Minggu, 29 November 2009

TAFSIR TARBAWI
Oleh : Prio Hotman, MA.




A. Definisi.

Mengetahui isi al Qur'an dan al Sunnah, adalah hal yang mutlak untuk dapat memahami Islam dan ajarannya. Demikian sangat wajar, karena keduanya adalah referensi utama yang dinilai mengakumulasi nilai-nilai dasar ajaran Islam. Maksud dari Sunnah sebagai referensi, yaitu Sunnah digunakan sebagai penjelasan aplikatif dan teoritis terhadap al Qur'an. Sebagai penjelas al Qur'an, berarti kandungan Sunnah memiliki fungsi sebagai penafsir awal terhadap al Qur'an. Dalam wacana kajian Islam, maksud dari al Qur'an sebagai refensi Islam dijelaskan bahwa di dalamnya mengandung prinsip-prinsip ajaran universal yang dijadikan rujukan dalam memecahkan segala aspek permasalahan kehidupan, termasuk pendidikan. Dari perspektif pendidikan Islam, tafsir digunakan sebagai alat untuk mengeksplor ajaran-ajaran Islam dalam kaitannya untuk mengembangkan dan mencapai sasaran (tujuan) pendidikan. Melalui cara berpikir ini, maka muncul apa yang dinamakan tafsir tarbawi (tafsir bercorak tarbiyyah), yaitu tafsir yang menekankan (tendensi) kepada tema-tema dan untuk keperluan tarbiyyah (pendidikan Islam). Dari segi fungsinya, tafsir tarbiyyah memiliki kecenderungan yang sama dengan tafsir-tafsir dengan corak lainnya yang beraneka ragam, yakni sama-sama memiliki corcern pada pembahasan dan tujuan pada aspek permasalahan tertentu.
Secara etimologi, tafsir bermakna menjelaskan (al idhâh) dan menerangkan (al tabyîn). Tafsir yang terambil dari akar kata al fasru jug dapat diartikan sebagai menerangkan (al ibânah) atau menyingkap (al kasyfu). Menurut pakar tafsir al Zahâbi, istilah tafsir dari segi etimologi digunakan dalam dua arti. Pertama, menyingkap suatu hal yang berkaitan dengan indra (al kasyfu al hissiy). Kedua, menyingkap suatu hal yang berkenaan dengan simbol-simbol rasional (al kasyfu 'an al ma'ani al ma'qulat). Menurut ulama ini, penggunaan kata tafsir pada arti yang kedua ini lebih umum dari yang pertama.
Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir sebagai ilmu tidak memiliki batasan definisi tertentu karena tidak memiliki kaidah-kaidah khusus yang berlaku seperti yang diterapkan pada ilmu-ilmu rasional yang lain. Menurut pendukung pendapat ini, tafsir cukup diartikan sebagai penjelasan terhadap kalam Allah atau yang menjelaskan terhadap redaksi al Qur'an beserta pemahamannya. Menurut sebagian ulama lain, tafsir merupakan suatu disiplin ilmu tertentu yang didukung oleh displin-disiplin ilmu lain dalam satu paket yang berfungsi untuk memahami al Qur'an seperti, ilmu linguistik (lughat), peralihan kata (sharf), gramatika (nahw), bacaan al Qur'an (Qira'at) dan sebagainya.
Pakar tafsir klasik Ibn Hayyan dalam Bahr al Muhith menjelaskan definisi tafsir secara istilah sebagai ilmu yang membahas teknik pengucapan redaksi al Qur'an beserta petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik secara redaksi personal maupun rangkaian, makna-makna yang terkandung di dalamnya ketika dirangkai dan penyempurnaan kepada makna tersebut. al Suyuthi dalam Itqan, mengutip pendapat al Zakarsy menjelaskan definisi tafsir sebagai " ilmu untuk memahami kitab Allah ta'ala yang diturunkan kepada Nabi-nya, menjelaskan makna-maknanya, menjabarkan hukum-hukumnya, dengan menggunakan bantuan ilmu linguistik (lughat), gramatika (nahw), peralihan kata (sharf), ilmu bayan, usul fiqh, Qira'at, serta bantuan ilmu asbab al nuzul dan nasikh mansukh. Sebagian pakar lain lebih memilih untuk mendefinisikan tafsir dari sudut pandang kemampuan sebagai " ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan al Qur'an beserta penjelasannya sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala sesuai dengan kemampuan obyektif manusia.
Tafsir bagi sebagian ulama tidak berbeda dengan ta'wil, kedua istilah ini bagi umumnya dipahami oleh para ulama tafsir klasik dengan arti yang sinonim. Sebagian ulama yang lain seperti al Asfihani, membedakan arti tafsir dan ta'wil. Tafsir bagi al Asfihani lebih luas artinya dibanding ta'wil. Jika istilah tafsir lebih banyak digunakan secara teknis pada redaksi al Qur'an, maka ta'wil lebih berfokus kepada makna-makna dari al Qur'an. Menurut al Tsa'labi, perbedaan antara tafsir dan ta'wil adalah sisi tekstual dan kontekstual redaksi al Qur'an. Kata ulama ini, jika tafsir lebih menekankan aspek tekstual dari pada struktur redaksi al Qur'an baik secara hakekat maupun majazi, maka ta'wil lebih menekankan aspek konstekstual redaksi al Qur'an (bathin al lafzi).
Dari keterangan ulama mengenai tafsir di atas, maka dapat ditarik beberapa point mengenai tafsir. Pertama, tafsir merupakan usaha untuk memahami firman Allah SWT dalam al Qur'an sesuai dengan kemampuan subyektif penafsir. Kedua, usaha memahami firman Allah tersebut melibatkan arti tekstual dan kontekstual redaksi al Qur'an. Ketiga, dalam usaha menafsirkan al Qur'an mempergunakan disiplin keilmuan lain yang relevan. Keempat, usaha menafsirkan al Qur'an tersebut berangkat dari kebutuhan akan petunjuk-petunjuk ilahi dalam menyelesaikan pelbagai problematika kehidupan.
Sedangkan definisi etimologis tarbiyyah, bagi al Hazimy menunjuk kepada arti-arti berikut ini. pertama, perbaikan (al ishlah), menurut ulama ini arti ishlah tidak terkait dengan kuantitas (al ziyâdah), melainkan kualitas (al ta'dil wa al tashhih). Jika tarbiyyah dipahami dengan istilah ishlah, berarti tarbiyyah itu tidak berfokus kepada penambahan ilmu, tetapi lebih kepada perbaikan potensi yang sudah ada. Kedua, tumbuh (al namâ') dan bertambah (al ziyâdah). Jika tarbiyyah dipahami dengan istilah tersebut, berarti tarbiyyah menyimpan unsur bertambah dan tumbuh. Maksudnya melalui proses tarbiyyah akan bertambah ilmu dan tumbuh kecakapan dan kemampuan dalam menghadapi masalah. Ketiga, tumbuh (al nasyâ'u) dan berkembang (tara'ra'a). Maksudnya, dengan proses tarbiyyah akan tumbuh dan berkembang sikap kedewasaan dan kematangan berpikir seseorang melalui ilmu yang ia peroleh. Keempat, mengatur dan mengurusi keperluan (al siyasâh wa tawwaliy al amr). Dalam tarbiyyah memang tersimpan unsur pengaturan dan pengurusan, yakni mengatur kedisiplinan peserta didik dan mengurusi semua keperluannya yang menjadi penunjang pembelajaran. Artinya pendidik dalam hal ini berstatus sebagai pihak yang dipercaya untuk mengatur dan mengurusi peserta didik (al qiyâm bi amri al mutarabby). Kelima, pengajaran (al ta'lîm). Dengan mengutip pendapat Ibn al A'raby, al Hazimy menjelaskan bahwa kata al rabbany yang terdapat dalam QS Ali 'Imran/3: 79 berarti orang yang berilmu yang bertindak sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu-ilmu kecil kepada orang lain sebelum mengajarkan ilmu-ilmu yang berat. al rabbany juga berarti orang yang mendalam dalam ilmunya dan hanya mengharapkan Allah dengan ilmu yang dimilikinya. Menurut al Hazimy, kelima arti bahasa tersebut merupakan unsur-unsur yang mesti ada dalam sebuah proses tarbiyyah.
Dalam al Qur'an, kata tarbiyyah digunakan untuk menunjuk kepada dua arti. Pertama, hikmat, ilmu dan pengajaran. Arti ini ditemukan dalam QS Ali 'Imran/3: 79, Ibn 'Abbas seorang sahabat Nabi yang terkenal piawai dalam menafsirkan al Qur'an mengartikan kata rabbany dalam ayat ini sebagai hukama (ahli hikmah), 'ulama (cerdik pandai), dan hulama' (orang bijak). Kedua, pemeliharaan, arti ini ditemukan dalam QS al Isra/17: 24 dan QS al Su'ara/31: 18. Kata rabb, dalam kedua ayat tersebut berarti memelihara (al ri'âyah) atau merawat (al 'inâyah). Orang tua memelihara dan merawat anak diwaktu kecil, Fir'aun juga memelihara dan memelihara Musa ketika ia masih kecil. Menurut pakar tafsir al Baidhâwi dan al Asfihâni, kata rabb dalam al Qur'an sejajar maknanya dengan tarbiyyah, yaitu mengantarkan sesuatu (tablîg al syay') atau menumbuhkannya (insyâ'uhu) secara bertahap agar mendekati garis kesempurnannya (hadd al tamâm). Dengan pengertian ini, maka secara terminologis tarbiyyah berarti proses menumbuhkan manusia secara bertahap dalam segenap aspek kehidupannya untuk tujuan kebahagiaan dunia-akhirat menurut ajaran Islam.
Pendidikan dalam perspektif tarbiyyah berbeda dengan pendidikan lainnya dari segi metodik dan tujuan. Dari segi metodik tarbiyyah mengharuskan adanya kesesuian dengan manhaj Islam, sedangkan dari segi tujuan nilai-nilai transendental harus terdapat dalam tarbiyyah. Baik kesesuaian dengan manhaj Islam maupun tujuan transenden pendidikan baru dapat diperoleh jika pendidik telah memahami pesan-pesan pendidikan dalam al Qur'an sebagai referensi tertinggi dalam Islam. Pemahaman terhadap pesan-pesan pendidikan al Qur'an itulah yang dinamakan dengan tafsir tarbawi.

B. Perkembangan Tafsir dan Coraknya.

Pada masa Nabi, pemahaman terhadap ayat-ayat al Qur'an seluruhnya berada dalam otoritas beliau. Rasulullah dalam hal ini berperan sebagai penjelas pesan-pesan ayat yang diturunkan kepada beliau. Setiap ditemukan ayat yang samar maknanya atau tidak dipahami oleh para sahabat, mereka langsung mengkonfirmasikan ulang kepada Rasulullah. Keadaan ini terus berlangsung hingga periode wafatnya beliau, yang dengan demikian penafsiran al Qur'an pada masa ini lebih banyak kecenderungannya kepada homogen (satu corak penafsiran).
Kalau pada masa hidup Nabi semua pertanyaan tentang ayat yang sulit dipahami atau yang samar tuntas dijawab beliau, maka tidak demikian pada masa setelah beliau wafat. Pada masa ini, setiap ada ayat yang sulit dipahami atau samar maknanya mereka bertanya kepada sahabat yang lain dan terkadang mereka menemukan penjelasan Nabi dari mereka yang tidak diketahuinya. Jika mereka tidak mendapat penjelasan, maka para sahabat berijtihad sesuai dengan kaidah bahasa al Qur'an yang merupakan bahasa mereka. Karena penafsiran al Qur'an pada masa sahabat dilakukan dengan ijtihad, maka cenderung lebih heterogen (plural) disebabkan oleh kecenderungan yang berbeda antara satu sahabat dengan yang lain. Pada masa ini pula lahir penafsir-penafsir ulung dari kalangan sahabat seperti 'Ali Ibn Abi Thalib, Ibn 'Abbas, 'Ubay Ibn Ka'ab dan 'Abdullah Ibn Mas'ud.
Corak penafsiran tafsir makin terlihat pada masa sahabat, di mana wilayah Islam telah makin meluas dan banyak orang-orang non arab ('ajam) yang masuk islam. Dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam, masalah-masalah yang membutuhkan jawaban al Qur'an pun makin beragam. Karena itu maka muncul pada masa ini tokoh-tokoh penafsir baru dari kalangan tabi'in yang antara satu dengan lain memiliki kecenderungan penafsiran yang berbeda. Perbedaan penafsiran para sahabat pada masa mereka yang kemudian diwariskan kepada murid-murid mereka dari kalangan tabi'in juga merupakan faktor yang menyebabkan makin beragamnya corak penafsiran al Qur'an.
Pada masa perkembangan selanjutnya, maka dikenal beragam corak penafsiran al Qur'an yang oleh para ilmuwan tafsir dikelompokkan kepada tafsir tahlily, tafsir ijmaly, tafsir muqaran dan tafsir maudhu'i. Kebanyakan dari kitab-kitab tafsir yang ditemukan dewasa ini dengan uraian panjang hingga berjilid-jilid adalah tafsir dengan corak tahliliy. Menurut Fahd al Rumi, - guru besar ilmu-ilmu al Qur'an Universitas Riyadl – para penafsir penafsiran al Qur'an dengan metode tahlily berbeda dalam aspek panjang dan singkatnya uraian penafsiran, ada yang uraiannya panjang lebar (al ithnâb) hingga puluhan jilid, ada yang pertengahan (musâwah), dan ada yang singkat (al ijâz) urainnya hanya satu jilid saja. Warna penafsirnnyapun beraneka ragam sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan sipenafsir tersebut. Jika penafsirnya merupakan pakar tasawuf maka uraian tafsirnya cenderung bernuansa sufistik dan dikenal apa yang disebut tafsir shufi. Jika penafsirnya ahli fikih maka isi uraian tafsirnya penuh dengan penjelasan hukum-hukum Islam yang kemudian dikenal dengan tafsir fiqhy. Jika penafsirnya seorang filosof maka uraian tafsirnya akan sangat kental dengan teori-teori filsafat, semantik (logika) dan ilmu kalam, dan dikenal apa yang disebut tafisr falsafi. Begitu seterusnya hingga dikenal beragam warna tafsir seperti tafsir 'ilmi yang menekankan penjelasan saintifik, tafsir adaby yang menekankan penjelasan fenomenal realistik kehidupan, tafsir da'awy yang menekankan penjelasan dakwah, dan tafsir tarbawy yang menekankan pesan-pesan pendidikan al Qur'an. Aneka ragam persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban al Qur'an juga merupakan faktor dominan lahirnya warna-warna tafsir tersebut.
Walaupun dalam uraian tafsir tahlily ditemukan penekanan pada aspek permasalahan tertentu, akan tetapi keharusan untuk menjelaskan arti kata-perkata belum lagi banyaknya persoalan yang terdapat dalam rangkaian ayat-ayat dalam mushaf, menjadikan pembahasan terhadap satu permasalahan tertentu menjadi tidak tuntas. Karena satu persoalan yang dibahas dalam satu surah tertentu terkadang ditemukan pembahasan berikutnya dalam surah yang lain. Hal demikian akan menjadi sulit jika menggunakan metode tafsir tahlily, maka solusi yang ditempuh oleh para ilmuwan tafsir adalah melengkapinya dengan metode penafsiran lain yang dikenal dengan metode tafsir maudhu'i.
Methode tafsir maudhu'i merupakan cara penafsiran dengan orientasi tematik. Artinya sasaran (target) yang ingin dicapai melalui penjelasan tafsir maudhu'i adalah tema yang sedang dibahas. Berbeda dengan tafsir tahlily, tafsir maudhu'i hanya menguraikan arti kata seperlunya yang terkait dengan tema yang difokuskan. Tafsir maudhu'i juga mengabaikan keterangan-keterangan yang tidak relevan dengan tema yang sedang dibahas. Metode ini terkadang dilakukan dengan mengumpulkan ayat-ayat dari seluruh mushaf yang memiliki tema sama, dan terkadang dilakukan dengan mengkotakkan satu surat dalam suatu bahasan atau tema tertentu. Tafsir tarbawi seperti juga tafsir dengan corak-corak lainnya, terkadang disusun dengan metode tahlily dan terkadang dengan metode maudhu'i dengan kedua teknisnya.



