konseling Islam dijelaskan bagaimana konselor berusaha menyampaikan hidayah Allah kepada si klient, maka dalam konseling kristen diyakini bahwa Roh Kudus melalui konselor berusaha mewujudkan kehendak Tuhan dalam hidup klient.
Keempat, dari segi kebenaran moralitas, konseling sekuler ditentukan oleh situasi etika masyarakat saat itu yang mungkin bisa mengalami pergeseran-pergeseran nilai. Sedangkan dalam konseling agama (Islam dan Kristen) kebenaran moralitasnya berakar dari keyakinan masing-masing tentang ultimate truth yang implisit dalam kitab suci masing-masing yang tidak akan berubah atau mengalami pergeseran (universal).
Wallâhu A'lam bi al Sawwab.

Catatan Akhir:
__________________

Lihat Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, (Surayabaya: Alumni Surabaya, 2005), h. 331.
Achmad Mubarok menjelaskan dua macam pandangan tentang dikaitkannya antara bimbingan dan konseling. Pendapat pertama menganggap bahwa konseling merupakan bagian dari bimbingan atau lebih tepatnya teknis dari bimbingan. Pendapat kedua menganggap bahwa pusat perhatian bimbingan adalah pencegahan masalah, sedangkan jika masalah tersebut telah diderita seseorang maka di sinilah letak perhatian konseling. Lihat Achmad Mubarok, Konseling Agama Teori dan Kasus, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2002), Cet. Ketiga, h. 3.
Hubungan antara seorang penolong yang terlatih dan seseorang yang mencari pertolongan, di mana keterampilan si penolong dan situasi yang diciptakan olehnya menolong orang untuk belajar berhubungan dengan dirinya sendiri dan orang lain dengan terobosan-terobosan yang semakin bertumbuh (growth-producing ways). Lihat tanpa nama, Pengertian Bimbingan Konseling menurut para Ahli, diakses dari www.4Shared.com, pada 24 oktober 2009.
Ibid.
Ibid.
Baca Achmad Mubarok, Konseling Agama Teori dan Kasus, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2002), Cet. Ketiga, h. 79. Lihat juga Achmad Mubarok, Konseling Agama Dalam Tradisi Islam Klasik, Diakses dari www.KampusIslam.Com pada tanggal 24 Oktober 2009.
Lihat Abu Hamîd al Ghazâli, Ihyâ 'Ulûm al Dîn, (Beirut: Dar al Fikr, tt), Juz 2, h. 155.
Achmad Mubarok, Op.Cit, h. 5.
Pastoral konseling yaitu gembala yang memberikan nasihat, penghiburan dan penguat bagi warga gerejanya. Konseling ini dilakukan melalui mihrab (altar) gereja dengan pastor sebagai konselornya. Klien menggunakan jasa ini dengan cara confession (pengakuan dosa) dan pastor mendengarkannya dari dalam mihrab. Setelah itu, sang pastor memberikan beberapa wejangan sambil membacakan beberapa firman Tuhan dalam kitab perjanjian. Lihat Deny Harseno, Pastoral Konseling, diakses dari www.Blogspot.Com, pada 28 oktober 2009. Namun demikian, konseling pastoral ini tidak begitu populer, hal demikian terbukti melalui interest masyarakat Barat yang lebih memilih jasa konselor ilmiah-sekuler ketimbang konseling agama model pastoral ini.
Louis A. Gamino & R. Hal Ritter JR, Ethical Practice In Grief Counseling, (New York: Springer Publising Compani, 2009), h. 2.
Erhamwilda, Konseling Islami, (Yogykarta: Graha Ilmu, 2009), Cet. Pertama, h. 3.
Jabir Tayyam menulis
هو عملية مساعدة الفرد فى فهم حاضره واعداده لمستقبله يهدف وضعه فى مكانه المناسب له وللمجتمع ومساعدته فى تحقيق التوافق الشخصي والتربوي والمهني والاجتماعي حتى يحقق الصحة النفسية والسعادة مع نفسه ومع الاخرين فى المجتمع المحيط به.
Baca Jabir Tayyam, Mabâdi al Taujîh al Irsyâd al Nafsy, (Yordania: Dar al Shafa, 1999), Cet. Pertama, h. 13.
Erhamwilda, Op.Cit, h. 95.
Ibid.
Ibid, h. 16.
Ibid.
Erham Wilda, Op.Cit, h. 5.
Achmad Mubarok, Sunnatullah Dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, (Jakarta: IIIT, 2002), h. 25.
Erhamwilda menyebutkan empat sumber masalah psikis manusia, yang dua berkaitan dengan fisik yaitu jasad dan lingkungan non spiritual, yang dua lagi secara berturut-turut adalah qalb (hati), dan akal. Baca Erhamwilda, Op.Cit, h. 57-63.
Said Hawwa Menulis
تزكية النفس تعنى باختصار تطهيرها من الشرك وما يتفرع عنه وتحقيقها بالتوحيد وما يتفرع منه وتخلقها باسماء الله الحسنى مع العبودية الكاملة لله...و كل ذالك من خلال اقتداء رسول الله.
Baca Sa'id Hawwa, al Mustakhlish Fi Tazkiat al Anfus, (Kairo: Dar al Salam, 2004), Cet. Kesepuluh, h. 153.
Ibid, h. 159.
Ibid, h. 261.
Garry R. Collins, The Biblical Basis Of Christian Conseling For People Helper, (Colorado: NavPress Publising Group, 1993), h. 2.
Berbeda dengan sistem kesatuan psikater, konseling bible menelusuri secara seksama bilamana ada seorang kristen yang menyalahi ajaran bible untuk membantu dia agar dengan sukarela mematuhi kehendak Tuhan. Lihat Ibid.
Ibid.
Erhamwilda, Op.Cit, h.77.
Counseling and psychotherapy share much in common with other human interactions that individuals may find helpful when they are struggling with problems, life decisions, or desired changes in their lives, whether the interactions occur with professionals, family members, or friends. Baca Fong Chan, Norman L. Berven, and Kenneth R. Thomas, ed., Counseling Theoris And Techniques For Rehabilitation Health Professional, (New York: Spring Publishing Company, 2004), h. 4.
Dari perspektif wellnes counceling, mempersoalkan bagaimana seorang konselor memperkenalkan suatu model kesehatan yang diutarakan dalam suatu frame work yang dapat didiskusikan dengan klient. Memberikan pengertian tentang arti kesehatan bagi individu dan bagaimana mereka menilai kesehatan menurut pandangan mereka dengan memperhatikan interpretasi klien mengenai konsep kesehatan dan kaitannya dengan prilaku mereka. Baca Thomas J. Sweney, Adlerian Counseling And Phsicotherapy, (New York: Routledge Taylor & Francis Groupj, 2009), Cet. Kelima, h. 42.
Ibid.
Garry R. Collins, Op.Cit, h. 5-8.