C. Kebutuhan Tafsir Dalam Ilmu Pendidikan Islam (Hubungan Tafsir dan Tarbiyyah).

Tarbiyyah merupakan satu dari sekian cabang tugas kekhalifahan manusia di muka bumi seperti diungkap dalam al Qur'an. Pada awalnya, tarbiyyah dalam pengertian pengajaran ('allama) merupakan proses transfering sifat-sifat Allah kepada hamba-Nya, Adam. Manusia diunggulkan Allah atas mahluk-Nya yang lain karena pada adam terdapat proses pengajaran sehingga ia diamanahkan untuk memakmurkan bumi ini. Melalui proses pengajaran, potensi manusia dioptimalkan agar mengerti cara berinteraksi dengan kehidupan dunia dan bersikap yang benar terhadapnya. Pengajaran Allah kepada manusia dilakukan melalui dua cara, pertama secara langsung melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul. Kedua, melalui fitrah yang ditanamkan pada jiwa manusia untuk selalu berkeinginan menyampaikan dan mencari kebenaran. Pengajaran yang pertama merupakan informasi yang dapat diakses manusia melalui ajaran agama, sedangkan pengajaran yang kedua merupakan konfirmasi yang diusahakan manusia melalui eksplorasi terhadap fenomena alam. Baik pengajaran berupa informasi maupun konfirmasi, keduanya merupakan proses pencarian kebenaran yang saling melengkapi untuk menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam pendidikan Islam, sasaran yang ingin dicapai adalah melakukan pengaturan dan pembinaan dari segenap aspek potensial manusia agar mencapai kesempurnaan. Di sisi lain, manusia sebagai mahluk multi dimensi memiliki banyak aspek potensial dari mulai aspek material (jasmani), hingga immaterial (akal dan jiwa). Untuk itulah, maka Allah mengutus Rasul sebagai pendidik yang dalam al Qur'an disebutkan bertugas sebagai penyampai informasi Tuhan (yatlu 'alaihim ayatih), menyucikan yang berarti mendidik (yuzakkîhim) dan mengajar yang tidak lain menanamkan pengetahuan (yuallimuhum) baik yang berkaitan dengan alam fisika maupun metafisika. Tujuan pendidikan islam (tarbiyyah) tidak hanya bersifat immanent, tetapi juga transenden. Sebab target yang ditetapkannya adalah melahirkan kesempurnaan manusia agar tercipta mahluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia-akhirat, atau ilmu dan iman.
Karena tujuan itu, maka pendidikan Islam menjadikan pemahaman akan kitab suci sebagai salah satu syarat mutlak dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian dikarenakan target menciptakan manusia dengan keilmuan dan keimanan yang mantap tidak akan dapat diwujudkan hanya sebatas melalui pengetahuan kognitif yang relatif. Lebih dari itu, kebenaran pengetahuan kognitif harus dikonfirmasikan kepada pengetahuan akan informasi transenden yang mutlak dan absolut. Pengetahuan transenden yang dimaksud adalah pengetahuan akan pesan-pesan kitab suci al Qur'an, dan pengetahuan tersebut dinamakan tafsir.
Kebutuhan pengetahuan akan kitab suci (tafsir) dalam ilmu pendidikan didasarkan pada aspek-aspek berikut. Pertama, tafsir sebagai basis keimanan yang merupakan pengetahuan tertinggi nilainya, dan terdasar kedudukannya dalam susunan pengetahuan manusia sebelum pengetahuan keilmuan yang lain. Kedua, tafsir sebagai konfirmasi terhadap kebenaran yang diungkap dalam pengetahuan eksploratif. Artinya pengetahuan keimanan (informatif) dalam pendidikan Islam dan pengetahuan ekploratif harus saling menguatkan dan membenarkan. Ketiga, tafsir berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurna akan pengetahuan eksploratif yang belum tuntas. Artinya tafsir harus dapat memberi penjelasan tentang fenomena-fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan eksploratif. Keempat, tafsir berfungsi sebagai pengisi nilai (value filler) terhadap pengetahuan eksploratif. Artinya tafsir dimaksudkan sebagai pengetahuan yang dapat mewarnai pengetahuan ekspolaratif agar tidak bebas nilai melalui penanaman nilai-nilai transendent dan etika/moral. Kelima, tafsir berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pesan-pesan ketuhanan agar dapat ditangkap oleh manusia. Dengan kata lain, tafsir merupakan sarana untuk memberikan kesan membumi (indegenous) terhadap pesan-pesan Ilahi yang bersifat suci dan transenden.
Wallahu A'lam bissawab
Prio Hotman, S. Sos. I, November 2009.

DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al Qur’an, (Bandung : Mizan, 2006), Cet. Ke 29.

_______________, Tafsir al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. Pertama.

Almunawar, Said Agil husin, al Qur'an Membngun Tradisi kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. Keempat.

Al Hazimi, Khalid Ibn Hamid, Ushul al Tarbiyyah al Islamiyyah, (Madinah Munawwarah: Dar al 'Alim al Kutub, 2000), Cet. Pertama.

Muhammad 'Imarah, Mahmud, Tarbiyyat al Nasy Fi Zhil al Islam, (Mekah Mukaramah: Da'wat al Haq, 2000), Cet. Kedua.

Al Mak, Syaikh Khalid Abd al Rahman, Ushul al Tafsir wa Qawa'iduhu, (Beirut: Dar al Nafais, 1986), Cet. Kedua.

Al Zahaby, Muhammad Husein, al Tafsir wa al Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), Cet. Ketujuh.

Al Rumi, Fahd, Buhuts Fi Ushul al Tafsir wa Manahijuhu, (Riyadl: Maktabah Taubah, 1998), Cet. Keempat.

-----------00000-------------

Sabtu, 21 November 2009

RETORIKA AL QUR'AN
Oleh : Prio Hotman,MA


A. Pengantar.

Retorika yang berasal dari kata rethoric, memiliki arti seni berbicara di depan publik . Sebagai seni berbicara, retorika bertujuan sebagai instrumen pengetuk pikiran dan jiwa lawan bicara agar mau mendengar secara simpati dan empati informasi yang disampaikan oleh pembicara . Sampai di sini, retorika dapat dikatakan sebagai sisi estetika dari pembicaraan. Manusia dalam proses komunikasi memiliki sejumlah faktor konsideran yang menentukan berhasil tidaknya pesan tersebut dipahami oleh lawan bicara. Faktor tersebut adalah akal, nurani dan kehendak bebas.
Akal menimbang informasi-informasi rasional, sedangkan nurani berfungsi sebagai penimbang informasi-informasi yang bersifat intuitif. Akal dan nurani memiliki wilayah kerja masing-masing, pesan atau informasi yang bersifat intuitif akan ditolak oleh akal, sedangkan pesan atau informasi rasional tidak akan bisa diterima melalui nurani. Dalam kaitan ini, retorika digunakan untuk mengarahkan pesan atau informasi pembicaraan kedalam wilayah kerjanya (deskjob) masing-masing. Pesan atau informasi yang telah diterima, tidak serta merta mendapat respon yang positif dari lawan bicara. Hal demikian karena manusia mempunyai kehendak bebas, sehingga ia memiliki kebebasan memilih antara memberikan respon positif atau negatif terhadap pesan yang terimanya.
Al Qur'an sebagai kitab dakwah, adalah sarat dengan informasi ketuhanan (al khitab al Ilâhy) yang harus disampaikan kepada manusia, oleh Allah secara direct, dan Muhammad secara indirect. Walaupun al Qur'an berasal dari Allah (Ilâhiy al Masdary), namun secara fungsional ia ditujukan untuk kepentingan manusia (Insâny al Qasdy) . Karena al Qur'an ditujukan untuk manusia, maka pesan-pesan al Qur'an yang disampaikan, sarat dengan retorika . Retorika al Qu'ran tidak seperti retorika pada umumnya yang hanya menyentuh satu aspek dari manusia dan mengabaikan aspek lainnya. Retorika al Qur'an menyentuh fisik, rasio dan intuisi manusia sekaligus. Sebagai penyampai wahyu Tuhan, nabi Muhammad memiliki wilayah kerja yang disebut al Qur'an dengan istilah al balâgh. Menurut pakar al Qur'an al Isfâhani, akar kata tersebut merujuk kepada makna sampainya sesuatu kepada tujuan atau sasaran final, baik itu tempat maupun waktu . Kata tersebut juga menunjuk kepada arti kecukupan (al kifâyah) .
Dalam menyampaikan pesan-pesannya, al Qur'an tidak membataskan diri dengan menilik hanya kepada satu aspek saja pada manusia dan melupakan aspek lainnya. Lebih dari itu, al Qur'an menghendaki agar pesannya tersebut mengenai sasaran final. Untuk itu, semua aspek pada manusia, baik fisik, rasio maupun intuisi harus disentuh secara bersamaan. Hal demikian seperti terlihat dalam ayat berikut
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS Âli 'Imran/3: 191).

Menurut pakar tafsir al Râzi , ayat di atas menjelaskan perihal ulil albab yang senantiasa mengingat Allah dengan menggabungkan seluruh aspek pada dirinya, jiwa dan raganya. Lanjut lagi, al Râzi menjelaskan bahwa untuk mencapai derajat ulil albab, setiap waktu seorang hamba harus disibukkan dengan mengingat Allah. Untuk itu, seorang hamba harus berusaha untuk mengerahkan segenap aspek yang dimilikinya agar senantiasa mengingat Allah, baik dengan anggota luar (jawârih), rasio (aql) hingga intuisinya (al qalbu wa al rûh) . Ayat tersebut menjadi bukti bahwa untuk menyampaikan pesan-pesannya, al Qur'an menyentuh seluruh aspek manusia. Ayat di atas juga merupakan bukti bahwa dalam berkomunikasi dengan manusia, al Qur'an menghendaki adanya integrasi dua hal, yakni fikir yang mewakili aspek rasio dan zikir yang mewakili aspek anggota tubuh dan intuisi .
Dalam kaitan masalah ini, tugas nabi Muhammad adalah al balâgh, yakni menyampaikan pesan-pesan al Qur'an dengan memperhatikan seluruh aspek kemanusiaan agar mencapai tujuan final, tanpa menyisakan keraguan, baik dengan penjelasan-penjelasan yang memuaskan nalar dan nurani (al îdah wahdah), hingga peringatan yang berbentuk tekanan fisik (madmûnan bi al sayf) dan berbagai peringatan lain .
Sebagai kitab yang ditujukan kepada manusia, al Qur'an juga memperhatikan sisi kebebasan kehendak yang terdapat pada manusia. Meskipun pesan-pesan al Qur'an telah menyentuh seluruh aspek jiwa raga manusia, namun manusia memiliki kebebasan untuk merespon pesan yang diterimanya, baik dengan positif atau negatif. Karena itu, dalam ayat lain, al Qur'an menyebut bahwa setelah nabi Muhammad menyampaikan pesan-pesan al Qur'an dengan memperhatikan seluruh aspek kemanusiaan, ia diperintahkan untuk mencukupkan diri (al kifâyah) dengan menyampaikan pesan tersebut seraya menyerahkan hidayah kepada Allah .
Untuk menjalankan kedua tugas tersebut (al tablîgh wa al kifayâh), nabi Muhammad disuruh untuk mengajak manusia kejalan Tuhan – yang merupakan inti pesan al Qur'an – dengan metode hikmah yang mewakili aspek akal dan jiwa manusia , mau'izah hasanah yang mewakili aspek jiwa dan hati manusia , mujâdalah hasanah yang mewakili aspek penalaran dan emosi , dan mu'âqabat bi al mitsl yang mewakili aspek fisik luar manusia . Semua metode tersebut terekam dalam ayat-ayatnya yang disajikan dalam beraneka ragam gaya bahasa.
Dalam kaitan berbicara dengan manusia, al Qur'an menyampaikan pesannya dengan berbagai retorika. Terkadang al Qur'an mengajak lawan bicaranya untuk berdialog dengan mengungkapkan argumen lawan, kemudian membantah argumen tersebut dengan dalil-dalil yang kuat (al hujjah al balîghah). Terkadang ia menggelitik nalar manusia dengan mengajak untuk berfikir tentang kejadian-kejadian/fenomena di alam nyata (ayat al kauniah). Di lain waktu, al Qur'an menggugah kesadaran intuisi dan spirituil manusia dan mengingatkan akan kehadiran Allah di dekatnya. Al Qur'an juga menggunakan gaya pujian dan janji-janji untuk memotivasi manusia untuk mengerjakan kebajikan. Di sisi lain, untuk mencegah lahirnya kejahatan-kejahatan, ia mencela, mengecam, mengkritik dan mengancam setiap perbuatan yang ahumanis dengan balasan dan siksa yang pedih. Terkadang al Qur'an menggunakan gaya bahasa yang sejuk, lembut, dan bersahabat untuk mengundang pertemanan dan perkawanan (ta'lîf). Di lain waktu, ia menggunakan bahasa yang tegas, keras dan garang untuk menakut-nakuti dan mengendorkan nyali orang yang di dalamnya hatinya terdapat kesumat dan permusuhan (tahdîd). Terkadang al Qur'an menggunakan kata-kata yang memancing dan memotivasi munculnya nalar kreatifitas dan inovativitas manusia. Namun di sisi lain, ia berbicara dengan gaya bahasa yang kaku dan menutup rapat-rapat kemungkinan munculnya kreatifitas dan inovativitas manusia. Semua itu, di bicarakan al Qur'an secara berulang-ulang silih berganti . Tujuannya agar semua unsur yang ada pada manusia sebagai obyek pembicaraan al Qur'an tersentuh secara komprehensif dan menerima pesan al Qur'an secara utuh.





B. Retorika Dialog Al Qur'an.

Menurut Ulama besar India Syaikh al Dahlawi - seperti dikutip Ahsan Dawi, dialog merupakan salah satu dari lima pengetahuan sentral tema al Qur'an . Hal demikian dapat dipahami mengingat dalam setiap proses penyampaian pesan tidak bisa tidak harus melibatkan unsur dialog. Dialog yang dalam bahasa al Qur'an diistilahkan dengan al jidâl, adalah salah satu metode yang digunakan untuk menyampaikan pesan al Qur'an. Kata tersebut dan derivasinya disebut al Qur'an dalam dua puluh sembilan tempat . Dari jumlah yang disebutkan, seluruhnya bermakna perdebatan yang tercela (al jidâl al mazmûm) kecuali dalam tiga tempat. Secara berurutan yaitu QS an nal (16): 125, QS al 'ankabut (29): 46, dan QS al mujadilah (58): 1.
Dalam surah al nahl, al Qur'an menyebutkan bahwa untuk menyampaikan pesan Tuhan, jidal juga dipergunakan. Dalam kaitan ini, jidal yang dipergunakan bukanlah jidal yang tercela (al jidâl mazmûm), melainkan jidal yang terpuji (al jidal mamdûh) atau jidal dengan cara yang paling baik (jidâl bi allatî hiya ahsan). Menurut pemikir Ibn Hambali, jidal jenis ini merupakan dialog yang menyertakan bukti-bukti yang konkrit (al adillah al azharah), juga dengan menyimak keraguan lawan dengan simpati dan empati untuk kemudian menjawabnya dengan argumen yang kuat. Di sisi lain, dialog ini juga membutuhkan kelemahlembutan di samping membuang jauh-jauh sikap keras dan kasar (al ghilzah). Dengan demikian, argumen yang disampaikan akan menggungguli dan mematahkan argumen lawan .
Dalam al Qur'an, dialog terpuji (al jidâl al ahsan) yang pertama kali terekam melalui QS al Baqarah (2) : 30-33. Melalui ayat tersebut, al Qur'an memunculkan argumen malaikat yang berkeberatan dengan keputusan Allah ketika berkehendak untuk menjadikan wakil-nya di muka bumi. Allah maha berkehendak, dan Ia mengetahui bahwa setiap kehendaknya adalah terbaik. Namun demikian, Allah tidak serta merta memaksakan kehendaknya secara sepihak kepada mahluk-Nya. Untuk itu, malaikat dipersilahkan untuk menyampaikan pendapatnya perihal kehendak Allah tersebut. Bagi malaikat, mewakilkan bumi kepada manusia adalah keputusan yang tidak tepat. Alasannya, karena manusia itu mahluk yang memiliki potensi untuk merusak dan membunuh. Sedangkan mahluk dengan potensi seperti itu, tidak mungkin akan bisa memakmurkan dan menebarkan kebaikan di muka bumi. Apa yang disangka malaikat mengenai manusia itu adalah tidak benar. Karena ternyata manusia memiliki potensi baik yang lebih besar dari potensi buruknya. Untuk mematahkan argumen malaikat, Allah menunjukkan bukti konkret tentang keunggulan manusia melalui kompetisi intelektual. Dialog tersebut, kemudian diakhiri dengan pengakuan malaikat akan kebenaran argumen Allah tentang perwakilan manusia di muka bumi.
Kalau ayat dalam surah al Baqarah di atas merupakan contoh dari retorika al Qur'an mengenai dialog yang baik (al jidâl al ahsan), maka dalam surah yang lain al Qur'an memberi contoh dari dialog yang tercela (al jidal al mazmûm). Dialog tercela dalam al Qur'an diwakili oleh perkataan iblis yang memotong pembicaraan begitu saja dan mengacuhkan argumen Allah melalui perkataannya "…khalaqtahû min tînin wa khalaqtanî min narin…" . Melalui kedua jenis dialog ini diperoleh pemahaman, bahwa dialog yang dapat menyampaikan maksud dan pesan pembicaraan adalah dialog dengan cara yang baik, bahkan terbaik (al jidâl al ahsan). Sedangkan untuk menciptakan dialog seperti ini membutuhkan retorika. Retorika dalam berdialog adalah sikap lapang mendengarkan dan menegaskan kembali argumen lawan.
Selain argumen yang disertai bukti konkrit, dalam berdialog terkadang al Qur'an mematahkan argumen lawan bicaranya dengan argumen yang rasional. Perhatikan misalnya ketika al Qur'an membantah keyakinan fanatik ahlu kitab yang mengira bahwa surga hanya dimonopoli oleh orang-orang yahudi atau nasrani saja. Dalam hal ini, pertama-tama al Qur'an menegaskan perkataan atau argumen mereka. Tujuannya adalah agar tidak ada kesalahpahaman pendapat (missunderstood argue) yang dikira argumen. Setelah kedua pihak menyepakati maksud perkataan, barulah al Qur'an memberi bantahan rasional bahwa surga tidaklah dimonopoli oleh institusi agama tertentu, melainkan siapa saja orang yang memasrahkan dirinya kepada Tuhan seraya melakukan amal-amal baik, maka ia tidak perlu takut dan tidak terhalang dari pahala Tuhannya . Hal yang serupa ketika al Qur'an membantah keyakinan ahlu kitab yang mengira bahwa mereka hanya akan masuk neraka hanya beberapa hari saja. Maka setelah mengutarakan argumen mereka, al Qur'an membantah dengan meminta bukti tentang jaminan Allah atas tidak kekalnya mereka di dalam nereka, kemudian memberi bantahan bahwa siapa saja yang melakukan kesalahan yang sangat fatal hingga ia tenggelam dalam kesalahan itu, mereka itulah yang kekal di dalam neraka .
Pada lain tempat, dalam berdialog al Qur'an menggunakan argumen historis untuk membantah argumen lawan. Perhatikan ketika al Qur'an membeberkan argumentasi-argumentasi orang yahudi yang mereka lontarkan untuk menolak ajaran Muhammad dengan meminta bukti berupa mukjizat kurban yang dimakan api. Setelah al Qur'an menyebutkan semua argumen lawan, maka dibantahnya dengan argumen historis. Yaitu dahulu, nabi-nabi sebelum Muhamad juga telah memberikan bukti berupa mukjizat semacam itu, namun mereka tetap tidak beriman, malahan membunuh nabi-nabi mereka .
Inilah sebagian contoh-contoh retorika dialog al Qur'an. Contoh-contoh tersebut dan yang serupa pada akhirnya menekankan beberapa poin penting. Pertama, retorika dialog yang digunakan adalah al jidâl al ahsan, yakni jidal yang menekankan pada unsur keunggulan, baik keunggulan sikap (budi pekerti) maupun keunggulan argumen. Kedua, retorika dialog al Qur'an mempunyai ciri khusus, yaitu selalu mengulang argumen lawan sebelum membantah argumen tersebut. Tujuannya tidak lain adalah agar tidak terjadi kesalahpahaman pendapat dan tepat dalam melontarkan hujjah. Ketiga, bantahan-bantahan al Qur'an terhadap lawan menggunakan berbagai argumen. Terkadang dengan menyertakan bukti konkrit, argumen rasional hingga historis.
Retorika dialog al Qur'an, perlu dipelajari para da'i Islam dalam menyampaikan pesan-pesan Islam kepada golongan yang disebut oleh para pakar dakwah sebagai ahl al jidâl. Yaitu mereka yang bukan tergolong orang awam maupun cerdik pandai, tetapi mereka yang memiliki pengetahuan tetapi tidak mendalam. Pengetahuan mereka itu perlu diasah dan diperdalam dengan dialog, dan retorika dialog al Qur'an adalah cara yang tepat untuk melakukan tugas tersebut.


C. Retorika Reflektif al Qur'an.

Untuk menyampaikan pesannya, al Qur'an juga menghadirkan bentuk pembicaraan reflektif. Dalam kaitan ini, al Qur'an adalah kitab yang memberi porsi besar kepada pembacanya untuk melakukan penalaran. Hal tersebut dibuktikan melalui banyaknya ayat al Qur'an yang memuat istilah yang berkaitan dengan kegiatan berfikir . Tidak diragukan lagi, tujuannya adalah agar pembaca al Qur'an mengimani pesan-pesan al Qur'an secara sadar dan menerimanya secara logis. Dalam hal ini, penerimaan kebenaran pesan al Qur'an secara logis baru dapat terwujud jika kebenaran tersebut mengejawantah dalam kebenaran di alam empiris. Al Qur'an secara literal merupakan bukti kekuasaan Allah dalam bentuk perkataan (al âyat al qouliyah), dalam hal ini ada konsesus umat muslim untuk mengimani kebenaran literal al Qur'an. Namun demikian, kebenaran logis menuntut lebih dari sekedar kebenaran abstrak. Untuk mencapai kebenaran logis, harus ada korelasi dan sintesa antara kebenaran literal al Qur'an yang bersifat abstrak dengan kebenaran faktual empiris.
Alam raya sebagai hasil kreasi Allah merupakan bukti kekuasaan-Nya yang mengejawantah dalam bentuk faktual (al âyat al kauniah). Dalam kaitan ini, kebenaran abstrak literal al Qur'an di konfirmasi melalui kebenaran faktual ayat-ayat kauniah. Korelasi dan sintesa antara kebenaran abstrak literal al Qur'an dan kebenaran faktual alam raya akan menghasilkan kebenaran kebenaran logis, dan itulah yang ingin ditunjukan al Qur'an kepada pembacanya.
Dalam rangka mencapai tujuan itu, maka al Qur'an seperti terbaca dalam banyak ayatnya mengajak manusia untuk melakukan refleksi (perenungan) terhadap alam raya. Dalam hal ini, al Qur'an menggunakan retorika reflektif, yakni gaya berbicara (khitâb) al Qur'an kepada pembacanya dengan gaya bahasa yang mengajak untuk berfikir, merenung dan menelaah tentang suatu fenomena atau kejadian-kejadian nyata di alam raya ini dengan tujuan mencapai kebenaran hakiki.
Dalam al Qur'an 3:190-191, diperoleh informasi bahwa refleksi dalam artian melakukan perenungan ayat-ayat kauniah, merupakan suatu yang mutlak diperlukan agar manusia dapat menemukan Tuhannya. Alam semesta diciptakan bukan dengan tanpa tujuan, sebaliknya, seluruh benda di alam ini memiliki tujuan penciptaannya masing-masing. Tujuan penciptaan itu kait mengkait dan berakhir pada satu tujuan, yaitu pembuktian tentang kekuasaan dan eksistensi Tuhan. Itulah sebabnya reflektif dalam arti tafakkur tentang alam semesta, dapat mengantarkan manusia menemukan Tuhannya .
Dalam kaitan ini, pesan-pesan al Qur'an ditujukan untuk membentuk sosok muslim yang memiliki keimanan teguh yang sanggup "mempertemukannya" dengan Allah. Untuk itu, maka di antara pesan-pesan al Qur'an ada yang dikemukakan dengan gaya bicara reflektif. Perhatikan ayat berikut

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan" (QS al Baqarah/2: 164).

Melalaui ayat di atas, publik di ajak untuk berefleksi (merenungkan) tentang berbagai fenomena alam seperti proses penciptaan langit dan bumi, perputaran siang dan malam, proses berlayarnya perahu di tengah laut, proses turunnya hujan dan kemudian darinya tumbuh beraneka tanaman yang dimakan hewan ternak, hingga proses berkisarnya angin. Bahwa semua fenomena alam tersebut, merupakan bukti (al dalâil) dari kebesaran kekuasaan Allah ('azim al qudrah) serta hikmah yang mendalam (bâhir al hikmah) .
Bagi Mahaguru Tafsir Ibn Katsir, ayat di atas masih berhubungan dengan ayat sebelumnya (QS al Baqarah, 163). Menurut Ibn Katsir, ayat sebelumnya menjelaskan doktrin (ayat al qouliah) tentang keesaan Allah (tauhid). Sebuah doktrin kebenaran akan kehilangan nilai logisnya jika tanpa disertai bukti-bukti konkret. Maka melalui ayat berikutnya, doktrin keesaan Allah (tauhid) tersebut diperkuat dengan argumen-argumen konkret empirik, yaitu dalam wujud beragam fenomena alam (al âyat al kauniah) .
Lebih lanjut lagi, Ibn Katsir mengutip sebuah riwayat ketika ayat (QS al Baqarah,163) turun, kaum musyrikin bertanya "bagaimana Tuhan yang tunggal bisa mendengar manusia yang plural?" maka turunlah ayat 164 surah Baqarah, sebagai bukti sekaligus seruan untuk merefleksikan fenomena alam (ayat kauniah) agar manusia bisa mencapai pengetahuan mengenai Tuhan yang tunggal (ayat qouliah) .
Contoh serupa juga dapat kita lihat dalam rangkaian ayat berikut.
" Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS al Ghasiah, 17-20).

Menurut pakar tafsir Ibn 'Asyûr, rangkaian ayat di atas berkaitan dengan tema ayat sebelumnya yang berisikan berita tentang hari kiamat, dan keadaan orang yang celaka (ahl al Syaqa') . Orang yang celaka, lanjut Ibn 'Asyur, adalah golongan orang-orang yang tidak mempercayai keesaan Allah (wahdaniat Allah), hari kebangkitan dan pembalasan (yaum al ba'ts wa al Jaza') . Dari deskripsi al Qur'an tersebut, kemudian al Qur'an mengalihkan retorikanya kepada sindirian sekaligus ajakan kepada mereka yang menyangkal keesaan Allah serta hari kebangkitan dan pembalasan, agar melakukan refleksi tentang fenomena-fenomena seperti yang disebut dalam rangkaian ayat. Al Qur'an melalui retorikanya menyuruh manusia untuk memperhatikan tentang beragam fenomena alam, dari mulai proses penciptaan unta, tegaknya langit, kokohnya gunung, hingga fenomena datarnya bumi. Melalui perenungan terhadap ayat-ayat kauniah tersebut, manusia akan sampai pada keyakinan tentang keesaan Allah dan tentang hari kebangkitan dan pembalasan. Korelasinya adalah, "dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam tersebut, maka akan terungkap darinya tanda-tanda kekuasaan sang pencipta (qudrat al khaliq), dan dengan memahami tanda-tanda kekuasaan Allah, maka menjadi logislah ayat qauliah tentang hari kebangkitan dan pembalasan ".
Bagi para da'i, retorika reflektif mutlak diperlukan, terutama jika audien yang dihadapinya adalah golongan cendekiawan dan kaum terpelajar. Demikian retorika reflektif al Qur'an.


D. Retorika Intuitif al Qur'an.

Seperti dijelaskan sebelumnya, retorika al Qur'an bukan hanya menyentuh satu aspek manusia saja, melainkan menyentuh aspek manusia secara keseluruhan. Kalau al Qur'an menyentuh aspek rasio manusia melalui retorika reflektifnya, maka melalui retorika intiuitifnya, al Qur'an menyentuh aspek kejiwaan manusia sembari menyiraminya dengan cahaya iman. Bagi Quraish Shihab, manusia yang disentuh aspek jiwanya tapi diabaikan rasionya adalah seperti robot. Sebaliknya, manusia yang disentuh rasionya, tapi diabaikan jiwanya seperti setan . Karena al Qur'an ditujukan untuk membentuk manusia yang komprehensif, maka selain rasio, jiwa manusiapun menjadi obyek retorika al Qur'an. Retorika al Qur'an yang berfungsi menggugah kesadaran jiwa manusia dan menyiraminya dengan cahaya iman itulah yang dinamakan retorika intuitif al Qur'an.
Di antara contoh retorika intuitif al Qur'an, dapat di simak dalam ayat berikut ini.
" Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran" (QS al Baqarah; 186).


Sayyid Qutb dalam Fî Zilâl al Qur'an, menyebutkan bahwa dalam ayat tersebut terdapat retorika yang sangat dalam menusuk kedalam jiwa manusia (a'mâq al nafs) dan bisikan kedalam nuraninya (khafâyâ al sarîrat) . Menurut Qutb, ayat di atas merupakan peredam dan penghilang segala kesulitan dan perjuangan umat muslim setelah menjalankan ibadah puasa dengan janji kedekatan-Nya akan hamba dan Ijabah do'a mereka . Segala perjuangan dan kesulitan yang di alami umat muslim dalam menjalankan puasa, lanjut Qutb, hilang seketika ketika intuisinya disentuh oleh ayat tersebut yang penuh dengan retorika kasih sayang, kelembutan, dan kedekatan Tuhan akan hamba-Nya . Bagi Qutb, ayat-ayat yang berisi retorika intuitif seperti inilah yang membuat seorang mukmin makin percaya dan optimis dalam menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangannya, dan ayat seperti inilah yang mengkonversi seorang mukmin menjadi seorang muttaqin . Bagi para da'i, retorika intuitif mutlak diperlukan dalam rangka menggugah emosional mad'u dan menghidupkan intuisi yang mati (ihyâ al syu'ûr al rabbâniyah). Demikian retorika intuitif al Qur'an

E. Retorika Reward (tabsyîr) dan Punishment (tanzîr).

Sesungguhnya Allah telah mengkaruniakan manusia kemampuan untuk memilih yang baik dan menyelamatkan dirinya dari yang buruk dan mencelakakan dirinya. Namun demikian, terkadang manusia lalai dari petunjuk tersebut dan memilih yang sebaliknya. Di sisi lain Allah maha pengasih dan penyayang hambanya, dia tidak merelakan hambanya memilih kesesatan kemudian celaka. Sebaliknya, Allah menginginkan mereka berada dalam petunjuk-Nya dan mendapat ridlanya. Karena sifat rahman dan rahim-Nya itu, maka diutuslah kepada manusia para rasul yang membawa kabar gembira sebagai upah (reward) bagi orang yang memilih petunjuk dan peringatan sebagai ancaman (punishment) bagi mereka yang memilih kesesatan. Dalam al Qur'an, kabar gembira dan ancaman itu disajikan dalam bentuk retorika yang termuat dalam ayat-ayat tabsyîr dan tanzîr.
Tabsyîr menurut al Asfîhany, adalah pemberitaan mengenai sesuatu yang menyenangkan atau membuat wajah berseri. Dalam hal ini, ayat-ayat tabsyîr memang berisi retorika mengenai kabar gembira dan janji pemberian "upah" bagi mereka yang mengikuti petunjuk. Sebagai lawan dari tabsyîr, tanzîr berarti pemberitaan yang berisi kecaman (khawwafahu) dan ancaman (hadzdzarahu) . Dalam hal ini, ayat-ayat tanzîr berisi retorika "kecaman" terhadap para pembangkang sekaligus "ancaman" tentang siksa dan hukuman yang akan didapat bagi mereka yang memilih kesesatan. Perhatikan rangkaian ayat berikut

"Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang Suci dan mereka kekal di dalamnya" (QS al Baqarah/2: 24-25).

Rangkaian ayat di atas berkaitan dengan ayat sebelumnya yang berisi tantangan al Qur'an kepada manusia agar membuat satu surah yang sepadan. Kemudian al Qur'an melanjutkan tantangannya itu dengan retorika tanzîr dan tabsyîr. Bagi manusia yang angkuh dan tetap dalam kekufuran setelah mengetahui kelemahannya akan tantangan al Qur'an, mereka diancam dengan siksa neraka yang pedih . pemberitaan tentang ancaman bagi mereka yang angkuh dan kufur dalam ayat di atas, merupakan retorika tanzîr al Qur'an. Tujuan dari retorika tersebut adalah membendung lahirnya potensi negatif dari manusia melalui kecaman dan ancaman.
Sedangkan bagi orang-orang yang ta'at mengikuti petunjuk, al Qur'an berbicara dengan retorika tabsyîr, yakni menggembirakan mereka dengan kabar baik perihal "upah" yang akan diperoleh dikemudian hari. Tujuan dari retorika tabsyîr, yaitu membujuk dan mengukuhkan potensi positif manusia agar lahir darinya tashdîq (iman) dan amalan-amalan saleh . Demikian retorika tabsyîr dan tanzîr dalam al Qur'an.


F. Retorika Ta'lîf dan Tahdîd.

Dalam hubungan dengan kelompok luar, islam merupakan agama yang mengajarkan penganutnya untuk bersikap ramah dan lembut (frendship) serta toleran terhadap siapa saja yang mengedapankan persahabatan dan perkawanan . Sedangkan terhadap golongan yang memusuhi dan menteror, islam bersikap tegas dengan menampilkan wajahnya yang kasar dan sangar . Adapun wajah islam yang ramah dan lembut, dimaksudkan untuk mencairkan hubungan, mengundang hubungan diplomatis, dan menciptakan pola pergaulan yang dinamis dan sinergis. Sedangkan penampilan islam yang kasar dan sangar, ditujukan untuk menggetarkan dan menakut-nakuti musuh atau mengendorkan nyali lawan dan mengurungkan niat jahat mereka.
Kedua sisi wajah islam tersebut, diungkapkan kepada publik melalui retorika ayat-ayat ta'lîf dan tahdîd. Adapun yang dimaksud dengan retorika ta'lîf adalah cara al Qur'an menyampaikan pesannya dengan gaya bahasa yang lemah lembut, ramah, bersahabat dan diplomatis . Sedangkan yang dimaksud retorika tahdîd, adalah gaya bahasa al Qur'an yang tegas menampilkan wajah islam yang kasar dan sangar dengan maksud menakuti dan menggetarkan orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kesumat dan permusuhan . Perhatikan contoh ayat berikut.


                                
"Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS Ali 'Imran /3: 64 ).


Dalam karyanya Dur al Mantsur, al Suyuty menyebutkan suatu riwayat berkenaan dengan ayat di atas. Menurut al Suyuty, ayat tersebut pernah di tulis nabi Muhammad dalam suratnya kepada penguasa Rumawi, Heraklius . Melalui surat tersebut, nabi Muhammad menyertakan ayat al Qur'an yang berisi retorika ta'lif dengan tujuan membina hubungan diplomatis dengan umat lain (dalam hal ini umat nasrani Rumawi) dan mengajak mereka kepada Islam atau setidaknya hubungan pertemanan dan persahatan. Retorika ta'lif ini ditujukan kepada Heraklius yang pada saat itu merupakan pemimpin umat nasrani Rumawi yang cenderung menunjukan persabatan dan perkawanan dengan umat muslimin . Sikap dan kebijakan serupa ditunjukkan oleh nabi Muhammad ketika melakukan hubungan diplomatis dengan Mauqauqis, raja Qibti yang juga bersahabat dan berkawan dengan muslimin . Seperti ditunjukan oleh al Qur'an, ayat yang berisi retorika demikian ditujukan khusus kepada mereka yang menunjukan persahabatan dan perkawanan.
Berbeda misalnya dengan perlakuan kepada mereka yang menunjukan permusuhan dan pertentangan. Perhatikan ayat berikut
"Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka Telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir" (QS al Baqarah/2: 191).

Menurut pakar tafsir al Qasimy, ayat di atas masih berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menyuruh membalas memerangi orang-orang yang memusuhi kaum muslimin . Kaum musyrikin Mekkah, lanjut al Qasimy, telah menebarkan fitnah yang sangat dahsyat kepada kaum muslimin. Perbuatan kejam kaum musyrik yang telah menteror, mengusir dan menjarah harta kaum muslimin serta pengingkaran mereka terhadap perjanjian hudaibiah tidak bisa dibiarkan saja. Untuk itu, al Qur'an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk membalas kekejian perbuatan orang-orang kafir .
Ayat di atas dan yang serupa menurut pemikir kondang Yusuf al Qardhawi, bukanlah bermaksud menebarkan kerusakan atau angkara murka. Sebaliknya, lanjut al Qardhawi, hal demikian dimaksudkan sebagai reaksi atas perlakuan buruk pihak luar kepada umat muslimin . walaupun zahirnya adalah tindakan kekerasan, akan tetapi pada hakekatnya adalah sebagai rahmat, yakni pembelaan diri terhadap eksistensi agama, negara dan hak-hak asasi manusia . Untuk tujuan-tujuan seperti disebut di atas itulah, al Qur'an berbicara melalui retorika tahdîd. Demikian retorika ta'lîf dan tahdîd al Qur'an.


G. Retorika Tasysyabbuhât dan Tahakkumât.

Sebagai mahluk multidimensi, manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah sah mendapatkan mandat untuk menjadi pengelola alam ini. Untuk melakukan tugas tersebut, manusia di tuntut untuk memunculkan kreatifitas dan inovativitasnya guna mengembangkan alam ini. Hal tersebut tentunya hanya dapat dilakukan jika manusia menggunakan akalnya secara optimal . Melalui akalnya, manusia melakukan penyelidikan-penyelidikan di alam empris. Selanjutnya dari penyelidikan dan penelitan manusia terhadap alam menghasilkan dua keuntungan. Pertama, keuntungan pengetahuan. Sifat dasar manusia yang cenderung ingin tahu terhadap fenomena-fenoma di sekitarnya, mendorongnya untuk melakukan penyelidikan dan penelitian. Melalui penyelidikan dan penelitian terhadap alam, manusia mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang memuaskan hasratnya. Kedua, keuntungan pengembangan, yang kedua ini merupakan implikasi dari keuntungan yang pertama. Jika manusia telah mengetahui tentang rahasia-rahasia alam, maka yang berikutnya dilakukan adalah melakukan pengembangan terhadap alam. Kegiatan pengembangan manusia terhadap alam pada akhirnya menghasilkan banyak sekali penemuan baru yang memudahkan kehidupan mereka . Karena ini adalah sisi positif, dalam hal ini al Qur'an berbicara kepada manusia dengan retorika yang memotivasi nalar agar menghasilkan kreatifitas dan inovativitas di alam ini, inilah yang disebut retorika tasysyabbbuh dalam al Qur'an. Diistilahkan demikian, karena al Qur'an membicarakannya dalam ayat-ayat mutasyabihât.
Di sisi lain, terdapat alam lain di luar alam fenomenal ini yang jauh dari jangkauan nalar manusia, di sinilah letak kelemahan manusia. Keterbatasan dan kelemahan nalar manusia pada akhirnya mengharuskan ia untuk menangguhkan segala pengetahuannya, menahan hasratnya dan mengurungkan segala usahanya kearah yang dimaksud . Karena segala usaha tersebut tidak akan pernah membuahkan hasil, sebaliknya malah menyebabkan kesia-siaan dalam hidup. Sebaliknya, al Qur'an menghendaki agar hidup manusia yang singkat di alam dunia ini menjadi maksimal. Untuk maksud tersebut, dalam pengetahuan yang berada diluar jangkauan nalar manusia, al Qur'an berbicara dengan gaya bahasa yang kaku dan menutup akses aktivitas nalar manusia. Dalam al Qur'an, gaya bahasa tersebut terekam dalam retorika tahakkum. Disebut demikian, karena retorika yang terakhir ini ditemukan dalam ayat-ayat muhkamât al Qur'an.
Perhatikan contoh ayat berikut

"..Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan. Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan " (QS al Nur/24: 43-44).

Kemudian bandingkan dengan ayat berikut

"..Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (QS al Isra'/17: 85).

Bagi penafsir kondang M. Quraish Shihab dengan mengutip pendapat Hanafi Ahmad dalam buku Al Tafsir Al 'Ilmi lil Ayat Al Kauniah, rangkaian ayat pertama dan yang serupa berisi pesan al Qur'an kepada umat manusia untuk meneliti tentang fungsi angin dalam kaitannya dengan proses turunnya hujan . Melalui penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa ayat-ayat demikian ini memiliki potensi untuk mendorong aktivitas nalar manusia untuk melakukan penyelidikan terhadap alam fenomenal. Pernyataan tersebut diperkuat melalui penjelasan di tengah ayat, yang menyebutkan bahwa dalam penampakan fenomenal alam terdapat pelajaran bagi mereka yang memiliki penglihatan (uli al absar). Menurut pakar tafsir al Râzi, yang dimaksud dengan orang yang memiliki penglihatan di sini adalah orang yang melakukan penelitian dan penyelidikan sebagai lawan orang yang ikut-ikutan (taqlid) .
Kalau rangkaian ayat sebelumnya mengandung isyarat al Qur'an yang memotivasi munculnya kreasi dan inovasi manusia, maka pada ayat kedua ini al Qur'an adalah sebaliknya. Menurut pakar tafsir al Zamakhsâri, ayat di atas menjelaskan tentang ketidaksanggupan manusia untuk mengetahui hakekat ruh (mâhiat al rûh) . Pengetahuan mengenai ruh, lanjut al Zamakhsari, bukanlah wilayah nalar diskursus manusia, melainkan berasal dari wahyu dan kalam Allah semata . Karena nalar manusia tidak memiliki peran dalam mengetahui ruh, berarti manusia tidak memiliki kemampuan untuk meneliti hakekat ruh dalam tataran empirik, dan karena tidak bisa diteliti, berarti manusia tidak diperbolehkan untuk berspekulatif. Dengan demikian, semua pengetahuan tentang bahasan yang satu ini hanya bisa diambil datanya melalui wahyu al Qur'an, lain tidak.


H. Retorika Analogi al Qur'an.

Sesunggguhnya al Qur'an berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh kelompok dan golongan manusia. Petunjuk tersebut diungkapkan dalam bentuk pesan-pesan yang berisi kebenaran. Sebagai kitab yang berisi informasi kebenaran, kebenaran al Qur'an mencakup kebenaran empirik dan kebenaran abstrak. Di sisi lain, merupakan golongan terbanyak dari manusia adalah golongan awam (manusia pada umumnya/ arab: 'amat al nas). Lebih lanjut, golongan awam tidaklah sama dengan golongan cendikiawan yang memiliki kemampuan intelektual untuk mencerna kebenaran-kebenaran abstrak. Sebaliknya, golongan awam, hanya bisa menangkap kebenaran-kebenaran yang bersifat empirik .
Sebagai kitab yang berfungsi menyampaikan informasi kebenaran kepada semua golongan, al Qur'an menempuh jalan analogi (darb al amtsal) untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang bersifat abstrak. Dengan cara demikian, setiap audien al Qur'an dapat memahami seluruh pesan al Qur'an. perhatikan contoh ayat berikut

"…Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat Melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)..." (QS al Baqarah/2: 17-19).

Melalui ayat di atas, al Qur'an bermaksud menyampaikan kebenaran informasi mengenai kelakuan orang-orang munafik yang sangat aneh dan menakjubkan. Bagi pakar tafsir kondang Quraish Shihab, kebenaran tentang kelakuan aneh orang-orang munafik itu bersifat abstrak dan sangat sukar dipahami secara awam . Lebih dari itu, untuk memahami sikap mereka diperlukan pemikiran yang mendalam. Agar pesan al Qur'an tersebut dapat dengan mudah dipahami, maka kebenaran abstrak tersebut harus diungkapkan dalam bentuk kebenaran konkrit yang mudah ditangkap panca indra (mahsusât).
Orang-orang munafik, lanjut Shihab, pada mulanya meminta kepada Allah agar diturunkan petunjuk kepada mereka. Namun setelah petunjuk yang terang benderang (hidayah al Qur'an) ada di sekitarnya, mereka malah menyia-nyiakannya. Akibat dari tingkah laku yang aneh dan tidak wajar itu, maka Allah tutup petunjuk yang menerangi mereka itu sehingga mereka tidak dapat mendengar nasihat, mengucapkan kalimat hak ataupun melihat tanda kebesaran Allah .
Bagi orang awam, abstraksi tersebut terlalu sulit dipahami. Agar dapat dipahami, maka al Qur'an mengungkapkannya melalui retorika analogi. Melalui ayat tersebut, orang-orang kafir dan munafik dianalogikan seperti orang yang meminta diterangi dengan nyala api. Setelah api itu menyala, mereka malah menyia-nyiakan cahayanya. Akibatnya, cahaya dari nyala api itu dihilangkan dan merekapun dibiarkan kegelapan. Demikian retorika analogi al Qur'an, dan masih banyak lagi contoh lain yang tidak mungkin disebutkan di sini.


I. Penutup.

Al Qur'an merupakan inti sari dari ajaran Islam. Sebagai inti sari Islam, maka retorika-retorika yang terdapat dalam al Qur'an pada dasarnya adalah retorika Islam itu sendiri. Retorika al Qur'an sebetulnya bertujuan untuk menyampaikan pesan-pesan dan menampilkan wajah Islam yang seharusnya. Dalam kaitan ini, retorika al Qur'an adalah retorika yang bersih dari kepentingan-kepentingan subyektif dan semata-mata berpedoman kepada kebenaran. Retorika al Qur'an memiliki beberapa karakteristik seperti fleksibilitas, obyektifitas, dan idealis-aktualis.
Retorika al Qur'an adalah retorika fleksibel, maksudnya retorika al Qur'an selalu berubah seiring dengan berubahnya kondisi audien. Hal demikian dimaksudkan agar pesan-pesan al Qur'an yang universal itu dapat diterima secara aktual oleh setiap audiennya diberbagai tempat (place) dan masa (time).
Retorika al Qur'an juga merupakan retorika yang obyektif, maksudnya retorika al Qur'an benar-benar bertujuan untuk menyampaikan kebenaran secara obyektif dan bebas dari subyektifitas pribadi si retorer. Berbeda dengan retorika pada umumnya yang masih sering mengandung berbagai kepentingan-kepentingan untuk maksud dan tujuan tertentu bahkan menyimpang dari kebenaran. Hal demikian dikarenakan ia berasal dari Tuhan semesta alam yang maha kaya, yang tidak memiliki kepentingan terhadap manusia serta disampaikan oleh manusia yang jujur dan terpercaya (Muhammad). Sehingga seluruh pesannya benar-benar berpihak kepada kebenaran dan kemanusiaan.
Terakhir, retorika al Qur'an berkarakteristik idealis-aktualis, maksudnya retorika al Qur'an mendorong audiennya agar menuju kesempurnaan hakiki tanpa mengabaikan realitas dan kenyataan yang tampak disekitarnya. Misalnya, al Qur'an mengajak untuk beriman kepada Allah, namun di sisi lain ia tidak mengingkari keberadaan manusia. Kemudian ketika al Qur'an menyeru manusia untuk menuju kesempurnaan spiritual, ia tetap menyeru untuk tidak meremehkan material. Di sisi lain, jikalau al Qur'an menyeru manusia untuk melakukan ibadah syar'iyah, ia tetap menekankan perlunya nilai moral sebagai ruh dari ibadah tersebut. Kemudian seruan untuk mengagungkan akidah, disertai dengan seruan untuk menyebar toleransi dan kasih sayang. Walaupun al Qur'an mengajak kepada keseriusan dan konsistensi, ia tidak lupa menyuruh mereka untuk mengimbanginya dengan dengan istirahat dan berhibur (al tamatta'). Kemudian ketika al Qur'an menggebu-gebu menyeru kepada kemajuan dan masa depan, ia tetap berpesan tentang perlunya mengambil i'tibar dari pelajaran yang lalu-lalu. Juga ketika al Qur'an menyuruh untuk berperang melawan terorisme, ia tidak lupa mengingatkan audiennya agar jangan berlampau batas dalam melakukan perlawanan. Ketika al Qur'an menyeru da'i untuk mengajak manusia kejalan Allah, ia tidak lupa mentarbiah si da'i agar komitmen antara perkataan dan perbuatan. Begitulah indahnya retorika al Qur'an.
Para da'i sebagai pengemban pesan al Qur'an seyogyanya menekuni dan mempelajari metoda-metoda retorika al Qur'an dalam menyampaikan pesan dakwahnya. Dengan demikian, dakwah mereka tepat mengenai sasarannya dan terhindar dari kepentingan-kepentingan duniawi yang bukan tujuan dari dakwah itu sendiri.

Wallahu a'lam bi al sawwab.
Prio khotman, 1 jumadil Tsani 1430 H/26 May 2009.
Bagian Pertama.
MODEL DAKWAH DAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF SURAH IBRAHIM
Prio Hotman,MA.


A. Pendahulan.

Dalam mushaf, surah Ibrahim berada dalam urutan yang ke empat belas setelah surah al Ra'du. Sedangkan menurut turunnya, surah Ibrahim merupakan surah yang ketujuh puluh dua. Surah Ibrahim yang terdiri dari lima puluh dua ayat itu, keseluruhannya di turunkan di makkah. Menurut Mana' Khalil al Qattani, surah-surah al Qur'an yang diturunkan di Mekkah bercirikan pertama, menekankan pada pembahasan (tema) tauhid. Kedua, mengedepankan cerita-cerita umat terdahulu sebagai i'tibar bagi umat dan penghibur bagi Nabi Muhammad. Ketiga, berisikan inti syariat agama dan inti akhlak (budi pekerti) yang mulia. Keempat, pada umumnya surah-surahnya pendek dan ringkas.
Adapun kaitan (munasabah al surah) surah Ibrahim dengan surah sebelumnya, yakni surah al Ra'du. Surah al Ra'du berbicara mengenai tentang kebenaran al Qur'an sebagai wahyu Allah. Seperti namanya, tema surah al Ra'du terkait dengan ayat yang berbunyi "…huwallazdi yurikumul barqa khaufan wa tama'an…". Menurut ayat tersebut, kebenaran al Qur'an seumpama petir (al barq), yakni sama-sama menunjukkan tentang adanya kecemasan (khaufan) dan harapan (tama'an). Kecemasan akan didapatkan oleh setiap orang yang meragukan atau mendustakan al Qur'an, adapun harapan akan didapatkan oleh setiap orang yang membenarkan dan mengamalkan ajaran al Qur'an. Sedangkan surah Ibrahim berbicara mengenai tujuan kebenaran al Qur'an tersebut, yakni mengajak dan mendidik manusia dari kegelapan (al zulumat) kepada kehidupan yang terang benderang (al nur).
Sebagaimana surah makkiah pada umumnya, surah Ibrahim bertemakan tauhid. Namun demikian surah Ibrahim berbeda dengan surah-surah makkiah yang lain. Jika surah makkiah pada umumnya berayat pendek, seperti surah al Ikhlas, al Kafirun dan yang lainnya, maka surah Ibrahim memiliki ayat-ayat yang panjang. Panjang atau pendeknya ayat dalam surah makkiah, mengindikasikan seberapa besar urgensi pembahasan tema tauhid di dalamnya. Artinya, surah Ibrahim memiliki perhatian yang cukup besar terhadap tema tauhid. Hal demikian dapat dipahami, mengingat nabi Ibrahim adalah nabi pertama yang mendapatkan pengalaman keesaan tuhan (monoteisme) melalui pengalaman akal. Sedangkan nabi-nabi lainnya mendapatkan informasi tauhid berdasarkan wahyu. Atas dasar keterangan demikian, maka nabi Ibrahim ditetapkan sebagai bapak Monoteisme sedunia.

B.Tema umum Surah Ibrahim.
Pertama, Berintikan tentang dakwah dan pendidikan tauhid.
Kedua, gaya ungkap informasi surah Ibrahim menekankan tentang urgensi untuk memperhatikan kelas-kelas mad'u/peserta didik serta potensi (opportunity) dan tantangan (treat) dakwah.
Ketiga, tema dalam surah Ibrahim berbeda dengan kebanyakan surah al Qur'an. Jika dalam surah yang lain terkadang berfokus pada beberapa buah tema pokok, maka surah Ibrahim berfokus hanya pada satu pembahasan tanpa melampauinya dengan tema pembahasan yang lainnya sama sekali, yakni dasar-dasar akidah tauhid. Hal demikian dimaksudkan untuk pemantapan dan penyempurnaan pendidikan tauhid al Qur'an.
Keempat, dalam memantapkan dan penyempurnaan pendidikan tauhid tersebut, al Qur'an menggunakan metode pendekatan historis untuk menjelaskan tema tersebut melalui kesatuan materi dan ajaran para Rasul.
Kelima, untuk membentuk kesempurnaan pendidikan tauhid, surah Ibrahim menetapkan perihal dikotomi antara iman dan kafir. Iman dalam surah Ibrahim ditunjukan sebagai pendidikan yang didasari pada ketundukan terhadap perintah Tuhan. Sedangkan kekafiran, dalam surah Ibrahim ditunjukan sebagai penentangan terhadapnya. Terkadang penentangan tersebut bukanlah hal yang mendasar atas keyakinan tauhid, sehingga kekafiran tersebut diperhitungkan sebagai kufur ringan (lam yakun kufran bi 'ainihi).

C.Deskripsi Pendekatan Pendidikan Dalam Surah Ibrahim.
Pendidikan tauhid merupakan orientasi yang paling urgen sebelum pendidikan lainnya. Hal demikian karena pendidikan tauhid merupakan dasar dari segala pendidikan yang tanpanya akan terjebak dalam suatu sirkulasi pembelajaran tanpa pijakan dan tanpa tujuan. Di katakan tanpa pijakan, karena pendidikan yang tidak didasari pada tauhid memiliki dasar yang rentah dan rapuh serta tidak memiliki ketahanan dalam menghadapi dinamika persoalan yang kompleks. Di katakan tanpa tujuan, karena pendidikan demikian ini akan berputar-putar pada suatu lingkaran fana yang tidak bertepi. Dalam kaitan ini, pendidikan non tauhid yang terjadi di negera-negara barat dapat dijadikan contoh. Fenomena degradasi moral dan humanisasi yang terjadi dibarat, dapat diindikasikan sebagai akibat dari pendidikan non tauhid.
Seperti terbaca dalam surah Ibrahim, ditemukan dua macam pendekatan pendidikan yang dipakai untuk membentuk dasar dan tujuan pendidikan tauhid. yaitu pendekatan ayat kauniah, dan pendekatan ayat syar'iyyah.
Pertama, pendekatan perenungan terhap ayat-ayat kauniah. Seperti namanya, pendekatan ini berupa ayat-ayat yang membicarakan mengenai beragam fenomena yang terdapat dalam alam makro (dunia) dan alam mikro (manusia). Tujuan yang ingin dicapai melalui pendekatan ini adalah menghilangkan keraguan politeis dan mengarahkan peserta didik kepada kemantapan pemikiran tauhid.
Perhatikan misalnya surah berikut ini "Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah Telah menciptakan langit dan bumi dengan hak? jika dia menghendaki, niscaya dia membinasakan kamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru" (QS Ibrahim/19).

Melalui ayat ini, peserta didik diarahkan al Qur'an supaya merenungkan mengenai fenomena-fenomena alam sebagaimana diciptakan pada awal mulanya. Jika semua ciptaan ini pada mulanya tidak ada, kemudian atas kekuasan Allah diciptakanlah segala yang ada, maka bukanlah suatu hal yang sulit untuk melenyapkannya kembali dan menggantinya dengan wujud lain yang ia kehendaki pula. Hal demikian hanya mungkin dilakukan oleh zat yang satu dan mampu mengatur ciptaan tersebut. Inilah salah satu bentuk pengajaran tauhid al Qur'an.
Ayat ini juga mengandung ancaman bagi mereka yang menentang kekuasaan Allah dan melecehkan perintahnya. Mereka itu bukanlah apa-apa, jikalau Allah mau bisa saja Allah lenyapkan eksistensi mereka sebagai mahluk dan menggantinya dengan suatu eksistensi sesuai yang ia inginkan. Yang demikian itu bukanlah suatu yang sulit bagi Allah. Menurut M.Quraish Sihab, ayat ini mengandung pengertian bahwa keesaan Allh ditunjukan dengan kemampuannya untuk menciptakan atau melenyapkan mahluk.
Perhatikan pula misalnya ayat al Qur'an berikut ini "…Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan dari langit air, kemudian dia mengeluarkan dengannya berbagai buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Dia pula yang telah menundukan bahtera bagi kamu supaya ia berlayar di lautan dengan kehendak-Nyadan dia telah menundukan bagi kamu sungai-sungai. Dan dia telah menundukkan pula bagi kamu maahari dan bulan yang terus beredar serta malam dan siang…" (QS Ibrahim, 32-33).
Kalau ayat yang pertama, al Qur'an surah Ibrahim memberikan pendidikan tauhid melalui pendekatan ayat kauniah mengenai kemampuan untuk menciptakan atau melenyapkannya. Maka pada ayat yang disebut terakhir al Qur'an memberikan pendidikan tauhid kepada peserta didiknya melalui pendekatan ayat kauniah mengenai fenomena sinergis antar ciptaan. Perenungan tersebut bermaksud untuk menyimpulkan bahwa kemampuan meletakkan sinergisitas antar ciptaan hanya mungkin dilakukan oleh zat yang satu. Demikian pendekatan ayat kauniah menyandarkan pada aspek kekuatan dan kepercayaan logis.
Kedua, pendekatan perenungan (ta'ammul) terhadap ayat-ayat syar'iyyah. Pendekatan ini menekankan pada aspek sunatullah yang biasa terjadi terkait dengan ketundukan kepada aturan Allah (al inqiyad li syar'i Allah) atau penentangan terhadap aturan Allah dan larangannya (al tammarud 'ala amrihi wa nahyihi). Melalui perenungan terhadap ayat syar'iyyah, akan diperoleh pemahaman bahwa ketundukan merupakan preposisi atas perolehan pahala, ketetapan eksistensi, keselamatan dan beragam akibat baik lainnya. Sebaliknya, penentangan berujung pada perolehan siksa, kehancuran dan kecelakaan. Pendekatan terhadap ayat syar'iyyah atau disebut juga ayat kauliah, menyandarkan kepada kekuatan iman atau intuitif.
Baik ketundukan maupun penentangan terhadap ayat syar'iyyah dan segala konsekuensi yang muncul dari keduanya, tersaji dalam surah Ibrahim dalam bentuk kesaksian-kesaksian atau bukti konkrit yang terekam dalam beragam ayat. Kesaksian-kesaksian yang dimaksud adalah kesaksian kehancuran umat, kesaksian pertikaian penghuni neraka, kesaksian maklumat iblis, kesaksian penghuni surga, dan kesaksian hari di mana tidak ada transaksi dan pertolongan.
Pertama, kesaksian kehancuran umat atau kelompok masyarakat. Untuk mendidik dan mengarahkan kepada tauhid, surah Ibrahim menunjukan bukti konkrit berupa kehancuran suatu umat yang pernah terjadi pada masa sebelum ini. Bukti demikian ini dimaksudkan sebagai kesaksian sejarah tentang perihal orang-orang yang menentang instruksi Tuhan seperti kehancuran kaum 'Ad dan Tsamud yang mendustakan ajakan para rasul. Seperti misalnya dalam ayat berikut ini "…Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, 'Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang rasul-rasul kepada mereka (membawa) bukti-bukti yang nyata lalu mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan Sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya…".

Kedua, kesaksian pertikaian para penghuni neraka. Untuk mendidik dan mengarahkan peserta didiknya kearah tauhid, surah Ibrahim memiliki bukti lain yang patut ditunjukan kepada mereka. Bukti yang dimaksud adalah bukti mengenai keadaan mereka yang menentang instruksi Tuhan setelah mereka mendapatkan balasannya di neraka jahannam. Dalam pada itu, surah Ibrahim menunjukan keadaan jiwa mereka seperti penyesalan atau merugi sehingga mereka saling bertikai dan menyalahkan satu sama lainnya akibat perbuatan mereka. Perhatikan misalnya ayat berikut "…Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, Maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? mereka menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri…". (QS Ibrahim, 21).

Ketiga, maklumat Iblis. Informasi berikutnya yang diberikan surah Ibrahim dalam mengarahkan peserta didik kepada tauhid adalah dengan menunjukkan bukti mengenai maklumat Iblis di hari kiamat. Dalam pada itu, penentangan dan pelecehan terhadap perintah Tuhan dinilai sebagai suatu ketundukan kepada Iblis, sebaliknya penentangan dan pelecehan terhadap ajakan Iblis dinilai sebagai ketundukan terhadap perintah Tuhan. Iblis sebagai pemrakarsa penentangan kepada instruksi Tuhan mengajak manusia kepada "kegelapan hidup" dengan berbagai rayuan dan bujukan. Namun demikian, manakala rayuan dan bujukan itu tidak terwujud Iblis memaklumkan kepada pengikutnya demikian ini "…sesungguhnya Allah menjajikan kepada kalian dan ia tepati, aku juga berjanji kepada kalian tapi aku ingkari. Aku tidak memiliki wewenang apa-apa saat ini cuma aku ajak kalian dan kalian sendiri yang mau. Karena itu jangan sekali-kali kalian mencaci aku, tapi cacilah diri kalian sendiri….." (QS Ibrahim, 22).
Keempat, bukti kenikmatan penghuni surga. Jika penentangan terhadap instruksi Tuhan telah terbukti melalui persaksian penghuni neraka dan diperkuat dengan maklumat Iblis, maka untuk mengarahkan peserta didiknya kearah tauhid surah Ibrahim menunjukkan bukti tentang ketundukan terhadap instruksi Tuhan melalui persaksian penghuni surga. Perhatikan ayat berikut ini "…Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seizin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam syurga itu ialah "salaam" (QS Ibrahim, 23).

Kelima, bukti hari ketiadaan transaksi dan pertolongan. Jika ketundukan kepada instruksi Tuhan dibuktikan dengan penghuni surga dan penentangan terhadap Instruksi Tuhan dibuktikan melalui persaksian penghuni neraka dan diperkuat dengan maklumat Iblis, maka ketentuan yang demikian ini adalah suatu yang mutlak dalam arti tidak bisa dinegoisasi. Jika ketentuan-ketentuan duniawi masih memiliki celah untuk direkayasa dan dinegoisasi, maka yang demikian ini menurut surah Ibrahim tidak lagi dapat ditemukan di hari pembalasan. Ketentuan yang berlaku terhadap mereka yang mengikuti instruksi Tuhan tidak bisa ditukar tambah dengan ketentuan mereka yang menentang. Dengan adanya ketegasan demikian ini, tidak mungkin lagi ada kesempatan untuk menolong satu pihak terhadap pihak yang lainnya. Inilah satu bukti lagi yang diberikan surah Ibrahim untuk mengarahkan peserta didiknya kearah tauhid. perhatikan ayat berikut "…Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang Telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan…" (QS Ibrahim, 31).

D.Metode Pendidikan Surah Ibrahim.

Seperti terbaca dalam surah Ibrahim, ditemukan beberapa metode pendidikan yang digunakan dalam mengarahkan peserta didik kepada tauhid.
Pertama, sasaran pendidikan surah Ibrahim (menentukan sasaran pendidikan). Setiap pendidikan tanpa sasaran atau orientasi adalah sebuah pendidikan yang rapuh dan rentan. Demikian dikatakan, karena ia tidak memiliki dasar yang kuat dan petunjung sebagai penopang pelaksanaan langkah-langkah pendidikan. Pendidikan yang demikian ini secara maksimal hanya akan menyentuh wilayah material dari aspek yang diajarkan pada peserta didik. Akibatnya cita-cita membangun manusia seutuhnya secara mental-fisik, jasad-ruhani, material-spiritual tidak akan mungkin terwujud. Untuk maksud demikian ini, surah Ibrahim menekankan pendidikannya pada suatu orientasi dan tujuan pendidikan yang kuat yakni, tujuan atau orientasi tauhid.
Orientasi pendidikan tauhid yang dimaksud dalam surah Ibrahim, adalah sasaran pendidikan di mana pendidik dan peserta didik terhubung dalam suatu titik temu yakni tauhid dan 'ubudiah. Pengertian ini diperoleh melalui firman Allah "…jauhilah aku (Ibrahim sebagai pendidik) dan keturunanku (peserta didik) dari menyembah berhala…".
Kedua, menentukan lingkungan pendidikan. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dari sasaran pendidikan adalah lingkungan pendidikan yang baik. Pendidik yang sukses menurut surah Ibrahim adalah pendidik yang mampu memilih atau membentuk (menciptakan) lingkungan yang baik bagi peserta didiknya. Lingkungan pendidikan yang baik adalah lingkungan pendidikan di mana memiliki potensi besar bagi seorang pendidik untuk menumbuhkan nilai-nilai tauhid (pengakuan terhadap keesaan Tuhan) dan 'ubudiah (kemauan untuk mewujudkan jiwa tauhid dalam aplikasi kepatuhan terhadap perintah Tuhan) dan melenyapkan segala anasir-anasir kebatilan dan penentangan Tuhan. Perhatikan misalnya doa nabi Ibrahim berikut ini "…ya Tuhan jadikanlah negeri Mekkah ini sebagai negeri yang aman…". Keamanan yang dimaksud dalam doa nabi Ibrahim di atas adalah keadaan dimana suara tauhid dapat dikumandangkan dan suara kebatilan dapat dipadamkan. Inilah lingkungan pendidikan yang ideal di mana faktor sumber daya alam tidak menjadi faktor utama dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Firmannya "…negeri yang tiada tumbuhan…". Selain memiliki potensi yang kuat dalam menegakkan kalimat tauhid, lingkungan pendidikan yang ideal adalah lingkungan pendidikan yang memiliki instrumen preventif yang berfungsi untuk mencegah munculnya benih-benih kejahatan syetan. Faktor lain dalam lingkungan pendidikan yang ideal adalah faktor kebaikan yang dominan dari pada keburukan. Lingkungan yang keburukannya lebih dominan dari kebaikannya tidak dapat digunakan sebagai lingkungan pendidikan, di sini letak pentingnya hijrah.
Ketiga, aktualisasi nilai-nilai pendidikan tauhid peserta didik. Tauhid bukanlah suatu pengetahuan hati belaka, lebih dari itu, tauhid adalah sebuah keyakinan yang memiliki implikasi besar bagi amalan real. Tauhid berakar dari hati, di ucapkan melalui lisan dan di wujudkan dalam amalan aplikatif. Untuk tujuan ini, pendidikan tauhid bukanlah sebuah pendidikan yang hanya mementingkan keyakinan belaka. Lebih dari itu, pendidikan tauhid harus mampu mengaktualisasikan nilai-nilai tauhid yang diyakini oleh peserta didik dalam wujud amalan real. Itulah sebabnya bapak Monoteisme kita berdoa kepada Allah"…ya Tuhan jadikanlah mereka orang-orang yang mendirikan shalat…" dan berdoa "…Tuhan, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang yang konsisten dalam mendirikan shalat…".
Keempat, aktualisasi karakter pendidik. Setiap pendidikan yang baik, pasti memerlukan adanya keteladanan atau panutan. Tidaklah mungkin berhasil seorang pendidik yang tidak ada integritas antara ajaran dan sikapnya. Itulah sebabnya Ibrahim sebagai pendidik menyertakan dirinya dalam setiap doa untuk keturunannya. Perhatikan doa nabi Ibrahim berikut "…jauhilah aku dan keturunanku dari menyembah berhala…", " Tuhan jadikanlah aku orang yang konsisten menjalankan shalat…", dan doa "…Tuhan, ampunilah aku dan kedua orang tuaku serta mu'minin seluruhnya di hari ditegakkannya perhitungan amal…".
Di antara aktualisasi karakter pendidik adalah selalu meminta pertolongan dan bertawakal kepada Allah. Demikian diperlukan karakter ini karena dalam prosesnya setiap pendidikan akan mengalami hambatan dan rintangan. Untuk itu selain kerja keras dan usaha maksimal, pertolongan dan intervensi Allah juga suatu yang menentukan dalam keberhasilan pendidikan. Perhatikan doa nabi Ibrahim berikut ini "…Tuhan, jadikanlah hati sebagian manusia condong kepada mereka dan berilah rizki dari buah-buahan kepada mereka supaya mereka bersukur…" (QS Ibrahim, 31).
Di antara aktualisasi karakter pendidik lainnya yang terdapat dalam surah Ibrahim adalah welas asih dan antusias terhadap perkembangan peserta didik. Seorang pendidik yang baik harus memperlakukan peserta didiknya layaknya orang yang belum mengerti, mereka memerlukan pengarahan bukan kekerasan, perhatian dan bukan kecaman. Seorang pendidik yang baik juga diharuskan memiliki antusias yang besar dalam membimbing mereka dari kegelapan kepada nur serta berlapang dada jika mereka melakukan kesalahan. Seperti doa nabi Ibrahim "…barang siapa yang mendurhakai aku, engkau maha pemurah…". Demikian pendidikan dalam surah Ibrahim.

BAGIAN KEDUA
PENDIDIKAN KELUARGA DALAM SURAH AL TAHRIM


A.Pendahuluan.
Seperti namanya, surah al Tahrim bertemakan tentang kritikan Allah terhadap pengharaman yang dilakukan nabi Muhammad atas sejumlah hal-hal yang sebetulnya di halalkan oleh Allah. Dalam sebuah riwayat mengenai surah al Tahrim, nabi Muhammad meminum madu yang diberikan oleh salah satu istrinya, saudah. Hal demikian ini rupanya menimbulkan kecemburuan atas kedua istrinya, yakni 'Aisyah dan Hafsah. Sebagai reaksi dari kecemburuan ini, Rasulullah bersumpah mengharamkan madu atas dirinya. Kemudian turunlah surah al Tahrim sebagai teguran kepada Rasulullah agar bertindak tegas terhadap istri-istrinya, dan tidak menentukan suatu keputusan lain yang berbeda dengan kehendak Allah.
Surah al Tahrim berkaitan dengan surah sebelumnya yakni al Thalaq. Dalam surah al Thalaq, nabi diajarkan berbagai ketentuan-ketentuan dalam menceraikan istri dan peringatan untuk mentaati perintah Tuhan. Kemudian dalam surah al Tahrim, ketatan itu ditekankan lagi baik bagi rasulullah sendiri maupun para istri-istrinya. Barang siapa di antara istri nabi enggan untuk mengikuti aturan Tuhan tersebut, maka Rasullullah berhak mentalaq mereka dan menggantinya dengan wanita-wanita yang lebih salihah, patuh dan taat kepada perintah Tuhan mereka.
Pendidikan dalam surah al Tahrim ini menekankan kepada pendidikan keluarga, dimulai dari pendidikan kepala keluarga, pendidikan istri dan di tutup dengan pendidikan keluarga.


B.Pendidikan Kepala Keluarga.
Kepala keluarga adalah pemimpin dalam sebuah komunitas keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak, dan anggota keluarga lain. Layaknya seorang pemimpin, kepala keluarga dibebani sejumlah tanggung jawab dan diberikan sejumlah hak sebagai kompensasinya. Keluarga muslim, adalah sebuah keluarga di mana dibangun atas dasar nilai-nilai tauhid dan mewujudkan nilai tersebut dalam pergaulan dan pembinaan karakter anggota keluarga. Dalam hal ini, kepala keluarga bertanggung jawab untuk mengkontrol sikap setiap anggota keluarga yang terdapat di dalamnya dari mulai sikap terhadap diri pribadi, pergaulan dalam keluarga, hingga sikap dan tanggung jawab terhadap Tuhan mereka. Kepala keluarga juga bertanggung jawab membangun dan menciptakan sebuah sistem keluarga (nizam al usrah) yang berlandaskan nilai-nilai tauhid di mana setiap anggota keluarga di haruskan untuk menjalankan dan mematuhinya. Kepala keluarga juga perlu menyusun tugas-tugas yang relevan bagi masing-masing anggota keluarga dan ia harus meminta pertanggung jawaban pula kepada mereka atas tugas yang telah diberikan. Firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Tugas-tugas kepala keluarga seperti di jelaskan di atas merupakan suatu urgensitas untuk membangun keluarga muslim dan tindakan preventif gangguan yang datangnya dari dalam. Sedangkan dalam lingkup yang lebih jauh, setiap kepala keluarga dalam Islam diharuskan untuk membangun jaringan antar keluarga muslim untuk saling bahu membahu menghadang ganguan-gangguan dari luar. Firman Allah
جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Dalam membentuk kepala keluarga yang tegas, surah al Tahrim memberikan pelajaran kepada peserta didiknya mengenai teguran Allah kepada nabi agar konsisten terhadap ketentuan Allah dan tegas dalam mensikapi sikap istri-istri mereka. Dalam sebuah keluarga muslim ketegasan ini sangat penting artinya ketika terjadi gesekan-gesekan dalam keluarga. Seorang kepala keluarga yang baik, harus bersikap netral dari pihak-pihak yang bertikai dalam keluarga. Melainkan ia harus bisa menegakkan ketatapan Allah tanpa harus melihat satu kepentingan dan mengesampingkan kepentingan lainnya.
Rasulullah sebagai kepala keluarga ditegur Allah ketika ia tidak bersikap netral dan memilih untuk menyenangkan hati sebagian istrinya. Perhatikan firman Allah berikut
Hai nabi, Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu, kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS al Tahrim, 1).

Karena itu, seorang kepala keluarga harus tegas dalam menerapkan ketentuan dan aturan Allah. Untuk itu, ia harus membebaskan diri dari segala tekanan yang datang dari pihak-pihak tertentu untuk melemahkan ketentuan Tuhan tesebut. Ketegasan dalam mematuhi aturan Allah adalah suatu kebijakan yang tepat, adapun kemungkinan akan tantangan-tantangan yang akan muncul tidak perlu ditakuti dan tidak akan menimbulkan bahaya besar selama Allah yang menjadi pelindung firman Allah.

"…Sesungguhnya Allah Telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana…" (QS`Al Tahrim,2).


C.Pendidikan Istri.

Dalam keluarga Islam, peranan Istri juga sangat menentukan dalam pembentukan suatu keluarga yang berlandaskan nilai-nilai tauhid. Kedudukan istri dalam sebuah keluarga adalah sebagai penopang kebijakan kepala keluarga. Istri diharuskan untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh kepala keluarga selama aturan yang dimaksud tidak keluar dari garis syari'at. Penentangan terhadap kepala keluarga yang mengikuti aturan syari'at adalah sebuah kejahatan keluarga (jarimat al usrah) yang tidak bisa didiamkan saja. Untuk itu harus diberikan ketegasan.
Dalam surah al Tahrim, materi pendidikan yang ditekankan untuk istri keluarga muslim ada empat. Pertama, kepatuhan kepada ketetapan kepala keluarga yang tidak bertentangan dengan syari'at. Kedua, kesempatan kedua bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Ketiga, larangan untuk bekerjasama dengan anggota keluarga yang lain untuk mengugurkan ketentuan keluarga yang telah di tetapkan bersama. Keempat, hukuman bagi mereka yang tidak bisa memperbaiki diri.
Mengenai yang pertama, ditunjukan melalui pembebasan sumpah pengharaman nabi dalam firman-Nya "…sungguh Allah telah membebaskan kamu dari sumpah kamu…". Mengenai yang kedua di singgung dalam firman-Nya "…jika kamu berdua bertaubat berarti hati kamu condong kepada kebenaran…". Mengenai yang ketiga di jelaskan dalam firman-Nya "…jikalau kalian saling bantu-membantu untuk menyusahkan nabi maka sungguh Allah, jibril dan orang-orang yang baik menjdi pelindungnya…". Mengenai hukuman maka dibahas dalam firman-Nya "jika dia menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberikan ganti perempuan-perempun yang baik…".
Khusus mengenai hukuman (punishment), dalam al Qur'an dalam tempat yang lain memberikan batasan-batasan. Pertama, memberi nasehat kepada mereka (fa'izuhunna). Kedua, mengasingkannya secara psikologis tanpa diberikan nafkah batin ( wahjuruhunna fi al madhaji'). Kemungkinan ada di atara para istri yang kondisi kejiwaannya telah demikian kompleks sehingga tidak bisa diluruskan secara mental maka yang ketiga, adalah hukuman fisik (wadribuhunn). Demikian disebutkan dalam al Qur'an surah al Nisa 34.
Adapun pendidikan hukuman berupa cerai bagi istri seperti disebutkan dalam surah al Tahrim adalah pendidikan dalam tahap akhir di mana sudah tidak didapat lagi solusi lain yang memuaskan. Demikian karena dalam hadist nabi disebutkan bahwa cerai dalam sebuah hubungan keluarga adalah perkara halal yang paling dibenci Tuhan.

D.Pendidikan Keluarga.
Dalam keluarga muslim, anggota keluarga juga merupakan suatu yang perlu di bina dalam berbagai aspek. Baik aspek yang berkaitan dengan tanngung jawab pribadi, hubungan antar anggota keluarga yang lain, maupun dengan Tuhan. Dalam surah al Tahrim ditunjukan perbedaan yang mendasar antara karakteristik keluarga muslim dan keluarga kafir.
Keluarga muslim dalam surah al Tahrim diperlihatkan sebagai keluarga yang memiliki karakteristik seperti pertama, kepedulian dan saling bertausiah antara satu sama lain. Kedua, memiliki kesadaran terhadap tanggung jawab pribadi. Keduanya tercakup dalam firman Allah
"…Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS al Tahrim, 6).

Ketiga, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kesalahan yang dilakukan dan mengembalikannya kepada Allah (taubat). Seperti dijelaskan dalam firmannya "…wahai orang-orang yang beriman taubatlah kalian dengan sebenar-benarnya taubat…" (QS al Tahrim, 7).
Sedangkan keluarga kafir, di perlihatkan oleh surah al Tahrim sebagai keluarga yang selalu mencari-cari alasan dalam melaksanakan aturan Tuhan, tidak memiliki kepekaan terhadap tanggung jawab pribadi dan acuh terhadap anggota keluarga lainnya. Demikian dijelaskan dalam firman Allah
"…Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan…" (QS al Tahrim, 7).

Keluarga muslim dalam surah al Tahrim juga digambarkan sebagai keluarga yang menjalin jaringan dan kerjasama dalam menghadang segala gangguan yang kemungkinan akan muncul dari luar serta bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang menimbulkan gangguan dan kestabilan dalam kelompok keluarga-keluarga muslim. Demikian dijelaskan dalam firman-Nya.
"…Hai nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.." (QS al Tahrim, 9).


E.Tanggung Jawab Pribadi.

Pendidikan dalam sebuah keluarga muslim adalah sebuah usaha dan kerja keras menuju pembentukan keluarga yang berlandaskan tauhid. Namun demikian, hasil bukanlah suatu yang mutlak. Terkadang usaha dan kerja keras tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan. Dalam hal ini, kepala keluarga hanya bertugas sebagai pendidik dan bukan pemaksa. Di sinilah perlunya sikap demokratis ditunjukkan dalam sebuah keluarga. Masing-masing anggota keluarga bertanggung jawab atas diri pribadinya.
Dalam surah al Tahrim, digambarkan bagaimana istri dari kedua nabi yakni Nuh dan Luth yang melakukan penentangan terhadap ketentuan kepala keluarga yang sejalan dengan perintah Tuhannya. Dalam kasus yang demikian ini, tanggung jawab tidak lagi dibebankan kepada kepala keluarga, melainkan masing-masing pihak. Ini berarti faktor ketegasan dan kebijakan dari kepala keluarga dalam membina keluarga muslim saja tidaklah memadai. Lebih dari itu, cita-cita pembentukan keluarga muslim harus didukung oleh segenap anggota keluarga. Perhatikan firman Allah berikut
                         •   
"…Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)…" (QS al Tahrim, 10).

Juga digambarkan bagaimana seorang wanita yang shalih karena memiliki kepekaan yang tinggi terhadap tanggung jawab pribadinya mampu lahir dari sebuah keluarga yang melakukan penentangan terhadap ketentuan Tuhan. Informasi ini menunjukan bahwa kesalihan atau kedurhakaan istri atau anggota keluarga bukanlah disebabkan karena kegagalan kepala keluarga dalam memimpin. Lebih dari itu, kepala keluarga hanya sebagai fasilitator dan mediator yang mengarahkan mereka kepada keluarga muslim yang berlandaskan tauhid. Di sisi lain, faktor kepekaan terhadap tanggung jawab pribadi adalah komponen yang kuat dalam mewujudkan karekteristik masing-masing. Ini juga bukan berarti perempuan atau anggota keluarga yang baik tidak dapat lahir dari keluarga yang buruk adanya. Perhatikan contoh al Qur'an terhadap dua wanita, yakni istri fir'aun dan maryam binti 'Imran dalam ayat berikut ini.
               •                           
Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim. Dan (Ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, Maka kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-KitabNya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat" (QS al Tahrim, 11-12).

BAGIAN KETIGA
PENDIDIKAN ANAK DALAM SURAH AL LUQMAN 12-19



A. Pengantar
Para pakar berbeda pendapat mengenai sosok Luqman al Hakim, sebagian ada yang berpendapat bahwa dirinya seorang nabi dari deretan yang tidak terdapat dalam sebutan 25 rasul. Sebagian lagi berpendapat bahwa dirinya hanyalah seorang bijak yang diberi kelebihan oleh Allah. Mana saja dari dua pendapat di atas, ada hal penting dari riwayat mengenai tokoh luqman hingga Allah mengabadikannya dalam surah tersendiri. Menurut pakar tafsir kontemporer Wahbah al Zuhayli, perihal yang menjadikan riwayat ini menjadi penting hingga diabadikan adalah faktor instrinsik yang ada dalam sosok luqman, yakni hikmah. Kemudian al Zuhayli menjelaskan bahwa isi kandungan hikmah yang menjadi keistimewaan luqman antara lain terdiri dari tauhid, ketaatan kepada Allah, dan akhlak al karimah. Keistimewaan luqman ini kemudian dijadikan sebagai materi inti dari pendidikan Islam yang harus sejak semula ditanamkan kepada umat manusia. Karena begitu pentingnya inti ajaran ini, maka dalam riwayat luqman digambarkan bagaimana ia dijadikan sebagai bahan nasehat kepada anaknya yang mesti dibudayakan sedari dini dan secara kontinyu. Dalam konteks pendidikan anak, maka pewartaan al Qur'an atas kisah al Luqman ini sangat relevan untuk dijadikan sebagai pembahasan tersendiri yang mengkaitkan antara idealis al Qur'an di satu sisi, dan proyek pendidikan anak di sisi yang lain.
Bagi al Zuhayli, perihal luqman ini diwartakan al Qur'an sebagai bukti ekstistensi potensi kebaikan pada diri manusia. Manusia biasa sekelas Luqman, lanjut Zuhayli, dapat memperoleh pengetahuan yang sahih walaupun tanpa melalui proses pewahyuan (nubuwwah). Pengetahuan yang dimiliki Luqman, adalah pengetahuan yang berupa hidayah taufik untuk mengaktualisasikan ilmu dan pemahaman agama yang dengannya orang jadi mampu untuk bersyukur atas nikmat Allah dan karunia-Nya, mencintai kebaikan untuk manusia, dan menggunakan segala potensi dirinya untuk menghasilkan kebaikan yang bermanfaat. Kata Zuhayli, pengetahuan itulah yang disebut Hikmah. Hikmah inilah yang kemudian diwariskan Luqman al Hakim kepada keturunannya, dan kemudian diikuti oleh para orang tua dan orang-orang beriman yang memiliki kepentingan dalam pendidikan anak.

B. Petunjuk Akal dan Syukur Nikmat.
Akal sebagai potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia sejak lahir, baru bisa difungsikan ketika ia mencapai batas usia tertentu. Orang yang telah mencapai batas usia berfungsinya akal, dia dibebani kewajiban-kewajiban tertentu yang mesti dilaksanakan dan diharuskan untuk menjauhi sejumlah larangan untuk dilanggar. Orang demikian dalam ilmu fiqih disebut dengan istilah mukallaf, artinya orang yang telah memiliki tanggungan. Seorang mukallaf diberi pahala dan dosa atas dasar melaksanakan atau meninggalkan kewajiban agamanya. Berbeda dengan anak-anak yang belum mencapai usia berfungsinya akal, mereka ini disebut ghair mukallaf artinya orang yang belum terbebani atas sejumlah kewajiban tertentu. Dengan demikian, mereka tidak mendapat sangsi atas pelanggaran seperti yang diberikan kepada orang-orang mukallaf.
Melalui akal yang sehat, seorang mampu memahami dan menyadari berbagai hakekat hidup dari mulai siapa yang menghidupkannya, sebab-sebab bertahan hidup (survive), alasan dia hidup, hingga tujuan dari hidupnya. Jika dia telah memahami dan menyadari (menginsafi) berbagai hakekat tersebut, artinya telah terbuka pintu syukur (terima kasih) atas semua kebaikan dalam wujud nikmat yang telah diberikan Allah dalam hidupnya. Jika orang bersyukur atas segala kebaikan Allah, artinya dia akan berusaha agar tidak mengecewakan pihak yang telah berbuat baik kepada. Termasuk dalam kategori perilaku yang mengecewakan pihak yang berbuat baik adalah berkhianat kepadanya. Dalam kaitan dengan Allah, maka khianat itu dapat berupa sikap menduakan Allah dengan pelbagai berhala baik yang konkrit (ashnam) maupun yang abstrak (awtsan), sikap inilah yang selanjutnya disebut dengan syirik. Dengan demikian, syirik dapat dinilai sebuah sikap yang menyalahi prinsip syukur nikmat dan prinsip akal sehat.
Hikmah yang diberikan Allah kepada Luqman, merupakan akal sehat yang jernih, sehingga mampu mengetahui kebenaran melalui ilmu serta memahami hakekat-hakekat untuk kemudian berbuat kebajikan. Dengan anugrah hikmah tersebut, Luqman menginsafi bahwa dirinya memiliki komitmen untuk berterima kasih (syukur) atas semua nikmat Allah. Luqman dalam hal ini juga memahami bahwa ternyata komitmen syukur tersebut pada hakekatnya adalah untuk kepentingan kebaikannya sendiri. Firman Allah
                •    
"…Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS Luqman/31: 12).
Syukur secara bahasa berarti melukiskan nikmat dalam benak untuk kemudian ditampakkan dalam wujud perilaku konkrit. Lawan dari syukur adalah kufur, yang berarti melupakan nikmat dan menutup-nutupi kenyataan seolah-olah Allah tidak memberikan nikmat itu kepadanya. Jika seseorang menyadari tentang keberadaan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya kemudian ia melakukan eksplorasi atasnya sehingga nikmat tersebut menjadi lebih optimal maka iapun akan dapat memperoleh banyak manfaat darinya. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah " …jika kamu bersyukur pasti akan ditambahkan nikmat…". Sebaliknya jika seseorang melupakan nikmat Allah dan menutup-nutupinya, maka nikmat yang berpotensi besar tersebut menjadi terpendam. Jika potensi nikmat terpendam dan tidak bisa dimanfaatkan, artinya yang bersangkutan akan menderita kerugian yang besar. Inilah makna firman Allah "…jika kamu kufur (menutupi nikmat Allah), sesungguhnya siksa Allah (kerugian) itu amat pedih..".
Bentuk syukur atas nikmat Allah yang utama adalah tidak mengkhianatinya (menduakannya) dengan pelbagai berhala yang konkrit dan yang abstrak, kemudian mengikrarkan (declaration) sambil mewujudkannya dalam amalan-amalan real yang bermanfaat. Termasuk dalam amaran real tersebut adalah mewariskan konsep dan pengetahuan hikmah ini kepada keluarga dan anak-anak (keturunan) dalam bentuk wasiat (nasehat).
Kewajiban orang tua terhadap anaknya yang belum sampai usia tamyiz, adalah menanamkan konsep syukur nikmat ini melalui logika yang mereka pahami. Perhatikan bagaimana Luqman menggambarkan menduakan Allah itu sebagai suatu yang gelap (zhulm) yang sangat ditakuti anak-anak. Bagi orang mumayyiz, konsep gelap (zhulm) tersebut dapat berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebab kegelapan memungkinkan orang untuk meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Untuk kasus syirik, kegelapan itu dapat dikonotasikan sebagai gelap yang gulita (a'zham al zhulm) di mana tidak ditemukan secercah cahaya di dalamnya. Begitu, karena ia berkaitan dengan dasar keyakinan yang paling asasi yakni tauhid. Perbuatan syirik berarti menyetarakan pencipta yang agung dengan makhluk yang hina di satu sisi, dan menyetarakan antara pemberi nikmat dengan yang tidak di sisi yang lain.

C. Syukur, Keteladanan Dan Tauhid.
Berterima kasih kepada Allah mengaharuskan pula berterima kasih kepada pihak-pihak yang menjadi sebab turunnya nikmat Allah melalui mereka. Dalam hadist nabi dikatakan "…barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah". Hadist nabi tersebut menunjukkan betapa syukur dalam artian vertikal-transendent tidak diterima tanpa syukur yang horizontal dan immanent. Kehidupan manusia yang merupakan satu bagian nikmat dari nikmat Allah yang begitu banyaknya terwujud melalui perantara jasa-jasa orang tua. Jika hal ini dikaitkan dengan hadist di atas, berarti syukur kepada Allah juga mewajibkan untuk bersyukur kepada orang tua. Itulah sebabnya dalam banyak ayat al Qur'an, larangan syirik biasanya dibarengi dengan perintah untuk berbuat baik kepada orang tua. Firman Allah
     •            
"Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu." (QS Luqman/31: 14).

Kewajiban kedua dalam pendidikan anak menurut ayat di atas adalah mengkongkritkan sikap syukur anak kepada Allah melalui sikap bakti mereka kepada kedua orang tua. Pendidik anak dalam hal ini harus bisa memberikan pemahaman kepada anak bahwa kepatuhan kepada orang tua merupakan kepatuhan kepada Allah. Sebaliknya kedurhakaan kepada orang tua berarti tidak bersyukur kepada Allah dan bagi pelakunya akan mendapat ganjaran yang setimpal.
Sikap kepatuhan kepada orang tua bukanlah kewajiban yang beridiri sendiri, lebih dari itu kepatuhan kepada orang tua harus sejalan dengan kepatuhan kepada perintah Allah. Ketika pendidik menasehati anak untuk patuh kepada orang tua sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah, maka pada saat yang sama orang tua harus memberikan keteladanan untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Allah yang digariskan dalam agama-Nya. Dengan demikian, asas kepatuhan anak kepada orang tua berangkat dari unsur keteladanan dan integritas orang tua. Itulah sebabnya, ketiadaan unsur keteladanan menyebabkan hilangnya kewajiban patuh kepada orang tua. Dengan demikian, hak orang tua untuk memperoleh kepatuhan anak bisa diambil alih oleh orang yang bisa dipercaya karena komitmennya kepada Allah. Inilah makna firman Allah
                   •             
"…Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan…" (QS Luqman/31: 15).

Di sisi lain, hilangnya kewajiban anak untuk mematuhi orang tua karena ketiadaan unsur keteladanan itu bukan berarti hilang pula kewajibannya untuk memberi kehormatan kepada mereka. Adapun hilangnya hak kepatuhan itu dapat dikaitkan dengan tanggung jawab pribadi. Orang tua memiliki komitmen sendiri kepada Allah untuk mematuhi dan melanggar perintahnya dengan segala akibat yang ditanggungnya. Anakpun memiliki tanggung jawab pribadi kepada Allah untuk mematuhi perintahnya sekaligus mematuhi perintah orang tua yang sejalan dengan perintah Allah. Namun demikian, hilangnya kewajiban anak untuk patuh kepada orang tua tidak menghilangkan kewajiban mereka untuk bergaul dengan baik kepada mereka. Itulah sebabnya al Qur'an mengingatkan "….dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik (makruf)…".
Prinsip seperti tersebut di atas, pada hakekatnya berangkat dari keyakinan Tauhid seperti telah dibahas pada tema-tema yang telah lalu. Penduaan Allah (syirik) dengan berhala-berhala bisa terwujud dalam beragam rupa dari mulai yang konkrit hingga yang abstrak. Mematuhi perintah mahluk (dalam hal ini orang tua) untuk bermaksiat kepada khaliq masuk kedalam kategori syirik, sebab menyamakan antara kepatuhan mutlak kepada Allah dengan kepatuhan bersyarat kepada mahluk. Hal demikian ini adalah berlawanan dengan prinsip tauhid. Pada perkembangan selanjutnya, tauhid yang diawali dari syukur melahirkan kesadaran akan kehadiran Allah (muraqabah Allah). Orang yang memiliki sikap kesadaran akan kehadiran Allah pasti akan melahirkan sikap Ihsan. Dalam hadist nabi dikatakan Ihsan adalah "…engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya sesungguhnya dia melihatmu….". Kesadaran ketuhanan inilah yang dinasehatkan Luqman kepada anaknya "….wahai anakku, jika ada perbuatanmu seberat biji sawi dan berada dalam batu di langit atau di bumi niscaya Allah akan memberi balasan, sesunguhnya Allah maha halus dan maha teliti…" QS al Luqman/31: 16.

D. Kewajiban Menjalankan Syari'at Agama.
Hal berikutnya yang dijelaskan dalam surah Luqman dalam pendidikan anak adalah perlunya menanamkan pemahaman mereka mengenai kewajiban menjalankan syari'at agama. Setelah sebelumnya anak dididik agar memiliki kesadaran ketuhanan (muraqabat Allah), maka langkah berikutnya adalah melengkapi kesadaran itu dengan keinsafan akan perlunya melahirkan rasa syukur kepada Allah melalui amalan-amalan real. Amalan real yang dituntut Allah sebagai bukti rasa syukurnya adalah menjalankan syari'at agama.
Dalam wasiat Luqman, syari'at agama tersebut diringkas dalam tiga poin. Pertama, syari'at yang terkait dalam kaitannya dengan hubungannya dengan Allah yang dalam hal ini diwakili dengan shalat. Kedua, syari'at yang terkait dalam kaitannya dengan hubungan antar mahluk (mu'amalah) yang dalam hali ini diwakili dengan amar ma'ruf nahi munkar. Ketiga, syari'at yang terkait dalam hubungannya dengan diri pribadi (konsistensi) yang dalam hal ini diwakili melalui sikap sabar.
Syari'at yang berhubungan kepada Allah disebut sebagai ibadah mahdah, baru akan sempurna dalam wujudnya melalui kepedulian sosial yang disebut sebagai ibadah ghair mahdah. Dalam pendidikan anak, pendidik harus bisa memberi pemahaman bahwa ibadah itu justru dapat diapresiasi jika telah diwujudkan dalam bentuk amalan-amalan sosial. Hal demikian dapat dipahami mengingat status manusia yang merupakan mandataris Allah untuk memakmurkan bumi ini. Dalam aplikasinya, baik ibadah mahdah maupun sosial akan menemui pelbagai rintangan baik yang datang dari luar maupun dalam diri manusia. Untuk itu, syari'at yang berikutnya harus dipahamkan kepada anak adalah bagaimana agar mereka memiliki komitmen diri (diciple) yang tinggi dalam bentuk sikap sabar. Firman Allah

             •     
" Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS Luqman/31: 17).

E. Pendidikan Akhlak Mulia (akhlak al karimah).
Jika keimanan disempurnakan dalam wujud amalan real melalui pelaksanaan syari'at, maka syari'at perlu dihiasi oleh budi pekerti yang luhur. Pada prinsipnya kedisiplinan yang diajarkan al Qur'an melalui nasehat Luqman bertujuan untuk membentuk sosok pribadi yang berbudi pekerti luhur, baik ketika berinteraksi dengan Allah (takhalluq bi akhlaq al karimah ma'a Allah), maupun ketika berinteraksi dengan manusia (takhalluq bi akhlaq al karimah ma'a al nas). Itulah tujuan agama Islam seperti dijelaskan dalam hadist nabi "…sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia…". Syari'at merupakan sisi kulit dari agama, karenanya syari'at tidak mencerminkan agama itu sendiri. Syari'at baru bisa mewakili kesempurnaan Islam bilamana telah dilengkapi dengan budi pekerti yang luhur yang merupakan inti sari dari agama Islam.
Atas dasar logika di atas, maka agenda berikutnya bagi pendidikan anak adalah menanamkan budi pekerti luhur (akhlak) sebagai pelengkap sikap disiplin syari'at. Dalam surat al Luqman, hal tersebut terbaca dalam wasiat Luqman kepada anaknya untuk melakukan tiga hal. Pertama tawadu', yakni sikap rendah hati sehingga memberikan ruang untuk berbagi dengan manusia dalam berbagai hal. Sikap tawadu' ini pada tahap berikutnya melahirkan sikap toleransi (tasamuh) dengan anggapan bahwa keagungan dan kesombongan hanya milik Allah. Orang yang memiliki sikap tawadu' ini akan memiliki pergaulan dan wawasan yang luas serta memperoleh tambahan hikmah dalam hidupnya. Sebaliknya orang yang angkuh akan selalu mengecilkan dan meremehkan eksistensi orang yang akibatnya akan menyempitkan cara berpikir dan wawasannya. Firman Allah " wahai anakku, jangan engkau memalingkan wajah kepada manusia karena sombong..".
Kedua sikap demokratis, nasehat Luqman "…jangan berjalan di muka bumi dengan sombong…" merupakan ilustrasi dari sikap otoriter yang lahir dari anggapan tentang superiorias diri pribadi (mukhatal mu'jab li nafsihi) dan merendahkan orang lain (fakhur li ghairih). Orang yang menganggap dirinya super dan mutlak, secara otomatis menilai bahwa orang lain perlu untuk mematuhi dan menta'atinya. Untuk manusia, sikap demikian ini tidak bisa diterima mengingat hal tersebut merupakan hak prerogeratif Allah. Kebalikan dari sikap otoriter adalah demokratis, artinya sikap yang memberikan tempat bagi orang lain dan menghargai eksistensi diri mereka. Sikap demokratis berangkat dari anggap bahwa diri sendiri adalah tidak sempurna dan relatif, untuk itu perlu akan nasehat dan kritik dari orang lain yang lebih bisa menilai dirinya secara obyektif.
Ketiga sikap moderat (pertengahan) dalam menjalani hidup. Artinya sikap ini menuntut untuk mempertimbangkan setiap langkah dalam hidup agar dipikirkan secara matang dan dewasa dengan penuh kesadaran (qashd). Anak-anak harus dibimbing menuju kedewasaanya melalui sikap moderat. Sikap kedewasaan menuntut adanya kesadaran dan pertimbangan seseorang dalam setiap tindak tanduknya. Berbeda dengan anak-anak yang selalu berbuat tanpa dasar pertimbangan yang matang. "….sederhana dalam berjalan (waqsid fi masyyika)…" menurut Wahbah Zuhayli berarti berjalan tidak berlambat-lambat yang berarti menandakan kelemahan, dan tidak pula tergesa-gesa yang merupakan ciri khas syetan. Berjalan dengan sederhana berarti memperhitungkan matang dan bijak setiap tindakan dan melaksanakan setiap tindakan secara proporsional.
Keempat wajar dalam komunikasi. Menurut Wahbah Zuhayli, merendahkan suara (ghadd al saut) menunjukkan perlunya mempertimbangkan bicara sesuai dengan kebutuhan dan kewajaran. Dalam ayat ini (...waghdud fi sautika…) disetarakan antara berbicara yang melewati batas kewajaran dengan suara himar. Hal demikian merupakan etika yang disepakati oleh setip orang yang berakal sehat (common sense) tentang penilaian negatif bagi komunikasi yang diluar batas kewajaran. Dalam tahap anak-anak, adalah suatu kewajaran jika mereka terlihat sering berbicara yang berlebih-lebihan bahkan sampai diulang-ulang mengingat mereka dalam masa perkembangan mental. Tugas pendidik dalam hal ini adalah menanamkan sikap kedewasaan pada mereka tentang etika-etika dalam komunikasi yang mungkin bisa memicu banyak hal negatif dari mulai terlukanya perasaan hingga hilangnya nyawa.
Hikmah adalah pengetahuan benar yang meliputi tiga aspek, keyakinan, amalan dan budi pekerti yang baik. Tiga hal inilah yang teringkas dalam pesan-pesan al Qur'an seperti diwasiatkan Luqman kepada anaknya.
Wallahu a'lam bi al sawwab.
Prio Hotman, Oktober 2009.

Daftar Pustaka
Zuhayli, Mustafa Wahbah, Tafsir al Munîr Fi al 'Aqîdah wa al Syarî'ah wa al Manhâj, (Damaskus: Dar al Fikr Mu'âsir, 1997), Cet. Kedua.

al Asfihâny, al Husein bin Muhammad al Mufdal Abu al Qasim al Râghib, Mufradat Alfâz al Qur’ân, (Damsyik: Dar al Qalam, tt).

'Ulwan, Abdullah Nasih, Tarbiyat al Aulâd fi al Islâm, (Kairo: Dar al Salam, tt), Cet. Pertama.

al Marâghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al Marâghi, (Beiruth: Dar al Fikr, tt).

---------------000000-----------------